Share

Membawa Kabur Benih Sang Paman
Membawa Kabur Benih Sang Paman
Penulis: Suhadii90

Sesuatu yang Terjadi

Penulis: Suhadii90
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-08 23:55:17

“Astaga! Setiap kali putus dengan kekasih-kekasih gilamu, pasti berakhir dengan mabuk seperti ini,” gerutu Yara yang tengah membopong sang paman ke dalam kamar di club malam karena mabuk berat.

Pria itu menghubungi Yara berkali-kali dan memintanya datang ke sana. Dengan terpaksa gadis berusia dua puluh tiga tahun itu datang dan melihat pamannya tengah mabuk berat.

“Bercinta denganku,” bisik pria berusia tiga puluh dua tahun itu.

Yara mengerutkan keningnya mendengarnya. Ia memang sudah mengagumi pamannya sejak ia masih berusia lima belas tahun.

Namun, jika bercinta? Itu bukan hal yang harus dia lakukan. Meski pria itu bukan paman kandungnya.

“Tidak. Aku tidak mau bercinta denganmu. Kau itu playboy, banyak wanita yang sudah tidur denganmu.”

Meski begitu, Yara tetap menjatuhkan hatinya pada Steven, bahkan menjalin hubungan dengan beberapa pria pun hanya sebagai pelampiasan hatinya agar berhenti jatuh cinta pada pamannya sendiri.

Pria itu terkekeh pelan. “Aku menginginkanmu. Maka, bercintalah denganku. Memangnya kau tidak terpesona oleh ketampananku?”

Yara hanya menelan ludah. Tangan pria itu mendekap tubuh Yara dan membuat wanita membolakan matanya.

“Hentikan, Steven. Kau sedang mabuk—”

Belum selesai bicara, pria bernama Steven Michael Gilbert itu langsung mencium bibir Yara dengan ganas.

Yara sempat memberontak. Namun, tubuh kekar Steven tidak bisa didorong begitu saja.

“Steven, lepaskan! Empt ….”

Steven mencium bibir Yara lebih dalam lagi. Tangannya yang kekar menopang tubuh Yara hingga membuatnya tak bisa bergerak selain merasakan ciuman gila yang dilakukan pamannya itu padanya.

“Kau tidak akan bisa melupakan malam ini, baby girl,” bisik Steven sebelum menanggalkan semua pakaian miliknya juga merobek mini dress yang dikenakan Yara.

“Aku sangat menginginkanmu malam ini,” bisik Steven dengan suara beratnya.

Yara hanya terdiam mendengar bisikan itu. Hingga akhirnya ia terhanyut dalam belaian lembut dan juga sentuhan yang dilakukan oleh Steven padanya.

**

“Hei! Jangan melamun, ayo cepat masuk.”

Suara berat Steven memecah lamunan Yara yang sedang berdiri termenung di trotoar, matanya terpaku pada kosongnya udara pagi yang masih dibasahi embun.

Yara menoleh pelan ke arah sumber suara. Di hadapannya, Steven berdiri dengan satu tangan menyandarkan pintu mobil yang terbuka lebar.

Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat semakin berwibawa, namun gurat lelah tak bisa sepenuhnya tersembunyi dari wajah tampannya yang keras dan dingin.

Meskipun begitu, matanya yang biasanya tajam kini tampak sedikit lebih tenang—setidaknya lebih baik dibanding semalam.

Tanpa berkata-kata, Yara melangkah masuk ke dalam mobil. Suara pintu tertutup membungkam deru jalanan seketika, menciptakan keheningan yang aneh di antara mereka.

Ia duduk diam, menatap Steven yang kini berada di balik kemudi, menyalakan mesin, lalu melajukan mobil perlahan.

Setelah beberapa menit, Yara memecah keheningan. “Kau tidak mengingat apa pun soal kemarin malam?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup jelas terdengar.

Steven tidak segera menjawab. Wajahnya tetap lurus menghadap ke jalan, ekspresinya sulit dibaca. Seperti biasa—dingin, tertutup, dan misterius.

Seorang pria yang terbiasa menyimpan pikirannya rapat-rapat, membiarkan dunia menebak isi hatinya tanpa pernah benar-benar memberi petunjuk.

“Tentu saja aku ingat,” jawabnya akhirnya, dengan nada datar yang hampir tidak memiliki emosi.

Yara menelan salivanya. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang meningkat, menunggu lanjutan dari Steven.

“Hubunganku baru saja berakhir dengan Monica,” lanjut Steven akhirnya, tanpa menoleh sedikit pun. “Wanita itu… benar-benar tidak tahu diri.”

Nada suaranya berubah sedikit, tidak lagi datar, tapi ada kepahitan di sana—amarah yang ditekan, kekecewaan yang belum selesai.

Yara menatapnya tajam. Ia tahu hubungan Steven dengan Monica memang selalu naik-turun, tapi tidak menyangka akan berakhir begitu mendadak.

“Lalu, apa yang kau lakukan setelah itu, Steven?” tanyanya, ingin menggali lebih dalam, mencoba menghubungkan benang-benang kusut dari peristiwa semalam.

“Hei! Panggil aku paman. Aku ini pamanmu. Bahkan usia kita juga terpaut jauh, kau tahu?” protes Steven, melemparkan pandangan sekilas ke arahnya dengan alis terangkat.

Yara menghela napas kasar, membuang pandangan ke luar jendela mobil. Deretan pohon maple yang daunnya mulai menguning seperti ikut menjadi saksi percakapan tegang mereka.

“Aku bertanya padamu, setelah itu, apa yang kau lakukan?” ulang Yara dengan nada tak mau mengalah.

Ia tak peduli dengan teguran Steven. Bagi Yara, hubungan yang mereka miliki hanyalah ikatan formalitas yang tak pernah terasa nyata.

Steven menggigit bibir bawahnya, seolah menahan sesuatu yang berat. Ia tidak langsung menjawab. Matanya menatap kosong ke depan, lalu akhirnya ia menggeleng pelan, nyaris tak terlihat.

“Aku… mabuk,” katanya akhirnya. Suaranya pelan, seolah mengaku dosa. “Dan aku tidak tahu kejadian apa lagi yang terjadi padaku saat itu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Biarkan Lucas Tahu Semuanya

    Mentari pagi baru saja menyelinap melalui tirai tinggi ruang rawat ketika suara ketukan tegas terdengar di pintu. Yara, yang baru saja selesai mengganti kompres dahi Lucas, menoleh dengan dahi berkerut.Begitu pintu terbuka, James masuk ditemani sorot mata dingin yang tak terbantahkan. Tubuh tegapnya dibalut setelan abu‑abu arang, seakan ia datang bukan sebagai ayah, melainkan sebagai hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Papa?” Yara menyambut, mencoba tersenyum, namun bibirnya terasa kelu.James tidak membalas sapaan itu. Pandangannya langsung jatuh pada cucu yang terbaring lemah. Napasnya mengembus, entah menahan emosi atau menyusun kata. Ia menoleh ke Yara. “Ikut aku ke lorong. Sekarang.”Yara menghela napas gemetar, lalu menatap Lucas sebentar sebelum bergeser ke luar. Di koridor sunyi, suara mesin pendingin udara menggema lembut.James berdiri menghadap Yara, kedua tangan dimasukkan ke saku celananya—sikap formal yang tidak menyisakan ruang bagi pembelaan.“Aku akan berbicara singk

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Murkanya James dan Dinding Pertahanan Steven

    Suasana lorong rumah sakit malam itu begitu senyap. Lampu redup di langit-langit hanya menyisakan pantulan lembut di ubin putih.Di ruang bangsal kecil tempat Lucas dirawat, kehangatan begitu terasa. Meski sunyi, suasana di dalam kamar itu tak pernah sepi dari rasa—cemas, lelah, dan kasih sayang yang terpendam.Steven duduk di kursi di dekat tempat tidur Lucas, matanya menatap anak itu yang kini sudah lebih tenang.Wajah kecil Lucas tampak damai dalam tidurnya, meski kulitnya masih tampak pucat dan tubuhnya dibungkus selimut hangat. Peralatan medis di sekelilingnya memantau denyut jantung dan suhu tubuhnya secara konstan.Di sudut ruangan, Yara tertidur di sofa sempit, dengan tangan tergantung di sisi tubuh, wajahnya pucat karena kelelahan.Napasnya teratur namun lemah, sisa tangisan dan kecemasan masih terlihat jelas di kelopak matanya yang sembab.Perlahan, Steven berdiri dari kursinya dan meraih selimut tambahan yang tergantung di sandaran sofa.Dengan hati-hati, ia menyelimuti tub

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Debat yang Berujung di Rumah Sakit

    Steven kembali muncul di depan rumah Yara. Udara terasa berat, seolah turut menyimpan ketegangan yang belum selesai di antara mereka.Yara berdiri di ambang pintu, melipat tangan di dada saat Steven berjalan masuk tanpa menunggu izin.“Aku tidak akan pergi dari rumah ini,” kata Steven tanpa basa-basi. “Aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini, bersamamu dan juga Lucas.”Yara menghela napas lelah mendengarnya. “Steven, kau tidak bisa tinggal di sini. Sudah cukup kekacauan yang terjadi hari ini. Jangan ditambah lagi. Aku mohon.”“Belum selesai sampai hasil tes DNA keluar, Yara. Aku akan tinggal di sini sampai semuanya terbukti.” Suaranya keras dan penuh tekad.“Dan kalau terbukti Lucas anakmu, lalu apa? Kau akan mengambilnya? Menyingkirkanku? Mengubah hidupnya seperti membalik telapak tangan?” Yara membalas dengan suara yang tajam. Tapi sorot matanya menyimpan luka dalam yang tak sempat sembuh.Steven menatap Yara dengan mata yang melelah. “Aku tidak akan mengambil apa pun darim

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Memutuskan Mengakhiri Pertunangan

    Baru saja pintu butik tertutup setelah kepergian Nadine, suara bel kembali berdenting.Yara, yang belum sempat menarik napas lega, menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Steven dengan kemeja tergulung setengah lengan dan tangan menggandeng Lucas, yang masih mengenakan seragam sekolah dan tersenyum lebar.“Hai, Mama!” sapa Lucas sambil melepaskan tangan Steven dan berlari ke arah Yara.Yara membungkuk dan memeluk anak itu sekilas, tetapi matanya tertuju pada Steven yang kini melangkah masuk dengan santai. Lelaki itu terlihat percaya diri, seolah tidak ada yang salah dengan kehadirannya di tempat itu.“Aku menjemput Lucas dari sekolah. Dia tadi bilang ingin melihat butikmu,” ujar Steven ringan, seakan tindakan itu tidak menyalahi batas apa pun.Yara berdiri. Sorot matanya dingin. “Aku tidak menyuruhmu menjemputnya.”Steven mengernyit. “Aku hanya—”“Kau tidak seharusnya melakukan itu, Steven. Kau membuatnya bingung. Kau memperkeruh keadaan,” sela Yara cepat, nada suaranya jelas-je

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Yara Tak Peduli

    Pagi itu, Yara membuka tirai kaca depan butiknya, “Les Jardins de Yara”. Cahaya matahari memantul pada deretan gaun sutra pastel yang tergantung rapi, sementara aroma kopi hitam dari mug di tangannya menambah semangatnya seusai malam penuh badai emosi.Ia baru saja menata maneken terakhir saat bel pintu berdenting lembut. Yara menoleh—dan jantungnya berdegup kencang. Nadine melangkah masuk dengan keanggunan dingin: gaun sheath berwarna krem, blazer senada, serta senyum tipis yang tidak mencapai mata.“Yara. Aku harap kau tidak sedang sibuk hari ini. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Nadine menoleh ke satu-satunya pramuniaga yang sedang mengepel lantai. “Bisakah kami diberi privasi?”Pramuniaga itu memandang Yara sejenak. Mendapat anggukan singkat dari sang majikan, ia segera menyingkir ke gudang belakang. Ruang butik langsung terasa lebih lapang—dan lebih berbahaya.Nadine berkeliling perlahan, ujung jemarinya menyusuri lipatan gaun di etalase seolah menilai kualitas kain. “Bu

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Kemarahan Yara

    Hening menguasai kamar kecil itu, hanya diselingi oleh suara napas berat Lucas yang masih demam. Yara duduk di sisi ranjang, memeluk lututnya sendiri sambil menatap anak itu.Tangisnya nyaris tak bersuara, tapi pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir. Dadanya sesak oleh rasa bersalah, ketakutan, dan luka lama yang kembali mencuat.“Apa yang harus aku lakukan,” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang patah di ujung lidah. “Steven… jangan lakukan ini… jangan rusak dunia kecil kami.”Lucas mengigau pelan, membuat Yara segera menghapus air matanya. Ia membelai rambut anak itu dan menciumnya. Tapi hatinya tetap tak tenang.Ia tahu Steven bukan pria yang akan mundur ketika sudah mencium kebenaran. Dan jika ia benar-benar melakukan tes DNA—apa yang akan tersisa untuknya dan Lucas?Keesokan paginya, mentari belum terlalu tinggi saat Nadine datang berkunjung, membawa sekotak mainan dan senyum hangat yang dibuat-buat.Ia mengenakan dress lembut berwarna biru muda, rambutnya dikuncir kud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status