Share

5. Mulai Beraksi

Penulis: Ade Esriani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-23 19:44:01

Bagian 5

Setelah sampai di depan supermarket, aku langsung turun dari mobil Mas Rian, kemudian bergegas masuk ke dalam untuk membeli beberapa kebutuhan pokok.

Beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci, odol, shampo dan lain-lain sudah dicatat dalam daftar belanjaanku. 

Aku segera mengambil keranjang, kemudian mencari barang yang akan aku beli. Setelah semuanya telah lengkap, aku langsung membayarnya ke kasir.

Setelah Helper dari supermarket tersebut memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi mobil, aku kembali mengeceknya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah semuanya beres, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku.

Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya aku tiba di rumah. Mbok Yuli membantuku untuk menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil, kemudian membawanya masuk ke dalam.

"Mbok, Nia sudah pulang?" tanyaku kepada Mbok Yuli saat kami tiba di dapur. Mbok Yuli langsung membereskan barang belanjaanku tadi.

"Belum pulang, Bu! Tapi tadi Bu Nia nelpon, nyuruh Bibi untuk mencuci baju kotornya yang ada di keranjang, di dalam kamar," jawab Mbok Yuli sambil membuka karung beras, lalu memindahkannya ke dalam rice box.

Ternyata, Nia sudah mulai berani. Bahkan sudah berani memerintah Mbok Yuli. 

"Terus, Mbok sudah mencuci baju kotornya Nia?" 

"Belum, Bu. Mbok baru saja mau mencucinya, tapi keburu Bu Sandra datang."

"Ya sudah, nggak usah dicuci. Biarkan saja. Jika nanti Nia protes, bilang saja aku yang nyuruh. Kalau Nia sampai marah, suruh berhadapan langsung denganku," perintahku pada Mbok Yuli. Ini adalah salah satu cara agar Nia merasa tidak betah tinggal di rumah ini.

"Baik, Bu. Kalau begitu, Mbok mau lanjut ngerjain yang lain ya, Bu."

"Baiklah, Mbok."

***

"Mbok … Mbok!" Terdengar suara Nia berteriak-teriak memanggil Mbok Yuli.

Aku sudah menduga, pasti ia akan memarahi si Mbok karena tidak mau mencuci baju kotornya.

Aku berdiri di dekat tangga, aku ingin melihat bagaimana reaksi Nia saat Mbok Yuli mengatakan bahwa akulah yang melarangnya.

Dari atas sini, kulihat Mbok Yuli menghampiri Nia yang sedang berdiri di ruang tamu.

"Ada apa, Bu Nia?"

"Ada apa? Kamu masih bertanya ada apa? Kamu lupa? Aku menyuruhmu untuk mencuci baju kotorku yang ada di kamar, kenapa kamu tidak melaksanakan perintahku?" Nia meninggikan nada bicaranya, bahkan ia tidak sabar sedang berbicara dengan siapa. Mbok Yuli lebih tua dari dirinya, tapi Nia memanggilnya dengan sebutan 'kamu', benar-benar tidak punya sopan santun.

"Anu, Bu, i-itu–" Mbok Yuli terlihat gugup, sepertinya ia takut untuk memberitahu yang sesungguhnya kalau akulah yang menyuruhnya.

"Oke, karena aku masih berbaik hati, maka aku tidak akan mengadukan hal ini pada Mas Ilyas. Sekarang, cepat laksanakan perintahku," bentaknya. Mbok Yuli terlihat ketakutan, tapi belum berani beranjak dari tempatnya.

"Oh … ternyata kamu ingin dipecat ya, Mbok! Baiklah, aku akan menelpon Mas Ilyas sekarang juga, akan kuadukan padanya." Nia kembali ke kamarnya, beberapa detik kemudian, ia kembali dengan membawa ponsel di tangannya.

Aku yang sudah tidak tahan melihat tingkahnya yang sudah kelewat batas, memilih untuk turun ke lantai bawah. Jika aku tidak segera menghentikannya, ia pasti akan semakin ngelunjak.

"Ada apa ini ribut-ribut?" tanyaku pura-pura tidak tahu sambil memandangi wajah Nia dan Mbok Yuli secara bergantian.

"Ini loh, Sandra. Mbok Yuli tidak mau menjalankan perintahku. Aku hanya menyuruhnya untuk mencuci pakaian kotorku, tapi Mbok Yuli tidak juga melaksanakannya. Gimana aku nggak kesal coba?" Nia protes, ia tidak tahu kalau aku lah yang menyuruh Bi Yuli.

"Oh, itu. Kirain apaan!" 

"Kok masalah seperti ini dianggap sepele sih, San? Bisa-bisa, pembantu kamu ini bakal ngelunjak nantinya jika kamu tidak menegurnya." Nia tidak terima dengan sikapku yang seolah tidak begitu peduli pada pengaduannya.

"Mbok, Mbok boleh ke belakang. Silahkan lanjutkan pekerjaannya." Aku sengaja menyuruhnya untuk meninggalkan kami berdua, karena Mbok Yuli tidak terlibat dalam rencanaku.

"Sandra, kok' malah disuruh pergi sih? Dia kan belum mencuci pakaianku! Kamu gimana sih?" 

"Apa susahnya sih, Nia. Kamu aja yang nyuci pakaianmu sendiri. Mbok Yuli tuh banyak kerjaan. Lagian, kamu harus banyak beraktivitas. Buat apa, coba? Buat bisa ngelupain masalah rumah tanggamu dengan suamimu. Ayolah, nyuci baju kan gampang. Dulu sebelum menikah, kamu juga sering melakukan pekerjaan itu."

Nia sepertinya tidak suka jika aku mengungkit masa lalunya. Raut wajahnya seketika mendadak berubah.

"Itu kan dulu, Sandra. Kamu kan tahu sendiri, kalau selama ini aku hidup enak dan dimanja sama Mas Rian. Semua kebutuhanku sudah disiapkan oleh asisten rumah tangga. Aku tidak pernah lagi mengerjakan pekerjaan seperti itu!"

Ketahuan sekarang, Nia tidak pernah mengerjakan tugas seorang ibu rumah tangga. Di depan Mas Ilyas, ia selalu mengatakan bahwa ia selalu melayani suaminya dan menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Padahal semua itu bohong.

"Loh, bukannya kamu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga di rumahmu? Kamu kan bilang sendiri padaku dan Mas Ilyas jika kamu selalu melayani dan menyiapkan semua keperluan suamimu. Bahkan, kamu juga memasak setiap pagi untuk menyiapkan sarapan buat suamimu, seperti yang aku lakukan."

"Aku hanya menyiapkan makanan untuknya, Sandra. Bukan aku yang memasaknya. Asisten rumah tanggaku lah yang menyiapkan semuanya. Aku nggak level tau, ngerjain yang begituan."

"Berarti kamu bohong, Nia. Di depanku dan Mas Ilyas, kamu bersikap seperti seorang istri yang sangat memuliakan suaminya. Tapi ternyata di belakangku, kamu berbohong. Sepertinya, kamu hanya ingin menarik perhatian Mas Ilyas. Seperti yang kamu lakukan tadi pagi. Bela-belain masak nasi goreng buat sarapan Mas Ilyas. Padahal, kamu sendiri tidak pernah memasak untuk suamimu." Aku menatapnya dengan tatapan tajam, aku sudah benar-benar muak padanya. 

"Sandra, apa-apaan sih? Aku ini sahabatmu loh. Mana mungkin aku ingin menarik perhatiannya Mas Ilyas, yang jelas-jelas adalah suami dari sahabatku sendiri." Nia berkilah untuk menutupi kebohongannya. Padahal, aku sudah mengetahui semuanya.

"Jika aku ingin mencari lelaki lain, maka aku akan mencari yang lebih tampan dan tajir tentunya. Yang pasti, bukan lelaki yang sudah memiliki istri. Kamu sudah benar-benar kelewatan, Sandra. Aku tidak suka dengan tuduhannya itu. Jika kamu tidak suka aku tinggal di rumahmu ini, bilang saja terus terang. Dengan senang hati, aku akan pergi dari sini." Nia kemudian berlari dan masuk ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang memekikkan telinga.

Tak lama kemudian, ia keluar lagi dari kamarnya sambil berlinang air mata.

"Sandra, kamu sudah sembarangan menuduhku. Aku akan keluar dari rumah ini, dan mulai sekarang, kita bukan lagi sahabat. Camkan itu!" 

Aku hanya diam sambil tersenyum sinis padanya. Semoga apa yang ia katakan benar adanya. Semoga ia secepatnya meninggalkan rumahku. Aku juga tidak butuh sahabat yang ternyata menginginkan suamiku. Lebih baik nggak usah punya sahabat, dari pada harus bersahabat dengan orang munafik yang ternyata ingin menusuk dari belakang.

Bersambung 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
alah nanti juga Nia nlpn Ilyas tuh bilang klu Sandra ngusir dia lht aj lah nnti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Membalas Suami dan Sahabatku   63. Ending

    Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb

  • Membalas Suami dan Sahabatku   62. Dilamar

    Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar

  • Membalas Suami dan Sahabatku   61. Tamu Di Pagi Hari

    Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri

  • Membalas Suami dan Sahabatku   60. Di Antara Dua Pilihan

    Bagian 60"Hentikan, Mas. Tolong jangan membuat keributan di sini. Jika pelanggan butik ini melihat ada keributan di sini, pasti mereka enggak akan mau berbelanja di butik ini. Aku mohon, Mas!" Aku menangkupkan kedua tangan, berharap Mas Rian mendengar permintaanku."Maafin Mas, Sandra. Mas hanya terbawa emosi. Mas sudah mencarimu ke mana-mana. Tiap hari tiada lelah untuk mencari keberadaanmu. Mas juga sudah bertanya pada Romi, dia bilang tidak mengetahui keberadaanmu. Tapi nyatanya dia bohong, bahkan dia sedang menemuimu sekarang. Benar-benar licik!" Mas Rian terlihat kecewa pada Mas Romi. Padahal ini bukanlah salah Mas Romi. Ia melakukan itu atas permintaanku."Aku memang sengaja meminta Mas Romi agar tidak memberitahu siapapun tentang keberadaanku. Aku ingin hidup tenang, Mas. Sudah terlalu banyak masalah dan ujian hidup yang harus kuhadapi. Itu sebabnya aku memilih untuk pergi jauh, aku tidak ingin diganggu oleh siapapun. Jadi tolong mengertilah!"Aku sengaja menjauh dari Mas Rian

  • Membalas Suami dan Sahabatku   59. Gagal Mengatakan Cinta

    Bagian 59Enam bulan sudah aku menetap di tempat kediamanku yang sekarang. Sekarang, hari-hariku disibukkan dengan urusan butik. Seminggu sekali aku juga menyempatkan diri mengikuti pengajian untuk memperdalam ilmu agama. Kuakui ilmu agama yang kumiliki masih sangat dangkal. Aku harus sering-sering mengikuti pengajian untuk menambah kecintaanku kepada Allah SWT, sang pemilik kehidupan.Aku tahu, di balik ujian dan cobaan hidup yang diberikan oleh Allah padaku, pasti ada hikmah di balik semua itu."Sarapan yuk, Non. Nasi gorengnya sudah Mbok hidangkan di atas meja!" Ucapan Mbok Yuli tersebut seketika membuyarkan lamunanku."Iya, Mbok. Kita sarapan sama-sama ya," ajakku sambil menyunggingkan senyum manis kepada wanita yang sudah kuanggap seperti orang tuaku tersebut. "Baik, Non, mari!" Mbok Yuli tidak lagi memanggilkan dengan sebutan Bu Sandra, kini beliau memanggilku dengan sebutan Non. Padahal aku sudah memintanya untuk memanggilku dengan menyebut namaku saja, tapi beliau tidak mau

  • Membalas Suami dan Sahabatku   58. Move On

    Bagian 58Akhirnya rumah ini pun terjual. Rumah yang sudah dihuni selama empat tahun lebih. Rumah yang dulu di dalamnya terdapat kehangatan dan kasih sayang. Tapi itu dulu, sekarang semuanya telah sirna. Saatnya membuka lembaran baru dan mengubur semua kenangan pahit. "Mbok, mohon maaf ya. Sandra tidak bisa lagi mempekerjakan Mbok. Rumah ini sudah dijual dan sebentar lagi akan ditempati oleh pemilik yang baru. Maaf jika Sandra ada salah selama Mbok tunggal di sini," ucapku saat memberikan gaji terakhir kepada Mbok Yuli beserta pesangonnya. Mata si Mbok terlihat berembun, mungkin ia sedih karena tidak bisa tinggal di rumah ini lagi. Sebenarnya aku jauh lebih sedih dibanding Mbok Yuli. Telah kehilangan suami, sekarang bahkan rumah ini juga terpaksa kujual.Jujur saja, aku tidak menginginkan harta yang berlimpah. Keinginanku cukup sederhana. Hanya ingin hidup bahagia bersama suami. Tapi ya sudahlah! Hati akan semakin sakit jika mengingatnya terus-menerus."Mbok nggak tahu harus tingg

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status