Share

Kembali Bertemu

Penulis: Suhadii90
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 00:11:46

Enam tahun kemudian….

Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.

Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.

Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.

Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.

Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.

Hingga…

“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”

Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.

Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.

“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” gerutunya sembari membersihkan celana hitam yang ia kenakan itu.

Anak kecil itu tampak ketakutan. Usianya mungkin sekitar lima tahun.

Wajahnya bulat, hidungnya mancung, dengan mata hitam yang menatap Steven dengan polos namun dalam—seolah memohon pengampunan dunia. Pipinya merah, dan rambut hitamnya sedikit ikal.

“Maafkan aku, Paman. Aku tidak sengaja,” ujarnya lirih, menunduk.

Steven menghela napas. Rasa jengkel yang sempat menggelegak di dadanya perlahan sirna melihat wajah polos itu. Ia mengibaskan sisa camilan dari celananya, lalu menggeleng sambil tersenyum kecil.

“Hati-hati lain kali. Jangan lari di tempat ramai, oke?”

Anak itu mengangguk cepat. “Baik, Paman. Sekali lagi aku minta maaf.”

Lalu, dengan lincahnya, bocah itu berbalik dan berlari ke arah seorang wanita yang baru keluar dari pintu kedatangan. Ia memekik dengan girang:

“Mamaaa!”

Steven memutar tubuhnya, mengikuti arah lari bocah itu. Detik itu juga, dunia seolah membisu.

Wanita itu…

Yara.

Wanita dengan coat camel panjang, rambut bergelombang yang dibiarkan terurai, dan mata yang langsung membulat saat menyadari siapa pria yang berdiri hanya lima meter darinya.

Mulutnya terbuka sedikit, lalu tertutup kembali. Senyumnya muncul... canggung... penuh keraguan.

“Hai,” sapa Yara dengan suara pelan, seolah menyapa orang asing. “Senang bertemu kembali denganmu.”

Steven berdiri terpaku. Ia tak bisa langsung merespons. Matanya berpindah dari wajah Yara ke bocah kecil yang kini memeluk kaki ibunya.

“Dia... anakmu?” Suara Steven berat dan dalam. Pandangannya menajam, namun bukan karena marah—karena keterkejutan yang sulit ia kendalikan.

Yara menunduk, lalu mengangguk perlahan. “Ya... dia anakku.”

Deg.

Jantung Steven seperti berhenti berdetak. Matanya menatap anak itu sekali lagi, lalu kembali ke Yara.

“Bagaimana bisa? Kau pergi begitu saja dan... punya anak?” Suaranya bergetar. Rasa tak percaya tumbuh dalam hatinya ketika tahu bahwa anak dari kakak angkatnya telah memiliki seorang putra.

Yara menatap Steven dengan tatapan sulit dijelaskan.

“Aku... tidak pernah berniat pergi tanpa kabar, Steven. Tapi waktu itu... aku harus pergi. Aku tidak bisa tinggal di sini.”

Steven mendekat dua langkah. Suaranya kini lebih pelan, seolah tak ingin bocah itu mendengar. “Kau tidak sendiri saat pergi... ternyata kau sedang mengandung.”

Yara menggigit bibir bawahnya. Tangannya secara refleks mengusap kepala anaknya.

“Aku bingung waktu itu. Terlalu banyak yang harus kupikirkan.”

“Mama. Aku tidak sengaja menumpahkan makanan pada paman itu. Tapi, aku sudah meminta maaf padanya,” ujar anak kecil tampan itu mengadu pada sang mama.

“Sudah Mama bilang padamu, jangan berlarian.” Yara mengusap pucuk kepala anaknya dengan lembut.

“Siapa namamu, anak kecil?” tanya Steven kemudian.

Anak kecil itu menoleh menatap Steven. “Lucas.”

Yara menatap Lucas dan Steven bergantian. Kemudian menatap anaknya dengan tatapan lembutnya.

“Lucas, perkenalkan. Ini Paman Steven yang akan mengantar kita ke rumah,” ucap Yara dengan lembut.

“Halo, Paman Steven. Nice to meet you.”

Steven tersenyum canggung. Ia kemudian mengangguk dan menjulurkan tangannya pada Lucas.

“Lalu... di mana ayahnya?” tanya Steven kembali menatap Yara. “Aku ingin kenalan dengan suami dari keponakanku ini.”

Yara menggeleng cepat. “Aku tidak menikah, Steven. Aku... single mom.”

Steven membelalakkan matanya. Wajahnya berubah, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Apa maksudmu, Yara?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tamu tak Diundang

    Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Nama yang Terucap

    "Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tak Sanggup Mengatakannya

    Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Akan Segera Menikah

    Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Kembali Bertemu

    Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Lebih Baik Merahasiakannya

    Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status