Share

Utang Ibu 2

Suami melongo, dia masih berdiri di depanku, uang sudah berserakan di lantai. Aku benar-benar lepas kendali. Selama ini aku sudah berusaha jadi istri yang penurut dan sabar. Akan tetapi semenjak ibuku sakit, semuanya rasanya berubah. Dua saudaraku seperti tak mampu. Semua mengharap padaku.

 

Uang itu malah tetap berserakan di lantai sampai pagi hari, aku sudah marah, suami pun marah. 

 

"Dek, masih warasnya kau?" suami malah seperti mengejek, saat itu aku hendak mengantar anakku sekolah. Sementara uang masih tetap berserakan di lantai.

 

"Aku masih waras, Bang, waras kali pun, kalau Abang mau perhitungan, ya itu tadi, hitungan gajiku," kataku kemudian.

 

"Udah, sana antar si Doly," jawab suami. Doly adalah anak sulungku yang masih jelas satu SD.

 

"Oh ya, berapa ongkos ojek ke sekolah tiap hari? bayar juga itu," kataku lagi.

 

"Astaghfirullah, sudah gila kau, Dek?" 

 

"Ayolah, Mak, nanti terlambat," kata Doly, aku akhirnya menghidupkan motor matic tua tersebut, akan tetapi aku teringat sesuatu, tak ada uang lagi di tanganku.

 

Kuambil kembali uang yang sudah berserakan tersebut, kuambil hanya dua lembar uang lima puluh ribu.

 

"Ini hanyalah upah antara jemput anakmu," kataku kemudian seraya mengantongi uang seratus ribu. Suami geleng-geleng kepala seraya memunguti uang tersebut.

 

"Hei, Mak Doly, kok lusuh kali muka kau?" kata Mak Sinta, saat kami bertemu di sekolah. Mak Sinta teman lamaku, kebetulan anak kami satu sekolah.

 

"Iya, Mak Sinta, lagi kusut," jawabku kemudian.

 

"Apa lagi ini, ibumu kan sudah dioperasi matanya," 

 

"Bukan masalah itu lagi, aku lelah, capek, gak pernah merasa dihargai," kataku.

 

"Udah, cerita dulu," kata Mak Sinta.

 

Aku lalu cerita singkat saja, kami memang sering saling curhat, setelah aku selesai bercerita, Mak Sinta justru tertawa ngakak.

 

"Jadi kau minta gaji tidur?" katanya sambil tertawa.

 

"Kau gitu kau ya, aku galau malah tertawa," kataku kemudian.

 

"Kau lucu, Mak Doly, masa minta gaji ke suami, itu artinya kamu membuat dirimu seperti pembantu yang digaji, kamu itu istri lo, masa kamu minta ongkos ojek?"

 

"Kan dia yang mau perhitungan,"

 

"Mak Doly, bukan maksud membela suamimu ya, tapi kamu itu salah, dua juta satu bulan untuk ukuran desa kita sudah banyak lo, dah syukur kau gak dilibatkan urusan kerja, banyak ibu-ibu yang harus ikut banting tulang, terus ibumu sakit itu juga tanggung jawab dua saudaramu, karena kamu selama ini ambil alih tanggung jawab itu, dua saudaramu keenakan, masa ongkos dia ke Medan pun kau yang tanggung?" Temanku ini bicara panjang lebar.

 

"Ah, percuma curhat sama kau, bukannya membela aku," kataku kemudian 

 

"Aku membela yang benar, Mak Doly, kita perempuan harus bisa cari uang sendiri, jangan terus mengandalkan suami, akhirnya gini kan,"

 

"Dari kecil aku sudah kerja lo, dodos sawit aku sudah biasa, tapi suamiku gak kasih aku kerja, katanya urus anak saja," kataku lagi.

 

Kesal juga, curhat sama teman justru aku yang disalahkan. Suamiku memang pekerja keras, dulu dia bekerja di pabrik kelapa sawit, terus buka kebun sawit. Setelah sawit kami panen, kini dia buka lahan baru, aku tak pernah dilibatkan. 

 

Aku tak pulang ke rumah, kutunggu anakku sampai pulang sekolah, setelah mereka pulang aku bawa anakku ke rumah ibu. Kebetulan ada Bang Imron dan adikku Tohar di situ.

 

"Dua Minggu lagi harus kontrol lagi kata dokternya," kata Bang Imron.

 

"Kali ini Abang dulu yang biayai," jawabku.

 

"Kau kan tahu, Aku gak ada uang, ibaratnya kais pagi makan sorenya," kata Bamg Imron.

 

"Aku gak ada uang lagi, Bang,"

 

"Jadi bagaimana?"

 

"Udah, biar sajalah, gak usah mamak kontrol lagi," ibuku yang menjawab.

 

 

 

Sore harinya aku baru pulang ke rumah, tumben suami ada di rumah kali ini, biasanya malam baru dia pulang.

 

"Dari mana saja?" tanya suami.

 

"Pulang sekolah kami singgah di rumah mamak," jawabku.

 

"Selalu begitu, kamu makin durhaka saja, pergi pun tak pamitan lagi," kata suami.

 

Aku tak menjawab lagi, lelah sudah hatiku, lelah pikiranku. Atau memang aku salah sudah berbohong? Aku coba cara baru, yaitu jujur pada suami, siapa tahu dia merasa iba.

 

"Bang, maaf ya, sebenarnya aku bohong, Bang Imron tidak minjam," kataku pelan, Saat itu suami lagi duduk di depan rumah.

 

"Apa, jadi kau berikan cuma-cuma gitu, laki-laki macam apa abangmu itu, gak malu menerima uang dari adiknya," kata suami. 

 

"Maaf, Bang, dia memang lagi susah,'

 

"Gak ada istilah susah, aku sesusah apapun tidak akan pernah minta uang ke adikku, aku juga punya adik," kata suami.

 

"Bang, aku minta tolong, dua Minggu lagi mau ke Medan lagi kontrol,"

 

"Ya, Tuhan, gak jera juga kau, jadi mau minta lagi pura-pura minjam gitu?"

 

"Iya, Bang,"

 

"Tidak bisa, mulai detik ini, jangan lagi urusi mamak, biar saudaramu sadar diri, biar mereka berusaha," 

 

 

"Bang,"

 

"Kau mau hitung-hitungan, kan, ganti semua uang yang kau berikan ke Bang Imron, ke mamak, ke Tohar, kau pikir aku gak tau, kukasih belanja dua juta, kau bagi lagi sama mereka, hitung itu, delapan tahun ini," kata suami.

 

Ah, ternyata dilembutkan pun tidak bisa juga.

 

 

"Mana nasi?" tanya suami saat malam harinya.

 

"Gak ada," jawabku singkat.

 

"Gitu kau ya, suami pulang gak ada nasi mau dimakan," 

 

"Gak ada, aku belum gajian selama delapan tahun," jawabku.

 

"Astaghfirullah,"

 

"Baiklah, kalau kamu mau hitung-hitungan, oke, biar aku yang belanja, kamu urus anak saja," katanya kemudian. 

 

Kukira dengan berbuat begini, suami akan melunak, ternyata tidak, dia justru makin keras. Uang belanja tidak dikasih lagi.

 

 

Saat malam tiba, hujan gerimis turun, anak-anak sudah tidur, aku merasa ada yang meraba pahaku, ternyata suami yang minta jatah.

 

"Dua ratus ribu," kataku kemudian.

 

"Apa dua ratus ribu?"

 

"Bayar dua ratus ribu kalau mau jatah,"

 

"Dek, kamu mau dikutuk malaikat sampai pagi ya?"

 

"Biar saja, Bang, delapan tahun juga sudah tersiksa,"

 

"Hmmm, jangan gitu lah, Dek," kata suami lagi.

 

"Aku serius, Bang, ibuku sakit pun Abang tak peduli, uang dua juta dipermasalahkan, Abang pikir aku gak tau Abang kasih si Lena uang tiap bulan, apa aku protes? ini baru dua juta Abang sudah perhitungan," kataku lagi. Lena adalah adik iparku yang seorang janda.

 

"Sudah gila kamu, Dek, belajar dulu masalah tanggunhg jawab, dia adikku, gak ada suaminya, Akulah yang bertanggungjawab padanya, orang tua kami sudah tidak ada," kata suami.

 

"Ibuku sudah melahirkan dan membesarkanku juga, Bang, terus abangku kuongkosi ke Medan baru kali ini, Abang sudah permasalahkan, Lena tiap bulan Abang kasih uang, apa bedanya? Sama-sama saudara kok?" kataku tak mau kalah.

 

"Aduh, ini akibatnya jika sekolah gak lulus," kata suami.

 

"Apa hubungannya dengan sekolahku, Bang?" Aku makin kesal, aku memang putus sekolah, hanya sampai kelas dua SMA.

 

"Dek, urutan tangung jawab itu begini ya, ibu itu tanggungjawab jawab anak laki-laki, anak perempuan itu tanggung jawab ayahnya sampai nikah, jika tak ada ayahnya, tanggung jawab saudara laki-lakinya, Lena itu tanggung jawabku, Karena suaminya tidak ada, aku tidak seperti Bang Imron yang gak bertanggung jawab, gak malu diongkosi adiknya," kata suami.

 

"Udah, Bang, aku tetap minta dua ratus ribu,"

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status