Share

Bab 3-Ingin Mengundurkan Diri

Kedua mataku membulat sempurna setelah membaca isi pesan dari nomor tanpa nama digawai suamiku. Pesan tersebut bermakna ambigu, bagaimana mungkin aku bisa berpikir positif.

Mas Adam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia langsung merebut ponselnya dari tanganku.

Aku tercengang.

"Siapa itu, Mas?" tanyaku langsung. Mataku sudah memanas.

"Bukan siapa-siapa," jawab Mas Adam tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Ia tetap menatap layar gawainya. Ku lihat jemarinya langsung menari diatas keyboard ponsel. Sepertinya suamiku itu sedang membalas pesan dari nomor tanpa nama tadi.

"Apa maksudnya bukan siapa-siapa, Mas? Lihat itu isi pesannya kenapa begitu?" tanyaku lagi. Mulai merasa penasaran.

"Ini rekan kerjaku." Mas Adam menjawab singkat. Matanya masih fokus dengan layar telepon.

Aku tersenyum kecut. "Heh, rekan kerja kok nanyanya begitu? Apa maksud dia nanya-nanya kamu puas atau nggak? Puas apa? Memangnya kalian habis ngapain?"

"Dia punya usaha kuliner. Tadi mas pesan sekalian buat anak-anak juga. Terus malam ini dia mau tanya testi dari Mas." Mas Adam menjawab kecurigaanku dengan wajah tenang.

Tapi tetap saja aku tidak memercayainya. Pikiranku entah sudah melancong kemana-mana mengingat isi pesan tadi. "Jangan bohong, Mas!" Aku menatap Mas Adam dengan tatapan penuh selidik.

"Ya ampun, Dek. Bohong gimana sih?" Mas Adam mengerutkan dahinya. Tampak bingung demganku.

"Kuliner apa emang? Kok sampe ditanya puas atau enggaknya?" tanyaku lagi.

"Usaha cireng. Coba aja tanya sama anak-anak, pasti mereka makan cireng bareng aku," jawabnya. Mencoba untuk meyakinkanku.

Aku terdiam sambil mengerucutkan bibir. Akhir-akhir ini jagat maya maupun lingkungan sekitarku lagi marak-maraknya memperbincangkan istri yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Hal itu yang saat ini aku pikirkan. Aku sangat takut jika itu juga terjadi padaku.

"Apa perlu Mas telepon dia biar kamu percaya?" kata Mas Adam. Ia langsung fokus menatap layar gawainya untuk bersiap-siap menghubungi nomor tersebut.

"Eittss, nggak usah." Aku melarang Mas Adam untuk menghubungi rekannya itu. Sebab, wajah Mas Adam terlihat serius. Jadi, aku memercayainya.

"Maaf ya, Mas. Aku udah curiga sama, Mas," ucapku meminta maaf.

"Bener nih nggak usah mas telepon dia? Nanti kamu masih terus bahas-bahas sampai besok kalah nggak dikelarin sekarang juga."

Aku mengangguk yakin. "Iya, Mas. Nggak usah deh. Ini juga udah malam. Udah waktunya orang tidur. Aku percaya kok sama, Mas."

Mas Adam mendekatiku dan membelai kepalaku dengan lembut. "Makasih sayang, udah pengertian."

Percakapan kami malam itu selesai ketika kami beranjak naik ke atas ranjang untuk beristirahat memejamkan mata sebelum kembali memulai aktifitas lagi dipagi harinya.

***

"Nggak bisa kita ganti aja Babysitter Cleo, Mas?" tanyaku kepada Mas Adam ketika suamiku itu baru saja menempelkan bokongnya dikursi. Aku masih fokus untuk mengambilkannya nasi untuk sarapan.

"Kenapa?" tanya Mas Adam yang sepertinya sedang memandangku.

"Aku nggak suka sama dia, Mas. Keliatannya dia lancang. Lagian Mas kenapa nggak konfirmasi ke aku dulu? Mas main terima-terima aja dia jadi Babysitternya Cleo," jelasku.

Mas Adam berhenti mengunyah. Ia menatapku lekat-lekat. "Dek, tapi kamu kemarin bilang kalau soal Babysitternya Cleo ini terserah aku. Jadi, yang menurut aku pantas untuk dipekerjakan ya cuman dia."

"Pantas? Apanya yang pantas, Mas? Dia udah lancang lho masuk ke kamar kita. Itu yang Mas sebut pantas?" jawabku sambil membalas tatapan mata Mas Adam.

Suamiku itu tampak menghela napasnya sejenak. Lalu, ia menjawab. "Dek, kenapa sih masih bahas masalah tadi malam terus? Kan udah kelar. Udah dijelasin dia masuk karena mau cari Cleo. Dia tanggung jawab, kan? Dia nggak tahu kalau Mas lagi didalam kamar."

"Sama aja, Mas. Itu namanya dia tetap lancang. Kalau dia punya attitude yang baik, dia nggak akan masuk ke kamar kita. Karena dia tahu kalau masuk ke dalam kamar majikan tanpa izin itu nggak boleh," kataku tetap kekeh pada penilaianku kepada Babysitter baru anak bungsuku tersebut. Bahwa dia tidak memiliki kesopanan. Aku tetap tidak suka padanya.

Mas Adam menarik napasnya. Tiba-tiba pria yang merupakan suamiku itu menyudahi sarapannya begitu saja. Padahal didalam piringnya masih tersisa banyak nasi.

"Mas bingung banget sama kamu ya. Kamu yang mintas Mas kemarin untuk cari Babysitter Cleo. Kata kamu terserah Mas aja. Tapi giliran udah dapet, kamu malah ngomel-ngomel nggak jelas."

Mas Adam tampak marah kepadaku.

"Iya, Mas. Aku tahu kemarin memang aku bilang terserah Mas aja. Tapi kan aku nggak akan tahu kalau dia itu bakal kayak gini. Nggak punya attitude banget," jawabku lagi.

"Kalau kamu nggak menghargai keputusan kepala keluarga, ya hidup sendiri-sendiri aja dirumah ini!" ucap Mas Adam kepadaku dengan ketus. Ia pun langsung beranjak dari duduknya dan segera melangkahkan kakinya keluar.

"Mas! Mas! Bukan begitu, Mas." Aku ikut berdiri untuk menyusul suamiku.

Mas Adam tidak memedulikan panggilan dariku. Diambilnya kunci mobil dan mulai memanggil Xabi, si sulung kami untuk segera cepat berangkat ke sekolah. "Xabi, buruan, Nak. Biar Ayah antar."

"Mas, kenapa kok kamu marah?" tanyaku sambil menarik lengannya agar ia bisa menghadap ke arahku.

Mas Adam terdiam. Ia menatapku. "Kenapa? Kamu aja jadi kepala keluarga dirumah ini kalau nggak bisa menghargai keputusan saya."

Aku menelan ludahku sendiri. Aku tahu jika Mas Adam sudah menyebut dirinya sendiri dengan panggilan "Saya" didepanku, maka ia memang sedang marah kepadaku.

"M-maaf, Bapak dan Ibu. Saya sudah dengar semuanya. Jadi, nggak apa-apa, Pak. Saya mengaku salah dan saya ingin mengundurkan diri saja," ucap Nira. Tiba-tiba ia muncul didepan kami, tepatnya diruang tamu.

Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
suami udah selingkuh..nganek pula
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
guindik llaki "bejat
goodnovel comment avatar
Dhea Zakiyah
ntahlah benci bgt dgn yg nma nya perselingkuhan apalg krna hawa nafsu & embel² cinta
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status