Bagian 5
Setelah sampai di depan supermarket, aku langsung turun dari mobil Mas Rian, kemudian bergegas masuk ke dalam untuk membeli beberapa kebutuhan pokok.
Beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci, odol, shampo dan lain-lain sudah dicatat dalam daftar belanjaanku.
Aku segera mengambil keranjang, kemudian mencari barang yang akan aku beli. Setelah semuanya telah lengkap, aku langsung membayarnya ke kasir.
Setelah Helper dari supermarket tersebut memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi mobil, aku kembali mengeceknya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah semuanya beres, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku.
Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya aku tiba di rumah. Mbok Yuli membantuku untuk menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil, kemudian membawanya masuk ke dalam.
"Mbok, Nia sudah pulang?" tanyaku kepada Mbok Yuli saat kami tiba di dapur. Mbok Yuli langsung membereskan barang belanjaanku tadi.
"Belum pulang, Bu! Tapi tadi Bu Nia nelpon, nyuruh Bibi untuk mencuci baju kotornya yang ada di keranjang, di dalam kamar," jawab Mbok Yuli sambil membuka karung beras, lalu memindahkannya ke dalam rice box.
Ternyata, Nia sudah mulai berani. Bahkan sudah berani memerintah Mbok Yuli.
"Terus, Mbok sudah mencuci baju kotornya Nia?"
"Belum, Bu. Mbok baru saja mau mencucinya, tapi keburu Bu Sandra datang."
"Ya sudah, nggak usah dicuci. Biarkan saja. Jika nanti Nia protes, bilang saja aku yang nyuruh. Kalau Nia sampai marah, suruh berhadapan langsung denganku," perintahku pada Mbok Yuli. Ini adalah salah satu cara agar Nia merasa tidak betah tinggal di rumah ini.
"Baik, Bu. Kalau begitu, Mbok mau lanjut ngerjain yang lain ya, Bu."
"Baiklah, Mbok."
***
"Mbok … Mbok!" Terdengar suara Nia berteriak-teriak memanggil Mbok Yuli.
Aku sudah menduga, pasti ia akan memarahi si Mbok karena tidak mau mencuci baju kotornya.
Aku berdiri di dekat tangga, aku ingin melihat bagaimana reaksi Nia saat Mbok Yuli mengatakan bahwa akulah yang melarangnya.
Dari atas sini, kulihat Mbok Yuli menghampiri Nia yang sedang berdiri di ruang tamu.
"Ada apa, Bu Nia?"
"Ada apa? Kamu masih bertanya ada apa? Kamu lupa? Aku menyuruhmu untuk mencuci baju kotorku yang ada di kamar, kenapa kamu tidak melaksanakan perintahku?" Nia meninggikan nada bicaranya, bahkan ia tidak sabar sedang berbicara dengan siapa. Mbok Yuli lebih tua dari dirinya, tapi Nia memanggilnya dengan sebutan 'kamu', benar-benar tidak punya sopan santun.
"Anu, Bu, i-itu–" Mbok Yuli terlihat gugup, sepertinya ia takut untuk memberitahu yang sesungguhnya kalau akulah yang menyuruhnya.
"Oke, karena aku masih berbaik hati, maka aku tidak akan mengadukan hal ini pada Mas Ilyas. Sekarang, cepat laksanakan perintahku," bentaknya. Mbok Yuli terlihat ketakutan, tapi belum berani beranjak dari tempatnya.
"Oh … ternyata kamu ingin dipecat ya, Mbok! Baiklah, aku akan menelpon Mas Ilyas sekarang juga, akan kuadukan padanya." Nia kembali ke kamarnya, beberapa detik kemudian, ia kembali dengan membawa ponsel di tangannya.
Aku yang sudah tidak tahan melihat tingkahnya yang sudah kelewat batas, memilih untuk turun ke lantai bawah. Jika aku tidak segera menghentikannya, ia pasti akan semakin ngelunjak.
"Ada apa ini ribut-ribut?" tanyaku pura-pura tidak tahu sambil memandangi wajah Nia dan Mbok Yuli secara bergantian.
"Ini loh, Sandra. Mbok Yuli tidak mau menjalankan perintahku. Aku hanya menyuruhnya untuk mencuci pakaian kotorku, tapi Mbok Yuli tidak juga melaksanakannya. Gimana aku nggak kesal coba?" Nia protes, ia tidak tahu kalau aku lah yang menyuruh Bi Yuli.
"Oh, itu. Kirain apaan!"
"Kok masalah seperti ini dianggap sepele sih, San? Bisa-bisa, pembantu kamu ini bakal ngelunjak nantinya jika kamu tidak menegurnya." Nia tidak terima dengan sikapku yang seolah tidak begitu peduli pada pengaduannya.
"Mbok, Mbok boleh ke belakang. Silahkan lanjutkan pekerjaannya." Aku sengaja menyuruhnya untuk meninggalkan kami berdua, karena Mbok Yuli tidak terlibat dalam rencanaku.
"Sandra, kok' malah disuruh pergi sih? Dia kan belum mencuci pakaianku! Kamu gimana sih?"
"Apa susahnya sih, Nia. Kamu aja yang nyuci pakaianmu sendiri. Mbok Yuli tuh banyak kerjaan. Lagian, kamu harus banyak beraktivitas. Buat apa, coba? Buat bisa ngelupain masalah rumah tanggamu dengan suamimu. Ayolah, nyuci baju kan gampang. Dulu sebelum menikah, kamu juga sering melakukan pekerjaan itu."
Nia sepertinya tidak suka jika aku mengungkit masa lalunya. Raut wajahnya seketika mendadak berubah.
"Itu kan dulu, Sandra. Kamu kan tahu sendiri, kalau selama ini aku hidup enak dan dimanja sama Mas Rian. Semua kebutuhanku sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga. Aku tidak pernah lagi mengerjakan pekerjaan seperti itu!"
Ketahuan sekarang, Nia tidak pernah mengerjakan tugas seorang ibu rumah tangga. Di depan Mas Ilyas, ia selalu mengatakan bahwa ia selalu melayani suaminya dan menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Padahal semua itu bohong.
"Loh, bukannya kamu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga di rumahmu? Kamu kan bilang sendiri padaku dan Mas Ilyas jika kamu selalu melayani dan menyiapkan semua keperluan suamimu. Bahkan, kamu juga memasak setiap pagi untuk menyiapkan sarapan buat suamimu, seperti yang aku lakukan."
"Aku hanya menyiapkan makanan untuknya, Sandra. Bukan aku yang memasaknya. Asisten rumah tanggaku lah yang menyiapkan semuanya. Aku nggak level tau, ngerjain yang begituan."
"Berarti kamu bohong, Nia. Di depanku dan Mas Ilyas, kamu bersikap seperti seorang istri yang sangat memuliakan suaminya. Tapi ternyata di belakangku, kamu berbohong. Sepertinya, kamu hanya ingin menarik perhatian Mas Ilyas. Seperti yang kamu lakukan tadi pagi. Bela-belain masak nasi goreng buat sarapan Mas Ilyas. Padahal, kamu sendiri tidak pernah memasak untuk suamimu." Aku menatapnya dengan tatapan tajam, aku sudah benar-benar muak padanya.
"Sandra, apa-apaan sih? Aku ini sahabatmu loh. Mana mungkin aku ingin menarik perhatiannya Mas Ilyas, yang jelas-jelas adalah suami dari sahabatku sendiri." Nia berkilah untuk menutupi kebohongannya. Padahal, aku sudah mengetahui semuanya.
"Jika aku ingin mencari lelaki lain, maka aku akan mencari yang lebih tampan dan tajir tentunya. Yang pasti, bukan lelaki yang sudah memiliki istri. Kamu sudah benar-benar kelewatan, Sandra. Aku tidak suka dengan tuduhannya itu. Jika kamu tidak suka aku tinggal di rumahmu ini, bilang saja terus terang. Dengan senang hati, aku akan pergi dari sini." Nia kemudian berlari dan masuk ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga.
Tak lama kemudian, ia keluar lagi dari kamarnya sambil berlinang air mata.
"Sandra, kamu sudah sembarangan menuduhku. Aku akan keluar dari rumah ini, dan mulai sekarang, kita bukan lagi sahabat. Camkan itu!"
Aku hanya diam sambil tersenyum sinis padanya. Semoga apa yang ia katakan benar adanya. Semoga ia secepatnya meninggalkan rumahku. Aku juga tidak butuh sahabat yang ternyata menginginkan suamiku. Lebih baik nggak usah punya sahabat, dari pada harus bersahabat dengan orang munafik yang ternyata ingin menusuk dari belakang.
Bersambung
Bagian 6Sudah hampir sepuluh menit aku menunggu di depan pintu kamarnya, berharap Nia keluar dengan membawa serta koper miliknya, dan segera angkat kaki dari rumahku. Namun, yang ditunggu-tunggu belum nongol juga. Nia tidak kunjung keluar dari kamarnya.Menyebalkan sekali. Katanya mau pergi, tapi ternyata masih betah berada di dalam rumahku. Aku tahu, pasti Nia hanya berpura-pura.Tiba-tiba saja, ponsel yang sedang berada di dalam genggamanku bergetar, ternyata Mas Ilyas yang menelpon. Aku pun segera menjawab telepon tersebut sambil menjauh dari kamar Nia, agar ia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mas Ilyas. "Halo, assalamualaikum, Mas," sapaku terlebih dahulu."Sandra, kamu ngusir Nia ya? Kamu kok' jahat sekali? Apa salah Nia sampai kamu tega mengusirnya?"Mas Ilyas bahkan tidak sempat menjawab salamku, ia langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan."Mengusir Nia? Aku nggak ngusir Nia kok', Mas," jawabku. Tampaknya Nia sudah mengadu kepada Mas Ilyas. "Barusan Nia nelpon Mas
Bagian 7"Sudah, hentikan. Kalian ini seperti anak kecil saja." Mas Ilyas terlihat marah."Nia, aku minta, tinggalkan aku dan suamiku. Kami ingin bersantai sambil bernostalgia," pintaku pada Nia. Nia pun menghentakkan kakinya lalu pergi meninggalkanku dengan Mas Ilyas."Sandra, kamu apa-apaan, sih? Mas perhatikan akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu kenapa?" Pertanyaan Mas Ilyas tersebut semakin membuatku merasa kesal. Seharusnya ia merasa bersalah karena telah bermain api di belakangku."Justru kamu yang berubah, Mas! Sejak kehadiran Nia di rumah ini, Mas seolah tidak peduli lagi padaku. Mas selalu membela Nia.""Mas tidak membelanya. Mas hanya kasihan padanya, itu saja!""Oh, jadi Mas kasihan pada wanita lain, sedangkan istrimu sendiri kamu abaikan, begitu, Mas?""Bukan seperti itu. Mas hanya kasihan padanya. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia sudah diduakan oleh suaminya, dan dia membutuhkan tempat untuk bersandar, Sandra.""Tempat untuk bersandar? Maksudnya apa, Mas? Apa jangan-jangan
Bagian 8"Mas, aku kangen, Mas!" Tangan itu, melingkar di pinggangku.Nia … ternyata Nia yang memelukku. Ia tidak sadar bahwa aku ini bukanlah Mas Ilyas. Suasana di dapur yang gelap, membuat Nia tidak bisa melihat dengan jelas. Mungkin ia mengira bahwa aku adalah Mas Ilyas. Bodoh, ia tidak mengetahui siapa yang sedang dipeluknya.Aku segera melepaskan rangkulannya di pinggangku dan langsung membalikkan badan. Mata Nia langsung terbelalak saat melihatku.Ia menggeleng pelan sambil menutup mulutnya."Kangen? Sama siapa, Nia? Sama suamiku?" tanyaku dengan emosi yang bergejolak. Dadaku naik turun menahan luapan amarah yang siap untuk diledakkan."Sandra, ka-kamu nga-ngapain di sini?" tanyanya terbata. Ia tidak menjawab pertanyaanku, ia justru balik bertanya padaku."Justru kamu yang ngapain di sini? Ini rumahku, jadi wajar jika aku berada di dapurku sendiri. Sedangkan kamu, ngapain meluk aku dari belakang? Kamu mengira bahwa aku ini adalah Mas Ilyas? Iya? Jawab, Nia!" Nada bicaraku semak
Bagian 9Mereka berdua takut ketahuan olehku, mereka tidak tahu kalau aku sudah mengetahui kebusukan mereka.Aku mengembuskan napas kasar, lalu kuscroll lagi pesan tersebut, hingga sampailah pada sebuah foto. Ya, foto Mas Ilyas dan Nia yang sedang berpelukan. Mereka tidur di sebuah kamar yang bernuansa putih, dalam balutan selimut yang sama. Nia bersandar di dada bidang Mas Ilyas yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus tersebut. Hanya tampak bagian atasnya saja karena tubuh mereka berdua ditutupi oleh selimut warna ungu bergambar bunga.Foto itu dikirim oleh Nia dari ponselnya. Dibawah foto tersebut ditulis caption, "Aku bahagia bersamamu, Mas. Aku telah mendapatkan kepuasan yang belum pernah kudapatkan dari suamiku sebelumnya. Tetaplah setia di sisiku, hingga waktunya tiba, kita akan menjadi pasangan suami-istri, Nia love Ilyas."Apa-apaan ini? Kepuasan? Apa maksudnya?Apa-apaan ini? Apa mereka telah melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan? Ternyata, bukan hanya sekadar menja
Bagian 10"Kok kamu lihatin aku seperti itu sih, Sandra? Apa jangan-jangan kamu mengira aku ini pelakor?" tanya Nia, balas menatapku dengan tatapan tajam juga.Tuh kan, aku hanya menyindirnya saja, Nia sudah merasa. Ternyata ia sadar bahwa dirinya adalah pelakor yang menginginkan suami dari sahabatnya sendiri."Aku 'kan tidak menyebut namamu, Nia! Kok' kamu jadi nyolot gitu! Apa jangan-jangan memang benar bahwa kamu itu seorang pelakor?" balasku tak mau kalah."Aku bukan pelakor ya," sangkalnya."Sudah-sudah, kalian ini seperti anak kecil saja. Kita lagi sarapan, loh," sahut Mas Ilyas. Ia terlihat kesal mendengar perdebatanku dengan Nia. Nia langsung menyudahi sarapannya. Ia langsung berlari ke kamarnya. Seperti biasa, saat aku adu mulut dengannya, ia pasti akan menghindar. Ia akan berpura-pura sedih dan menangis agar Mas Ilyas membelanya dan menyalahkanku. Aku sudah tidak peduli, yang jelas, aku tidak bisa berpura-pura baik di hadapan orang yang telah menusukku dari belakang."Sandr
Bagian 11Akumenyingkap tirai kamar, tanpa sengaja, aku melihat Nia menuju garasi, kemudian mengendarai mobil sportnya.Tanpa membuang waktu, aku segera mengambil kunci mobil yang terletak di salah satu paku dinding kamar, mengambil tas selempang, kemudian menuruni anak tangga. Untung saja mobil Nia belum jalan, jadi aku masih punya kesempatan untuk mengikutinya. Aku curiga kalau ia akan ketemuan dengan Mas Ilyas, karena ini sudah mendekati jam makan siang."Nia, kamu mau ke mana?" tanyaku berbasa-basi."Ada janji sama teman," jawabnya sekenanya. "Aku jalan duluan, ya, San. Nggak enak soalnya temen aku udah nunggu dari tadi.""Aku boleh nebeng mobil kamu, nggak? Soalnya aku juga mau ketemu teman. Oh ya, kamu sama teman kamu janjian di mana? Biar aku suruh temenku ke sana juga."Nia terdiam, sepertinya ia sedang mencari-cari alasan yang tepat, terlihat dari gerak-geriknya yang mulai gelisah. "Maaf, Sandra. Temanku nggak biasa gabung dengan orang lain, jadi aku nggak enak sama dia. Uda
Bagian 12Mas Rian tiba-tiba mengepalkan tangannya setelah membaca semua chat dan melihat foto tersebut. Wajahnya merah padam, terlihat sekali kalau ia sedang menahan amarah."Maaf, Mas. Aku tidak bisa lagi menuruti keinginanmu untuk tetap mempertahankan Mas Ilyas. Aku tidak mau bersama dengan seorang lelaki yang telah berzina dengan wanita lain," ucapku dengan tegas. Mas Rian masih terdiam, mungkin ia masih shock. Aku mengerti apa yang ia rasakan, itulah yang sedang aku rasakan saat ini.Aku tahu, Mas Rian sangat mencintai Nia. Mungkinkah perasaan Mas Rian akan tetap sama setelah mengetahui ini semua?"Oke, Mas akan mengabulkan permintaan Nia. Mas juga tidak sudi mempertahankan Nia, seorang wanita murahan yang memberikan tubuhnya disentuh oleh lelaki lain."Kukira Mas Rian akan tetap mempertahankan Nia, ternyata tidak! Mana ada lelaki yang mau menerima wanita seperti itu yang jelas-jelas sudah tidur dengan lelaki lain?Sebejat-bejatnya seorang lelaki, pasti menginginkan wanita baik
Bagian 13Saat hendak memasuki kamar tersebut, Mbok Siti mencegahku. "Sebaiknya Bu Sandra jangan masuk dulu, soalnya di dalam berantakan. Mbok baru ingat, ternyata Mbok lupa membersihkannya." Apa yang sedang disembunyikan Mbok Siti dariku? Dengan bertingkah seperti itu, aku semakin yakin kalau Mbok Siti menyembunyikan sesuatu dariku."Nggak apa-apa, Mbok. Minggir lah, aku pingin masuk!"Mbok Siti pun menyingkir, dengan terpaksa membiarkanku masuk ke dalam kamar utama yang selama ini aku tempati bersama Mas Ilyas jika kami menginap di rumah ini.Perlahan, kulangkahkan kaki melewati Mbok Siti yang masih berdiri di samping pintu.Ternyata benar, kamar ini berantakan sekali. Bantal dan guling sudah berpindah ke lantai. Sprei yang tadinya terpasang rapi, kini sudah terlepas dari kasur dan teronggok begitu saja di atas lantai.Tampaknya sudah terjadi pertempuran hebat di atas ranjang ini.Aku baru ingat sekarang. Selimut yang kulihat di foto itu sama persis dengan selimut yang ada di kamar