Beranda / Romansa / Membawa Kabur Benih Sang Paman / Lebih Baik Merahasiakannya

Share

Lebih Baik Merahasiakannya

Penulis: Suhadii90
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-08 23:55:22

Satu bulan kemudian…

Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.

Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.

Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.

Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.

Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.

Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.

“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.

“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.

Pikirannya kacau. Ia memeluk tubuhnya sendiri, duduk bersandar pada dinding kamar mandi yang dingin. Jantungnya berdegup cepat, keringat dingin membasahi pelipisnya.

Beberapa menit kemudian, Yara akhirnya keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Di tangannya, ia masih menggenggam erat tespack tersebut, seolah berharap benda itu hanyalah mimpi buruk yang akan lenyap jika ia membuka mata lagi.

Langkahnya langsung terhenti di ambang pintu kamar saat melihat sosok sang mama, Lyra, berdiri kaku di depan tempat tidurnya. Wajah wanita paruh baya itu tegang, kedua tangannya terlipat di dada, matanya tajam menatap putrinya.

“Apa itu, Yara?” tanya Lyra dengan nada curiga, pandangannya langsung tertuju pada benda kecil di tangan Yara.

Tertegun, Yara secara refleks menyembunyikan tespack itu di belakang tubuhnya. “Bu-bukan apa-apa, Ma,” jawabnya dengan suara gemetar, jelas sekali ia sedang menyembunyikan sesuatu.

Lyra menghela napas berat, lalu berjalan menghampiri Yara. “Jangan bohong, Yara. Aku bahkan mendengar kau muntah-muntah di kamar mandi sejak pagi.” Dalam satu gerakan cepat, ia merebut benda itu dari tangan anaknya dan menatap hasilnya.

Dua garis biru. Jelas. Tak terbantahkan.

Matanya membelalak, dadanya bergemuruh. “Siapa dia, Yara? Siapa ayah dari anak yang sedang kau kandung?”

Yara menelan ludahnya dengan susah payah. Tubuhnya melemas seketika, dan hatinya tercekat.

Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya—bahwa anak yang dikandungnya adalah hasil dari satu malam bersama Steven, adik angkat ibunya sendiri.

“Cepat katakan, Yara. Anak siapa yang kau kandung itu?!” bentak Lyra, emosinya meledak karena keheningan Yara terasa seperti pengkhianatan yang tak bisa dimaafkan.

“Aku… aku tidak ingat, Ma. Maafkan aku. Saat itu aku sedang mabuk,” ucapnya, berbohong demi melindungi rahasia besar itu.

“Apa?! Tidak ingat?” suara Lyra naik satu oktaf. Ia mengerutkan kening dalam-dalam. “Apa kau bodoh, Yara? Bagaimana mungkin kau tidak tahu siapa pria itu?” Tangan Lyra mengusap wajahnya sendiri, antara marah, kecewa, dan bingung.

Yara menunduk. “Ya. Aku benar-benar tidak tahu, Ma. Tapi… aku tidak bisa menggugurkan kandungan ini. Maaf, sudah membuat Mama kecewa.”

Untuk sesaat, ruangan itu hening. Hanya suara napas yang terdengar. Lyra menatap wajah anak perempuannya, mencoba membaca isi hati gadis itu.

“Mama akan mencarikan suami yang mau bertanggung jawab dan menerima anak yang sedang kau kandung, Yara.”

“Tidak, Ma!” Yara mendongak cepat, matanya melebar. “Aku ingin membesarkannya seorang diri. Jangan carikan ayah untuk bayi ini.”

“Kau pikir membesarkan seorang anak itu mudah, Yara? Jangan membantah! Kau harus menikah demi nama baik keluarga kita!” ucap Lyra dengan nada keras, menunjukkan ketegasannya sebagai seorang ibu dan seorang wanita yang sangat peduli akan reputasi.

“Aku tidak yakin ada yang mau menerimaku, Ma. Jadi… biarkan aku membesarkan anak ini. Aku akan pergi dari kota ini jika Mama tidak mau nama baik keluarga ini hancur karenaku.”

Pernyataan itu seperti petir di siang bolong. Lyra membeku. “Apa kau gila, huh?” ucapnya lirih. Ia tak habis pikir anaknya memilih pergi ketimbang menikah demi menyelamatkan muka keluarga.

“Maaf, Ma. Daripada aku harus menikah dengan pria yang tidak aku cintai, lebih baik aku pergi saja.”

“Lalu kau pikir kau akan bertemu dengan ayah dari anak yang kau kandung ini? Apa dia akan bertanggung jawab setelah tahu kau hamil?”

Yara terdiam. Ia tahu jawabannya. Tidak. Steven tidak akan pernah tahu… karena tidak boleh tahu.

“Aku tidak berharap akan bertemu dengannya. Mama jangan khawatir. Aku akan jaga diri di sana,” ucap Yara dengan mantap. Meski suaranya gemetar, sorot matanya menunjukkan tekad yang kuat.

Lyra menghela napas panjang. Ia tahu, sejak Yara memutuskan, tak ada yang bisa mengubah pikirannya.

“Kau benar-benar tidak tahu siapa orangnya, Yara?” tanya Lyra sekali lagi, kali ini suaranya melemah, seperti sisa dari amarah yang mulai mereda.

Yara menunduk. “Tidak tahu, Ma,” jawabnya singkat.

**

Beberapa hari kemudian...

Steven berdiri di depan gerbang kampus Yara. Sudah dua puluh menit ia menunggu, namun sosok Yara belum juga terlihat.

“Kenapa belum keluar juga…” gumamnya sambil menekan nomor Yara di ponselnya. Namun hasilnya nihil. Nomor tidak aktif.

Steven mengernyit. Tidak biasanya Yara tidak mengaktifkan ponselnya.

Perasaan tak enak mulai menyelinap. Ia masuk kembali ke dalam mobil, mencoba menelepon Lyra.

“Yara tidak masuk kuliah? Kenapa tidak ada di kampus?” tanya Steven cepat.

Ada jeda sunyi di seberang. “Tidak perlu menjemputnya lagi, Steven. Yara sudah tidak kuliah di sana lagi.”

Rem mobil ditekan mendadak. Steven menghentikan laju kendaraannya dengan wajah tak percaya.

“Maksudmu? Kenapa Yara tidak kuliah di sini lagi? Satu tahun lagi dia akan wisuda, kan?”

“Ya, aku tahu. Tapi, hanya itu yang perlu kau tahu, Steven.”

Steven terdiam. Sorot matanya menyipit. “Lyra. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Yara. Ke mana dia?”

Lyra kembali terdiam. Dalam hatinya, ia ingin memberi tahu. Tapi janji adalah janji.

“Maaf. Hanya itu yang perlu kau tahu, Steven. Aku tidak bisa memberitahumu ke mana Yara pergi.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tamu tak Diundang

    Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Nama yang Terucap

    "Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tak Sanggup Mengatakannya

    Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Akan Segera Menikah

    Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Kembali Bertemu

    Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Lebih Baik Merahasiakannya

    Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status