Share

Tamu tak Diundang

Penulis: Suhadii90
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 14:21:27

Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.

“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”

Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.

Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.

Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.

“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.

“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara agar tetap ramah.

“Tak apa, nanti saja diberikan. Aku memang niat mampir sebentar. Kebetulan lewat sini setelah bertemu klien ayah di pusat kota.”

Yara mengangguk. Ia mengajak Nadine duduk dan menyajikan teh hangat. Percakapan mengalir ringan, dan Nadine sangat pandai menjaga suasana.

Ia bertanya dengan sopan tentang kegiatan Yara, bahkan memuji cara Yara menata rumah.

Namun semakin lama, semakin dalam rasa tertekan menyusup ke hati Yara. Nadine terlalu sempurna.

Ia elegan, terpelajar, percaya diri, dan—yang paling penting—ia adalah pilihan yang "resmi" bagi Steven.

Tidak ada luka di masa lalu Nadine, tidak ada anak yang harus disembunyikan, tidak ada keraguan dalam langkahnya.

Yara duduk dengan punggung tegak dan senyum tertahan, tapi pikirannya bergolak. Ia merasa seperti bayangan yang memudar perlahan di samping sosok terang bernama Nadine.

Hingga kemudian, suara mobil terdengar di luar. Tak lama, pintu terbuka, dan Steven masuk. Ia menghentikan langkahnya seketika ketika melihat Nadine duduk santai di ruang tamu.

“Nadine?” suaranya terdengar terkejut.

Nadine berdiri dan tersenyum, “Surprise?”

Steven melangkah mendekat, menyembunyikan ekspresinya dengan cepat. Ia menyalami Nadine singkat, lalu menoleh ke arah Yara dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Kau tidak bilang akan ke sini,” kata Steven, nadanya lembut namun ada ketegasan samar di baliknya.

“Aku kira tidak apa-apa. Toh, kau juga sering cerita tentang tempat ini. Aku pikir sekalian mampir menyapa,” jawab Nadine dengan enteng, lalu memutar tubuh ke arah Yara.

“Dan tentu saja bertemu langsung dengan Yara. Dia menyenangkan sekali, seperti yang kau bilang.”

Yara tersenyum kecil, namun tidak bisa menanggapi. Ia merasa tubuhnya kaku seperti batu. Sorot mata Steven yang sejenak tertuju padanya justru membuat hatinya makin gelisah.

Steven mengangguk, seolah berusaha meredakan kecanggungan. “Lain kali, beri tahu dulu. Aku tidak ingin kau datang sendiri ke tempat yang belum tentu aman.”

Nadine menanggapi dengan tawa kecil. “Steven, ini rumah, bukan daerah rawan kejahatan,” katanya ringan. “Tapi baiklah, aku akan kabari dulu kalau mau datang lagi.”

Setelah beberapa saat berbincang, Nadine pamit. Ia sempat menitip pesan untuk Lucas, lalu berjalan keluar dengan penuh percaya diri.

Steven mengantarnya sampai ke depan pagar, dan Yara memperhatikan dari jendela dengan perasaan campur aduk.

Setelah pintu pagar tertutup, Steven kembali masuk ke dalam rumah. Ia meletakkan kunci mobil di meja, lalu berdiri diam di ruang tamu, hanya beberapa langkah dari Yara yang masih berdiri di dekat dapur.

Sunyi. Hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar perlahan.

Steven memandangi Yara lama. Sorot matanya bukan marah, bukan juga heran—melainkan ragu. Seolah ada kalimat yang ingin ia ucapkan, tapi ditelan oleh kesadaran bahwa apa pun yang ia katakan saat ini tidak akan cukup menjelaskan perasaan yang berlapis-lapis dalam dirinya.

Yara mengangkat wajah, membalas pandangan itu. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya jantung yang berdetak keras.

Steven menarik napas, kemudian menunduk. “Aku... akan ke kamarku sebentar. Ada beberapa hal yang harus kubereskan.”

“Baik,” jawab Yara pelan, tanpa mencoba menahannya.

Langkah kaki Steven perlahan menjauh, lalu pintu kembali tertutup di belakangnya.

**

Malam itu, Yara duduk sendirian di tempat tidur Lucas. Anak itu telah tertidur, pelukannya masih erat pada boneka kecil pemberian tantenya. Di meja samping ranjang, kotak kecil berisi kue dari Nadine masih belum dibuka.

Yara menatapnya lama. Barang sekecil itu, hadiah yang sederhana, mampu membuatnya merasa kalah dalam banyak hal. N

adine tidak hanya hadir sebagai calon tunangan Steven, tapi juga sebagai ancaman bagi ketenangan batinnya. Wanita itu mampu masuk ke hidup Steven secara sah, tanpa pertanyaan, tanpa beban masa lalu.

Yara mengusap rambut Lucas perlahan, lalu berbisik, “Mama tidak sekuat yang kamu kira, Nak.”

**

Di kamar, Steven duduk termenung di meja kerja kecil di sudut ruangan. Lampu baca menyala redup, dan ponselnya tergeletak di samping laptop.

Ia membuka kotak kecil yang berisi beberapa dokumen keluarga, namun pikirannya terus tertuju pada satu hal—Yara.

Bukan soal kedatangan Nadine, bukan pula tentang kerumitan pertunangan yang sudah diatur.

Melainkan tentang tatapan Yara. Tentang caranya tetap tersenyum, padahal ia jelas tertekan.

Dan terutama, tentang Lucas.

Steven menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Di balik ketenangan wajah Yara, ia merasa ada sesuatu yang belum ia ketahui. Dan semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat dorongan untuk mencari tahu.

Ia berpikir sejenak, kemudian berkata dalam hati,

“Yara… kau menyimpan terlalu banyak hal sendirian. Tapi sampai kapan bisa terus begitu?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tamu tak Diundang

    Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Nama yang Terucap

    "Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tak Sanggup Mengatakannya

    Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Akan Segera Menikah

    Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Kembali Bertemu

    Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Lebih Baik Merahasiakannya

    Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status