Share

Gara-gara Mesin Cuci

Aku ingat syarat yang diberikan suami, salah satunya adalah tidak boleh bertanya apa pun yang diberikan suami pada adiknya. Ini benar-benar menyakitkan bagiku. 

 

Suami- akhirnya pulang juga, aku masuk kamar, akan tetapi tetap menguping pembicaraan mereka. 

 

"Ini, Lena, uang bulananmu, Semoga kamu cepat dapat jodoh lagi," terdengar suami bicara.

 

"Terima kasih, Bang," jawab Lena.

 

"Iya, gak usah kasih tahu berapa banyaknya sama kakakmu ya, dia sekarang lagi sensitif," kata suami lagi.

 

"Iya, Bang, Bang, lihat tanganku ini, terkelupas," kata Lena.

 

"Lo, kenapa?"

 

"Gara-gara nyuci pake tangan, Bang, belikan mesin cuci napa?" 

 

Tiba-tiba hening, suami tak menjawab. 

 

"Lihat ini pakaianku juga gak bersih, bagaimana bisa dapat jodoh lagi," kata Lena lagi.

 

"Baiklah, Lena, habis panen Minggu depan kita beli," kata suami.

 

"Makasih ya, Bang, eh, kalau bisa kakak gak usah tau," kata Lena lagi.

 

"Gak apa-apa, tau pun kakakmu , dia gak akan ribut kok," kata suami.

 

Aku makin panas, setelah Lena pergi aku keluar kamar. 

 

"Bang, Abang tahu kan sudah lama aku ingin mesin cuci," kataku kemudian.

 

"Ya, tahu lah, Dek, ingat syarat ya,"

 

"Bukan cuma Abang yang bisa bikin syarat, aku juga bisa, sekarang aku katakan, jika Lena Abang belikan mesin cuci, aku minta cerai," kataku kemudian.

 

"Astaghfirullah, istighfar kamu, Dek, lagi pula bisa apa kamu jika jadi janda, kau pikir abangmu si Imron itu bisa biayai hidupmu?" kata suami.

 

"Kita lihat saja, coba saja beli mesin Cuci untuk Lena, aku tuntut cerai," kataku menegaskan.

 

"Hahaha, lucu kamu, Dek," 

 

Suami malah tertawa, mungkin dia berpikir aku lagi melucu, akan tetapi aku memang mengancam, sakit' hatiku, ternyata jatah untuk adiknya lebih banyak dari pada aku, perhitungan yang diterapkan suami ternyata hanya berlaku padaku dan Ibu serta saudara ku, tidak berlaku bagi adiknya yang janda itu.

 

"Aku mau bilang jujur ya, Bang, Lena tidak mau nikah lagi karena ada Abang yang biayai, dia bilang sendiri, tidak akan nikah lagi jika belum dapat laki-laki yang bisa memberikannya lebih banyak dari tiga juta perbulan," kataku kemudian.

 

"Makin lama kamu makin keterlaluan, Dek, adik iparmu kau fitnah,"

 

"Dia yang bilang sendiri,"

 

"Dek, Lena belum nikah karena belum dapat jodoh, Jodoh itu rahasia Tuhan, jangan  mendahului Tuhan kamu," kata suami- seraya menunjuk wajahku.

 

"Pokoknya, Bang, aku juga minta mesin cuci, jika Lena dibelikan aku tidak, Kita cerai, titik," kataku sambil berlalu.

 

Panen telah tiba, seperti biasa suami yang urus semua, aku hanya menyediakan minum tukang dodos sawit. Dengan menyewa truk  ditambah truk kecil kami suami pergi antar sawit ke pabrik. 

 

Saat mereka pulang, aku terkejut ada mesin cuci di bak truk kami. Lalu suami dan dua orang lainnya menurunkan mesin cuci tersebut. Aku merasa senang sekali, akhirnya dibelikan juga untukku Mesin cuci, tidak untuk Lena, jika untuk Lena pasti diturunkan di rumah Lena, Karena rumah Lena lebih dekat ke kota dari pada rumah kami. 

 

Ternyata ancaman ceraiku berguna juga. Setelah Mesin cuci itu turun suami keluar lagi, pasti' mau memberikan gaji para tukang dodos.

 

"Mesin cuci baru kita, Mak?" kata Doly, anak sulungku.

 

"Iya, Doly," jawabku.

 

Aku mulai mencari tempat. Di kamar mandi terlalu sempit, akhirnya aku dapat ide, akan kuletakkan di antara dapur dan kamar mandi. Kupanggil seorang tetangga, bersama tetangga ini kupindahkan mesin cuci tersebut.

 

Coba  kubaca buku petunjuknya, mulai belajar mengoperasikannya.  Aku bahagia, beberapa kali aku selfie di depan mesin cuci. Ingin juga rasanya kuposting di media sosial, akan tetapi aku khawatir dicap pamer.

 

Suami belum pulang juga, padahal aku mau berterima kasih padanya. Minta maaf tentang ancaman ceraiku.  Saat malam tiba, bukan suami yang datang, tapi Lena. Aku mau pamer sebenarnya, akan tetapi aku khawatir dia sakit hati.

 

"Alhamdulillah, mesin cucinya sudah datang," kata Lena.

 

"Alhamdulillah juga," kataku kemudian, jangan iri ya, Lena," sabungKus lagi.

 

"Buat apa iri?"

 

"Aku dibelikan mesin cuci, kamu tidak,"

 

"Ini untukku," kata Lena.

 

"Ah, masa, buktinya turunnya di sini, bukan di rumahmu,"

 

"Tadi aku lagi di salon, gak ada orang di rumah, jadi numpang turun di sini, malam ini baru diangkat lagi ke rumahku," kata Lena.

 

"Gak mungkin," jawabku sambil tersenyum getir.

 

"Benar, Kak, tunggu saja Abang datang," kata Lena lagi.

 

Suami akhirnya pulang juga, begitu dia datang, Lena langsung menyambut di pintu.

 

"Terima kasih ya, Bang, maaf, merepotkan," kata Lena.

 

"Ya, udah, mau diangkat sekarang atau besok," jawab suami.

 

"Sekarang saja, Bang," kata Lena.

 

Aku berdiri dengan mulut menganga, tak percaya rasanya apa yang terjadi, suami malah tak bicara padaku, mereka kembali sibuk mengangkat mesin cuci tersebut. Aku hanya menonton dengan sedih, marah, kesal campur aduk jadi satu.

 

"Bang, ingat ancamanku," kataku saat mereka sudah hendak pergi.

 

"Kamu tidak akan berani," katanya seraya menghidupkan mesin mobil.

 

Begitu mereka pergi, aku juga berkemas, aku sudah sakit hati sekali. Aku pergi dari rumah, dua anakku kubawa, akan tetapi aku tidak tahu harus pergi ke mana, mau ke rumah ibu aku khawatir membuat ibu sedih, selama ini sepengatahuan ibu, suamiku adalah orang yang sangat baik.

 

Mau ke rumah Mak Sinta, aku malas, temanku itu pasti akan menceramahiku panjang lebar. Akhirnya motor matic tuaku kujalankan tanpa tujuan. Motor ini adalah milikku saat gadis. Akhirnya aku pergi ke rumah Bu Kepala desa. Istrinya kepala desa kami ini yang megang arisan, Minggu ini adalah giliranku menarik.

 

"Mak Doly, nariknya baru lusa lo," kata Bu kades tersebut.

 

"Iya, Bu, aku tahu, cuma mau numpang di sini dulu," kataku kemudian.

 

"Numpang?" kata ibu tersebut seraya melihat tas yang kubawa.

 

"Iya, Bu," 

 

"Boleh, boleh, " kata ibu tersebut. Kami pun masuk rumah besar itu. Beberapa saat kemudian Bu kades  menghidangkan tiga gelas minuman.

 

"Kamu kenapa, Bu Doly?" tanya Bu Kades.

 

"Aku lari dari rumah," jawabku.

 

"Lo, kenapa?"

 

 

Aku lalu menceritakan yang terjadi, mulai  dari awal.

 

"Astaghfirullah, aku paling benci laki-laki berpikiran kolot seperti itu," kata Bu Kades.

 

"Aku mau cerai, Bu, tapi aku takut tidak bisa memberikan makan anakku, aku mau cerai tapi tidak mau berpisah dengan anakku," kataku kemudian. Air mataku akhirnya keluar juga.

 

"Aku dukung itu, suami begitu tidak kayak dipertahankan," kata Bu Kades.

 

Akhirnya  ada juga yang mendukungku.

 

"Apakah aku bisa menghidupi dua anakku, Bu, aku tak bisa kerja, Anakku masih kecil-kecil," kataku lagi.

 

"Bisa, tuntut harta gono-gini, setengah kebun itu bisa jadi milikmu, kamu pasti sejahtera, berapa hektar kebun kalian?"

 

"Empat hektar, Bu, tapi suami baru buka lahan lagi,"

 

"Setengahnya itu akan jadi milikmu, kau bisa sejahtera dengan dua hektar kebun sawit," kata Bu Kades tersebut.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status