Kedua mataku membulat sempurna setelah membaca isi pesan dari nomor tanpa nama digawai suamiku. Pesan tersebut bermakna ambigu, bagaimana mungkin aku bisa berpikir positif.
Mas Adam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia langsung merebut ponselnya dari tanganku.Aku tercengang."Siapa itu, Mas?" tanyaku langsung. Mataku sudah memanas."Bukan siapa-siapa," jawab Mas Adam tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Ia tetap menatap layar gawainya. Ku lihat jemarinya langsung menari diatas keyboard ponsel. Sepertinya suamiku itu sedang membalas pesan dari nomor tanpa nama tadi."Apa maksudnya bukan siapa-siapa, Mas? Lihat itu isi pesannya kenapa begitu?" tanyaku lagi. Mulai merasa penasaran."Ini rekan kerjaku." Mas Adam menjawab singkat. Matanya masih fokus dengan layar telepon.Aku tersenyum kecut. "Heh, rekan kerja kok nanyanya begitu? Apa maksud dia nanya-nanya kamu puas atau nggak? Puas apa? Memangnya kalian habis ngapain?""Dia punya usaha kuliner. Tadi mas pesan sekalian buat anak-anak juga. Terus malam ini dia mau tanya testi dari Mas." Mas Adam menjawab kecurigaanku dengan wajah tenang.Tapi tetap saja aku tidak memercayainya. Pikiranku entah sudah melancong kemana-mana mengingat isi pesan tadi. "Jangan bohong, Mas!" Aku menatap Mas Adam dengan tatapan penuh selidik."Ya ampun, Dek. Bohong gimana sih?" Mas Adam mengerutkan dahinya. Tampak bingung demganku."Kuliner apa emang? Kok sampe ditanya puas atau enggaknya?" tanyaku lagi."Usaha cireng. Coba aja tanya sama anak-anak, pasti mereka makan cireng bareng aku," jawabnya. Mencoba untuk meyakinkanku.Aku terdiam sambil mengerucutkan bibir. Akhir-akhir ini jagat maya maupun lingkungan sekitarku lagi marak-maraknya memperbincangkan istri yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Hal itu yang saat ini aku pikirkan. Aku sangat takut jika itu juga terjadi padaku."Apa perlu Mas telepon dia biar kamu percaya?" kata Mas Adam. Ia langsung fokus menatap layar gawainya untuk bersiap-siap menghubungi nomor tersebut."Eittss, nggak usah." Aku melarang Mas Adam untuk menghubungi rekannya itu. Sebab, wajah Mas Adam terlihat serius. Jadi, aku memercayainya."Maaf ya, Mas. Aku udah curiga sama, Mas," ucapku meminta maaf."Bener nih nggak usah mas telepon dia? Nanti kamu masih terus bahas-bahas sampai besok kalah nggak dikelarin sekarang juga."Aku mengangguk yakin. "Iya, Mas. Nggak usah deh. Ini juga udah malam. Udah waktunya orang tidur. Aku percaya kok sama, Mas."
Mas Adam mendekatiku dan membelai kepalaku dengan lembut. "Makasih sayang, udah pengertian."Percakapan kami malam itu selesai ketika kami beranjak naik ke atas ranjang untuk beristirahat memejamkan mata sebelum kembali memulai aktifitas lagi dipagi harinya.***"Nggak bisa kita ganti aja Babysitter Cleo, Mas?" tanyaku kepada Mas Adam ketika suamiku itu baru saja menempelkan bokongnya dikursi. Aku masih fokus untuk mengambilkannya nasi untuk sarapan."Kenapa?" tanya Mas Adam yang sepertinya sedang memandangku."Aku nggak suka sama dia, Mas. Keliatannya dia lancang. Lagian Mas kenapa nggak konfirmasi ke aku dulu? Mas main terima-terima aja dia jadi Babysitternya Cleo," jelasku.Mas Adam berhenti mengunyah. Ia menatapku lekat-lekat. "Dek, tapi kamu kemarin bilang kalau soal Babysitternya Cleo ini terserah aku. Jadi, yang menurut aku pantas untuk dipekerjakan ya cuman dia.""Pantas? Apanya yang pantas, Mas? Dia udah lancang lho masuk ke kamar kita. Itu yang Mas sebut pantas?" jawabku sambil membalas tatapan mata Mas Adam.Suamiku itu tampak menghela napasnya sejenak. Lalu, ia menjawab. "Dek, kenapa sih masih bahas masalah tadi malam terus? Kan udah kelar. Udah dijelasin dia masuk karena mau cari Cleo. Dia tanggung jawab, kan? Dia nggak tahu kalau Mas lagi didalam kamar.""Sama aja, Mas. Itu namanya dia tetap lancang. Kalau dia punya attitude yang baik, dia nggak akan masuk ke kamar kita. Karena dia tahu kalau masuk ke dalam kamar majikan tanpa izin itu nggak boleh," kataku tetap kekeh pada penilaianku kepada Babysitter baru anak bungsuku tersebut. Bahwa dia tidak memiliki kesopanan. Aku tetap tidak suka padanya.Mas Adam menarik napasnya. Tiba-tiba pria yang merupakan suamiku itu menyudahi sarapannya begitu saja. Padahal didalam piringnya masih tersisa banyak nasi."Mas bingung banget sama kamu ya. Kamu yang mintas Mas kemarin untuk cari Babysitter Cleo. Kata kamu terserah Mas aja. Tapi giliran udah dapet, kamu malah ngomel-ngomel nggak jelas."Mas Adam tampak marah kepadaku."Iya, Mas. Aku tahu kemarin memang aku bilang terserah Mas aja. Tapi kan aku nggak akan tahu kalau dia itu bakal kayak gini. Nggak punya attitude banget," jawabku lagi."Kalau kamu nggak menghargai keputusan kepala keluarga, ya hidup sendiri-sendiri aja dirumah ini!" ucap Mas Adam kepadaku dengan ketus. Ia pun langsung beranjak dari duduknya dan segera melangkahkan kakinya keluar."Mas! Mas! Bukan begitu, Mas." Aku ikut berdiri untuk menyusul suamiku.Mas Adam tidak memedulikan panggilan dariku. Diambilnya kunci mobil dan mulai memanggil Xabi, si sulung kami untuk segera cepat berangkat ke sekolah. "Xabi, buruan, Nak. Biar Ayah antar.""Mas, kenapa kok kamu marah?" tanyaku sambil menarik lengannya agar ia bisa menghadap ke arahku.Mas Adam terdiam. Ia menatapku. "Kenapa? Kamu aja jadi kepala keluarga dirumah ini kalau nggak bisa menghargai keputusan saya."Aku menelan ludahku sendiri. Aku tahu jika Mas Adam sudah menyebut dirinya sendiri dengan panggilan "Saya" didepanku, maka ia memang sedang marah kepadaku."M-maaf, Bapak dan Ibu. Saya sudah dengar semuanya. Jadi, nggak apa-apa, Pak. Saya mengaku salah dan saya ingin mengundurkan diri saja," ucap Nira. Tiba-tiba ia muncul didepan kami, tepatnya diruang tamu.Aku dan Mas Adam bersamaan memandang ke arah Nira yang saat ini menunduk. Tampaknya ia tidak berani mengangkat kepalanya untuk menatap kami."Mbak Nira ngga boleh pergi dari sini. Cleo sayang Mbak Nira," ucap Cleo yang tiba-tiba datang dari arah dapur. Sepertinya putera bungsu kami itu pun juga mendengar perdebatan yang sempat terjadi antara aku dan Mas Adam.Cleo memeluk Nira. Wajah anakku itu terlihat sedih melepas kepergian Babysitter barunya yang belum ada 24 jam bekerja disini.Tapi mau bagaimana lagi, aku tetap tidak menyukainya. Sangat pantang bagiku jika orang asing memasuki kamarku."Cleo," panggilku dengan lembut. Aku berjongkok dan membentangkan kedua tanganku ke arah Cleo, untuk memanggilnya dalam pelukanku. Namun, si bungsuku itu tetap memeluk Nira."Mbak Nira mau ambil cuti," kataku kepada Cleo. Sengaja ku perhalus, agar anak-anak tidak mengetahui problem yang sebenarnya.Cleo menggeleng dengan kuat. "Nggak boleh. Mbak Nira baru nemenin Cleo kemarin. Masa mau ambil cuti
Nira sudah serius memandang ke arahku. Ia tampaknya penasatan dengan kata tapi yang masih menggantung dari mulutku."Tapi, kamu nggak boleh ulangin yang kemarin ya. Jangan masuk ke kamar saya tanpa izin. Saya nggak suka."Nira mengangguk dengan cepat. "Baik, Bu. Saya berjanji nggak akan mengulanginya lagi.""Satu lagi," kataku. Aku menyeruput teh sebelum melanjutkannya. Sementara Nira sudah menungguku. Tidak sabar ingin mendengarkan syarat yang selanjutnya."Apa itu, Bu?" tanya Nira."Tolong kamu jangan pakai pakaian ketat begitu dirumah ini. Kamu tahu kan anak saya dua-duanya laki-laki. Mereka juga masih terlalu kecil. Kalau ngeliat kamu sehari-hari berpakaian seperti ini, nanti timbul rasa penasaran mereka," ucapku sambil menunjuk baju ketat lengan pendek yang ia kenakan. Sangking ketatnya, lekukan tubuhnya terlihat jelas. Apalagi dari pinggul sampai kakinya, ia tampak seperti tidak memakai celana.Sebenarnya alasanku melarangnya mengenakan pakaian itu karena aku tidak ingin suamiku
Aku memandang Tere sebelum menjawab pertanyaan yang baru saja ia bisikkan kepadaku. "K-kenapa, Re?" Aku balik bertanya dengan kening yang berkenyit.Tere berdehem. Ia memandang ke arah putraku lebih dulu. "Cleo, tunggu di kolam renang ya. Nanti miss menyusul." Tampaknya Tere sengaja memberi perintah Cleo untuk pergi dari hadapan kami. Gadis itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.Si bungsuku itu mengerti dengan perintah Tere. Cleo diikuti Nira berjalan ke arah taman belakang.Setelah memastikan keduanya hilang dari pandangan kami, Tere menghadap ke arahku lagi. "Pakaiannya begitu, Kak. Nggak masalah?" tanya Tere mempertanyakan pakaian seksi yang dikenakan Nira.Aku tersenyum agak ragu. "Iya. Kakak udah tegur dia kok. Besok dia nggak akan pakai baju kayak gitu lagi.""Gimana sama Mas Adam, Kak?" tanya Tere tiba-tiba."M-maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi. Belum mengerti dengan maksud pertanyaan Tere."Maksudku, apa Mas Adam nggak masalah sama Babysitter baru Cleo? Nggak risih ngel
Aku mengikuti dorongan Mas Adam untuk melepas pelukanku. Perlahan ku angkat kepalaku dan bertanya dengan bibir yang bergetar. "K-kenapa, Mas? Mas nggak mau maafin aku?" Ujung mataku sudah memanas. Riak air sudah ingin turun. Ditambah raut wajah Mas Adam yang datar. Sulit ku tebak."Kamu minta maaf terus. Tapi nol aksi. Besok-besok kamu lakuin hal yang sama lagi," kata Mas Adam datar tanpa ekspresi.Aku menggelengkan kepala dengan kuat. "Nggak, Mas. Aku janji kali ini nggak akan ngulangin hal yang sama lagi. Aku janji akan menghargai setiap keputusan yang Mas Adam buat." Aku mengatakan itu dengan terisak. Aku sangat mencintainya. Setiap kali kami memiliki masalah, selalu aku yang menangis tersedu-sedu. Tangisanku itu adalah ketakutanku kehilangan Mas Adam. Meski aku tahu, Mas Adam tidak akan kemana-mana. Ia tidak akan meninggalkanku. Kami sudah berjanji dari tujuh tahun yang lalu, bahwa kami akan terus melanggengkan pernikahan ini sampai maut yang memisahkan. Bagaimanapun cobaan yang me
Aku masih terlentang tidak berdaya di atas ranjang seusai bercinta dengan suamiku. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tetapi rasanya sangat puas sekali karena kami sama-sama sampai di puncak kenikmatan dengan waktu yang bersamaan."Terimakasih, Sayang," ucap Mas Adam kepadaku sembari membelai rambutku. Suamiku itu masih berbaring juga di atas ranjang. Wajahnya terlihat lesu sebab pertempuran ini juga. Tapi aku tetap menyukainya."Mas mau lagi?" tanyaku menggoda. Ku kedipkan satu mataku ke arahnya. Itu hal yang biasa aku lakukan. Menggoda suamiku setelah kami bercinta untuk menantangnya.Mas Adam menggeleng. "Sayang, udah. Mas udah cukup puas."Aku terkekeh pelan. "Bilang aja nggak kuat lagi, kan?" Ku julurkan lidahku.Mas Adam tersenyum malu."Kamu nggak jadi pergi ke kantor?" tanyanya. Mata Mas Adam sudah mulai terpejam. Mungkin karena kelelahan."Iya, Mas. Ini aku mau mandi lagi. Terus siap-siap dan otw ke kantor," jawabku sembari mengikat rambutku yang sempat tergerai tidak beraturan ka
Pelakor’s POVAku terdiam. Belum menjawab permintaannya Mas Adam.“Sayang? Kenapa diam? Memangnya kamu nggak kangen samaku?” tanyanya lagi.Aku menghela napas kasar. Bayangan Mas Adam bersama istrinya tadi terus terbayang di kepalaku. Membuatku semakin badmood saja.“Tapi kan tadi pagi mas udah di service sama istri Mas,” kataku menyindir.“Haha.” Mas Adam terkekeh. “Jadi kamu cemburu ya, Sayang?” tanyanya padaku. Ia seperti telah mengetahui apa yang tengah aku rasakan saat ini.“Jadi menurut Mas gimana? Aku nggak akan cemburu? Aku biasa aja gitu?” Aku balik bertanya dengan nada kesal.“Iya-iya paham. Maaf ya. Itukan hubungan suami istri. Mas ngelakuinnya biar dia nggak curiga,” jawab Mas Adam santai. Mencoba untuk membuatku tenang.Aku masih tetap terdiam.“Eh ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu aku dan Ghinda bercinta tadi pagi?” Mas Adam bertanya padaku. Ia baru menyadarinya.“Hm. Aku ngeliat sendiri dari luar jendela,” jawabku ketus.“Ya ampun, Sayang. Kamu tahu itu membuat kamu
"Hm. A-anu. Mas mau keluar sebentar untuk beli nasi padang. Tiba-tiba kepikiran pengen makan itu," jawab Mas Adam sambil menggaruk tengkuknya.Aku mengernyitkan dahi. "Sejak kapan Mas suka nasi padang?" Aku hapal betul selera makan suamiku. Tujuh tahun menjadi istrinya, ia tidak pernah sama sekali menyentuh makana tersebut. Tapi malam ini Mas Adam mendadak menginginkannya."Eh iya, Sayang. Nggak tahu nih. Tiba-tiba aja gitu kepengen. Kayaknya enak malam-malam begini makan nasi padang." Mas Adam tersenyum ke arahku. Matanya yang berbentuk bulan sabit ketika tersenyum itu membuatku gemas dan jatuh cinta berkali-kali.Aku tersenyum menggoda. "Mas lagi nyidam ya?" Satu mataku berkedip.Mas Adam terdiam sejenak. Kemudian ia terkekeh malu. "Ah masa iya sih, Dek.""Ya mana tahu Xabi dan Cleo mau punya adik lagi," ujarku lagi."Memangnya kamu ada tanda-tanda?" tanya Mas Adam. Ku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. "Belum tahu, Mas. Tapi doakan sajalah ya. Segera. Hehe."Kami memang berencana
Mas Adam segera mengambil handphonenya. Padahal aku belum sempat membaca kelanjutan isi dari notifikasi pesan WhatssAp tersebut.“Chat dari siapa, Mas?” tanyaku.“Dari temen aku, Dek.” Mas Adam menjawab tanpa menoleh ke arahku. Ia masih sibuk dengan gawainya. Sepertinya sedang membalas pesan itu.“Temen kamu check in hotel?” tanyaku lagi. Sebab, tadi aku tidak sengaja membaca ada nama hotel serta nomor kamarnya juga.Mas Adam mendadak tersedak makanan yang ia telan. Suamiku itu berulang kali terbatuk-batuk. Wajahnya tampak terkejut. Aku dengan segera menuangkan segelas air untuknya. “Ini mas minum dulu.” Aku memberikan segelas air kepada Mas Adam dan membantu untuk meminumkannya.Setelah meneguk setengah air di dalam gelas itu, Mas Adam mengucapkan, “Terimakasih, Dek.”Aku tersenyum. Mas Adam sedari dulu tidak pernah berubah. Ia selalu mengucapkan tiga kata ampuh yang bisa membuatku terkesima dan kagum terus padanya. Tiga kata itu adalah yang pertama kata tolong, yang selalu mas Adam