"Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”
Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.
Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.
“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.
Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sikap dan nada suara.
Tanpa menambahkan sepatah kata lagi, Steven melangkah keluar. Suara pintu yang tertutup lembut menggema di kamar yang sepi. Yara memejamkan mata, meremas jemari tangannya sendiri dengan erat. Sesuatu dalam dirinya terasa runtuh sedikit demi sedikit.
Di dalam kamar, Yara duduk di sisi ranjang, menatap Lucas yang telah tertidur pulas. Wajah kecil itu tampak damai, tanpa beban, seolah dunia di sekelilingnya tidak pernah menggoreskan luka.
Yara menyandarkan punggungnya di dinding, lutut ditarik ke dada, lalu menengadah ke langit-langit kamar yang gelap. Cahaya lampu tidur membentuk bayangan samar pada dinding, bergerak lembut seperti gelombang. Kesunyian perlahan menyelubungi ruangan, membungkus Yara dalam pelukan dingin yang tidak bisa dihangatkan oleh selimut mana pun.
Air matanya mengalir perlahan, tanpa isak, tanpa suara. Tangisan diam yang hanya diketahui oleh tembok dan gelap malam. Hatinya seperti diperas—oleh kenangan, oleh ketakutan, oleh rasa bersalah yang tidak pernah benar-benar pergi. Ia bukan hanya menangisi kejadian malam ini, tetapi seluruh luka yang selama ini ia tutupi dengan senyuman dan kebohongan.
Mengapa semua ini terasa begitu rumit?
Ia ingin jujur. Ingin mengatakan segalanya. Tapi keberanian itu tak pernah datang. Ia takut akan kehilangan, takut akan pandangan orang-orang, takut… terutama jika Steven tahu kebenarannya.
Tangannya terulur, menyentuh pelipis Lucas yang tenang dalam tidur. “Maafkan Mama, Nak…” bisiknya pelan. “Mama hanya berusaha melindungimu, tapi entah kenapa semuanya malah makin rumit.”
**
Sementara itu, di kamar lantai bawah, Steven duduk sendirian di ranjangnya. Kamarnya sunyi, hanya terdengar dengung halus dari kipas angin yang menggantung di langit-langit.
Ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangkatnya dan menekan nomor Nadine.
Suara sambungan berdering tiga kali sebelum terdengar suara ceria dari seberang.
“Halo? Steven?” suara Nadine terdengar riang, seperti biasanya.
Steven menatap kosong ke arah jendela, lalu menjawab dengan nada datar, hampir tanpa ekspresi. “Ya. Aku hanya ingin memastikan bahwa jadwal pertemuan dengan orang tuamu besok masih sesuai rencana.”
“Masih. Ayah sudah menyiapkan makan malam keluarga. Mereka sangat menantikan kehadiranmu,” jawab Nadine dengan antusias.
“Hm. Baik.”
Keheningan menyelinap sesaat di antara mereka.
“Ada yang salah?” tanya Nadine, mungkin merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam suara Steven.
“Tidak. Hanya sedikit lelah.” Jawabannya pendek, tak membuka ruang diskusi lebih jauh.
“Oh, oke. Kalau begitu kamu istirahat, ya. Aku akan kirim pesan besok pagi.”
Steven mengangguk, meski Nadine tidak bisa melihatnya. “Baik.”
Sambungan terputus. Ia tidak menatap layar ponsel lama-lama. Ia hanya meletakkannya kembali di atas meja, lalu menunduk dalam-dalam, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Ada yang mengganggu pikirannya.
Bukan Nadine. Bukan soal pertunangan yang sudah diatur itu. Tapi… Yara.
Lebih tepatnya, ekspresi gugup Yara saat membela ucapan Lucas, cara ia tergesa memberikan alasan yang terlalu siap, terlalu ‘rapi’ untuk disebut spontan. Dan tentu saja… panggilan itu.
"Pa..."
Steven bukan pria yang mudah berprasangka. Tapi instingnya berkata bahwa apa yang terjadi barusan bukanlah kebetulan semata. Ada kebenaran yang sedang dikunci rapat-rapat oleh Yara, dan Lucas secara tidak sengaja—atau mungkin karena kejujuran polos seorang anak kecil—telah membuka celahnya.
Steven mengingat kembali tatapan mata Yara saat mengucapkan alasan soal kartun itu. Ada ketakutan di sana. Ada pergulatan batin yang tidak bisa dipalsukan.
"Apa sebenarnya yang kau sembunyikan, Yara?" gumam Steven lirih.
Ia bangkit perlahan dari duduknya, melangkah menuju jendela, lalu membuka tirai tipis yang memisahkan dirinya dari dunia malam yang sunyi. Bulan menggantung di langit, setengah terang, setengah gelap—seperti hatinya saat ini.
Ia menyandarkan dahinya ke kaca, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hatinya yang semula mantap memilih jalan hidup, mulai goyah.
Bukan karena keraguan terhadap Nadine, tapi karena rasa ingin tahu yang tumbuh terhadap Yara. Wanita itu telah menarik perhatiannya sejak awal, namun kini… bukan hanya hatinya yang terlibat, melainkan juga pikirannya yang dipenuhi pertanyaan.
Siapa Lucas sebenarnya?
Dan mengapa Yara begitu takut mengatakan yang sesungguhnya?
Suara ketukan lembut di pintu depan mengusik kesibukan Yara di dapur. Ia mengelap tangan pada celemek dan bergegas membuka pintu, mendapati seorang wanita berpenampilan anggun berdiri di sana. Wajahnya berseri, rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya manis serta percaya diri.“Halo,” sapa wanita itu hangat, “Maaf datang tiba-tiba. Aku Nadine.”Yara tertegun sejenak, kemudian segera menyesuaikan ekspresi. “Oh… selamat siang. Silakan masuk,” ucapnya, mencoba bersikap sewajarnya, meski dadanya mendadak sesak oleh nama itu—Nadine.Wanita yang akan menjadi tunangan Steven.Nadine melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia membawa sebuah tas kertas berisi kotak-kotak kecil yang terbungkus rapi.“Aku bawakan sedikit oleh-oleh untuk Lucas. Steven baru bercerita soal anak itu. Awalnya aku terkejut bahwa keponakannya telah memiliki anak,” ujar Nadine sambil meletakkan bingkisan di atas meja ruang tamu.“Terima kasih. Sebenarnya … Lucas sedang tidur siang,” jawab Yara, mengatur nada suara
"Lucas hanya meniru dari film kartun," ujarnya cepat, berusaha mengendalikan situasi. “Dia sering menonton animasi yang tokohnya memanggil pria dewasa dengan sebutan 'Papa’. Mungkin dia masih terbawa suasana mimpi.”Ia menambahkan senyuman canggung yang tidak sampai ke matanya. Senyuman itu lebih sebagai tameng daripada ungkapan tulus. Ia berharap kata-katanya cukup meyakinkan, cukup menutupi kebenaran yang rapuh itu.Steven memandangnya lama. Tidak ada bantahan dari bibirnya, tidak juga pertanyaan lanjutan. Tapi sorot matanya… tajam, tidak biasa. Ada sesuatu yang bergerak dalam tatapannya—seperti embun yang menutupi kaca bening, mengaburkan namun tidak sepenuhnya menyembunyikan pandangan.“Begitu,” ucap Steven akhirnya dengan nada datar.Yara menunduk sedikit, tak sanggup membalas tatapan itu terlalu lama. Ia bisa merasakan bahwa alasan yang ia berikan mungkin terdengar masuk akal di telinga orang lain, tapi tidak bagi seseorang seperti Steven—pria yang tenang namun jeli membaca sika
Steven mengangguk dengan pelan. “Ya,” katanya. “Aku akan segera menikah. Kami sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu.”Ucapannya terucap tanpa emosi, namun cukup untuk membuat dada Yara terasa sesak. Jantungnya berdegup kencang, seakan tak memberi ruang bagi napas untuk mengalir dengan wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral.Dengan senyum canggung, Yara memutuskan untuk menanggapi, meski suara yang keluar dari mulutnya nyaris tidak terdengar. “Kapan kalian akan menikah?”Steven mengangkat bahunya ringan, seolah tak ingin membahas lebih jauh. “Belum ada tanggal pasti. Tapi sepertinya dalam waktu dekat. James yang memintaku untuk segera menikah.”Yara mengerutkan kening. “Padahal kau masih belum ingin berumah tangga, bukan?”Steven menatapnya sejenak, lalu tersenyum pahit. “Mau bagaimana lagi?” jawabnya lirih. “Aku hanya anak angkat di keluarga itu. Apa pun keputusan mereka, aku hanya bisa mengiyakan.”Seketika, suasana menjadi hening.
Yara menghela napas panjang, seakan ingin mengeluarkan semua beban yang tertahan di dadanya sejak kembali ke tanah kelahirannya.Tatapannya jatuh ke wajah Steven yang kini berdiri dengan ekspresi serius—mata itu menyimpan segudang pertanyaan, terutama tentang enam tahun kepergiannya yang penuh misteri."Bukan urusanmu," jawab Yara singkat. Suaranya datar, namun terdengar jelas nada bergetar di sana.Steven mengangkat alis. Sorot matanya mengeras, nadanya meninggi sedikit."Jelas ini urusanku, Yara. Aku ini pamanmu, dan baru sekarang aku tahu bahwa kau hamil, lalu punya anak. Kau pergi karena menyembunyikan kehamilan ini dari kami... atau hanya aku saja yang tidak kau beri tahu?"Tenggorokan Yara tercekat. Ia memalingkan wajah, menatap ke jendela bandara yang mulai dibasahi embun. Matanya berkaca, namun ia berusaha tetap tenang.Steven mendekat, tak ingin percakapan itu menggantung. Dengan pelan namun tegas, ia meraih dagu Yara, memaksanya untuk menatap langsung ke matanya."Jelaskan,
Enam tahun kemudian….Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir kali ia melihat Yara. Enam tahun yang penuh tanya, ke mana perginya keponakannya itu.Enam tahun tanpa kabar. Keluarganya bungkam, termasuk sang kakak—Lyra—yang selalu menghindar jika ia bertanya tentang keberadaan Yara.Steven memendam segalanya, termasuk perasaannya. Tapi hari ini... semua itu akan berakhir.Ia mengecek ponsel. Pesawat dari London telah mendarat sejak lima belas menit yang lalu. Matanya menyapu kerumunan orang-orang yang keluar satu per satu dari pintu kedatangan internasional.Degup jantungnya memburu. Jari-jarinya mengepal di saku coat. Wajahnya tegang, matanya tak berkedip.Hingga…“Ups! Maaf, Paman! Aku tidak sengaja.”Tiba-tiba seorang anak kecil menabraknya. Tangannya yang memegang cup kecil berisi camilan tumpah, mengotori celana Steven.Steven mundur selangkah dan melihat ke bawah. Cokelat cair menodai kain celananya.“Huh—” Steven mengerutkan kening. “Kau membuat celanaku kotor, anak kecil!” geru
Satu bulan kemudian…Entah sudah berapa kali pagi ini ia berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan isi perutnya.Tak ada makanan yang bertahan lama di lambungnya. Sesuatu terasa tidak beres. Kepalanya pening, tubuhnya gemetar.Dengan tangan yang sedikit bergetar, Yara meraih alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya secara diam-diam di apotek kecil dekat taman kota.Ia mengurung diri di kamar mandi, menatap pantulan wajahnya di cermin yang terlihat jauh lebih tua dari usianya yang masih dua puluh tiga tahun.Perlahan, ia menurunkan pandangan ke alat tes yang kini menunjukkan dua garis biru.Sunyi. Hening. Dunia seolah berhenti berputar.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapannya.“Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Aku... baru satu kali melakukannya,” lirih Yara, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang mulai mendesak keluar dari sudut matanya.Pikirannya kacau. Ia memel