Bagian 1
"Sandra, aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersama Mas Rian. Mas Rian ternyata menjalin hubungan dengan sekretarisnya. Aku sudah tidak kuat, San." Nia menangis di pelukanku, menceritakan tentang persoalan rumah tangga yang sedang dihadapinya.
"Mas Rian juga kerap memukuliku. Ia mengancam akan menceraikanku jika menolak keinginannya untuk menikah dengan sekretarisnya itu. Aku nggak mau dimadu, San. Aku harus gimana?"
Nia masih menangis di pelukanku, dan aku masih berusaha menenangkan sahabatku itu. Hanya kata 'sabar' yang bisa kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku juga tidak tahu mau berbuat apa.
"Sabar ya, Nia. Aku tahu, kamu adalah wanita yang kuat, pasti kami bisa melewati semua ini," ucapku padanya.
"Kenapa dengan Nia? Mengapa dia menangis?" tanya Mas Ilyas-suamiku yang ternyata sudah berada di ruang tamu, tempat kami berada saat ini. Aku bahkan tidak mendengar deru mesin mobilnya, mungkin karena terlalu fokus mendengarkan curhatan Nia.
"Sudah pulang, Mas?" Aku mencium punggung tangan Mas Ilyas dengan takjim, kemudian meraih tas kerjanya.
"Iya, Mas sudah lama loh berdiri di depan pintu. Kalian saja yang tidak menyadari keberadaan Mas," ucap Mas Ilyas sambil menjatuhkan bobotnya di atas sofa.
"Ngomong-ngomong, Nia kok nangis? Ada apa?" tanya Mas Ilyas lagi.
"Nia sedang ada masalah dengan Mas Rian. Sepertinya, rumah tangga kami sudah nggak bisa dipertahankan. Mas Rian ingin menikah lagi, dan Nia nggak mau dimadu." Nia kembali menangis setelah menceritakan persoalan rumah tangganya kepada Mas Ilyas.
"Jika memang benar bahwa Rian ingin menikah lagi, lebih baik kamu meminta pisah darinya. Menurut Mas, begitu jauh lebih baik."
Apa aku tidak salah dengar? Mas Ilyas menyuruh Nia untuk berpisah dari suaminya? Bukankah selama ini Mas Ilyas paling membenci perceraian. Karena menurutnya, perceraian memang dihalalkan, tapi sangat dibenci oleh Allah. Makanya suamiku sangat membenci perceraian.
"Kok cerai sih, Mas? Siapa tahu rumah tangga mereka masih bisa dipertahankan. Kita kan belum mendengar penjelasan dari Mas Rian," protesku yang tidak suka dengan saran Mas Ilyas tersebut.
"Aku setuju dengan saran Mas Ilyas, Sandra. Sekarang masalahnya, aku mau tinggal dimana jika aku berpisah dengan Mas Rian? Kalian kan tahu sendiri kalau aku hidup sebatang kara," keluh Nia.
Memang bebar, Nia tidak punya sanak saudara di kota ini. Setelah ibunya meninggal, Rini tinggal sebatang kara, ia berjuang menghidupi dirinya sendiri, sampai akhirnya ia menikah dengan Mas Rian dan mendapatkan keluarga baru.
"Nggak usah khawatir, kamu tinggal di rumah ini saja, anggap saja seperti rumah sendiri. lagian, kamu kan sahabat Istriku. Kamu boleh tinggal di sini sampai kapanpun kamu mau. Iya kan, Sandra?" Mas Ilyas menatapku, ia memutuskan sepihak, tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu.
Memang, aku dan Nia sudah bersahabat sejak masa SMA. Aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Tapi bukan berarti ia bebas tinggal di sini. Bukannya tidak kasihan, hanya saja aku takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan nantinya. Apalagi sekarang statusnya sudah beda. Entah mengapa, berat sekali rasanya menerima kehadiran Nia di rumah ini.
"Ya sudah, mulai malam ini, kamu boleh tinggal di sini. Sandra, kamu antar Nia ke kamarnya ya. Mas mau mandi dulu." Mas Ilyas pun beranjak dari tempat duduknya.
Aku merasa, ada yang beda dari sikap Mas Ilyas malam ini. Ia sama sekali tidak meminta pendapatku tentang hal ini. Ada apa denganmu, Mas?
Meskipun dengan berat hati, aku akhirnya mengijinkan Nia untuk tinggal di rumah ini. Aku selalu berdoa di dalam hati agar Nia kembali kepada suaminya. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin melihat rumah tangga sahabatku hancur.
***
Aku membantu Mbok Yuli untuk menyiapkan hidangan makan malam dan menatanya di atas meja makan. Setelah itu, aku mengajak Mas Ilyas dan juga Nia untuk makan malam bersama. Biasanya aku dan Mas Ilyas hanya makan berdua saja, sekarang makan bertiga karena sudah ada Nia di rumah ini.
Aku mengambil piring keramik yang sudah tersedia di atas meja, menyendok nasi dan sayuran untuk kuberikan kepada Mas Ilyas.
"Mas, kamu mau makan pake apa? Ayam atau ikan? Ikan saja ya, dicampur sayuran juga biar lebih sehat." Tiba-tiba Nia melakukan hal sama denganku, menyendok nasi ke atas piring, kemudian langsung memberikannya pada Mas Ilyas.
Aku melongo melihat tingkah sahabatku tersebut. Bahkan ia sudah mengambil alih tugas yang seharusnya kulakukan. Apakah ia tidak sadar dengan apa yang ia lakukan?
Aku masih berdiri dengan piring yang sudah berisi nasi, tapi belum dicampur dengan lauk. Melihat tingkah Nia seperti itu, membuat selera makanku mendadak menjadi hilang.
"Maaf ya Sandra. Bukan maksudku untuk mengambil alih tugasmu. Itu kebiasaan yang tidak pernah bisa kutinggalkan. Saat bersama Mas Rian, aku sudah terbiasa melayaninya. Aku tidak akan makan sebelum menyiapkan makanan untuk Mas Rian terlebih dahulu," ucap Nia. Mungkin ia tidak enak melihat raut wajahku yang mulai berubah.
Aku kembali duduk di atas kursi, tanpa berbicara sepatah katapun. Mood-ku sudah hilang. Ada firasat buruk yang menyelimuti
hatiku. Aku takut jika Nia akan menjadi duri dalam rumah tanggaku.
"Sesekali dilayani sama Nia 'kan nggak apa-apa," ucap Mas Ilyas sambil mengunyah makanannya.
"Suamimu itu tidak tahu diri ya Nia. Punya istri baik seperti kamu, tapi masih tetap ingin mencari yang lain. Mas sarankan, lebih baik kamu pisah darinya, daripada bertahan tapi menyakitkan bagimu." Lagi-lagi, Mas Ilyas kembali menyarankan agar Nia bercerai dari suaminya.
"Tenang saja, Mas. Nia akan menggugat cerai Mas Rian. Tidak ada gunanya mempertahankan rumah tangga yang didalamnya sudah ada orang ketiga," jawab Nia sambil menyendok sayur capcay dari dalam mangkuk keramik bergambar ayam tersebut, dan memindahkannya ke piringnya.
Mas Ilyas dan Nia terlihat menikmati makan malam ini. Sementara aku, sudah tidak berselera sama sekali.
Aku segera menyudahi makanku, kemudian bergegas ke kamar karena aku merasa tidak dianggap sama sekali.
Sejak kehadiran Nia di rumah ini, Mas Ilyas seolah tidak lagi menganggapku ada. Padahal belum sampai satu hari, gimana kalau ia akan tinggal lama di rumah ini? Bisa-bisa, perhatian Mas Ilyas akan beralih padanya.
Nia juga kelihatannya suka sekali mencari perhatian dari Mas Ilyas. Membuatku menjadi cemburu. Aku tidak suka jika suamiku lebih perhatian pada wanita lain, meskipun wanita itu sahabatku sendiri.
Tok tok tok!
"San … Sandra, Mas masuk ya!" Terdengar suara Mas Ilyas memanggil namaku. Ternyata, ia menyusulku.
Aku tidak menjawabnya, memilih untuk diam.
"Kok kamu nggak jawab sih?" tanya Mas Ilyas setelah ia membuka pintu, dan kini ia duduk bersamaku di bibir ranjang.
"Kamu ngambek, ya?"
Pertanyaan macam apa itu? Sudah jelas-jelas aku ngambek, tapi masih ditanya juga. Nambah kesal saja.
"Kamu kok ngambek sih? Emangnya Mas salah apa?"
"Mas sadar nggak sih? Mas sudah mengabaikanku. Mas malah lebih perhatian sama Nia dibanding aku, istrimu sendiri. Aku juga nggak suka, Mas menyarankan agar Nia minta pisah dari suaminya. Itu nggak boleh, Mas. Dosa loh menyuruh pasangan suami-istri berpisah," protesku sambil membuang wajah, tidak mau menatap wajahnya.
"Mas hanya tidak ingin melihat Nia terluka. Jika Nia masih tetap bersama dengan suaminya, otomatis hatinya akan terluka. Makanya, lebih baik mereka pisah saja."
"Tetap saja nggak boleh, Mas. Biar mereka yang memutuskan. Lagian, kita kan belum dengar penjelasannya Mas Rian. Siapa tahu mereka hanya salah paham."
Aku berusaha mengingatkan Mas Ilyas, agar jangan ikut terlibat dalam persoalan rumah tangga Nia. Meskipun aku dan Nia sudah bersahabat sejak dulu, tapi ada batasannya juga.
"Kamu tidak percaya padaku, Sandra? Kamu pikir aku berbohong?" Tiba-tiba Nia sudah berada di ambang pintu, ternyata ia mendengar pembicaraanku dengan Mas Ilyas.
"Jika kamu tidak bersedia menerimaku di rumahmu ini, nggak apa-apa, aku akan pergi," ucapnya sambil menangis.
"Bukan begitu. Bukannya aku tidak percaya padamu, Nia. Aku hanya memberi saran kepada Mas Ilyas agar menemui Mas Rian dulu. Siapa tahu rumah tanggamu dengan Mas Rian masih bisa dipertahankan." Aku berusaha meyakinkan Nia, tapi Nia tidak mau mendengar penjelasanku.
"Nia, apa yang dikatakan Sandra itu benar. Sandra tidak ada maksud apa-apa. Kamu kembalilah ke kamarmu, selamat beristirahat," ucap Mas Ilyas.
Nia pun berlalu dari hadapan kami, meninggalkanku dan Mas Ilyas yang masih berada di dalam kamar.
***
Tengah malam, aku tiba-tiba terbangun karena dorongan ingin buang air kecil. Aku tiba-tiba terkejut saat tubuh Mas Ilyas tidak ada di atas kasur yang kami tempati bersama. Hanya ada selimut dan bantal kesayangannya saja.
Kemana Mas Ilyas malam-malam begini? Apa mungkin ia haus dan pergi ke dapur untuk mengambil minum?
Aku langsung beranjak dari atas ranjang, untuk mencari Mas Ilyas.
Saat menuruni anak tangga, tiba-tiba ...
Bersambung
Bagian 2Tiba-tiba aku melihat Mas Ilyas sedang duduk di atas sofa ruang tamu, bersama Nia. Nia menyandarkan kepalanya di bahu Mas Ilyas. Tangan Mas Ilyas merangkul bahu Nia.Aku menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang kusaksikan.Kaca-kaca bening langsung mengalir dari sudut netra. Aku sakit hati, cemburu sekaligus marah, melihat sahabatku berduaan dengan suamiku. Pelan-pelan, kuturuni anak tangga dan langsung menghampiri mereka dengan air mata yang berderai."Apa maksud semua ini, Mas?" tanyaku sambil memandangi wajah suami dan sahabatku itu.Nia langsung berdiri dari tempat duduknya, begitu juga dengan Mas Ilyas. Keduanya gelagapan melihat kehadiranku."Sandra, maafin aku. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tadi hanya curhat kepada Mas Ilyas tentang masalah rumah tanggaku, dan aku terbawa suasana. Maafin aku, San." Nia meraih tanganku, berusaha meyakinkanku, tapi aku menepisnya. "Apa yang dikatakan Nia itu benar, San. Nia hanya curhat kepada Mas. Dan Mas berusaha m
Bagian 3"Ini sarapannya, Mas." Aku meletakkan roti tawar dan susu hangat tersebut di atas meja.Aku melirik Nia sejenak, ia terlihat kesal padaku, terlihat dari sorot matanya yang memandangku dengan tatapan tidak suka. Tapi aku tidak peduli, aku harus melindungi suamiku dari Nia. Yang jelas, aku tidak suka dengan sikapnya yang selalu mencari perhatian dari Mas Ilyas."Sandra, kenapa sih nasi gorengnya kamu buang? Tadi sudah kucicipi kok, rasanya enak dan nggak asin." Nia protes karena aku membuang nasi goreng buatannya tersebut."Nasi gorengnya benar-benar asin, Nia. Rasanya juga nggak enak. Masa kamu ingin memberikan nasi goreng seperti itu untuk Mas Ilyas. Aku aja nggak pernah masak makanan seasin itu," ucapku tak mau kalah.Nia memonyongkan bibirnya, kelihatan sekali bahwa ia tidak suka padaku. Dulu, aku memang selalu menuruti apapun yang diinginkan Nia, tapi sekarang tidak lagi. Aku mencium gelagat tidak baik dalam dirinya, sehingga aku harus extra hati-hati padanya.Tiba-tiba, t
Bagian 4Bismillahirrahmanirrahim. Aku segera melangkah dengan yakin. Apapun yang akan terjadi setelah ini, aku tidak peduli."Tunggu!" Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan membawaku menjauh dari tempat itu.Mas Rian, ternyata Mas Rian yang menahanku. Entah apa maksudnya.Mas Rian memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya, tapi aku berontak."Mas, apa-apaan, sih?" "Sandra, maaf! Mas tidak ada maksud apa-apa. Maaf jika Mas terlalu lancang," ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada."Tadi itu aku lihat Mas Ilyas sama Nia. Aku ingin melabrak mereka, tapi gagal karena Mas menghalangiku." Aku memperlihatkan raut wajah kesal padanya. Karena Mas Rian, aku gagal melabrak Mas Ilyas dan Nia."Jangan gegabah, Sandra. Jangan turuti emosimu." Lagi-lagi Mas Rian mencegahku."Bagaimana tidak emosi, aku tidak tahan melihat suamiku bersama dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah sahabatku sendiri, yang tidak lain adalah istrimu sendiri. Aku cemburu, Mas." Tak terasa, bulir benin
Bagian 5Setelah sampai di depan supermarket, aku langsung turun dari mobil Mas Rian, kemudian bergegas masuk ke dalam untuk membeli beberapa kebutuhan pokok.Beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci, odol, shampo dan lain-lain sudah dicatat dalam daftar belanjaanku. Aku segera mengambil keranjang, kemudian mencari barang yang akan aku beli. Setelah semuanya telah lengkap, aku langsung membayarnya ke kasir.Setelah Helper dari supermarket tersebut memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi mobil, aku kembali mengeceknya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah semuanya beres, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku.Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya aku tiba di rumah. Mbok Yuli membantuku untuk menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil, kemudian membawanya masuk ke dalam."Mbok, Nia sudah pulang?" tanyaku kepada Mbo
Bagian 6Sudah hampir sepuluh menit aku menunggu di depan pintu kamarnya, berharap Nia keluar dengan membawa serta koper miliknya, dan segera angkat kaki dari rumahku. Namun, yang ditunggu-tunggu belum nongol juga. Nia tidak kunjung keluar dari kamarnya.Menyebalkan sekali. Katanya mau pergi, tapi ternyata masih betah berada di dalam rumahku. Aku tahu, pasti Nia hanya berpura-pura.Tiba-tiba saja, ponsel yang sedang berada di dalam genggamanku bergetar, ternyata Mas Ilyas yang menelpon. Aku pun segera menjawab telepon tersebut sambil menjauh dari kamar Nia, agar ia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mas Ilyas. "Halo, assalamualaikum, Mas," sapaku terlebih dahulu."Sandra, kamu ngusir Nia ya? Kamu kok' jahat sekali? Apa salah Nia sampai kamu tega mengusirnya?"Mas Ilyas bahkan tidak sempat menjawab salamku, ia langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Mengusir Nia? Aku nggak ngusir Nia kok', Mas," jawabku. Tampaknya Nia sudah mengadu kepada Mas Ilyas. "Barusan Nia nelpon Mas
Bagian 7"Sudah, hentikan. Kalian ini seperti anak kecil saja." Mas Ilyas terlihat marah."Nia, aku minta, tinggalkan aku dan suamiku. Kami ingin bersantai sambil bernostalgia," pintaku pada Nia. Nia pun menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkanku dengan Mas Ilyas."Sandra, kamu apa-apaan, sih? Mas perhatikan akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu kenapa?" Pertanyaan Mas Ilyas tersebut semakin membuatku merasa kesal. Seharusnya ia merasa bersalah karena telah bermain api di belakangku."Justru kamu yang berubah, Mas! Sejak kehadiran Nia di rumah ini, Mas seolah tidak peduli lagi padaku. Mas selalu membela Nia.""Mas tidak membelanya. Mas hanya kasihan padanya, itu saja!""Oh, jadi Mas kasihan pada wanita lain, sedangkan istrimu sendiri kamu abaikan, begitu, Mas?""Bukan seperti itu. Mas hanya kasihan padanya. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia sudah diduakan oleh suaminya, dan dia membutuhkan tempat untuk bersandar, Sandra.""Tempat untuk bersandar? Maksudnya apa, Mas? Apa jangan-jangan
Bagian 8"Mas, aku kangen, Mas!" Tangan itu, melingkar di pinggangku.Nia … ternyata Nia yang memelukku. Ia tidak sadar bahwa aku ini bukanlah Mas Ilyas. Suasana di dapur yang gelap, membuat Nia tidak bisa melihat dengan jelas. Mungkin ia mengira bahwa aku adalah Mas Ilyas. Bodoh, ia tidak mengetahui siapa yang sedang dipeluknya.Aku segera melepaskan rangkulannya di pinggangku dan langsung membalikkan badan. Mata Nia langsung terbelalak saat melihatku.Ia menggeleng pelan sambil menutup mulutnya."Kangen? Sama siapa, Nia? Sama suamiku?" tanyaku dengan emosi yang bergejolak. Dadaku naik turun menahan luapan amarah yang siap untuk diledakkan."Sandra, ka-kamu nga-ngapain di sini?" tanyanya terbata. Ia tidak menjawab pertanyaanku, ia justru balik bertanya padaku."Justru kamu yang ngapain di sini? Ini rumahku, jadi wajar jika aku berada di dapurku sendiri. Sedangkan kamu, ngapain meluk aku dari belakang? Kamu mengira bahwa aku ini adalah Mas Ilyas? Iya? Jawab, Nia!" Nada bicaraku semak
Bagian 9Mereka berdua takut ketahuan olehku, mereka tidak tahu kalau aku sudah mengetahui kebusukan mereka.Aku mengembuskan napas kasar, lalu kuscroll lagi pesan tersebut, hingga sampailah pada sebuah foto. Ya, foto Mas Ilyas dan Nia yang sedang berpelukan. Mereka tidur di sebuah kamar yang bernuansa putih, dalam balutan selimut yang sama. Nia bersandar di dada bidang Mas Ilyas yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus tersebut. Hanya tampak bagian atasnya saja karena tubuh mereka berdua ditutupi oleh selimut warna ungu bergambar bunga.Foto itu dikirim oleh Nia dari ponselnya. Dibawah foto tersebut ditulis caption, "Aku bahagia bersamamu, Mas. Aku telah mendapatkan kepuasan yang belum pernah kudapatkan dari suamiku sebelumnya. Tetaplah setia di sisiku, hingga waktunya tiba, kita akan menjadi pasangan suami-istri, Nia love Ilyas."Apa-apaan ini? Kepuasan? Apa maksudnya?Apa-apaan ini? Apa mereka telah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan? Ternyata, bukan hanya sekadar menja