"Martin!" Sekali lagi Diana berteriak dengan mata melebar. Dengan cepat dia menarik celana panjangnya yang sekarang ditarik-tarik Martin. Namun, sungguh sangat disayangkan gerakannya kalah cepat. Martin berhasil meloloskan celananya dan hanya menyisakan celana dalam berwarna pink. Seringai tipis terbingkai wajah Martin seketika. Ia melempar celana jeans Diana ke sembarang arah. Melihat paha dan betis seputih susu membuat jakun Martin naik dan turun sekarang. Tatapannya pun mulai sayu.Diana semakin panik lantas memundurkan tubuh dan menutup bagian bawah dengan kedua tangannya. "Jangan Martin!" Tapi, Martin seakan tuli. Pria beralis tebal itu malah menarik kedua kaki Diana dalam sekali hentakan hingga sekarang ia berada di atas tubuh Diana. Ia menekan tubuh Diana lalu menurunkan tangan kirinya dan jari-jarinya mulai bergerak di atas titik puncak kepuasaan Diana.Diana merem melek, mulai terbawa arus. "Ahk, jan–hmf!"Martin melabuhkan kecupan singkat agar Diana tak menolak. "Kenapa ja
"Hoamm, Abang bagaimana ya cala tahu Mommy dan Daddy sudah cinta? Kemalin Angela pelhatikan Daddy selalu tatap-tatap Mommy?" Pulang sekolah tadi langsung menyantap makan siang bersama Angelo. Saat ini kedua bocah itu duduk bersantai di ruang tengah, yang menghadap keluar taman bunga. Martinez tampak setia berbaring di samping Angela sejak tadi.Semua penghuni rumah terlihat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Termasuk Cordelia sedang tidur siang. Sedangkan Diana tadi meminta izin ke gazebo hendak menemui Kornelius yang tiba-tiba datang menyambangi mansion Martin di saat sang pemilik masih berkutat dengan perkerjaan di kantor. "Entahlah, rumit juga ya, aku pun tak tahu tanda-tanda orang jatuh cinta," balas Angelo dengan mata sayu-sayu. Bocah lelaki itu terlihat mengantuk pula. Angela melirik ke samping dan menaruh kepalanya di paha Angelo lalu meluruskan kedua kakinya di atas sofa. Melihat pergerakkan Angela, Martinez langsung melompat ke lantai. Dengan kaki mungilnya berlari kesan
"Baik Mister." B memutus sambungan, lalu memasukkan ponsel mininya ke saku jeans dengan kening berkerut hingga tiga lipatan. "Apa kata Mister? Kita jadikan nanti malam ke markas, ada pelanggan kita dari California mau mengambil senjata api. Dia ingin bertatap muka dengan Mister." Lopez menepuk kuat pundak B dan sesekali melirik Angelo tengah menunggu pula jawaban dari B. Angelo dan Angela mendongak dengan mata berkedip-kedip. Sementara Ursula duduk di sofa sambil memangku Martinez, yang saat ini mulai keletihan berlari-lari tadi. Menoleh ke samping, dahi B masih mengerut."Mister mengatakan sedang sibuk berolahraga sekarang dan tidak boleh diganggu gugat sampai lusa."Lopez membuang napas, sedikit jengkel, lagi dan lagi perkerjaan dunia hitam diserahkan semua kepada mereka. "Aneh sekali, inikan masih sore, lagipula sejak kapan Mister berolahraga di jam segini dan kenapa sampai lusa?" Lopez sudah hapal dengan kegiatan Martin. Pria bertubuh kekar itu biasanya terbangun agak pagi dan
Alert! [18+++]Diana membeku. Apa dia tidak salah mendengar barusan, hendak menggerakkan bibir tapi Martin terlebih dahulu membungkamnya lalu melumat bibir bawahnya dan menghisap bibirnya dengan agak kasar, seolah-olah sedang membersihkan jejak Kornelius. Diana tak membalas, matanya masih terbuka lebar dengan air mata tak henti mengalir. Dapat ia dengar deru napas Martin semakin memburu. Perlahan tapi pasti Diana menutup matanya juga. Membalas pagutan hingga pada akhirnya Martin berhasil memasukkan lidahnya ke rongga mulut Diana lalu melilitkan lidah dan mulai menukar saliva. Suara kecapan mulai terdengar di sekitar. Detak jantung keduanya mulai kacau. Martin menurunkan tangan, kali ini beralih memegang kedua pipi Diana dan sesekali memiringkan kepala. Kembali ia hisap bibir Diana lebih lembut, tak kasar seperti tadi."Aku mencintaimu, Diana. Jangan berbohong padaku lagi. Aku tahu kau mencintaiku juga." Seketika, Martin membuka mata dan melepas lidahnya lalu ia satukan keningnya pad
Caracas, Venezuela.Sudah dua hari, Martin tak pulang ke mansion, membereskan kekacauan yang terjadi di markas. Senjata api miliknya dicuri para gangster. Martin sebisa mungkin mengambil senjata yang masih tersisa dan tak segan-segan membantai para gangster. Selama itu pula, dia selalu mengirimkan pesan singkat pada Diana. Walaupun sama sekali tak ada balasan. Martin memaklumi, mungkin saja Diana sedang sibuk mengurusi Angelo dan Angela. Namun, tepat hari ini Martin dilanda kegelisahan. Siang hari ketika warna jingga belum menyemburat di langit. Setelah selesai dengan segala urusan ia pun kembali ke rumah. Begitu sampai di mansion, tepatnya di ruang tengah, dengan langkah gontai Martin menjatuhkan diri ke sofa, matanya berpendar ke segala arah, menilik seseorang. Bagian bawah matanya menghitam, akibat tak tidur, rambut cokelatnya pun terlihat acak-acakkan dan bibirnya sedikit pucat karena kemarin perut sebelah kanan ditusuk oleh salah seorang gangster. Tercium pula aroma amis darah m
Awan menggumpal di atas pencakar langit diikuti suara gemuruh bersahut-sahut menjadi satu, pun bersamaan angin kencang menabrak beberapa pepohonan di luar sana, membuat dedaunan di dahan berjatuhan ke tanah, menandakan sebentar lagi hujan akan turun sangat lebat. Di sebuah ruangan kumuh, pengap dan minim pencahayaan. Tepatnya di tengah-tengah ruangan, Diana duduk di kursi, dengan kedua tangan terikat ke belakang. Kepalanya ditutup dengan kain berwarna hitam. Mulutnya pun dilakban. Byur!Diana tersentak dan meringis sejenak saat tubuhnya baru saja disiram dengan air keruh. Sudah dua hari Diana tak melihat cahaya. Tanpa makan dan minum, Diana mencoba bertahan. Badannya pun terlihat lemah sekarang. Kemarin, saat terbangun, matanya sudah ditutup rapat-rapat. Ingatan terakhirnya saat Kornelius mengirimkan pesan untuk bertemu. Diana mengutuk diri sendirinya karena bertindak ceroboh dan menebak tengah disekap musuh Martin saat ini. "Jadi kau yang bernama Diana?" Berjarak enam meter, sese
"Bedebah kau!""Mengapa kau berkhianat, padahal aku sudah mempercayaimu!" Diana memekik nyaring sambil menggerakkan tangan di belakang dan menatap tajam sosok tersebut. Yang kini menyeringai tipis. Napasnya terdengar memburu hingga urat-urat di sekitar mata menyembul sedikit. Marah, sesal dan terlampau kecewa. Sebab seseorang yang amat dia percayai, menikamnya dari belakang. Theodore malah terkekeh-kekeh kemudian berjalan cepat menuju kursi dan mendaratkan bokongnya di kursi plastik berwarna merah. "Emosional sekali tapi aku suka, Ursula kemarilah! Lepaslah wigmu itu, aku lebih suka rambut pendekmu." Melirik Ursula sekilas, Theodore pun berseru. "Yes, Mister, as you wish." Ursula mendekat sambil menarik rambut palsu dari kepala dan menjatuhkannya ke lantai kemudian duduk di atas paha Theodore."Aku suka rambutmu yang begini." Theodore mengecup pelan leher jenjang Ursula dari samping, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ursula. Ursula mengulum senyum dan berkata,"Thanks, Mister.""K
Di atas sana langit sangat gelap. Kilatan pun menyambar-nyambar. Saat ini, hujan turun sangat lebat disertai gemuruh angin kencang, membuat bunyi tetesan air hujan di atas genteng terdengar amat jelas di indera pendengaran seseorang. Udara malam terasa sangat sejuk, tapi tidak dengan pria di dalam rumah yang hanya memakai celana jeans biru. Ia sama sekali tak merasakan dingin, meski angin malam menerpa kulit dan otot-otot kekarnya yang terlihat amat jelas sekarang. Pak!Pak! Pak! Di sebuah rumah berlapis kayu, bercahayakan lampu temaram dan sedikit redup, terdengar suara kapak saling beradu. Tercium bau amis darah, bau kayu yang sudah sedikit tua dan bau tanah bercampur menjadi satu. Di sudut ruangan terdapat sebuah baskom besar berwarna biru, di dalamnya terlihat sepasang kaki manusia masih utuh. Daging berwarna merah itu nampak masih segar dan baru saja ditetak. Pak! Sekali lagi terdengar kapak berayun di tengah-tengah ruangan. Bersamaan pula cipratan darah menyembur ke segala