Angin sore merayap lembut melalui jendela ruang kerja Steven Michael Gilbert, menggoyangkan tirai tipis berwarna krem. Di balik meja mahoni yang rapi, Steven menelusuri baris‑baris laporan keuangan perusahaan, tetapi pandangannya kosong.
Nama “Lucas” berpendar di cakrawala pikirannya—seakan sebuah lampu peringatan yang tak henti berkedip. Ia memijat pangkal hidung, menahan dorongan untuk segera bertanya kepada Yara.
Namun ia tahu, pertanyaan terburu‑buru hanya akan mematahkan kewaspadaan Yara dan menutup setiap celah kebenaran. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Steven memilih jalan sunyi: penyelidikan diam‑diam.
Ia meraih ponsel, menekan nomor salah satu kolega lamanya—Jameson, mantan detektif swasta yang kini bekerja sebagai analis risiko. “Aku membutuhkan riwayat medis anak bernama Lucas Caroline,” bisiknya dengan hati‑hati seakan tembok pun dapat memasang telinga.
“Rahasiakan permintaan ini. Kirimkan hasilnya langsung ke surel pribadi.” Sesaat, Steven menutup sambungan. Detak jantungnya melompat‑lompat, sebuah irama gelisah yang tidak sanggup ia jinakkan.
Sementara itu di dapur, Yara menumpahkan setengah botol kayu manis bubuk ke dalam adonan kue, berupaya memecah sunyi yang mencekiknya sejak siang. Lucas—putranya yang berusia enam tahun—berlari ke ruang tamu, tawa bergulung mengikuti langkah kakinya.
“Lucas, hati‑hati!” seru Yara sambil menepuk tangan bersih dari tepung. Ia menyusul anak itu, namun langkahnya terhenti di ambang pintu.
Di tangan mungil Lucas tergenggam sebuah mobil besi tua—cat merahnya pudar, rodanya lecet—tetapi kelopak mata Yara melebar seolah melihat hantu.
Ia mengenali benda itu: mainan kesayangan Steven saat masih kanak‑kanak, selalu diparkir di rak buku keluarga Gilbert. Dulu, Yara kerap mengagumi mobil mini itu ketika berkunjung ke rumah bibi.
Lucas membalik badan, mata cokelatnya berkilau. “Mama, lihat! Aku menemukannya di gudang belakang. Boleh ya jadi favoritku?” suaranya cerah bagai lonceng.
Yara menelan ludah. “Tentu, Nak. Tapi… bagaimana kau menemukannya?”
“Ada kotak tua penuh debu. Aku cuma bersih‑bersih, lalu mobil ini menonjol, seperti memanggil.” Lucas merapatkan mobil ke dada, seakan takut direbut.
Yara menghela napas, sementara ribuan kemungkinan menari‑nari di benaknya. Mengapa mainan Steven bisa tercecer di gudang rumahnya? Bukankah dulu mainan itu tak pernah beralih dari ruang kerja Steven?
Pertanyaan itu memanaskan tengkuknya. Ia menyeka keringat tipis di dahi, berupaya memperhalus suara. “Mainan itu… sangat berarti bagi seseorang. Jaga baik‑baik, ya.”
Lucas mengangguk mantap lalu berlalu, meninggalkan ibunya terpaku di ambang pintu. Yara memegang gagang pintu, berusaha menenangkan degup jantung yang seakan menghantam tulang rusuk.
Mainan itu—pertanda terjalinnya darah—menghamburkan ingatan yang selama ini ia kubur: aroma alkohol di pakaian Steven malam itu, kecupan asing yang menggetarkan, serta rasa takut campur rindu yang membuatnya melarikan diri berbulan‑bulan lamanya.
Menjelang malam, Steven berkunjung atas dalih menjemput dokumen kerja sama yang perlu ditandatangani Yara. Nada ketukannya pelan, seakan khawatir mengganggu.
Yara membuka pintu; sinar lampu gantung menerpa wajah Steven, menonjolkan garis rahang tegas yang dulu membuatnya kehilangan nyali.
“Masuklah,” tawar Yara lalu menyingkir, tetapi lengannya kaku. Ia merasakan campur aduk: lega, panik, dan geli—semuanya mengalir bagai sungai berbatu.
Di ruang tamu, Lucas tengah bermain mobil besi merah itu di atas karpet abu‑abu. “Om Steven!” soraknya. “Lihat mobil balapku!”
Steven tertawa pendek. “Hebat sekali. Dari mana kau mendapatkannya?”
“Gudang belakang. Mobil tua, tapi keren!” Lucas memamerkan dan mendorong mobil memutar lingkaran imajiner.
Sekilas, Steven membeku. Matanya menajam—detail cat terkelupas, lekuk spatbor mini, dan guratan “SMG” yang pernah ia ukir dengan spidol hitam sewaktu kelas dua SD. “Itu…,” suaranya parau, “Mainan ini dulu… milikku.”
Yara seketika menunduk, menghalau pertemuan pandang. “Lucas tidak sengaja menemukannya. Jika kau ingin mengambilnya kembali, aku—”
“Tidak,” potong Steven cepat. “Biar tetap jadi milik Lucas.” Ia menyunggingkan senyum tipis, tetapi hatinya berkecamuk.
Kalau mainan itu berpindah ke rumah Yara, siapa lagi yang membawanya selain Yara sendiri… atau Lucas? Dan mengapa mainan masa kecilnya kini begitu disayangi bocah itu, seakan terbentuk ikatan alamiah?
Sesi tanda tangan dokumen berlangsung kaku. Pulpen emas Steven bergerak mantap, tetapi jemarinya dingin, berkeringat. Yara menyodorkan cangkir teh melati, mencoba bersikap normal.
Steven menyesap teh, rasanya hambar. Ia menatap Yara—pupil perempuan itu bergetar, bibirnya pucat—seolah menanggung bebannya sendiri.
Lucas tertawa kecil, kembali mengadu mobil merah ke bantal sofa. Bunyi logam beradu kain mengiris hening. Steven tersentak, menegakkan tubuh. “Lucas, bolehkah Om memeriksa mobil itu sebentar?”
Lucas mengangguk polos. Steven menerima mainan, memutar roda kecilnya. Di bawah sasis, masih tergores inisial “SMG”. Jantungnya mencelus.
Tak mungkin keliru. Ia memandang Lucas lebih dekat—garis rahang bocah itu, alis lembut, bahkan lesung pipi samar—semuanya seperti cerminan masa kecilnya sendiri.
“Terima kasih,” gumam Steven, mengembalikan mobil. Ia berdiri, menggenggam map dokumen era digital yang kini terasa seberat batu karang. “Aku pamit.”
Begitu pintu tertutup, Yara bersandar lalu menekan telapak tangan ke dada. Deru napasnya tersekat. Ia memejamkan mata, menyesal telah membiarkan Lucas memainkan mainan terkutuk itu di hadapan Steven. Namun semuanya sudah telanjur. Tanda‑tanda semakin gamblang; tembok rahasia kian rapuh.
Di mobil, Steven menyalakan mesin, tetapi tak segera bergerak. Lampu dashboard menyorot wajahnya yang tegang. Ia menarik napas panjang, lalu membuka ponsel. Surel dari Jameson baru saja masuk, berlabel “Confidential”.
“Klien: Lucas Caroline. Golongan darah O, faktor Rh positif. Ibu tercatat golongan B, Rh positif. Data ayah biologis tidak tertera, catatan ayah legal kosong…”
Mentari pagi baru saja menyelinap melalui tirai tinggi ruang rawat ketika suara ketukan tegas terdengar di pintu. Yara, yang baru saja selesai mengganti kompres dahi Lucas, menoleh dengan dahi berkerut.Begitu pintu terbuka, James masuk ditemani sorot mata dingin yang tak terbantahkan. Tubuh tegapnya dibalut setelan abu‑abu arang, seakan ia datang bukan sebagai ayah, melainkan sebagai hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Papa?” Yara menyambut, mencoba tersenyum, namun bibirnya terasa kelu.James tidak membalas sapaan itu. Pandangannya langsung jatuh pada cucu yang terbaring lemah. Napasnya mengembus, entah menahan emosi atau menyusun kata. Ia menoleh ke Yara. “Ikut aku ke lorong. Sekarang.”Yara menghela napas gemetar, lalu menatap Lucas sebentar sebelum bergeser ke luar. Di koridor sunyi, suara mesin pendingin udara menggema lembut.James berdiri menghadap Yara, kedua tangan dimasukkan ke saku celananya—sikap formal yang tidak menyisakan ruang bagi pembelaan.“Aku akan berbicara singk
Suasana lorong rumah sakit malam itu begitu senyap. Lampu redup di langit-langit hanya menyisakan pantulan lembut di ubin putih.Di ruang bangsal kecil tempat Lucas dirawat, kehangatan begitu terasa. Meski sunyi, suasana di dalam kamar itu tak pernah sepi dari rasa—cemas, lelah, dan kasih sayang yang terpendam.Steven duduk di kursi di dekat tempat tidur Lucas, matanya menatap anak itu yang kini sudah lebih tenang.Wajah kecil Lucas tampak damai dalam tidurnya, meski kulitnya masih tampak pucat dan tubuhnya dibungkus selimut hangat. Peralatan medis di sekelilingnya memantau denyut jantung dan suhu tubuhnya secara konstan.Di sudut ruangan, Yara tertidur di sofa sempit, dengan tangan tergantung di sisi tubuh, wajahnya pucat karena kelelahan.Napasnya teratur namun lemah, sisa tangisan dan kecemasan masih terlihat jelas di kelopak matanya yang sembab.Perlahan, Steven berdiri dari kursinya dan meraih selimut tambahan yang tergantung di sandaran sofa.Dengan hati-hati, ia menyelimuti tub
Steven kembali muncul di depan rumah Yara. Udara terasa berat, seolah turut menyimpan ketegangan yang belum selesai di antara mereka.Yara berdiri di ambang pintu, melipat tangan di dada saat Steven berjalan masuk tanpa menunggu izin.“Aku tidak akan pergi dari rumah ini,” kata Steven tanpa basa-basi. “Aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini, bersamamu dan juga Lucas.”Yara menghela napas lelah mendengarnya. “Steven, kau tidak bisa tinggal di sini. Sudah cukup kekacauan yang terjadi hari ini. Jangan ditambah lagi. Aku mohon.”“Belum selesai sampai hasil tes DNA keluar, Yara. Aku akan tinggal di sini sampai semuanya terbukti.” Suaranya keras dan penuh tekad.“Dan kalau terbukti Lucas anakmu, lalu apa? Kau akan mengambilnya? Menyingkirkanku? Mengubah hidupnya seperti membalik telapak tangan?” Yara membalas dengan suara yang tajam. Tapi sorot matanya menyimpan luka dalam yang tak sempat sembuh.Steven menatap Yara dengan mata yang melelah. “Aku tidak akan mengambil apa pun darim
Baru saja pintu butik tertutup setelah kepergian Nadine, suara bel kembali berdenting.Yara, yang belum sempat menarik napas lega, menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Steven dengan kemeja tergulung setengah lengan dan tangan menggandeng Lucas, yang masih mengenakan seragam sekolah dan tersenyum lebar.“Hai, Mama!” sapa Lucas sambil melepaskan tangan Steven dan berlari ke arah Yara.Yara membungkuk dan memeluk anak itu sekilas, tetapi matanya tertuju pada Steven yang kini melangkah masuk dengan santai. Lelaki itu terlihat percaya diri, seolah tidak ada yang salah dengan kehadirannya di tempat itu.“Aku menjemput Lucas dari sekolah. Dia tadi bilang ingin melihat butikmu,” ujar Steven ringan, seakan tindakan itu tidak menyalahi batas apa pun.Yara berdiri. Sorot matanya dingin. “Aku tidak menyuruhmu menjemputnya.”Steven mengernyit. “Aku hanya—”“Kau tidak seharusnya melakukan itu, Steven. Kau membuatnya bingung. Kau memperkeruh keadaan,” sela Yara cepat, nada suaranya jelas-je
Pagi itu, Yara membuka tirai kaca depan butiknya, “Les Jardins de Yara”. Cahaya matahari memantul pada deretan gaun sutra pastel yang tergantung rapi, sementara aroma kopi hitam dari mug di tangannya menambah semangatnya seusai malam penuh badai emosi.Ia baru saja menata maneken terakhir saat bel pintu berdenting lembut. Yara menoleh—dan jantungnya berdegup kencang. Nadine melangkah masuk dengan keanggunan dingin: gaun sheath berwarna krem, blazer senada, serta senyum tipis yang tidak mencapai mata.“Yara. Aku harap kau tidak sedang sibuk hari ini. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Nadine menoleh ke satu-satunya pramuniaga yang sedang mengepel lantai. “Bisakah kami diberi privasi?”Pramuniaga itu memandang Yara sejenak. Mendapat anggukan singkat dari sang majikan, ia segera menyingkir ke gudang belakang. Ruang butik langsung terasa lebih lapang—dan lebih berbahaya.Nadine berkeliling perlahan, ujung jemarinya menyusuri lipatan gaun di etalase seolah menilai kualitas kain. “Bu
Hening menguasai kamar kecil itu, hanya diselingi oleh suara napas berat Lucas yang masih demam. Yara duduk di sisi ranjang, memeluk lututnya sendiri sambil menatap anak itu.Tangisnya nyaris tak bersuara, tapi pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir. Dadanya sesak oleh rasa bersalah, ketakutan, dan luka lama yang kembali mencuat.“Apa yang harus aku lakukan,” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang patah di ujung lidah. “Steven… jangan lakukan ini… jangan rusak dunia kecil kami.”Lucas mengigau pelan, membuat Yara segera menghapus air matanya. Ia membelai rambut anak itu dan menciumnya. Tapi hatinya tetap tak tenang.Ia tahu Steven bukan pria yang akan mundur ketika sudah mencium kebenaran. Dan jika ia benar-benar melakukan tes DNA—apa yang akan tersisa untuknya dan Lucas?Keesokan paginya, mentari belum terlalu tinggi saat Nadine datang berkunjung, membawa sekotak mainan dan senyum hangat yang dibuat-buat.Ia mengenakan dress lembut berwarna biru muda, rambutnya dikuncir kud