Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.
Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri.
"Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.
Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit.
"Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"
Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.
Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya.
"Jelaskan, apa maksudmu tadi, Yara," desis Steven, nadanya seperti cambuk bagi hati yang terluka.
Yara menahan napas, lalu menariknya dalam-dalam. "Aku tidak tahu siapa ayah dari anakku, Steven. Saat itu... aku sedang mabuk. Dia juga begitu. Kami sama-sama kehilangan kendali. Itu sebabnya aku pergi—untuk menyembunyikan kehamilanku ini," ujarnya dengan suara bergetar, berdusta dengan penuh beban yang menyesakkan dada.
Steven terdiam. Tangannya perlahan turun dari wajah keponakannya. Di balik sikapnya yang tegas, hatinya tergores. Ia merasa ada sesuatu yang tidak dikatakan Yara, tapi tak ingin memaksanya lebih jauh.
"Sama sekali tidak tahu? Saat kau bangun, dia sudah tidak ada?" tanyanya lirih, mencoba mencari celah dalam cerita Yara.
Yara mengangguk dengan cepat. "Ya... dia pergi begitu saja setelah... setelah kami tidur bersama."
Tak ada yang berkata untuk beberapa detik. Diam yang mencekam seolah melingkupi keduanya.
Kemudian Yara bergerak lebih dulu, melangkah meninggalkan terminal kedatangan, berjalan cepat menuju mobil yang sudah menunggu.
Ia ingin segera pulang. Ingin cepat sampai ke tempat yang dijanjikan sebagai 'rumah' setelah bertahun-tahun tinggal di negeri asing.
Steven menyusul di belakang. Dalam diam, ia membawa koper besar milik Yara dan menggendong Lucas yang tertidur di kursi penumpang belakang.
Anak itu tak terbangun sepanjang perjalanan—tubuh mungilnya hangat dan tenang dalam pelukan Steven, membuat hatinya sesekali mencelos tanpa alasan yang jelas.
Setibanya di rumah, Yara langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.
Steven menurunkan koper, lalu duduk di sofa ruang tamu sambil menatap punggung Yara yang sibuk membuka tas Lucas. "Lalu, apa saja yang kau lakukan selama di sana?" tanyanya akhirnya, memecah keheningan.
Yara menoleh, suaranya datar, tanpa emosi. "Hamil. Melahirkan. Membesarkan Lucas."
Steven menyipitkan mata. "Hanya itu?"
Yara mengangguk sambil menggendong Lucas yang masih tertidur, lalu membawanya ke kamar yang telah disiapkan.
Steven hanya menatap punggung itu, yang entah mengapa terasa asing meski dulu pernah begitu akrab dengannya.
"Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka tahu bahwa kau sudah punya anak?"
"Tentu." Jawaban itu singkat dan dingin.
Steven menghela napas pelan. Ia merasa seperti orang asing dalam cerita hidup keponakannya sendiri.
"Rupanya hanya aku yang tidak tahu soal ini. Bahkan kau hilang kontak begitu saja, seolah aku ini tidak penting bagimu."
Yara terdiam sejenak, lalu berjalan ke arah pintu. "Maaf, Steven. Lebih baik kau pulang saja. Terima kasih sudah mengantar kami ke rumah."
Nada bicaranya tegas. Bukan karena benci—tapi karena takut.
Takut jika ia terlalu lama bersama Steven, kebohongan yang ia bangun selama enam tahun ini akan runtuh dalam sekejap. Karena sesungguhnya, Lucas... adalah darah daging Steven sendiri.
Steven menatapnya dengan dahi berkerut. "Apa Lyra tidak memberitahumu sesuatu?"
Yara menoleh setengah. "Apa?"
"Dia memintaku tinggal di rumah ini sampai kau punya suami. Awalnya aku tak tahu maksudnya. Tapi sekarang aku tahu... rupanya tujuannya agar kau tidak kebablasan lagi."
Yara menegang. "Apa?" ucapnya dengan suara setengah berbisik, matanya membesar karena kaget.
Steven mengangkat kedua tangan seolah menenangkan. "Hanya sementara, Yara. Ayahmu—James—katanya akan menjodohkanmu dengan anak dari kliennya. Aku disuruh tinggal di sini beberapa bulan saja sampai kau resmi menikah."
Yara tercengang. Perjodohan? Ia menggenggam ponselnya, buru-buru mencari kontak sang papa.
"Papa, apa benar yang dikatakan oleh Paman Steven bahwa kau akan menjodohkanku?"
Dari seberang, terdengar suara berat James yang langsung mengiyakan. "Ya. Karena kau sudah tiba di sini, jadi kita percepat saja perjodohan itu."
"Tidak! Tidak, Pa. Aku tidak mau dijodohkan dengan siapa pun! Biarkan aku sendiri yang mencari jodohku, Papa!" suara Yara nyaring penuh dengan penolakan.
James terdengar menghela napas. "Apa lagi yang kau tunggu, Yara? Anakmu sudah besar. Bahkan pamanmu sendiri akan segera menikah. Kau pikir kami bisa diam melihatmu begini terus?"
Yara terdiam seketika. Pamanmu akan segera menikah. Kata-kata itu menggaung di telinganya.
Perlahan, ia menoleh ke arah Steven. "Apa benar itu, Steven?" gumamnya lirih, seolah tak percaya.
Steven mengerutkan alis, sedikit bingung. "Apa?"
Yara menatapnya, matanya memerah. "Kau... kau akan segera menikah?"
Mentari pagi baru saja menyelinap melalui tirai tinggi ruang rawat ketika suara ketukan tegas terdengar di pintu. Yara, yang baru saja selesai mengganti kompres dahi Lucas, menoleh dengan dahi berkerut.Begitu pintu terbuka, James masuk ditemani sorot mata dingin yang tak terbantahkan. Tubuh tegapnya dibalut setelan abu‑abu arang, seakan ia datang bukan sebagai ayah, melainkan sebagai hakim yang siap menjatuhkan vonis.“Papa?” Yara menyambut, mencoba tersenyum, namun bibirnya terasa kelu.James tidak membalas sapaan itu. Pandangannya langsung jatuh pada cucu yang terbaring lemah. Napasnya mengembus, entah menahan emosi atau menyusun kata. Ia menoleh ke Yara. “Ikut aku ke lorong. Sekarang.”Yara menghela napas gemetar, lalu menatap Lucas sebentar sebelum bergeser ke luar. Di koridor sunyi, suara mesin pendingin udara menggema lembut.James berdiri menghadap Yara, kedua tangan dimasukkan ke saku celananya—sikap formal yang tidak menyisakan ruang bagi pembelaan.“Aku akan berbicara singk
Suasana lorong rumah sakit malam itu begitu senyap. Lampu redup di langit-langit hanya menyisakan pantulan lembut di ubin putih.Di ruang bangsal kecil tempat Lucas dirawat, kehangatan begitu terasa. Meski sunyi, suasana di dalam kamar itu tak pernah sepi dari rasa—cemas, lelah, dan kasih sayang yang terpendam.Steven duduk di kursi di dekat tempat tidur Lucas, matanya menatap anak itu yang kini sudah lebih tenang.Wajah kecil Lucas tampak damai dalam tidurnya, meski kulitnya masih tampak pucat dan tubuhnya dibungkus selimut hangat. Peralatan medis di sekelilingnya memantau denyut jantung dan suhu tubuhnya secara konstan.Di sudut ruangan, Yara tertidur di sofa sempit, dengan tangan tergantung di sisi tubuh, wajahnya pucat karena kelelahan.Napasnya teratur namun lemah, sisa tangisan dan kecemasan masih terlihat jelas di kelopak matanya yang sembab.Perlahan, Steven berdiri dari kursinya dan meraih selimut tambahan yang tergantung di sandaran sofa.Dengan hati-hati, ia menyelimuti tub
Steven kembali muncul di depan rumah Yara. Udara terasa berat, seolah turut menyimpan ketegangan yang belum selesai di antara mereka.Yara berdiri di ambang pintu, melipat tangan di dada saat Steven berjalan masuk tanpa menunggu izin.“Aku tidak akan pergi dari rumah ini,” kata Steven tanpa basa-basi. “Aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di sini, bersamamu dan juga Lucas.”Yara menghela napas lelah mendengarnya. “Steven, kau tidak bisa tinggal di sini. Sudah cukup kekacauan yang terjadi hari ini. Jangan ditambah lagi. Aku mohon.”“Belum selesai sampai hasil tes DNA keluar, Yara. Aku akan tinggal di sini sampai semuanya terbukti.” Suaranya keras dan penuh tekad.“Dan kalau terbukti Lucas anakmu, lalu apa? Kau akan mengambilnya? Menyingkirkanku? Mengubah hidupnya seperti membalik telapak tangan?” Yara membalas dengan suara yang tajam. Tapi sorot matanya menyimpan luka dalam yang tak sempat sembuh.Steven menatap Yara dengan mata yang melelah. “Aku tidak akan mengambil apa pun darim
Baru saja pintu butik tertutup setelah kepergian Nadine, suara bel kembali berdenting.Yara, yang belum sempat menarik napas lega, menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Steven dengan kemeja tergulung setengah lengan dan tangan menggandeng Lucas, yang masih mengenakan seragam sekolah dan tersenyum lebar.“Hai, Mama!” sapa Lucas sambil melepaskan tangan Steven dan berlari ke arah Yara.Yara membungkuk dan memeluk anak itu sekilas, tetapi matanya tertuju pada Steven yang kini melangkah masuk dengan santai. Lelaki itu terlihat percaya diri, seolah tidak ada yang salah dengan kehadirannya di tempat itu.“Aku menjemput Lucas dari sekolah. Dia tadi bilang ingin melihat butikmu,” ujar Steven ringan, seakan tindakan itu tidak menyalahi batas apa pun.Yara berdiri. Sorot matanya dingin. “Aku tidak menyuruhmu menjemputnya.”Steven mengernyit. “Aku hanya—”“Kau tidak seharusnya melakukan itu, Steven. Kau membuatnya bingung. Kau memperkeruh keadaan,” sela Yara cepat, nada suaranya jelas-je
Pagi itu, Yara membuka tirai kaca depan butiknya, “Les Jardins de Yara”. Cahaya matahari memantul pada deretan gaun sutra pastel yang tergantung rapi, sementara aroma kopi hitam dari mug di tangannya menambah semangatnya seusai malam penuh badai emosi.Ia baru saja menata maneken terakhir saat bel pintu berdenting lembut. Yara menoleh—dan jantungnya berdegup kencang. Nadine melangkah masuk dengan keanggunan dingin: gaun sheath berwarna krem, blazer senada, serta senyum tipis yang tidak mencapai mata.“Yara. Aku harap kau tidak sedang sibuk hari ini. Aku ingin berbicara empat mata denganmu.” Nadine menoleh ke satu-satunya pramuniaga yang sedang mengepel lantai. “Bisakah kami diberi privasi?”Pramuniaga itu memandang Yara sejenak. Mendapat anggukan singkat dari sang majikan, ia segera menyingkir ke gudang belakang. Ruang butik langsung terasa lebih lapang—dan lebih berbahaya.Nadine berkeliling perlahan, ujung jemarinya menyusuri lipatan gaun di etalase seolah menilai kualitas kain. “Bu
Hening menguasai kamar kecil itu, hanya diselingi oleh suara napas berat Lucas yang masih demam. Yara duduk di sisi ranjang, memeluk lututnya sendiri sambil menatap anak itu.Tangisnya nyaris tak bersuara, tapi pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir. Dadanya sesak oleh rasa bersalah, ketakutan, dan luka lama yang kembali mencuat.“Apa yang harus aku lakukan,” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang patah di ujung lidah. “Steven… jangan lakukan ini… jangan rusak dunia kecil kami.”Lucas mengigau pelan, membuat Yara segera menghapus air matanya. Ia membelai rambut anak itu dan menciumnya. Tapi hatinya tetap tak tenang.Ia tahu Steven bukan pria yang akan mundur ketika sudah mencium kebenaran. Dan jika ia benar-benar melakukan tes DNA—apa yang akan tersisa untuknya dan Lucas?Keesokan paginya, mentari belum terlalu tinggi saat Nadine datang berkunjung, membawa sekotak mainan dan senyum hangat yang dibuat-buat.Ia mengenakan dress lembut berwarna biru muda, rambutnya dikuncir kud