LOGINPraja akhirnya meninggalkan tenda. Langkah kakinya pelan, menuju rumah sederhana tempat Sekar dan Riri tinggal sementara. Dari kejauhan, ia melihat Sekar duduk sendirian di beranda. Riri tampaknya sudah masuk, meninggalkan Sekar yang menatap langit penuh bintang.“Sekar,” suara itu pelan, tapi cukup untuk membuat Sekar menoleh.Sekar terkejut, tapi cepat-cepat menunduk. “Komandan, malam-malam begini seharusnya istirahat. Ada apa?”Praja berhenti beberapa langkah darinya, seakan ragu untuk lebih dekat. Namun akhirnya ia menarik napas dan melangkah maju. “Aku tidak bisa tidur kalau kita masih dalam keadaan seperti ini.”Sekar menelan ludah. “Keadaan seperti apa?”Praja menatapnya dalam-dalam. “Keadaan di mana kamu menjauh dariku, padahal aku ingin lebih dekat. Keadaan di mana kamu menutup hatimu, padahal aku sudah membukanya lebar-lebar untukmu.”Sekar menghela napas berat, jemarinya meremas ujung kain selendangnya. “Komandan, jangan mempersulit. Kita sudah berbeda sejak awal. Kamu seor
Sekar berjalan cepat meninggalkan tenda, langkahnya terburu-buru, nyaris berlari. Dadanya bergemuruh hebat, entah marah, kecewa, atau terluka—ia tak tahu. Hanya satu hal yang jelas: melihat Praja begitu dekat dengan Kirana membuatnya merasa hampa.“Sekar!” suara Praja memecah keheningan senja, terdengar di belakangnya.Sekar tak menggubris, malah mempercepat langkah. Namun suara langkah sepatu Praja makin mendekat, hingga akhirnya tangan kokoh itu meraih lengannya.“Sekar, tunggu sebentar!”Sekar berbalik dengan mata berkaca-kaca, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh. “Lepaskan aku, Komandan! Saya tidak ingin ikut campur urusan pribadi Komandan dengan Dokter Kirana.”Praja terdiam sesaat, terkejut oleh nada suaranya. “Sekar, kamu salah paham.”“Tidak ada yang salah paham!” Sekar memotong cepat, suaranya bergetar. “Saya jelas melihatnya sendiri, Komandan berbicara berdua, begitu dekat, seakan ... seakan ...” suaranya tercekat, “seakan kalian memang berjodoh.”Praja menghela napas
Pagi itu, suasana desa terasa lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Praja berdiri di depan pos penjagaan, menatap ke arah hamparan sawah yang diselimuti kabut tipis.Dari jauh, Sekar datang membawa keranjang berisi sayuran segar untuk para prajurit. Praja melihat langkahnya yang anggun, sederhana, namun entah mengapa membuat dadanya bergetar. Ia menoleh sekilas, seolah tidak peduli, tetapi mata dan pikirannya tetap menuntunnya untuk memperhatikan Sekar.“Pagi, Komandan,” sapa Sekar sambil tersenyum tipis.“Pagi,” jawab Praja singkat. Suaranya dalam, tapi ada nada lembut yang jarang sekali ia keluarkan.Sekar menunduk, meletakkan keranjang di meja kayu. “Ini sayuran dari ladang. Untuk persediaan makan siang kalian. Aku titip sama prajurit yang lain saja.”Praja mengangguk, tapi sebelum Sekar beranjak pergi, ia memberanikan diri. “Sekar, tunggu.”Sekar berhenti, menoleh pelan. “Ada apa?”Praja menelan ludah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi lidahnya terasa kelu. “Aku ..
Suasana pos berubah hening saat iring-iringan kendaraan militer berhenti di depan. Para prajurit langsung berdiri tegak, memberi hormat. Dari mobil utama, seorang pria paruh baya turun dengan wibawa penuhJenderal Sudirman.“Siap grak!” suara lantang komandan jaga menggema.Praja melangkah ke depan, memberi hormat dengan sikap sempurna. “Selamat datang, Jenderal!”Sudirman menepuk bahu Praja dengan bangga. “Kerja bagus, Komandan. Desa ini mulai pulih, rakyat merasa terlindungi. Aku bangga padamu.”Senyum tipis itu lalu berubah serius. Ia menatap Praja dalam-dalam.“Praja, setelah misi ini selesai, aku ingin kau mempertimbangkan sesuatu.”“Perintah, Jenderal?”“Bukan sekadar perintah. Aku hanya percaya padamu. Karena itu, apakah kau bersedia menikah dengan putriku, Kirana?”Seketika dada Praja sesak. Ia menunduk, wajahnya tegang. Kata-kata itu berat, jauh lebih berat daripada memimpin pertempuran.“Jenderal, saya.” suaranya tertahan.Tak jauh dari sana, Sekar yang tengah membawa kain un
Malam itu markas terasa sunyi setelah hiruk-pikuk penyelamatan Arga. Hanya suara jangkrik dan sesekali langkah prajurit yang berkeliling membuat suasana tidak sepenuhnya hening.Sekar berdiri ragu di depan ruang komando. Cahaya lampu minyak dari dalam membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang di tanah. Setelah menarik napas dalam, ia memberanikan diri mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat itu terdengar.Praja duduk di balik meja, map laporan berserakan. Tatapannya langsung terarah pada sosok Sekar yang melangkah masuk dengan hati-hati. Wanita itu menunduk sebentar, lalu berkata lirih, “Komandan aku ingin minta maaf. Waktu itu, aku pernah menuduhmu dan aku menyesal. Terima kasih karena sudah menyelamatkan putraku. Kalau bukan karena keberanianmu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Arga.”Ruangan seketika hening. Praja hanya menatapnya lama, seakan sedang mencari jawaban dari wajah Sekar. Ada sesuatu yang berputar di kepalanya kenangan lama, malam kelam yang selama ini ia kubur rapa
Suasana pos militer pagi itu riuh. Para prajurit sudah berkumpul di halaman, sebagian sibuk membersihkan senjata, sebagian lagi mendengarkan pengarahan. Namun di balik semua itu, wajah Praja terlihat lebih tegang dari biasanya.Doni, Yudha, Seno, dan Tama sempat saling pandang. Mereka tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hati komandannya.“Komandan, laporan dari markas baru masuk,” ujar Doni sambil menyerahkan map. “Ada indikasi bandit yang semalam lolos, bergerak ke arah utara. Mereka kemungkinan menyusun kekuatan kembali.”Praja menerima map itu, matanya sekilas menatap dokumen, tapi pikirannya melayang. Yang ia lihat bukanlah peta pergerakan musuh, melainkan wajah Sekar semalam—murung, penuh luka, lalu pergi begitu saja tanpa mendengar penjelasannya.Praja menghela napas, menutup map dengan cepat. “Kita tidak boleh lengah. Siapkan regu patroli. Jangan beri kesempatan mereka menyakiti warga desa lagi.”Para prajurit serentak mengangguk. Namun Doni memperhatikan mata Praja yang sayu.







