Bagian 2
Tiba-tiba aku melihat Mas Ilyas sedang duduk di atas sofa ruang tamu, bersama Nia. Nia menyandarkan kepalanya di bahu Mas Ilyas. Tangan Mas Ilyas merangkul bahu Nia.
Aku menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang kusaksikan.
Kaca-kaca bening langsung mengalir dari sudut netra. Aku sakit hati, cemburu sekaligus marah, melihat sahabatku berduaan dengan suamiku.
Pelan-pelan, kuturuni anak tangga dan langsung menghampiri mereka dengan air mata yang berderai.
"Apa maksud semua ini, Mas?" tanyaku sambil memandangi wajah suami dan sahabatku itu.
Nia langsung berdiri dari tempat duduknya, begitu juga dengan Mas Ilyas. Keduanya gelagapan melihat kehadiranku.
"Sandra, maafin aku. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tadi hanya curhat kepada Mas Ilyas tentang masalah rumah tanggaku, dan aku terbawa suasana. Maafin aku, San." Nia meraih tanganku, berusaha meyakinkanku, tapi aku menepisnya.
"Apa yang dikatakan Nia itu benar, San. Nia hanya curhat kepada Mas. Dan Mas berusaha mencari solusi yang terbaik buat Nia," ucap Mas Ilyas. Membenarkan ucapan Nia.
"Curhat kok' tengah malam? Berduaan lagi. Gimana aku tidak berpikiran lain-lain, coba!"
Rasanya, aku tidak bisa percaya begitu saja. Entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa mereka berbohong. Seperti ada yang mereka tutupi dariku.
Mas Ilyas mendekat ke arahku. Ia menyeka air mataku, kemudian mendekapku ke dalam pelukannya.
"Kamu cemburu, kan? Nggak baik loh, cemburu pada sahabat sendiri. Percaya deh, Mas sama Nia tidak ada hubungan apa-apa. Mas tadi haus dan ingin mengambil minum, Mas lihat Nia sedang duduk sendirian di ruang tamu. Lagian, Mas sangat mencintaimu dan tidak akan mungkin tega menyakitimu," ucap Mas Ilyas sambil menjawil hidungku.
"Jangan marah lagi, ya! Jelek loh kalau lagi marah." Lagi-lagi, Mas Ilyas berusaha meyakinksnku.
"Kamu beruntung bangat ya, San, punya suami seperti Mas Ilyas yang sangat menyayangimu. Tidak seperti aku yang diduakan oleh suamiku sendiri." Nia terlihat sedih saat mengucapkan kata-kata itu.
"Semoga aku bisa mendapatkan penggantinya Mas Rian. Yang baik, pengertian, romantis dan penyayang, seperti Mas Ilyas." Nia tersenyum manis kepada Mas Ilyas, kemudian berlalu dari hadapan kami.
"Kita kembali ke kamar yuk!" ajak Mas Ilyas.
Mas Ilyas menggandeng tanganku, membawaku ke kamar kami. Setelah kami berbaring di atas ranjang, Mas Ilyas mematikan lampu, "selamat beristirahat, Sayang," ucapnya sambil mengecup keningku.
Mas Ilyas sudah terlelap, sementara aku masih diselimuti oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalaku menjadi pusing.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 03.15, dan aku masih terjaga.
Aku masih kepikiran dengan ucapan Nia tadi. Entah apa maksud perkataannya itu. Nia mendambakan sosok lelaki seperti Mas Ilyas? Apa jangan-jangan, ia menginginkan suamiku?
Ya Allah, kenapa aku jadi curigaan seperti ini? Sejak kehadiran Nia di rumah ini, aku jadi sering berprasangka buruk dan juga menaruh curiga pada suami dan sahabatku itu.
Semoga saja, kecurigaanku tidak benar adanya.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Aku akan menunaikan shalat tahajud. Akan kuadukan semua keluh kesah dan kekhawatiran ku kepada-Nya, Allah sang pencipta.
Setelah selesai melaksanakan sholat tahajud, aku pun berdoa, meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah. Aku memohon kepada-Nya, agar senantiasa melindungi rumah tanggaku. Menjaga mata dan hati suamiku, agar senantiasa mencintai aku dan tidak berniat untuk melirik wanita lain.
Semoga doaku diijabah oleh Allah, dan semoga keluargaku menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Amin ya rabbal alamin.
***
Pagi hari, aku memaksakan diri untuk bangun. Kepalaku masih terasa sakit, mungkin karena efek dari kurang tidur. Semalam, aku tidak bisa tidur sama sekali.
Setelah menunaikan shalat tahajud semalam, aku membaca Alquran hingga subuh. Setelah sholat subuh, aku ketiduran di atas sajadah.
Kulirik ke atas ranjang, ternyata Mas Ilyas sudah tidak ada. Kemana Mas Ilyas? Kenapa ia tidak membangunkanku?
Aku langsung membuka mukena dan menggulung sajadah, kemudian meletakkannya di tempat semula. Aku harus segera menyiapkan sarapan untuk Mas Ilyas.
Aku segera menuruni anak tangga untuk menuju dapur.
Saat melewati ruang makan, ternyata Mas Ilyas sudah berada di sana, ia sedang duduk di atas kursi sambil menikmati secangkir kopi.
"Mas, maaf, aku kesiangan. Mas kenapa tidak membangunkanku, tadi?"
Biasanya Mas Ilyas selalu membangunkanku jika kesiangan, untuk menyiapkan sarapan untuknya. Meskipun sudah ada Art di rumah ini, tapi Mas Ilyas lebih suka jika aku yang melayaninya.
"Mas sengaja, kasihan kamunya!"
"Kok' gitu, sih? Ya sudah, aku siapin sarapan dulu ya, Mas," ucapku. Kemudian berlalu menuju dapur untuk mengambilkan roti tawar dan juga selai, karena pagi ini aku tidak sempat lagi memasak sarapan untuknya, takut Mas Ilyas telat masuk kantor.
Aku terkejut saat melihat Nia sudah berada di dapur bersama Mbok Yuli. Nia sedang memindahkan nasi goreng yang berada di dalam wajan, ke atas piring keramik bergambar bunga mawar. Setelah nasi goreng dipindahkan ke atas piring, Nia kemudian menambahkan telur dadar dan juga irisan mentimun, serta daun selada di atasnya. Setelah itu, ia mengelap keringat di wajahnya menggunakan tissue, lalu merapikan penampilannya.
"Sempurna. Pasti Mas Ilyas suka," ucap Nia yang belum juga menyadari kehadiranku.
"Ehem!" Aku menghampiri Nia, sehingga membuatnya sedikit terkejut.
"Eh, Sandra. Sarapan yuk, aku dan Mbok Yuli sudah masak nasi goreng nih." Nia berjalan melewatiku, tapi aku menahannya.
"Wah, sepertinya masakanmu enak. Sini aku saja yang mengantarnya untuk Mas Ilyas. Makasih ya, udah bantuin aku."
Aku mengambil piring yang berisi nasi goreng tersebut dari tangannya. Nia sempat menolak, tapi aku merebutnya.
"Sandra, kok kamu gitu sih, kan aku yang capek-capek masak. Harusnya aku yang mengantar nasi goreng itu untuk Mas Ilyas," protesnya tidak suka.
"Makasih udah bantuin aku. Tapi, akulah yang berhak melayani Mas Ilyas karena aku istrinya," tegasku agar Nia sadar diri.
Ia memang sahabatku, tapi bukan berarti ia bisa berbuat semaunya di rumahku.
Aku tahu, ia pasti ingin mencari perhatian dari Mas Ilyas. Sampai bela-belain masak sarapan buat Mas Ilyas. Apa coba maksudnya? Mungkin ia pikir aku wanita bodoh, tapi aku tidak seperti itu.
Aku meninggalkan Nia, kemudian menemui Mas Ilyas yang sudah menunggu di ruang makan.
"Ini sarapannya, Mas," ucapku sambil meletakkan sepiring nasi goreng yang masih hangat tersebut di atas meja.
"Cepat bangat! Ini bukan masakan kamu kan?" Mas Ilyas bertanya padaku sambil menatap nasi goreng tersebut.
"Aku yang masak, Mas. Nasi goreng itu spesial untukmu, Mas. Sebagai ucapan terima kasih karena telah mendengarkan curhatan ku semalam," sahut Nia. Kelihatan sekali kalau ia sedang berusaha menarik perhatian Mas Ilyas.
"Oh, gitu. Makasih ya Nia. Kamu memang baik." Mas Ilyas melempar senyum ke arah Nia, membuat dadaku bergejolak menahan amarah.
"Sama-sama, Mas. Itu adalah rutinitas yang Nia lakukan sehari-hari. Jadi, Nia melakukannya dengan senang hati." Nia menarik kursi, kemudian bergabung bersama kami.
Lama-lama, Nia semakin kelewatan. Jika dibiarkan, ia akan semakin ngelunjak. Aku harus mencari cara agar Nia secepatnya pergi dari rumah ini.
"Tunggu, Mas. Sepertinya nasi gorengnya nggak enak, deh. Coba sini aku cicipi dulu." Aku langsung menarik piring tersebut dari hadapan Mas Ilyas, kemudian mulai menyendoknya, memasukkan suapan pertama ke mulutku.
"Tuh kan, Mas. Untung Mas belum mencicipinya. Nasi gorengnya nggak enak, asin lagi. Aku aja nggak mau makan nasi goreng ini. Nanti aku kasih sama ayam saja, Mas. Pagi ini, Mas sarapan roti dan susu saja," ucapku sambil membawa piring yang berisi nasi goreng tersebut, dan meletakkan di atas wastafel.
Aku segera mengambil roti tawar dan juga selai strawberry, tak lupa juga membuatkan susu hangat untuk sarapan Mas Ilyas pagi ini.
"Ini sarapannya, Mas." Aku meletakkan roti tawar serta susu hangat tersebut di atas meja.
Aku melirik Nia sejenak, ia terlihat kesal padaku, terlihat dari sorot matanya yang memandangku dengan tatapan tidak suka. Tapi aku tidak peduli, aku harus melindungi suamiku dari Nia.
Bersambung
Bagian 3"Ini sarapannya, Mas." Aku meletakkan roti tawar dan susu hangat tersebut di atas meja.Aku melirik Nia sejenak, ia terlihat kesal padaku, terlihat dari sorot matanya yang memandangku dengan tatapan tidak suka. Tapi aku tidak peduli, aku harus melindungi suamiku dari Nia. Yang jelas, aku tidak suka dengan sikapnya yang selalu mencari perhatian dari Mas Ilyas."Sandra, kenapa sih nasi gorengnya kamu buang? Tadi sudah kucicipi kok, rasanya enak dan nggak asin." Nia protes karena aku membuang nasi goreng buatannya tersebut."Nasi gorengnya benar-benar asin, Nia. Rasanya juga nggak enak. Masa kamu ingin memberikan nasi goreng seperti itu untuk Mas Ilyas. Aku aja nggak pernah masak makanan seasin itu," ucapku tak mau kalah.Nia memonyongkan bibirnya, kelihatan sekali bahwa ia tidak suka padaku. Dulu, aku memang selalu menuruti apapun yang diinginkan Nia, tapi sekarang tidak lagi. Aku mencium gelagat tidak baik dalam dirinya, sehingga aku harus extra hati-hati padanya.Tiba-tiba, t
Bagian 4Bismillahirrahmanirrahim. Aku segera melangkah dengan yakin. Apapun yang akan terjadi setelah ini, aku tidak peduli."Tunggu!" Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan membawaku menjauh dari tempat itu.Mas Rian, ternyata Mas Rian yang menahanku. Entah apa maksudnya.Mas Rian memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya, tapi aku berontak."Mas, apa-apaan, sih?" "Sandra, maaf! Mas tidak ada maksud apa-apa. Maaf jika Mas terlalu lancang," ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada."Tadi itu aku lihat Mas Ilyas sama Nia. Aku ingin melabrak mereka, tapi gagal karena Mas menghalangiku." Aku memperlihatkan raut wajah kesal padanya. Karena Mas Rian, aku gagal melabrak Mas Ilyas dan Nia."Jangan gegabah, Sandra. Jangan turuti emosimu." Lagi-lagi Mas Rian mencegahku."Bagaimana tidak emosi, aku tidak tahan melihat suamiku bersama dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah sahabatku sendiri, yang tidak lain adalah istrimu sendiri. Aku cemburu, Mas." Tak terasa, bulir benin
Bagian 5Setelah sampai di depan supermarket, aku langsung turun dari mobil Mas Rian, kemudian bergegas masuk ke dalam untuk membeli beberapa kebutuhan pokok.Beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci, odol, shampo dan lain-lain sudah dicatat dalam daftar belanjaanku. Aku segera mengambil keranjang, kemudian mencari barang yang akan aku beli. Setelah semuanya telah lengkap, aku langsung membayarnya ke kasir.Setelah Helper dari supermarket tersebut memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi mobil, aku kembali mengeceknya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah semuanya beres, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku.Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya aku tiba di rumah. Mbok Yuli membantuku untuk menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil, kemudian membawanya masuk ke dalam."Mbok, Nia sudah pulang?" tanyaku kepada Mbo
Bagian 6Sudah hampir sepuluh menit aku menunggu di depan pintu kamarnya, berharap Nia keluar dengan membawa serta koper miliknya, dan segera angkat kaki dari rumahku. Namun, yang ditunggu-tunggu belum nongol juga. Nia tidak kunjung keluar dari kamarnya.Menyebalkan sekali. Katanya mau pergi, tapi ternyata masih betah berada di dalam rumahku. Aku tahu, pasti Nia hanya berpura-pura.Tiba-tiba saja, ponsel yang sedang berada di dalam genggamanku bergetar, ternyata Mas Ilyas yang menelpon. Aku pun segera menjawab telepon tersebut sambil menjauh dari kamar Nia, agar ia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mas Ilyas. "Halo, assalamualaikum, Mas," sapaku terlebih dahulu."Sandra, kamu ngusir Nia ya? Kamu kok' jahat sekali? Apa salah Nia sampai kamu tega mengusirnya?"Mas Ilyas bahkan tidak sempat menjawab salamku, ia langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Mengusir Nia? Aku nggak ngusir Nia kok', Mas," jawabku. Tampaknya Nia sudah mengadu kepada Mas Ilyas. "Barusan Nia nelpon Mas
Bagian 7"Sudah, hentikan. Kalian ini seperti anak kecil saja." Mas Ilyas terlihat marah."Nia, aku minta, tinggalkan aku dan suamiku. Kami ingin bersantai sambil bernostalgia," pintaku pada Nia. Nia pun menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkanku dengan Mas Ilyas."Sandra, kamu apa-apaan, sih? Mas perhatikan akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu kenapa?" Pertanyaan Mas Ilyas tersebut semakin membuatku merasa kesal. Seharusnya ia merasa bersalah karena telah bermain api di belakangku."Justru kamu yang berubah, Mas! Sejak kehadiran Nia di rumah ini, Mas seolah tidak peduli lagi padaku. Mas selalu membela Nia.""Mas tidak membelanya. Mas hanya kasihan padanya, itu saja!""Oh, jadi Mas kasihan pada wanita lain, sedangkan istrimu sendiri kamu abaikan, begitu, Mas?""Bukan seperti itu. Mas hanya kasihan padanya. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia sudah diduakan oleh suaminya, dan dia membutuhkan tempat untuk bersandar, Sandra.""Tempat untuk bersandar? Maksudnya apa, Mas? Apa jangan-jangan
Bagian 8"Mas, aku kangen, Mas!" Tangan itu, melingkar di pinggangku.Nia … ternyata Nia yang memelukku. Ia tidak sadar bahwa aku ini bukanlah Mas Ilyas. Suasana di dapur yang gelap, membuat Nia tidak bisa melihat dengan jelas. Mungkin ia mengira bahwa aku adalah Mas Ilyas. Bodoh, ia tidak mengetahui siapa yang sedang dipeluknya.Aku segera melepaskan rangkulannya di pinggangku dan langsung membalikkan badan. Mata Nia langsung terbelalak saat melihatku.Ia menggeleng pelan sambil menutup mulutnya."Kangen? Sama siapa, Nia? Sama suamiku?" tanyaku dengan emosi yang bergejolak. Dadaku naik turun menahan luapan amarah yang siap untuk diledakkan."Sandra, ka-kamu nga-ngapain di sini?" tanyanya terbata. Ia tidak menjawab pertanyaanku, ia justru balik bertanya padaku."Justru kamu yang ngapain di sini? Ini rumahku, jadi wajar jika aku berada di dapurku sendiri. Sedangkan kamu, ngapain meluk aku dari belakang? Kamu mengira bahwa aku ini adalah Mas Ilyas? Iya? Jawab, Nia!" Nada bicaraku semak
Bagian 9Mereka berdua takut ketahuan olehku, mereka tidak tahu kalau aku sudah mengetahui kebusukan mereka.Aku mengembuskan napas kasar, lalu kuscroll lagi pesan tersebut, hingga sampailah pada sebuah foto. Ya, foto Mas Ilyas dan Nia yang sedang berpelukan. Mereka tidur di sebuah kamar yang bernuansa putih, dalam balutan selimut yang sama. Nia bersandar di dada bidang Mas Ilyas yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus tersebut. Hanya tampak bagian atasnya saja karena tubuh mereka berdua ditutupi oleh selimut warna ungu bergambar bunga.Foto itu dikirim oleh Nia dari ponselnya. Dibawah foto tersebut ditulis caption, "Aku bahagia bersamamu, Mas. Aku telah mendapatkan kepuasan yang belum pernah kudapatkan dari suamiku sebelumnya. Tetaplah setia di sisiku, hingga waktunya tiba, kita akan menjadi pasangan suami-istri, Nia love Ilyas."Apa-apaan ini? Kepuasan? Apa maksudnya?Apa-apaan ini? Apa mereka telah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan? Ternyata, bukan hanya sekadar menja
Bagian 10"Kok kamu lihatin aku seperti itu sih, Sandra? Apa jangan-jangan kamu mengira aku ini pelakor?" tanya Nia, balas menatapku dengan tatapan tajam juga.Tuh kan, aku hanya menyindirnya saja, Nia sudah merasa. Ternyata ia sadar bahwa dirinya adalah pelakor yang menginginkan suami dari sahabatnya sendiri."Aku 'kan tidak menyebut namamu, Nia! Kok' kamu jadi nyolot gitu! Apa jangan-jangan memang benar bahwa kamu itu seorang pelakor?" balasku tak mau kalah."Aku bukan pelakor ya," sangkalnya."Sudah-sudah, kalian ini seperti anak kecil saja. Kita lagi sarapan, loh," sahut Mas Ilyas. Ia terlihat kesal mendengar perdebatanku dengan Nia. Nia langsung menyudahi sarapannya. Ia langsung berlari ke kamarnya. Seperti biasa, saat aku adu mulut dengannya, ia pasti akan menghindar. Ia akan berpura-pura sedih dan menangis agar Mas Ilyas membelanya dan menyalahkanku. Aku sudah tidak peduli, yang jelas, aku tidak bisa berpura-pura baik di hadapan orang yang telah menusukku dari belakang."Sandr