Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.
“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”
Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.
Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.
Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.
“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.
“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara agar tetap ramah.
“Tak apa, nanti saja diberikan. Aku memang niat mampir sebentar. Kebetulan lewat sini setelah bertemu klien ayah di pusat kota.”
Yara mengangguk. Ia mengajak Nadine duduk dan menyajikan teh hangat. Percakapan mengalir ringan, dan Nadine sangat pandai menjaga suasana.
Ia bertanya dengan sopan tentang kegiatan Yara, bahkan memuji cara Yara menata rumah.
Namun semakin lama, semakin dalam rasa tertekan menyusup ke hati Yara. Nadine terlalu sempurna.
Ia elegan, terpelajar, percaya diri, dan—yang paling penting—ia adalah pilihan yang "resmi" bagi Steven.
Tidak ada luka di masa lalu Nadine, tidak ada anak yang harus disembunyikan, tidak ada keraguan dalam langkahnya.
Yara duduk dengan punggung tegak dan senyum tertahan, tapi pikirannya bergolak. Ia merasa seperti bayangan yang memudar perlahan di samping sosok terang bernama Nadine.
Hingga kemudian, suara mobil terdengar di luar. Tak lama, pintu terbuka, dan Steven masuk. Ia menghentikan langkahnya seketika ketika melihat Nadine duduk santai di ruang tamu.
“Nadine?” suaranya terdengar terkejut.
Nadine berdiri dan tersenyum, “Surprise?”
Steven melangkah mendekat, menyembunyikan ekspresinya dengan cepat. Ia menyalami Nadine singkat, lalu menoleh ke arah Yara dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Kau tidak bilang akan ke sini,” kata Steven, nadanya lembut namun ada ketegasan samar di baliknya.
“Aku kira tidak apa-apa. Toh, kau juga sering cerita tentang tempat ini. Aku pikir sekalian mampir menyapa,” jawab Nadine dengan enteng, lalu memutar tubuh ke arah Yara.
“Dan tentu saja bertemu langsung dengan Yara. Dia menyenangkan sekali, seperti yang kau bilang.”
Yara tersenyum kecil, namun tidak bisa menanggapi. Ia merasa tubuhnya kaku seperti batu. Sorot mata Steven yang sejenak tertuju padanya justru membuat hatinya makin gelisah.
Steven mengangguk, seolah berusaha meredakan kecanggungan. “Lain kali, beri tahu dulu. Aku tidak ingin kau datang sendiri ke tempat yang belum tentu aman.”
Nadine menanggapi dengan tawa kecil. “Steven, ini rumah, bukan daerah rawan kejahatan,” katanya ringan. “Tapi baiklah, aku akan kabari dulu kalau mau datang lagi.”
Setelah beberapa saat berbincang, Nadine pamit. Ia sempat menitip pesan untuk Lucas, lalu berjalan keluar dengan penuh percaya diri.
Steven mengantarnya sampai ke depan pagar, dan Yara memperhatikan dari jendela dengan perasaan campur aduk.
Setelah pintu pagar tertutup, Steven kembali masuk ke dalam rumah. Ia meletakkan kunci mobil di meja, lalu berdiri diam di ruang tamu, hanya beberapa langkah dari Yara yang masih berdiri di dekat dapur.
Sunyi. Hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar perlahan.
Steven memandangi Yara lama. Sorot matanya bukan marah, bukan juga heran—melainkan ragu. Seolah ada kalimat yang ingin ia ucapkan, tapi ditelan oleh kesadaran bahwa apa pun yang ia katakan saat ini tidak akan cukup menjelaskan perasaan yang berlapis-lapis dalam dirinya.
Yara mengangkat wajah, membalas pandangan itu. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya jantung yang berdetak keras.
Steven menarik napas, kemudian menunduk. “Aku... akan ke kamarku sebentar. Ada beberapa hal yang harus kubereskan.”
“Baik,” jawab Yara pelan, tanpa mencoba menahannya.
Langkah kaki Steven perlahan menjauh, lalu pintu kembali tertutup di belakangnya.
**
Malam itu, Yara duduk sendirian di tempat tidur Lucas. Anak itu telah tertidur, pelukannya masih erat pada boneka kecil pemberian tantenya. Di meja samping ranjang, kotak kecil berisi kue dari Nadine masih belum dibuka.
Yara menatapnya lama. Barang sekecil itu, hadiah yang sederhana, mampu membuatnya merasa kalah dalam banyak hal. N
adine tidak hanya hadir sebagai calon tunangan Steven, tapi juga sebagai ancaman bagi ketenangan batinnya. Wanita itu mampu masuk ke hidup Steven secara sah, tanpa pertanyaan, tanpa beban masa lalu.
Yara mengusap rambut Lucas perlahan, lalu berbisik, “Mama tidak sekuat yang kamu kira, Nak.”
**
Di kamar, Steven duduk termenung di meja kerja kecil di sudut ruangan. Lampu baca menyala redup, dan ponselnya tergeletak di samping laptop.
Ia membuka kotak kecil yang berisi beberapa dokumen keluarga, namun pikirannya terus tertuju pada satu hal—Yara.
Bukan soal kedatangan Nadine, bukan pula tentang kerumitan pertunangan yang sudah diatur.
Melainkan tentang tatapan Yara. Tentang caranya tetap tersenyum, padahal ia jelas tertekan.
Dan terutama, tentang Lucas.
Steven menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Di balik ketenangan wajah Yara, ia merasa ada sesuatu yang belum ia ketahui. Dan semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat dorongan untuk mencari tahu.
Ia berpikir sejenak, kemudian berkata dalam hati,
“Yara… kau menyimpan terlalu banyak hal sendirian. Tapi sampai kapan bisa terus begitu?”
Mentari pagi baru saja menyelinap melalui tirai tinggi ruang rawat ketika suara ketukan tegas terdengar di pintu. Yara, yang baru saja selesai mengganti kompres dahi Lucas, menoleh dengan dahi berkerut.Begitu pintu terbuka, James masuk ditemani sorot mata dingin yang tak terbantahkan. Tubuh tegapnya dibalut setelan abu‑abu arang, seakan ia datang bukan sebagai ayah, melainkan sebagai hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Papa?” Yara menyambut, mencoba tersenyum, namun bibirnya terasa kelu.James tidak membalas sapaan itu. Pandangannya langsung jatuh pada cucu yang terbaring lemah. Napasnya mengembus, entah menahan emosi atau menyusun kata. Ia menoleh ke Yara. “Ikut aku ke lorong. Sekarang.”Yara menghela napas gemetar, lalu menatap Lucas sebentar sebelum bergeser ke luar. Di koridor sunyi, suara mesin pendingin udara menggema lembut.James berdiri menghadap Yara, kedua tangan dimasukkan ke saku celananya—sikap formal yang tidak menyisakan ruang bagi pembelaan.“Aku akan berbicara singk
Suasana lorong rumah sakit malam itu begitu senyap. Lampu redup di langit-langit hanya menyisakan pantulan lembut di ubin putih.Di ruang bangsal kecil tempat Lucas dirawat, kehangatan begitu terasa. Meski sunyi, suasana di dalam kamar itu tak pernah sepi dari rasa—cemas, lelah, dan kasih sayang yang terpendam.Steven duduk di kursi di dekat tempat tidur Lucas, matanya menatap anak itu yang kini sudah lebih tenang.Wajah kecil Lucas tampak damai dalam tidurnya, meski kulitnya masih tampak pucat dan tubuhnya dibungkus selimut hangat. Peralatan medis di sekelilingnya memantau denyut jantung dan suhu tubuhnya secara konstan.Di sudut ruangan, Yara tertidur di sofa sempit, dengan tangan tergantung di sisi tubuh, wajahnya pucat karena kelelahan.Napasnya teratur namun lemah, sisa tangisan dan kecemasan masih terlihat jelas di kelopak matanya yang sembab.Perlahan, Steven berdiri dari kursinya dan meraih selimut tambahan yang tergantung di sandaran sofa.Dengan hati-hati, ia menyelimuti tub
Steven kembali muncul di depan rumah Yara. Udara terasa berat, seolah turut menyimpan ketegangan yang belum selesai di antara mereka.Yara berdiri di ambang pintu, melipat tangan di dada saat Steven berjalan masuk tanpa menunggu izin.“Aku tidak akan pergi dari rumah ini,” kata Steven tanpa basa-basi. “Aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini, bersamamu dan juga Lucas.”Yara menghela napas lelah mendengarnya. “Steven, kau tidak bisa tinggal di sini. Sudah cukup kekacauan yang terjadi hari ini. Jangan ditambah lagi. Aku mohon.”“Belum selesai sampai hasil tes DNA keluar, Yara. Aku akan tinggal di sini sampai semuanya terbukti.” Suaranya keras dan penuh tekad.“Dan kalau terbukti Lucas anakmu, lalu apa? Kau akan mengambilnya? Menyingkirkanku? Mengubah hidupnya seperti membalik telapak tangan?” Yara membalas dengan suara yang tajam. Tapi sorot matanya menyimpan luka dalam yang tak sempat sembuh.Steven menatap Yara dengan mata yang melelah. “Aku tidak akan mengambil apa pun darim
Baru saja pintu butik tertutup setelah kepergian Nadine, suara bel kembali berdenting.Yara, yang belum sempat menarik napas lega, menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Steven dengan kemeja tergulung setengah lengan dan tangan menggandeng Lucas, yang masih mengenakan seragam sekolah dan tersenyum lebar.“Hai, Mama!” sapa Lucas sambil melepaskan tangan Steven dan berlari ke arah Yara.Yara membungkuk dan memeluk anak itu sekilas, tetapi matanya tertuju pada Steven yang kini melangkah masuk dengan santai. Lelaki itu terlihat percaya diri, seolah tidak ada yang salah dengan kehadirannya di tempat itu.“Aku menjemput Lucas dari sekolah. Dia tadi bilang ingin melihat butikmu,” ujar Steven ringan, seakan tindakan itu tidak menyalahi batas apa pun.Yara berdiri. Sorot matanya dingin. “Aku tidak menyuruhmu menjemputnya.”Steven mengernyit. “Aku hanya—”“Kau tidak seharusnya melakukan itu, Steven. Kau membuatnya bingung. Kau memperkeruh keadaan,” sela Yara cepat, nada suaranya jelas-je
Pagi itu, Yara membuka tirai kaca depan butiknya, “Les Jardins de Yara”. Cahaya matahari memantul pada deretan gaun sutra pastel yang tergantung rapi, sementara aroma kopi hitam dari mug di tangannya menambah semangatnya seusai malam penuh badai emosi.Ia baru saja menata maneken terakhir saat bel pintu berdenting lembut. Yara menoleh—dan jantungnya berdegup kencang. Nadine melangkah masuk dengan keanggunan dingin: gaun sheath berwarna krem, blazer senada, serta senyum tipis yang tidak mencapai mata.“Yara. Aku harap kau tidak sedang sibuk hari ini. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Nadine menoleh ke satu-satunya pramuniaga yang sedang mengepel lantai. “Bisakah kami diberi privasi?”Pramuniaga itu memandang Yara sejenak. Mendapat anggukan singkat dari sang majikan, ia segera menyingkir ke gudang belakang. Ruang butik langsung terasa lebih lapang—dan lebih berbahaya.Nadine berkeliling perlahan, ujung jemarinya menyusuri lipatan gaun di etalase seolah menilai kualitas kain. “Bu
Hening menguasai kamar kecil itu, hanya diselingi oleh suara napas berat Lucas yang masih demam. Yara duduk di sisi ranjang, memeluk lututnya sendiri sambil menatap anak itu.Tangisnya nyaris tak bersuara, tapi pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir. Dadanya sesak oleh rasa bersalah, ketakutan, dan luka lama yang kembali mencuat.“Apa yang harus aku lakukan,” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang patah di ujung lidah. “Steven… jangan lakukan ini… jangan rusak dunia kecil kami.”Lucas mengigau pelan, membuat Yara segera menghapus air matanya. Ia membelai rambut anak itu dan menciumnya. Tapi hatinya tetap tak tenang.Ia tahu Steven bukan pria yang akan mundur ketika sudah mencium kebenaran. Dan jika ia benar-benar melakukan tes DNA—apa yang akan tersisa untuknya dan Lucas?Keesokan paginya, mentari belum terlalu tinggi saat Nadine datang berkunjung, membawa sekotak mainan dan senyum hangat yang dibuat-buat.Ia mengenakan dress lembut berwarna biru muda, rambutnya dikuncir kud