Beranda / Romansa / Membawa Kabur Benih Sang Paman / Tak Sanggup Mengatakannya

Share

Tak Sanggup Mengatakannya

Penulis: Suhadii90
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-11 22:47:21

Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”

Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.

Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”

Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”

Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”

Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”

Seketika, suasana menjadi hening. Di tengah hiruk-pikuk suara kendaraan dan percakapan dari meja-meja lain, dunia Yara terasa seperti berhenti.

Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Selama ini ia menyimpan rahasia besar—anak yang dikandungnya adalah darah daging Steven. Namun mendengar Steven akan menikah, membuat pikirannya kalut dan bimbang.

Ia menatap wajah pria itu yang kini menunduk, menatap cangkir kopinya yang sudah setengah dingin.

Yara ingin mengatakan sesuatu, mengakui semuanya, namun bibirnya terkunci. Ada ketakutan, ada kebimbangan, dan ada luka lama yang belum sembuh sepenuhnya.

“Steven,” panggilnya perlahan.

Steven mengangkat kepala dan menatap mata Yara, menunggu kelanjutan kalimatnya.

Yara menelan ludah sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau mencintainya?”

Steven tertawa kecil, bukan karena senang, melainkan karena getir yang sulit dijelaskan. “Kami memang menjalin hubungan,” jawabnya. “Namun untuk mengatakan bahwa aku benar-benar mencintainya, rasanya... sulit.”

Yara menggenggam tangannya sendiri di atas pangkuan. “Kalau begitu... batalkan saja pernikahan itu,” ucapnya, nyaris terdengar seperti permohonan.

Steven menggeleng pelan. “Aku tidak bisa, Yara,” ujarnya dengan suara berat.

“Kecuali ada alasan logis dan kuat, aku tidak punya dasar untuk membatalkannya. Lagipula, jika aku melawan keputusan keluarga James, posisiku akan semakin sulit.”

Yara menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang mulai menyeruak. Ia tahu Steven bukan pria yang lemah, namun posisinya memang serba salah. Dibesarkan oleh keluarga yang tidak benar-benar menganggapnya sebagai bagian utuh, membuatnya selalu tunduk pada keputusan yang tidak selalu sesuai dengan kehendaknya sendiri.

“Apa kau bahagia dengan keputusan ini?” tanya Yara lagi, mencoba mencari celah dari hati Steven yang tertutup rapat.

Steven diam sejenak. Lalu, ia menjawab dengan suara pelan, “Aku bahkan belum sempat memikirkan tentang kebahagiaan. Yang kupikirkan hanya... bagaimana menjalani hidup tanpa menimbulkan masalah baru.”

Yara memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang menusuk di dadanya. Anak dalam kandungannya yang semakin tumbuh itu seakan turut merasakan kegundahan ibunya.

Ingin sekali ia berkata jujur—mengatakan bahwa alasan logis dan kuat yang dicari Steven sebenarnya ada di hadapannya saat ini. Bahwa ia mengandung anak dari pria yang duduk tepat di depannya itu.

Namun mulutnya tak kunjung bisa mengucapkannya. Ada ketakutan besar yang menghalangi: takut akan reaksi Steven, takut akan penolakan, dan lebih dari itu, takut Steven akan menganggapnya sedang memanfaatkan situasi.

Steven memandang wajah Yara yang tampak begitu menahan sesuatu. Ia mengenal ekspresi itu. Ia tahu ada sesuatu yang dipendam, sesuatu yang penting.

“Yara... ada yang ingin kau katakan?” tanyanya lembut.

Yara menatap matanya sejenak, lalu menggeleng dengan senyum yang dipaksakan. “Tidak. Hanya saja... aku berharap kau tidak memaksakan dirimu untuk menjalani hidup yang tidak kau inginkan.”

Steven menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. “Kadang kita tidak punya pilihan, Yara. Aku hidup dalam dunia di mana keputusan bukan milikku. Aku hanya menjalani, bukan menentukan.”

Kalimat itu menggema dalam kepala Yara. Ia tahu betul perasaan itu. Selama ini pun ia menjalani hidup dengan pilihan-pilihan sulit, termasuk memilih untuk tidak memberitahu Steven soal anak mereka.

"Aku akan kembali ke ruang tamu sekarang. Sudah cukup malam," ujar Steven, berdiri perlahan dari sofa. Ia mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi, bersiap melangkah ke luar.

Namun sebelum sempat ia berjalan lebih jauh, terdengar suara kecil dari ujung tangga. Suara yang membuat Steven terhenti, dan tubuh Yara menegang seketika.

“Pa...?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tamu tak Diundang

    Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Nama yang Terucap

    "Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tak Sanggup Mengatakannya

    Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Akan Segera Menikah

    Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Kembali Bertemu

    Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Lebih Baik Merahasiakannya

    Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status