"Kamu masih perawan. Siapa kamu sebenarnya?"
Tanya itu datang dari seorang lelaki yang menatap noktah merah yang tertinggal di atas seprai di atas ranjang miliknya, kedua matanya mengarah lurus pada seorang perempuan yang kini sedang meringkuk mencoba menutupi tubuhnya yang polos tak berlindung sehelai benang, Isabella Lara Gilbert.Lelaki itu Jest Alexander Suh. Mereka baru saja melakukan malam pertama setelah menjadi pasangan suami istri.Bukan dalam pernikahan baik-baik karena Lara ada di sini untuk menggantikan Nala, kembarannya yang kabur entah ke mana.Lara terpaksa menjadi mempelai pengganti bukan tanpa tujuan. Ini dia lakukan untuk membuat bisnis ayahnya yang sedang ada di ambang kebangkrutan bisa bertahan.Ayah Alex, yang merupakan sahabat ayahnya, mau menggelontorkan dana besar untuk membantu bisnis mereka tapi dengan satu syarat, agar mereka menjodohkan anak mereka.Melalui kesepakatan itu, mereka akhirnya menikahkan Nala dengan Alex.Tapi semuanya tidak berjalan sesuai rencana!Nala yang semula setuju, mendadak hilang tak bisa ditemukan. Tak seorang pun tahu di mana dia berada. Ayahnya hampir terkena serangan jantung sampai Lara menyetujui untuk menikah dengan Alex.Lalu bagaimana sekarang?Mereka telah gagal mengelabui Alex. Lelaki itu tahu yang baru saja meghabiskan malam panas dengannya bukanlah Nala."Jawab aku! Kenapa kamu diam saja? Kamu tuli?"Lara kesakitan saat Alex meraih pergelangan tangannya dengan kuat seolah itu bisa meremukkan tangan kecilnya.Ucapan dan tindakannya sama-sama kasar. Tidak pernah Lara diperlakukan sekasar ini oleh seseorang.Jari telunjuk Alex sekali lagi mengarah pada darah yang ada di sana saat dia memperjelas yang sebelumnya dia katakan."Ini bukti kamu masih perawan. Kamu bukan Nala. Tidak mungkin perempuan panggilan sepertimu masih perawan."Alis tegasnya hampir bertaut saat dia memindai setiap sudut wajah Lara yang kebingungan.'Perempuan panggilan? Apa maksudnya?' Lara bertanya dalam hati. 'Perempuan panggilan' yang dikatakan olehnya persis seperti yang disampaikan oleh Alex sesaat sebelum dia membuat Lara tak berdaya.Tadi dia mengatakan, 'Akan aku cicipi tubuh yang kamu perjualbelikan di luar sana. Setidaknya aku telah membuat bisnis receh ayahmu bertahan.'"Siapa kamu?!"Suaranya kembali terdengar, membuat Lara tersentak karena dia baru saja tenggelam dalam banyak tanya yang tak menemui jawab."JAWAB!"Lara menepis tangan Alex sebelum lelaki ini semakin kasar."Apa maksud kamu? Aku Nala.""Pembohong!" sentak Alex penuh amarah."Jawaban apa yang kamu inginkan? Aku Nala! Harus berapa kali aku bilang?"Lara tidak akan mengambil resiko dengan mengatakan siapa dia sebenarnya. Melihat tempramen lelaki ini, dia bisa saja melakukan hal buruk. Tak seorang menjamin Alex tidak akan menyakiti Lara atau membiarkan keluarganya lolos begitu saja karena telah membohonginya.Lara ketakutan melihat mata sekelam malam itu. Mengoyak rasa percaya dirinya yang mencoba bertahan dengan jawaban yang sama."Aku Nala. Kenapa kamu berpikir aku orang lain?"Alex terdengar tertawa lirih, rambut hitamnya bergerak saat dia menggeleng dan turun dari tempat tidur sembari mengenakan pakaiannya."Kalau kamu tidak mau mengaku, aku akan cari tahu jawabannya sendiri. Asal tahu saja, aku sangat benci dengan orang-orang sepertimu atau keluargamu itu, yang melakukan segala cara agar tujuannya tercapai.""Kamu pikir aku mau menikah denganmu? Sama sekali tidak!" kata Lara dengan sisa-sisa keberanian yang ia punya.Alex hampir memungut kemeja yang ada di lantai tapi hal itu dia urungkan. Tangannya yang sudah menggantung nyaris menyentuh kain yang tergeletak sembarangan itu berubah arah menyentuh dagu Lara.Lara mencoba melepaskan tangannya tapi sayang dia kalah tenaga dari Alex."Kamu bilang kamu tidak mau menikah denganku? Kamu pikir kamu siapa yang beraninya bilang begitu? Apa di matamu aku ini lelaki yang mudah dikendalikan?"Iris gelap yang tadinya Lara jumpai di sepasang netranya telah berganti menjadi mata serigala. Membuat Lara merasa kecil, seperti seorang anak yang hilang di tengah hutan pohon ek.Tahu Lara telah menyinggung harga dirinya, apalagi dengan Alex yang mengira Lara adalah perempuan panggilan, Lara memutuskan untuk meralat ucapannya."Maaf, maksudku ... aku juga terpaksa melakukan pernikahan ini."Tubuh mungil Lara nyaris terhempas ke belakang saat Alex melepas tangan dari dagunya."Kamu bukan Nala, 'kan? Nala itu perempuan yang berpindah dari ranjang yang satu ke ranjang yang lainnya setiap malam. Jadi siapa yang dikirim oleh Roy untuk menikah denganku ini?"Punggungnya tegak, Lara bisa melihat tubuh bagian atasnya yang perlahan tertutup saat dia akhirnya mengambil kemejanya dan mengancingkannya dari bagian paling atas.Pikiran Lara terbagi antara keharusan menjawab Alex, dan ungkapannya yang mengatakan bahwa saudara kembarnya itu adalah seorang perempuan panggilan.'Sejak kapan Nala seperti itu? Apa kaburnya dia dari pernikahan karena ada hubungannya dengan itu? Apa papa tahu apa yang dia lakukan di luar sana?'Monolog terjadi tanpa henti dalam benaknya sampai bariton dingin Alex membuatnya tersadar."Nanti, kalau aku menemukan jawaban siapa kamu, akan aku buat orang yang mengirimmu ke sini itu sebagai orang pertama yang menerima akibat karena menipuku. Dan itu adalah Roy."Lara seketika menegang. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa ayahnya. "Jangan, jangan lakukan itu!" serunya memohon."Maka jawab aku dengan benar!"Lara menghela napasnya yang terasa berat. Mempertimbangkan ancaman Alex atas ayahnya, dia pun memutuskan untuk mengaku."Aku ... aku Lara. Nala itu kembaranku."Alex tersenyum sinis. Memiringkan kepalanya saat bertanya, "Kenapa kamu yang ada di sini?""Nala hilang sejak semalam, tidak bisa dihubungi dan tidak pulang sampai tadi pagi sebelum pernikahan. Kami tidak tahu dia pergi ke mana.""Jadi Roy mengirimmu ke sini karena wajah kalian sama?" Alex mendengkus."Iya." Lara menunduk, meremas jari-jari kecilnya yang berpangku di atas lutut."Kalian sekeluarga memang penipu. Sebegitu inginnya Roy mempertahankan bisnisnya sampai menyuruhmu untuk menggantikan Nala?""Kami tidak punya pilihan," Lara mencoba membela diri."Dan anak perempuannya yang bodoh ini menurut saja melakukan perintahnya? Sama saja! Senang karena berhasil menipuku?"Lara tidak menjawab. Air mata tertahan membingkai kedua netranya. Kakinya kebas, dia tidak ingin membiarkan Alex jenuh menunggu dan dengan suara yang gemetar menjawab,"Aku tidak bermaksud menipumu. Maafkan aku.""Memuakkan!"Alex berjalan mengitari tempat tidur untuk sampai di dekat Lara, meraih pergelangan tangannya sekali lagi, mencengkeramnya dan menarik Lara hingga dia turun dari ranjang."Sakit, Alex!"Alex mengabaikan Lara yang merintih kesakitan. Dia seret wanita itu dengan keadaan yang menyedihkan. Pakaian Lara dia tendang dengan kakinya lebih dulu sampai di ambang pintu.Alex membuka pintu kamarnya dan baru setelah itu dia mendorong Lara keluar dari kamarnya."Aku tidak akan menganggap pernikahan ini terjadi, Lara. Jangan berharap aku akan memperlakukanmu dengan baik atau bahkan menyebutmu sebagai istri. Keluar kamu dari kamarku!"Lara tidak bisa menahan haru melihat api yang meliuk di atas lilin kecil pada kue black forest yang dibawa oleh Neo. “Selamat ulang tahun, Mama,” kata Shenina pertama-tama. “Ayo buat permohonan dan tiup lilinnya.” Lara dengan segera melakukan itu. Ia merapatkan tangannya dan berdoa agar kebahagiaan ini tidak pernah putus. Untuknya, untuk keluarganya. Agar mereka diberkati dalam kebahagiaan yang sempurna. Barulah setelah itu Lara menunduk, merendahkan tinggi tubuhnya untuk meniup lilinnya. Lara menerima kue dari Neo yang mengatakan, “Selamat ulang tahun untuk Mama,” katanya manis. “Tidak banyak yang Neo minta selain Mama menjadi Mama yang bahagia.” “Selamat ulang tahun, Mama,” kali ini Shenina yang berujar. “Shen juga memiliki harapan yang sama, semoga Mama tetap bahagia. Dan tetap menjadi Mama cantiknya Shen.” Lara lebih dulu meletakkan kue ulang tahun dari para kesayangannya ke atas meja makan kemudian ia memeluk si kembar yang dengan senang hati membalasnya. “Terima kasih unt
*** Merasakan dingin yang memeluknya, Lara membuka matanya dengan cepat. Napasnya tersengal bahkan setelah ia membuka matanya. Ia baru saja berpikir dirinya sedang tidur di lantai seperti lima tahun silam agar anak-anaknya bisa tidur dengan nyaman di atas ranjang. Ia menggigil, kenangan akan sulitnya masa lalu sekali lagi membuatnya terjaga dengan keadaan yang berbeda. Dulu, Lara terbangun karena dingin dan tidak nyaman, tidak ada selimut untuknya selain ia menggunakan apapun untuk menutupi tubuhnya. Tetapi sekarang ia terbangun di tempat yang nyaman dan bahkan tidak sendirian. Tangisan Sky itulah yang pasti membuat intuisi seorang ibu dalam dirinya membuka mata. Dan saat hal itu ia lakukan, Lara telah menjumpai Alex yang berdiri dan menggendong Sky. Ia tampak memandang Lara dengan hanya bibirnya saja yang bergerak seolah bertanya, ‘Kenapa kamu bangun?’ “Sky baik-baik saja?” tanya Lara lirih. Alex mengangguk, menunjukkan Sky yang kembali terlelap saat Alex menepuk lem
.... Dari tempat bulan madu Karel dan Sunny. Seperti yang sebelumnya dikatakan oleh Lara bahwa ada kemungkinan mereka memang sedang berbulan madu ... hal itu memang benar! Mereka pergi berbulan madu setelah penantian yang cukup panjang dan lama mengurus izin cuti Karel yang notabene adalah seorang dokter yang bisa dikatakan ... hm ... masih baru di tempat ia bekerja. Udara sejuk Edinburgh membelai wajah Sunny begitu ia membuka pintu geser di sebuah hotel tempat mereka menghabiskan waktu selama mereka di sini. Ia memandang ke luar dan berdiri di balkon. Pandangannya ia jatuhkan paada jalan yang tampak lengang pada hari MInggu pagi ini yang sebagian besarnya basah oleh sisa hujan. Semalam memang Edinburgh diguyur hujan. Bukan hujan deras tetapi itu cukup untuk membuat bunga kecil dan dahan pepohonan kedinginan pagi ini. “Cantik sekali pemandangan setelah hujan,” gumamnya. Meski ia sebenarnya juga suka pemandangan sebelum hujan, tetapi setelah curahan air turun dari langit ... ia
.... “Apakah Neo dan Shenina suka dengan sekolah baru mereka, Lara?” tanya Alex pada Lara yang saat ini tengah menatapnya setelah mengalihkan wajahnya dari layar ponsel yang ada di tangannya. “Aku rasa mereka senang,” jawab Lara. Memandang sekilas pada jam digital yang ada di atas meja kemudian pada Sky yang terlelap di dalam box bayi miliknya. “Karena mereka bisa bertemu dengan si kembar Zio dan Asha juga, ‘kan? Kamu ‘kan tahu kalau mereka itu bestie.” Alex tak bisa menahan senyumnya. Ia menutup laptop yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas nakas yang tak jauh dari ranjang sebelum meraih ponsel Lara. “Jangan main ponsel terus! Peluk aku sekarang, hm?” Alex merengkuh pinggang Lara, membuatnya berbaring dengan nyaman saat mereka merasakan hangat di bawah satu selimut yang sama. Mereka saling memagut untuk beberapa lama sebelum Alex mengecup pipinya. “Cantik sekali ....” “Bukankah aku memang selalu cantik?” tanya Lara, menyentuh garis dagu Alex, tersenyum saat merasaka
*** . . Berhasilkah? Tidak! Tapi mungkin saja, 'kan? Pertentangan batin sedang bergejolak di dalam benak Kalisha. Ia berdiri bersandar di pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Menggenggam sebuah test pack yang ada di tangannya. Yang baru saja ia gunakan untuk mengetes, apakah ia benar hamil ataukah tidak. Ia memang sering terlambat datang bulan. Tapi tak seperti kali ini. Ini sangat jauh dari hari biasanya. Jadi ia ingin melakukan tes. Sejak pernikahannya dengan Ibra, lebih dari satu tahun lamanya, lebih dari berbulan-bulan pula ia selalu terlambat datang bulan dan hasilnya selalu satu garis setiap ia ingin melihatnya. Dan ia tak pernah mengharap lebih soal itu. Tapi sekarang, dadanya berdebar lebih dari biasanya. Sebagai seorang perawat yang tahu betul seperti apa detak jantung normal dan detak jantung yang tidak normal, maka Kalisha akan menggolongkan ini sebagai detak jantung yang tidak normal. Berisik sekali. Berdentum. Seolah tak mau diam setiap kali tanya muncul m
Yang dilihat oleh Lara itu adalah Roy, ayahnya. Ia tak berdiri di sana sendirian melainkan bersama dengan ibunya Lara, Laras. Tak ia ketahuai berapa lama waku berjalan hingga membawa Roy ke hadapannya. Sudah tahun demi tahun berlalu, bukan? Lara memang mendengar jika hukuman untuk ayahnya itu mendapatkan keringanan karena ia berperilaku baik selama menjadi tahanan. Dan ternyata, kepulangannya itu adalah hari ini. Atau mungkin beberapa saat lebih awal dari hari ini karena setidaknya ia membutuhkan waktu untuk bersiap ke sini. Barangkali dengan meneguhkan hatinya untuk bisa menghadapi Lara. Sebab beberapa kali Lara mengunjunginya di tahanan, Roy selalu mengatakan hal yang sama. ‘Mungkin nanti Papa tidak bisa langsung menemuimu karena merasa sangat bersalah, Lara.’ Tapi sekarang dia di sini. Di hadapan Lara. Berdiri dengan tampak canggung dan air matanya mengembun membasahi pipi saat ia tersenyum dan membiarkan Lara datang guna memeluknya. “Papa ....” Lara mengulanginya sekali
*** Beberapa waktu setelah tertangkapnya Selim, Lara kemudian tahu bahwa yang dilakukan oleh pria itu jauh lebih parah daripada yang ia bayangkan. Bagaimana ia mengawasi Lara sebelum dan sesudah kembalinya ia dari luar negeri membuat Lara bergidik merinding saat Alex menceritakannya dan membawa beberapa catatan yang difoto oleh Ibra. Salah satunya juga adalah soal kegugurannya kala itu yang disebut oleh Selim sebagai 'hilangnya anak monster.' Hati Lara sakit. Ia tak pernah tahu ada orang sejahat itu yang hadir di hidupnya. Dan rasanya itu bertubi-tubi. Ingat saja berapa banyak orang yang membuatnya sengsara. Dimulai dari Nala yang kabur pada hari pernikahannya, atau Shiera yang membencinya karena menganggapnya merebut Alex. Tetapi Selim memberikan rasa tersendiri, ketakutan dan juga was-was. Lara bahkan memerlukan waktu tenang selama beberapa jam setelah Alex mengatakan itu. Ia kembali tersadar dan menepis hal tak penting yang mengganggunya itu saat melihat Sky yang miring
*** "Pulanglah, ini sudah malam," ucap Ibra saat ia merapikan lengan kemejanya dan memandang Alex yang masih berdiri di depan sandsack dengan napas yang naik turun tak beraturan. Kedua tangannya masih terbungkus oleh sarung tinju. Rambutnya tampak basah saat ia menoleh pada Ibra dengan salah satu alis yang terangkat tak percaya. "Kamu sudah mandi dari tadi?" tanya Alex memastikan. Memandang Ibra dari atas hingga ke bawah. Di dalam ruang gym, hanya ada mereka berdua. Ruangan ini disewa oleh Alex yang tidak ingin melihat ada orang lain masuk sebab sekitar tiga jam yang lalu, lepas ia pergi dari unit apartemen Selim ia harus melampiaskan kekesalannya. Saat ia meminta agar Ibra menjadwalkan ulang untuk ia bisa mengunjungi Selim dan membuatnya babak belur jilid dua, Ibra tak mengabulkannya. Alih-alih mengiyakan Alex, Ibra dengan santainya malah mengatakan, 'Tidak perlu, Pak Alex. Kita tunggu saja nanti di pengadilan. Kita ledek dia sampai dia muntah dan kesetanan. Sayang tanganmu kala
Entah berapa ratus, atau bahkan ribu banyaknya foto Lara yang ada di dalam kamar itu—selain kamar yang diyakini oleh Alex sebagai kamar utama. Pada dindingnya yang lebar itu Alex bisa menjumpai foto Lara. Jika Alex biasanya melihat hal seperti ini lumrahnya ada di film atau di drama thriller tentang seorang psikopat, tetapi kali ini Alex melihatnya ada di depan mata. Alex pernah mengatakan bahwa pria itu—Selim—memiliki pengetahuan tentang Lara sama sepertinya. Tetapi sangkaan itu harus ia tepis sekarang karena sepertinya Selim lebih banyak tahu tentang Lara. Sebab ada banyak sekali foto Lara yang tinggal di rumah lamanya, bersama dengan Neo dan Shenina yang masih kecil. Berada di depan rumah, atau sedang membeli jajanan di toko yang tak jauh dari rumahnya. Atau saat Lara mengantar mereka ke sekolah bersama dengan wanita paruh baya yang dikenal Alex sebagai pengasuh si kembar dulu, selama Lara bekerja. Ada buku yang memiliki catatan apa-apa saja yang dilakukan oleh Lara. Tanggal,