Aku merasa sedikit lega, bos perkebunan itu membatalkan membeli kebun tersebut. Dia ternyata sangat baik, bahkan memberikan bantuan hukum untukku, juga memberikan motor. Motorku yang lama memang sudah tidak terpakai lagi. Karena biayai memperbaikinya sudah lebih mahal dari harga motor tersebut.
Aku akhirnya dapat pengacara, pengacara perempuan bersuara keras. Dia memperkenalkan diri dengan nama Boru Lubis, aku disuruh memanggil Bu Lubis saja. Wanita empat puluhan tahun yang tampak masih enerjik.
Bu Lubis mempelajari kasusku, lalu dia meminta visum dari puskesmas, video rekaman tamparan tersebut, terus bukti laporan ke polisi, terus saksi jika saja kami sudah cerai secara agama. Semua bisa kusanggupi kecuali saksi. Saksinya Bu Sinta, sementara dia sudah di penjara.
Sidang kedua berjalan lancar saja, biarpun Erianto tetap tidak mau datang, masih diwakili pengacara, akan tetapi hakim mengetuk
Untuk sesaat aku masih tak tahu harus berbuat apa, masih berdiri di depan sekolah. Dua anakku ada di kanan dan kiriku, tak bisa kubayangkan akan ditangkap polisi di depan anak-anakku.Erianto mendekatiku, dia memasang wajah sedih, aku tahu wajah sedih itu wajah mengejek."Maaf, Taing, poin terbalik, tidak usah khawatir dengan anak-anak, aku akan mengurusnya," kata Erianto, rautr wajah itu membuat aku jijik.Kulihat mobil patroli polisi tersebut, para polisi belum turun dari mobil. Mereka seperti menunggu, entah menunggu apa."Udahlah, sini anak-anak, jangan sampai anak-anak melihat mamaknya ditangkap polisi," kata Erianto lagi."Tidak," kataku seraya memegang erat ke-dua tangan anakku.
Lena langsung saja pergi, tanpa menunggu jawaban dariku lagi. Tinggal Sinta dan tas ransel yang mungkin berisi pakaian. "Melly mana, Tante?" tanya Sinta dengan polosnya."Itu di dalam," jawabku. Merry anak bungsuku lalu keluar rumah. Dia mengajak Sinta masuk, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi."Eh, anak si Tamina ini?" kata Ibuku begitu melihat anak tersebut dengan dekat."Iya, Mak, dia boru Sinaga," kataku kemudian."Lo, kok bisa, bukannya ayahnya orang Medan, " tanya ibuku lagi.Aku lalu mengajak Ibuku bicara, minta pendapatnya apa yang harus kulakukan. "Wah, rumit sekali ya, Taing, Musuh justru menitipkan anaknya padamu," kata ibu."Itulah, Mak, tapi aku gak tega, lihatlah wajah polosnya, dia gak tau apa-apa," kataku lagi."Kembali berpulang padamu, Taing, mampu gak? jika gak mampu mengurusi anak ini, Jangan paksakan, jangan sampai anak ini ikut merasakan perbuatan orang tuanya," kata ibuku lagi."Jadi kuberikan sama siapa, Mak?""Berikan pada keluarganya, kan masih ada kakak si
Erianto keluar dari rumahnya, dia seperti tak merasa bersalah, wajahnya justru terlihat bingung."Apa-apaan ini?" tanyanya kemudian."Gak usah berlagak gak tau apa-apa, kau bunuh anjingku," kataku kemudian."Aku memang jahat, Taing, tapi bukan pemb-unuh, kau kenal aku," kata Erianto."Jadi siapa lagi?""Aku mana tau, udahlah, gak usahlah cari masalah dulu, kau kenal aku, bunuh ular saja aku gak tega," kata Erianto.Aku terdiam, dia benar, bahkan pernah dapat tikus terperangkap di sumur rumah, dia melepaskannya, gak tega katanya bunuh tikus, lalu siapa yang bunuh anjingku?Aku pulang membawa anjing tersebut, kukubur di belakang rumah. Tak habis pikir siapa yang tega bubuh anjingku, atau kah tukang dodos? 
Aku masih mengintip, kumatikan lampu dari dalam pondok. Dua orang tersebut dengan tenangnya mendodos sawit yang belum seberapa tinggi. Apakah mereka belum menyadari aku ada di sini?Saat aku hendak turun dari rumah kayu dengan parang di tangan, terdengar suara mobil masuk. Ternyata mereka pencuri elit, sampai mobilnya pun ada, dua orang mendodos sawit, dua orang memuat ke truk.Aku jadi ragu untuk turun, tak mungkin bisa kulawan empat orang, apalagi masing-masing mereka memegang alat dodos Sawit yang tajam, seraya alat pengangkat sawit yang runcing. Yang bisa kulakukan hanyalah merekam dari celah dinding. Tentu saja gambar tak terang. Mobil truk itu pun sepertinya sengaja ditutupi nomor polisinya.Aku gemetar, tak tahu harus berbuat apa, ingin melawan rasanya tidak akan berhasil. Ingin berteriak siapa pula yang dengar. Sementara itu anjing kecilku terus men
Erianto geleng-geleng kepala melihatku, dia mungkin tak menyangka mantan istrinya yang dulu lemah lembut ini bisa memutuskan jari orang."Taing, kamu sebaiknya periksakan diri dulu, nanti leher si Doly kau tebas," kata Erianto lagi.Aku jadi emosi, kuambil parang tajam. .."Pergi dari sini!" teriakku sambil memegang parang.Lelaki yang pernah jadi suamiku delapan tahun itu lari terbirit-birit. Entah kenapa jiwa psikopatku tiba-tiba muncul, empat jari yang putus itu kumasukkan ke pelastik, lalu kugantung di pintu masuk kebunku. Aku ingin memberikan peringatan pada pencuri sawit, ini yang terjadi jika coba mencuri sawitku.Aku pulang ke rumah pagi itu, ada tiga anak yang harus aku antar ke sekolah, saat aku tiba di rumah, Mereka ternyata sudah mandi dan sarapan bersama ibuku, ting
"Banyak lo satpam perempuan," kata Pak Ardiansyah lagi.Apa iya aku berbakat di bidang pengamanan? Tak bisa kubayangkan aku berpakaian sekuriti di kantor perkebunan."Kamu galak tapi tetap sesuai koridor, itu yang dibutuhkan pada pengamanan," kata Pak Ardiansyah lagi."Baiklah, Pak, akan kupikirkan dulu," kataku akhirnya.Aku tak mungkin lagi menjaga kebun tanpa ada pondoknya, sampai sore aku masih di kebun. Erianto datang lagi, dan lagi-lagi dia menawarkan bantuan sambil mengejek."Udahlah, biar aku yang jaga kebunmu, atau kita jaga bersama, kamu gak akan mampu," kata Erianto."Aku bisa, akan kutunjukkan kalau aku bisa," kataku dengan tegas."Taing, Taing, malam ini mau kau jaga bagaimana, tidur di tanah kau, d
"Aku telah dihukum untuk kejahatan yang tidak aku lakukan, kamu tuduh aku memitnah, padahal benar," kata Erianto seraya menunjuk wajah Pak Ardiansyah."Kamu salah sangka," kataku kemudian."Salah sangka apanya, ini buktinya," kata Erianto seraya menunjuk batu bata yang sudah tersusun di depan pondokku."Apa pula urusannya dengan batu?" tanyaku lagi."Kau pikir aku bodoh apa, ada gak yang mau bangun rumah untuk orang kalau gak ada apa-apanya? Tidak ada, dia itu pebisnis, tau kau pebisnis, di otaknya hanya ada untung rugi, jika dia mau bangun rumah gedung di kebun, berarti sudah kau kasih itumu," katanya lagi.Pak Ardiansyah seperti tidak berusaha membantah, dia justru cari tempat duduk dan menonton kami bertengkar."Udahlah, kita sudah cerai, gak usah kau usik lagi hidupku," kataku kemudian."Oh, no, aku gak sempat usik hidupmu, aku cuman minta keadilan, aku dipenjara karena dituduh mengatakan sesuatu yang benar," kata Erianto."Udahlah, sana kau," aku mulai kesal."Uangnya sudah mengh
Pak Ardiansyah sudah menyarankan untuk tidak perpanjang masalah, karena menurut bos perusahaan itu pencuri sudah dapat ganjaran setimpal. Empat jari putus sudah sangat setimpal dengan dua ton sawit yang mereka curi. Akan tetapi melihat Lena dan Ijul aku tak bisa menahan diri. Apalagi ternyata berondong yang digosipkan orang itu ternyata Ijul, Ijul sendiri diduga ikut mencuri sawitku.Rumah parmenen di kebun sawit masih sesuatu yang jarang di desa, biasanya rumah orang terbuat dari kayu. Aku jadi semangat untuk tinggal di kebun, jika rumah itu sudah selesai mungkin aku bisa lebih aman di sana.Erianto masih saja nyiyir, mantan yang kini jadi tetangga itu sepertinya selalu berusaha mencari masalah. Seperti hari itu dia datang ke tempatku, saat itu dua tukang lagi kerja memasang atap."Heh, bisa gak itu gak usah keras-keras kali mukulnya, tidur