Share

Membalas Suami Perhitungan
Membalas Suami Perhitungan
Author: Bintang Kejora

Utang Ibu

Membalas Suami Perhitungan

 

"Bang, Bang  Imron dan mamak mau pinjam uang," kataku pada suami, saat itu kami lagi santai di depan TV. 

 

"Minjam? berapa, buat apa?" jawab suami.

 

"Dua juta, Bang, katanya mau  berobat ke Medan, dirujuk dari rumah sakit sini," jawabku kemudian. 

 

Mamak sakit mata, penglihatannya kabur, beliau hanya bisa melihat tiga  meter ke depan. Sudah berobat di Puskesmas sampai rumah sakit kota, tapi dirujuk ke rumah sakit khusus mata' di kota Medan.

 

"Tapi kan mamak pake BPJS?" kata suami lagi.

 

"Benar, Bang, tapi kan ongkos ke Medan dan biaya di sana," jawabku kemudian.

 

"Kok banyak kali sampai dua juta?"

 

"Bang  Imron ikut, Bang," jawabku kemudian. Bang Imron adalah abangku yang tertua, 

 

"Itulah anak gak berbakti itu, masa Ibunya sakit mata dia gak tanggung jawab " jawaban suami mulai menyakitkan.

 

"Ngertilah, Bang, kan Bang Imron lagi susah," jawabku kemudian.

 

Aku benar-benar tak punya uang lagi, selama berobat di sini, Akulah yang tangung semua, tanpa sepengetahuan suami. Tabunganku sudah habis untuk biayai berobat mamak, untuk rujuk ke Medan aku tak punya lagi.

 

Sebenarnya kami tiga bersaudara, abang dan adikku laki-laki, akan tetapi mereka juga lagi susah, Bang Imron, kerjanya tukang dodos sawit, penghasilan hanya cukup untuk biaya hidup mereka, sedangkan adikku lagi merintis buka lahan sawit yang dibiayai orang. Masih merintis, tentu saja belum ada penghasilan.

 

Hanya aku yang lumayan, sawit kami sudah panen, akan tetapi suami sangat perhitungan, semua  penghasilan sawit dia yang pegang, aku hanya dijatah dua juta sebulan, dan kami lagi mencicil mobil truk kecil pengangkut sawit. Semua suami yang atur, mulai dari gaji orang sampai biaya pupuk dan lain sebagainya, dia yang atur, aku hanya fokus mengurus dua anakku. Yang sulung kelas satu SD, yang bungsu masih TK.

 

Pandangan orang dari luar, aku hidup mewah dengan kebun sawit yang sudah panen, akan tetapi aku sebenarnya tersiksa. Seperti saat ini, ibuku butuh uang, tapi aku tak mampu memberikan.

 

"Bilang sama Bang Imron sama si Tohar juga, punya ibu itu diurus, itu bukan urusan perempuan," kata Suami lagi.

 

"Bang, tolonglah, dua juta saja, ini minjam, kalau Bang Imron tak mampu bayar, aku yang bayar," jawabku kemudian.

 

"Hahaha, lucu juga kamu, Dek, kamu yang bayar? Itu artinya aku juga yang bayar, memangnya penghasilan mu apa?" kata suami.

 

"Aku ada jula-jula, Bang, kalau narik nanti kukasih sama Abang," kataku lagi. Jula-jula adalah arisan.

 

"Hmmm, baik, Dek, itu uang untuk bayar cicilan ya, jangan sampai gak diganti, kena tarik nanti mobil itu," kata suami.

 

Suami akhirnya memberikan uang dua juta tersebut, aku sangat senang sekali. Keesokan harinya  aku langsung pergi ke rumah ibu, yang jaraknya agak jauh juga dari rumah. Sekitar satu jam naik motor. Sekalian antar anak sekolah. 

 

"Ini uangnya, Mak, pergilah berobat itu," kataku seraya memberikan  uang tersebut.

 

"Alhamdulillah, menantuku itu memang baik," Kata ibuku. 

 

Getir rasanya mendengar pujian ibu, selama ini aku selalu berusaha menjaga nama baik suami. Ini pun kubilang Sama ibu aku minta dulu sama suami, padahal sebenarnya minjam.  Aku tak ingin suamiku tampak jelek di mata ibu dan saudara. 

 

Bang Imron akhirnya membawa ibu  ke Medan untuk operasi mata. Semoga uang dua juta itu cukup untuk mereka.

 

Bulan muda telah tiba, biasanya Suami akan memberikan uang dua juta untuk jatah belanja satu bulan, akan tetapi sudah tanggal tiga belum dikasih. Akhirnya karena memang sudah tak ada lagi, aku beranikan diri untuk minta.

 

"Bang, mana uang belanja, persediaan beras sudah habis' itu," kataku pagi itu, Saat itu aku hendak pergi mengantar dua anakku sekolah.

 

"Pake yang kau pinjam itu dulu," kata suami.

 

"Tapi belum dikasih, Bang,"

 

"Ya, mintalah,"

 

"Abang Imron baru sampai sama ibu," kataku lagi.

 

"Uang belanjamu sudah Abang bayarkan ke cicilan mobil, untuk belanja mintalah utangnya itu,"

 

"Abang, masa sama mertua sendiri hitung utang?"

 

"Iyalah, Dek, karena akadnya utang, sana minta ke abangmu, enak aja dia gak mau keluarin uang sedikitpun, masa ongkos  dirinya sendiri gak mau dia bayar," kata suami.

 

Aku terdiam, segitunya suamiku ini, padahal selama ini abangku biarpun miskin tak pernah menyusahkan.  Aku tak diberikan uang belanja lagi.  

 

Aku mulai putar otak, akan bagaimana kami sebulan ke depan, suami selalu pergi pagi pulang malam, tak pernah sarapan dan makan siang di rumah. Hanya makan malam. 

 

Akhirnya aku dapat ide, saat suami pergi mengurus kebun baru, aku panen sawit kami sendiri, kudodos sendiri, kulangsir sendiri, sampai akhirnya terkumpul sekitar seribu  kilo gram. Ketika toke sawit datang, kujual  sawit tersebut. Uangnya lebih dua juta. Malam harinya sebelum suami pulang, aku masak ikan Mas arsik kesukaannya.

 

"Ayah, kami tadi ndodos," anakku yang sulung justru langsung melapor saat ayahnya pulang. Memang saat aku mendodos sawit, anakku ikut.

 

"Mendodos bagaimana, kan Minggu depan baru panen," kata suami.

 

"Tadi mamak ndodos," kata Anakku lagi. Mata suami melotot tajam ke arahku.

 

"Betul, Dek?" tanya suami.

 

"Iya, Bang,"

 

"Kamu ini bagaimana sih? Kamu panen yang kurang matang, sawit akan rusak, tujuh tahun lo, tujuh tahun aku perjuangkan kebun ini, kamu justru merusaknya, untuk apa ndodos sendiri, kan kita upahkan ke orang biasanya," kata suami.

 

"Untuk makan,"

 

"Untuk makan? ya, Allah, kan sudah kubilang Dek, minta utang Bang Imron itu,"

 

"Gak bisa kuminta, Bang,"

 

"Kok gak bisa, utang tetap utang, apapun ceritanya?"

 

"Kan untuk biaya berobat ibu sendiri, Bang,"

 

"Berapa kali harus kubilang, itu tanggung jawab mereka yang laki-laki, bukan kamu, kamu itu sudah saya mahari, tugasmu berbakti pada suami, bukan pada saudaramu," kata suami.

 

"Sini uang penjualannya?" kata suami lagi.

 

"Untuk uang belanja satu bulan ini, Bang, uangnya cuma dua juta tiga ratus," kataku lagi.

 

"Sini uangnya!" suami malah membentak. "Kita harus perhitungan, Dek, demi masa depan kita juga," sambung suami lagi,

 

Aku jadi emosi, kuambil uang tersebut, kulempar ke wajahnya.

 

"Ini uangmu, sekarang kita perhitungan, bayar gajiku ngurus anakmu, bayar gajiku tidur denganmu, bayar gajiku nyuci bajumu, bayar, kali delapan tahun ini, bayar!" aku jadi histeris.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status