Share

Jatah Ipar

Keesokan harinya kebetulan hari Minggu, anak-anak libur sekolah, suami juga biasanya akan di rumah seharian. Aku masih diam, uang belanja belum juga diberikan suami. Dia tetap bersikukuh aku harus minta utang abangku, padahal sudah kubilang itu bukan utang. 

 

Aku akan mogok kerja, sudah jam delapan pagi aku tak beranjak juga dari tempat tidur. Suami malah mengajak dua anakku makan di luar, aku tak diajak. 

 

Mak Sinta datang berkunjung, Saat dia sampai sudah langsung mengomel.

 

"Istri macam apa kau ini, Mak Doly, sudah jam segini belum apa-apa?" kata Mak Sinta.

 

"Aku lagi mogok kerja," kataku kemudian.

 

"Ya, ampun, kau makin memposisikan diri sebagai pekerja, pake mogok segala,"

 

"Ah, karena bukan kau itu, Mak Sinta, mau nyuci sabung habis, mau masak gak ada beras, aku mau apa?"

 

"Ini namanya kamu kehausan di tengah-tengah danau,"

 

"Ah, lain pula ceritamu,"

 

"Saranku berdamailah dengan suamimu, " kata Mak Sinta lagi.

 

"Aku mau berdamai, tapi jika begini bagaimana mau berdamai, mereka bahkan pergi makan aku gak diajak," kataku lagi.

 

 

"Kamu masih keras hati seperti dulu," 

 

"Aku sudah delapan tahun ini coba lembut, Mak Sinta," kataku kemudian.

 

Namaku  Jamila, di keluarga dan teman-teman biasa dipanggil Taing, Taing adalah panggilan untuk anak perempuan di daerah Mandailing. Setelah resmi punya anak, panggilanku berubah jadi Mak Doly. Aku lahir dan besar di desa. Berasal dari keluarga miskin, ayahku seorang buruh tani, ayah sudah lama meninggal, saat aku masih sekolah, ayah sudah meninggal. 

 

Semenjak ayah meninggal, aku putus sekolah dan mulai kerja apa saja, aku sudah biasa mendodos sawit, yang biasa dikerjakan laki-laki pun aku kerjakan. Melangsir sawit pun sudah terbiasa. Kehidupan kami tak jua berubah, abangku ikut jejak almarhum ayah sebagai buruh tani, adikku lebih beruntung, dia dapat orang tua angkat yang membiayai buka lahan sawit.

 

 

Aku berkenalan dengan Erianto, seorang karyawan  di pabrik kelapa sawit, dia pekerja keras. Kami menikah, satu tahun setelah menikah kami buka lahan baru, tabunganku dan tabungan suami kami belikan lahan kosong yang masih hutan. Di situlah kami buka kebun. Suamiku benar-benar pekerja keras. Dia kerja di pabrik sambil buka lahan. Jika dia sip malam, siangnya bukannya tidur, tapi kerja di kebun.

 

 

"Kamu harus bersyukur, Mak Doly, banyak yang tidak beruntung seperti kamu, kamu sudah senang, gak kerja lagi," kata Mak Sinta.

 

"Aku tak bisa bantu ibuku, ibuku tak bisa jualan lagi," kataku kemudian. Setelah menjanda, ibuku memang kerja berjualan sayur keliling dengan sepeda. Setelah sakit' mata tak bisa kerja lagi.

 

"Itulah masalahmu, Mak Doly, jika kamu mau bantu orang tuamu, kamu harus kerja, bukan malah sembunyi-sembunyi memberikan uang, jika suami tidak ridho jatuhnya dosa,"

 

 

Mungkin temanku ini ada benarnya, aku memang harus berdamai dengan keadaan, berdamai dengan suami. Setelah temanku pulang, aku pun bergerak, bersih-bersih rumah menyambut kedatangan suami dan dua anakku yang pergi sarapan.

 

Saat mereka pulang, kuberikan senyuman semanis mungkin. 

 

"Bang, dua minggu depan jula-julaku narik, kuganti yang dua juta itu, tapi mintalah dulu uang belanja, Bang," aku coba bicara selembut mungkin.

 

"Janji ya, Dek," kata suami.

 

"Iya, Bang, janji,"

 

Suami lalu ke mobilnya, terus kembali lagi dengan uang segepok.

 

"Ini, Dek, kita buat perjanjian ya," kata suami.

 

"Perjanjian apa, Bang?"

 

"Begini, kamu harus janji tidak memberikan uang ke abangmu atau ibumu, jika kamu berikan, kami tanggung sendiri, uang belanja dipotong."

 

"Aku coba, Bang,'

 

"Yang ke-dua, kamu jangan sekali-kali ungkit apa yang kuberikan untuk Lena, itu kewajibanku, juga hasil jerih payahku," kata suami lagi.

 

"Gak adil, Bang,"

 

"Yang ke-tiga, jangan pernah tuntut keadilan, ini rumah tangga, bukan pengadilan,"

 

"Wah,"

 

"Uang belanjamu dua juta, aku tidak mau tahu jika kurang, kamu yang tanggung," sambung suami lagi.

 

"Jangan pernah ganggu kebun itu, itu pekerjaanku," 

 

"Banyak kali, Bang?"

 

"Masih ada lagi, jangan pernah tanya hasil penjualan sawit berapa,"

 

Syarat yang banyak, sebenarnya aku ingin memberikan syarat juga, akan tetapi seperti kata Mak Sinta, aku harus mengalah, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan hati.

 

Semenjak itu kami kembali seperti biasa, kegiatanku mengurus dua anak, suami seperti biasa kerja keras mengurus kebun. Ibuku pun batal pergi kontrol ke Medan. Sebenarnya aku merasa sakit' dan kecewa pada dua saudaraku. Akan tetapi mereka sepertinya memang tidak mampu. Aku mulai mencoba membatasi, mungkin ada juga benarnya, mereka keenakan karena selama ini aku selalu berikan uang.

 

Uang jatah yang dua juta itu sebenarnya cukup, lebih dari cukup lagi. Aku masih bisa ikut arisan, karena suami juga jarang makan di rumah, sayur dan cabe tak pernah beli karena banyak di pekarangan rumah. Anakku juga tidak banyak permintaan. Makan pakai sayur pun mereka sudah lahap.

 

Sore itu Lena datang ke rumah, aku tahu maksud kedatangannya mau minta jatah, dia seorang janda dengan dua anak, suaminya pergi meninggalkannya.

 

"Abangmu belum pulang," kataku kemudian.

 

"Ya, Kak, aku tunggu," jawabnya.

 

"Sekarang semua serba mahal ya, Kak, gak cukup lagi tiga juta sebulan," katanya lagi.

 

"Tiga juta?" Aku mengerjitkan kening.

 

"Iya, Kak, gak cukup lagi, minyak motor, uang sekolah anak, kontrakan rumah lagi,"

 

"Kamu dikasih tiga juta sebulan?" aku coba memastikan.

 

"Kira-kira segitulah, kadang aku minta lebih beli skincare, ngertilah janda ini,"

 

"Aku saja yang istrinya hanya dapat dua juta," aku mulai kesal.

 

"Beda, Kak, aku gak seperti kakak,"

 

"Apa bedanya?"

 

"Kakak kan terbiasa hidup susah, aku nggak,"

 

Ya, Allah, aku tahu suami selalu memberikan uang pada Lena, tapi aku tidak sangka sampai tiga juta sebulan.

 

"Kok  gak nikah aja, biar gak menyusahkan orang?" kataku kemudian.

 

"Jika aku dapat suami yang bisa kasih lebih banyak dari abangku, aku baru nikah lagi, tapi belum ada, tiga tahun sudah menjanda." 

 

"Oh, gitu ya,"

 

"Iya, Kak, jangan marah ya, abangku kok, apapun yang terjadi itu tetap abangku," 

 

Hatiku panas, tak bisa lagi kupendam amarah ini. Aku sudah coba bersikap lembut, tapi  jika begini aku tak bisa tahan.

 

"Kak, boleh aku minta pengertiannya, Kak, sebagai sesama wanita yang sama-sama punya dua anak," kata Lena lagi.

 

"Apa itu?"

 

"Aku nanti mau minta mesin cuci sama Abang, aku katakan ini sama kakak Karena menghargai kakak sebagai kakak ipar," katanya lagi.

 

Aku makin panas, mesin cuci adalah idamanku sejak dahulu, aku ikut arisan pun mau beli mesin cuci.

 

"Boleh minta sesuatu?" kataku kemudian.

 

"Boleh, Kak, boleh,"

 

"Sebagai sesama perempuan dengan dua anak, aku minta pengertiannya, berhentilah minta uang pada suamiku, cobalah tarik diri, aku yang istrinya saja cuma dikasih dua juta, kau tiga juta, bagaimana kalau suamimu seperti itu?" kataku.

 

"Jangan cemburu, Kak, seandainya Abang Imron kasih uang banyak ke kakak, ada yang cemburu bagaimana perasaan kakak?" 

 

 

 

"Enak aja kau minta mesin cuci, aku saja belum punya," kataku kemudian.

 

"Makanya punya Abang yang kaya," 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status