Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”
Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.
Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”
Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”
Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”
Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”
Seketika, suasana menjadi hening. Di tengah hiruk-pikuk suara kendaraan dan percakapan dari meja-meja lain, dunia Yara terasa seperti berhenti.
Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Selama ini ia menyimpan rahasia besar—anak yang dikandungnya adalah darah daging Steven. Namun mendengar Steven akan menikah, membuat pikirannya kalut dan bimbang.
Ia menatap wajah pria itu yang kini menunduk, menatap cangkir kopinya yang sudah setengah dingin.
Yara ingin mengatakan sesuatu, mengakui semuanya, namun bibirnya terkunci. Ada ketakutan, ada kebimbangan, dan ada luka lama yang belum sembuh sepenuhnya.
“Steven,” panggilnya perlahan.
Steven mengangkat kepala dan menatap mata Yara, menunggu kelanjutan kalimatnya.
Yara menelan ludah sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau mencintainya?”
Steven tertawa kecil, bukan karena senang, melainkan karena getir yang sulit dijelaskan. “Kami memang menjalin hubungan,” jawabnya. “Namun untuk mengatakan bahwa aku benar-benar mencintainya, rasanya... sulit.”
Yara menggenggam tangannya sendiri di atas pangkuan. “Kalau begitu... batalkan saja pernikahan itu,” ucapnya, nyaris terdengar seperti permohonan.
Steven menggeleng pelan. “Aku tidak bisa, Yara,” ujarnya dengan suara berat.
“Kecuali ada alasan logis dan kuat, aku tidak punya dasar untuk membatalkannya. Lagipula, jika aku melawan keputusan keluarga James, posisiku akan semakin sulit.”
Yara menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang mulai menyeruak. Ia tahu Steven bukan pria yang lemah, namun posisinya memang serba salah. Dibesarkan oleh keluarga yang tidak benar-benar menganggapnya sebagai bagian utuh, membuatnya selalu tunduk pada keputusan yang tidak selalu sesuai dengan kehendaknya sendiri.
“Apa kau bahagia dengan keputusan ini?” tanya Yara lagi, mencoba mencari celah dari hati Steven yang tertutup rapat.
Steven diam sejenak. Lalu, ia menjawab dengan suara pelan, “Aku bahkan belum sempat memikirkan tentang kebahagiaan. Yang kupikirkan hanya... bagaimana menjalani hidup tanpa menimbulkan masalah baru.”
Yara memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang menusuk di dadanya. Anak dalam kandungannya yang semakin tumbuh itu seakan turut merasakan kegundahan ibunya.
Ingin sekali ia berkata jujur—mengatakan bahwa alasan logis dan kuat yang dicari Steven sebenarnya ada di hadapannya saat ini. Bahwa ia mengandung anak dari pria yang duduk tepat di depannya itu.
Namun mulutnya tak kunjung bisa mengucapkannya. Ada ketakutan besar yang menghalangi: takut akan reaksi Steven, takut akan penolakan, dan lebih dari itu, takut Steven akan menganggapnya sedang memanfaatkan situasi.
Steven memandang wajah Yara yang tampak begitu menahan sesuatu. Ia mengenal ekspresi itu. Ia tahu ada sesuatu yang dipendam, sesuatu yang penting.
“Yara... ada yang ingin kau katakan?” tanyanya lembut.
Yara menatap matanya sejenak, lalu menggeleng dengan senyum yang dipaksakan. “Tidak. Hanya saja... aku berharap kau tidak memaksakan dirimu untuk menjalani hidup yang tidak kau inginkan.”
Steven menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan pelan. “Kadang kita tidak punya pilihan, Yara. Aku hidup dalam dunia di mana keputusan bukan milikku. Aku hanya menjalani, bukan menentukan.”
Kalimat itu menggema dalam kepala Yara. Ia tahu betul perasaan itu. Selama ini pun ia menjalani hidup dengan pilihan-pilihan sulit, termasuk memilih untuk tidak memberitahu Steven soal anak mereka.
"Aku akan kembali ke ruang tamu sekarang. Sudah cukup malam," ujar Steven, berdiri perlahan dari sofa. Ia mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi, bersiap melangkah ke luar.
Namun sebelum sempat ia berjalan lebih jauh, terdengar suara kecil dari ujung tangga. Suara yang membuat Steven terhenti, dan tubuh Yara menegang seketika.
“Pa...?”
Mentari pagi baru saja menyelinap melalui tirai tinggi ruang rawat ketika suara ketukan tegas terdengar di pintu. Yara, yang baru saja selesai mengganti kompres dahi Lucas, menoleh dengan dahi berkerut.Begitu pintu terbuka, James masuk ditemani sorot mata dingin yang tak terbantahkan. Tubuh tegapnya dibalut setelan abu‑abu arang, seakan ia datang bukan sebagai ayah, melainkan sebagai hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Papa?” Yara menyambut, mencoba tersenyum, namun bibirnya terasa kelu.James tidak membalas sapaan itu. Pandangannya langsung jatuh pada cucu yang terbaring lemah. Napasnya mengembus, entah menahan emosi atau menyusun kata. Ia menoleh ke Yara. “Ikut aku ke lorong. Sekarang.”Yara menghela napas gemetar, lalu menatap Lucas sebentar sebelum bergeser ke luar. Di koridor sunyi, suara mesin pendingin udara menggema lembut.James berdiri menghadap Yara, kedua tangan dimasukkan ke saku celananya—sikap formal yang tidak menyisakan ruang bagi pembelaan.“Aku akan berbicara singk
Suasana lorong rumah sakit malam itu begitu senyap. Lampu redup di langit-langit hanya menyisakan pantulan lembut di ubin putih.Di ruang bangsal kecil tempat Lucas dirawat, kehangatan begitu terasa. Meski sunyi, suasana di dalam kamar itu tak pernah sepi dari rasa—cemas, lelah, dan kasih sayang yang terpendam.Steven duduk di kursi di dekat tempat tidur Lucas, matanya menatap anak itu yang kini sudah lebih tenang.Wajah kecil Lucas tampak damai dalam tidurnya, meski kulitnya masih tampak pucat dan tubuhnya dibungkus selimut hangat. Peralatan medis di sekelilingnya memantau denyut jantung dan suhu tubuhnya secara konstan.Di sudut ruangan, Yara tertidur di sofa sempit, dengan tangan tergantung di sisi tubuh, wajahnya pucat karena kelelahan.Napasnya teratur namun lemah, sisa tangisan dan kecemasan masih terlihat jelas di kelopak matanya yang sembab.Perlahan, Steven berdiri dari kursinya dan meraih selimut tambahan yang tergantung di sandaran sofa.Dengan hati-hati, ia menyelimuti tub
Steven kembali muncul di depan rumah Yara. Udara terasa berat, seolah turut menyimpan ketegangan yang belum selesai di antara mereka.Yara berdiri di ambang pintu, melipat tangan di dada saat Steven berjalan masuk tanpa menunggu izin.“Aku tidak akan pergi dari rumah ini,” kata Steven tanpa basa-basi. “Aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini, bersamamu dan juga Lucas.”Yara menghela napas lelah mendengarnya. “Steven, kau tidak bisa tinggal di sini. Sudah cukup kekacauan yang terjadi hari ini. Jangan ditambah lagi. Aku mohon.”“Belum selesai sampai hasil tes DNA keluar, Yara. Aku akan tinggal di sini sampai semuanya terbukti.” Suaranya keras dan penuh tekad.“Dan kalau terbukti Lucas anakmu, lalu apa? Kau akan mengambilnya? Menyingkirkanku? Mengubah hidupnya seperti membalik telapak tangan?” Yara membalas dengan suara yang tajam. Tapi sorot matanya menyimpan luka dalam yang tak sempat sembuh.Steven menatap Yara dengan mata yang melelah. “Aku tidak akan mengambil apa pun darim
Baru saja pintu butik tertutup setelah kepergian Nadine, suara bel kembali berdenting.Yara, yang belum sempat menarik napas lega, menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Steven dengan kemeja tergulung setengah lengan dan tangan menggandeng Lucas, yang masih mengenakan seragam sekolah dan tersenyum lebar.“Hai, Mama!” sapa Lucas sambil melepaskan tangan Steven dan berlari ke arah Yara.Yara membungkuk dan memeluk anak itu sekilas, tetapi matanya tertuju pada Steven yang kini melangkah masuk dengan santai. Lelaki itu terlihat percaya diri, seolah tidak ada yang salah dengan kehadirannya di tempat itu.“Aku menjemput Lucas dari sekolah. Dia tadi bilang ingin melihat butikmu,” ujar Steven ringan, seakan tindakan itu tidak menyalahi batas apa pun.Yara berdiri. Sorot matanya dingin. “Aku tidak menyuruhmu menjemputnya.”Steven mengernyit. “Aku hanya—”“Kau tidak seharusnya melakukan itu, Steven. Kau membuatnya bingung. Kau memperkeruh keadaan,” sela Yara cepat, nada suaranya jelas-je
Pagi itu, Yara membuka tirai kaca depan butiknya, “Les Jardins de Yara”. Cahaya matahari memantul pada deretan gaun sutra pastel yang tergantung rapi, sementara aroma kopi hitam dari mug di tangannya menambah semangatnya seusai malam penuh badai emosi.Ia baru saja menata maneken terakhir saat bel pintu berdenting lembut. Yara menoleh—dan jantungnya berdegup kencang. Nadine melangkah masuk dengan keanggunan dingin: gaun sheath berwarna krem, blazer senada, serta senyum tipis yang tidak mencapai mata.“Yara. Aku harap kau tidak sedang sibuk hari ini. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Nadine menoleh ke satu-satunya pramuniaga yang sedang mengepel lantai. “Bisakah kami diberi privasi?”Pramuniaga itu memandang Yara sejenak. Mendapat anggukan singkat dari sang majikan, ia segera menyingkir ke gudang belakang. Ruang butik langsung terasa lebih lapang—dan lebih berbahaya.Nadine berkeliling perlahan, ujung jemarinya menyusuri lipatan gaun di etalase seolah menilai kualitas kain. “Bu
Hening menguasai kamar kecil itu, hanya diselingi oleh suara napas berat Lucas yang masih demam. Yara duduk di sisi ranjang, memeluk lututnya sendiri sambil menatap anak itu.Tangisnya nyaris tak bersuara, tapi pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir. Dadanya sesak oleh rasa bersalah, ketakutan, dan luka lama yang kembali mencuat.“Apa yang harus aku lakukan,” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang patah di ujung lidah. “Steven… jangan lakukan ini… jangan rusak dunia kecil kami.”Lucas mengigau pelan, membuat Yara segera menghapus air matanya. Ia membelai rambut anak itu dan menciumnya. Tapi hatinya tetap tak tenang.Ia tahu Steven bukan pria yang akan mundur ketika sudah mencium kebenaran. Dan jika ia benar-benar melakukan tes DNA—apa yang akan tersisa untuknya dan Lucas?Keesokan paginya, mentari belum terlalu tinggi saat Nadine datang berkunjung, membawa sekotak mainan dan senyum hangat yang dibuat-buat.Ia mengenakan dress lembut berwarna biru muda, rambutnya dikuncir kud