Share

Akan Segera Menikah

Penulis: Suhadii90
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-09 01:02:01

Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.

Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri.

"Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.

Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit.

"Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"

Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.

Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya.

"Jelaskan, apa maksudmu tadi, Yara," desis Steven, nadanya seperti cambuk bagi hati yang terluka.

Yara menahan napas, lalu menariknya dalam-dalam. "Aku tidak tahu siapa ayah dari anakku, Steven. Saat itu... aku sedang mabuk. Dia juga begitu. Kami sama-sama kehilangan kendali. Itu sebabnya aku pergi—untuk menyembunyikan kehamilanku ini," ujarnya dengan suara bergetar, berdusta dengan penuh beban yang menyesakkan dada.

Steven terdiam. Tangannya perlahan turun dari wajah keponakannya. Di balik sikapnya yang tegas, hatinya tergores. Ia merasa ada sesuatu yang tidak dikatakan Yara, tapi tak ingin memaksanya lebih jauh.

"Sama sekali tidak tahu? Saat kau bangun, dia sudah tidak ada?" tanyanya lirih, mencoba mencari celah dalam cerita Yara.

Yara mengangguk dengan cepat. "Ya... dia pergi begitu saja setelah... setelah kami tidur bersama."

Tak ada yang berkata untuk beberapa detik. Diam yang mencekam seolah melingkupi keduanya.

Kemudian Yara bergerak lebih dulu, melangkah meninggalkan terminal kedatangan, berjalan cepat menuju mobil yang sudah menunggu.

Ia ingin segera pulang. Ingin cepat sampai ke tempat yang dijanjikan sebagai 'rumah' setelah bertahun-tahun tinggal di negeri asing.

Steven menyusul di belakang. Dalam diam, ia membawa koper besar milik Yara dan menggendong Lucas yang tertidur di kursi penumpang belakang.

Anak itu tak terbangun sepanjang perjalanan—tubuh mungilnya hangat dan tenang dalam pelukan Steven, membuat hatinya sesekali mencelos tanpa alasan yang jelas.

Setibanya di rumah, Yara langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.

Steven menurunkan koper, lalu duduk di sofa ruang tamu sambil menatap punggung Yara yang sibuk membuka tas Lucas. "Lalu, apa saja yang kau lakukan selama di sana?" tanyanya akhirnya, memecah keheningan.

Yara menoleh, suaranya datar, tanpa emosi. "Hamil. Melahirkan. Membesarkan Lucas."

Steven menyipitkan mata. "Hanya itu?"

Yara mengangguk sambil menggendong Lucas yang masih tertidur, lalu membawanya ke kamar yang telah disiapkan.

Steven hanya menatap punggung itu, yang entah mengapa terasa asing meski dulu pernah begitu akrab dengannya.

"Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka tahu bahwa kau sudah punya anak?"

"Tentu." Jawaban itu singkat dan dingin.

Steven menghela napas pelan. Ia merasa seperti orang asing dalam cerita hidup keponakannya sendiri.

"Rupanya hanya aku yang tidak tahu soal ini. Bahkan kau hilang kontak begitu saja, seolah aku ini tidak penting bagimu."

Yara terdiam sejenak, lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf, Steven. Lebih baik kau pulang saja. Terima kasih sudah mengantar kami ke rumah."

Nada bicaranya tegas. Bukan karena benci—tapi karena takut.

Takut jika ia terlalu lama bersama Steven, kebohongan yang ia bangun selama enam tahun ini akan runtuh dalam sekejap. Karena sesungguhnya, Lucas... adalah darah daging Steven sendiri.

Steven menatapnya dengan dahi berkerut. "Apa Lyra tidak memberitahumu sesuatu?"

Yara menoleh setengah. "Apa?"

"Dia memintaku tinggal di rumah ini sampai kau punya suami. Awalnya aku tak tahu maksudnya. Tapi sekarang aku tahu... rupanya tujuannya agar kau tidak kebablasan lagi."

Yara menegang. "Apa?" ucapnya dengan suara setengah berbisik, matanya membesar karena kaget.

Steven mengangkat kedua tangan seolah menenangkan. "Hanya sementara, Yara. Ayahmu—James—katanya akan menjodohkanmu dengan anak dari kliennya. Aku disuruh tinggal di sini beberapa bulan saja sampai kau resmi menikah."

Yara tercengang. Perjodohan? Ia menggenggam ponselnya, buru-buru mencari kontak sang papa.

"Papa, apa benar yang dikatakan oleh Paman Steven bahwa kau akan menjodohkanku?"

Dari seberang, terdengar suara berat James yang langsung mengiyakan. "Ya. Karena kau sudah tiba di sini, jadi kita percepat saja perjodohan itu."

"Tidak! Tidak, Pa. Aku tidak mau dijodohkan dengan siapa pun! Biarkan aku sendiri yang mencari jodohku, Papa!" suara Yara nyaring penuh dengan penolakan.

James terdengar menghela napas. "Apa lagi yang kau tunggu, Yara? Anakmu sudah besar. Bahkan pamanmu sendiri akan segera menikah. Kau pikir kami bisa diam melihatmu begini terus?"

Yara terdiam seketika. Pamanmu akan segera menikah. Kata-kata itu menggaung di telinganya.

Perlahan, ia menoleh ke arah Steven. "Apa benar itu, Steven?" gumamnya lirih, seolah tak percaya.

Steven mengerutkan alis, sedikit bingung. "Apa?"

Yara menatapnya, matanya memerah. "Kau... kau akan segera menikah?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tamu tak Diundang

    Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Nama yang Terucap

    "Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Tak Sanggup Mengatakannya

    Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Akan Segera Menikah

    Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Kembali Bertemu

    Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru

  • Membawa Kabur Benih Sang Paman   Lebih Baik Merahasiakannya

    Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status