Bab 1
Mesin motor sengaja aku matikan saat sampai di halaman rumah. Mendorongnya pelan-pelan ke garasi agar Mas Farid--suamiku tidak mengetahui kedatanganku. Aku sengaja pulang lebih awal karena sudah tidak sabar ingin memberi kejutan untuknya.
Setelah memarkirkan motor, aku mengeluarkan kado spesial dari dalam jok.
Sebuah jam tangan yang sudah lama diidam-idamkan oleh Mas Farid akan kuberikan untuknya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kami yang ke empat. Tentunya sebagai ucapan terima kasih juga karena telah setia mendampingi dan membuatku bahagia selama bersama dengannya.
Kue tart toping coklat leleh yang dihiasi tulisan happy anniversary, kukeluarkan dari dalam kantong plastik yang tergantung di motor, kemudian membawanya.
Aku masuk melalui pintu belakang yang kebetulan sedang terbuka. Mungkin saja suamiku sedang berada di dapur.
Aku sudah tidak sabar untuk memberinya kejutan, pasti suamiku akan senang sekali mendapat kejutan dariku.
Pelan-pelan kulangkahkan kaki agar tidak ketahuan. Namun langkahku tiba-tiba terhenti saat melihat sosok seorang wanita yang sedang berada di dapur.
Siapa wanita itu? Apa yang ia lakukan di rumahku?
Pikiranku mulai tidak tenang. Bagaimana mungkin aku bisa tenang saat melihat ada wanita asing di rumahku?
Aku mencium aroma kopi torabika kesukaan Mas Farid, tampaknya wanita itu sedang membuat kopi.
Wanita itu tidak mengetahui keberadaanku, ia terlihat santai mengaduk-aduk kopi tersebut. Setelah itu, ia mengambil nampan kemudian meletakkan gelas yang berisi kopi tersebut di atasnya. Wanita itu pun berlalu sambil membawanya.
Tunggu dulu! Apa aku tidak salah lihat, perut wanita itu buncit, aku yakin sekali kalau wanita itu sedang hamil. Lantas, apa yang ia lakukan di rumahku? Kenapa tiba-tiba ada wanita hamil di rumahku? Jangan-jangan ….
Aku berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan. Mengikuti wanita itu yang ternyata menghampiri Mas Farid di ruang tamu. Wanita itu kemudian memberikan gelas yang berisi kopi tersebut kepada Mas Farid.
Mereka duduk berdampingan tanpa ada jarak. Sepersekian detik kemudian, Mas Farid mengelus perut wanita itu sambil menempelkan telinga di perutnya.
"Aku enggak mau lagi pisah darimu, Mas," ucap wanita itu dengan manja.
Apa aku tidak salah lihat? Apa aku tidak salah dengar? Apa maksud dari ucapan wanita itu? Ada hubungan apa antara suamiku dan perempuan itu, hingga Mas Farid mengelus perut wanita itu segala?
Aku menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Kaca-kaca bening menetes begitu saja dari sudut netra. Ada yang perih disini, di dalam hati ini. Sedih, cemburu, kesal dan marah bercampur menjadi satu saat melihat pemandangan menyakitkan di depan mata.
Dengan melihatnya saja, aku sudah yakin bahwa Mas Farid ada hubungan spesial dengan wanita itu.
Aku berusaha mengatur nafas, sebisa mungkin harus tetap tenang. Aku menarik nafas dalam, mengembusnya perlahan. Kulakukan berulang-kali sambil beristighfar agar hatiku bisa tenang.
Setelah berhasil meredam emosi yang tadinya menggebu-gebu, aku memutuskan untuk tetap menjalankan rencanaku. Yaitu memberi kejutan kepada mereka.
Pasti mereka akan mengelak dan menyangkal jika langsung kulabrak sekarang. Aku harus berfikir cerdas untuk bisa mengungkap ada hubungan apa sebenarnya antara suamiku dan wanita itu.
Kado yang sudah kusiapkan dari tadi, kumasukkan kembali ke dalam tas. Aku tidak akan memberikannya sekarang.
Kuatur nafas agar terlihat tenang di hadapan mereka. Bismillah … aku pasti bisa.
Kulangkahkan kaki berjalan perlahan menghampiri mereka, rupanya mereka belum juga menyadari keberadaanku.
"Happy anniversary, suamiku sayang," ucapku setelah berada tepat di hadapan mereka.
Mas Farid dan wanita itu terkejut melihat kedatanganku. Saking asyiknya berduaan, mereka sampai tidak menyadari kehadiranku yang sudah menyaksikan semua kelakuan mereka dari tadi.
Mas Farid refleks menarik tangannya yang tadinya mengelus perut buncit wanita itu. Panik melihat kedatanganku dan langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Dek, ka-kamu sudah pulang?" tanya Mas Farid terbata.
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Kupandangi mereka berdua dengan sorot mata tajam. Ingin kukatakan kalau aku sudah mengetahui semuanya, tapi kutahan.
'Tenang Adelia, kamu pasti bisa menghadapi dua penghianat itu. Kamu pasti bisa membalas mereka dengan cara yang elegan,' batinku berbisik.
"Iya, Mas. Eh, ada tamu rupanya. Siapa wanita ini, Mas?" tanyaku sok ramah. Jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Yang jelas, aku harus pura-pura tidak tahu tentang mereka.
"Iya, Dek. Ini sepupu Mas yang baru datang dari kampung." Mas Farid kelihatan salah tingkah, sedangkan wanita itu tampak biasa-biasa saja.
"Sepupu?" Keningku mengernyit saat mendengar Mas Farid menyebut bahwa wanita itu adalah sepupunya. Masa iya sih, sepupuan tapi pakai elus perut segala, 'kan enggak masuk akal! Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi dan mau percaya begitu saja.
"Duduk dulu, Dek, biar Mas jelasin." Mas Farid menarik tanganku, tapi aku menepisnya. Aku enggan untuk duduk bersama mereka berdua.
Niatku ingin memberikan kejutan spesial kepada Mas Farid, tapi justru sebaliknya. Mas Farid lah yang memberi kejutan untukku dengan membawa wanita asing yang sedang hamil ke rumah ini. Entah apa maksudnya!
"Itu apa yang kamu bawa, Dek?" Mas Farid mengambil kue tart tersebut dari tanganku kemudian meletakkannya di atas meja.
"Ya ampun, Mas lupa. Hari ni 'kan anniversary kita, maafin Mas ya, Sayang." Mas Farid meraih tanganku, kemudian mengecup keningku di depan wanita itu.
Aku tahu, Mas Farid melakukan ini untuk menutupi kedoknya. Berpura-pura baik padaku, tetapi menusukku dari belakang.
Aku melirik wanita itu, ia masih duduk santai di atas sofa bludru yang kubeli setahun lalu itu. Air mukanya langsung berubah saat melihat perlakuan Mas Farid padaku. Jika ia hanya sepupunya Mas Farid, tidak mungkin ia cemburu melihat kemesraan kami.
"Berhubung kita kedatangan tamu hari ini, jadi kita akan merayakannya bertiga, bersama Rini," ucap Mas Farid sambil memandangi aku dan wanita itu secara bergantian.
"Oh iya, Mas sampai lupa. Rini, kenalin ini istrinya Mas, Adelia." Mas Farid memperkenalkanku pada wanita itu.
Wanita yang sedang hamil itu pun berdiri dan mendekatiku sambil memegangi perut buncitnya.
"Aku Rini, Mbak. Sepupunya Mas Farid yang baru datang dari kampung," ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
Kubiarkan tangannya mengambang di udara, enggan menyambutnya. Aku tidak mungkin bisa percaya begitu saja.
"Sepupu?" tanyaku penuh selidik.
"Iya, Dek! Rini ini adalah sepupunya Mas. Untuk sementara waktu, Ia akan tinggal disini bersama kita." Mas Farid berucap dengan tenang seolah tanpa beban.
"Kenapa harus tinggal bersama kita, Mas!? Dia kan punya suami. Harusnya dia tinggal sama suaminya dong. Bukan tinggal bareng kita," tolakku dengan memasang wajah tak suka. Aku tidak mau wanita itu tinggal di rumah ini. Aku tidak sudi serumah dengannya!
"Dek, Suaminya Rini baru saja meninggal dalam kecelakaan. Karena Rini stress di kampung, keluarga menyarankan agar Rini tinggal di rumah kita dulu untuk sementara waktu agar Rini bisa menenangkan pikiran." Mas Farid merayu dan berusaha meyakinkanku.
Berani sekali Mas Farid mengatakan bahwa suaminya Rini sudah meninggal. Ia pasti tahu dong, kalau perkataan itu adalah doa.
Jika Mas Farid bukan ayah dari janin yang sedang dikandung wanita itu, kenapa tadi ia mengelus perut wanita itu segala? Ah, otakku rasanya tidak sanggup berpikir lagi.
Aku curiga, itu pasti akal-akalan mereka berdua saja, agar aku percaya.
Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Begitu juga dengan Mas Farid. Sepandai-pandainya ia menyembunyikan bangkai, pasti lama-lama akan tercium baunya.
Bersambung
Bab 68"Mbak Adel," tangan Rini bergerak, mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku pun menurutinya, mendekat ke arah Rini."Mbak, maafin Rini, ya! Rini telah merusak rumah tangga Mbak Adel dengan Mas Farid. Mas Farid tidak bersalah, Mbak. Rini lah yang sudah menjebak dan memaksa Mas Farid. Ini semua adalah kesalahan Rini. Rini mohon, berikan kesempatan kedua buat Mas Farid, Mbak. Mas Farid sangat menyayangimu, Mbak."Rini kemudian menceritakan kisah masa lalunya. Mulai dari penolakannya saat dilamar oleh Mas Farid, sampai akhirnya ia nekat menyusul Mas Farid ke kota. Di stasiun seorang preman menawarkan bantuan, dan preman itulah yang menjebaknya dan merenggut kesuciannya. Rini juga menceritakan semua kisah pilunya saat dijual oleh preman tersebut hingga akhirnya ia terjebak, menjadi wanita penghibur di tempat prostitusi.Rini juga bercerita saat ia menjebak Mas Farid, hingga ia hamil dan tidak tahu anak siapa. Karena Rini tidak hanya berhubungan dengan Mas Farid, ia juga melakukan hubun
Bab 67Aku, Mas Farid, Ibu dan juga Mama, kini berada di rumah sakit umum, di ruang rawatnya Rini.Entah apa yang terjadi pada Rini sehingga kondisinya kritis seperti itu. Rini berbaring lemah tak berdaya di atas kasur yang hanya berukuran untuk satu orang itu. Di hidungnya dipasang selang pernapasan, sedangkan di punggung tangannya terdapat selang infus.Mas Farid tertunduk lesu melihat kondisi istrinya itu, sementara ibu mertua, entahlah. Aku tidak bisa menerka-nerka bagaimana perasaannya saat ini.Tak lama kemudian, seorang anggota kepolisian datang menghampiri kami. Beliau kemudian menjelaskan kondisi Rini kepada kami."Selamat pagi, Pak, Bu. Tadi, pasien sempat siuman, dia meminta agar kami menghubungi saudari Adel. Katanya ada hal penting yang ingin ia katakan pada saudari Adel," ucapnya sambil memandangi tubuh Rini yang kini sedang berbaring lemah tak berdaya."Sebenarnya, apa yang terjadi pada Rini, Pak?" tanya Mama penasaran. Ternyata Mama sama denganku, aku juga ingin menany
Bab 66Kembali? Berarti Mas Farid telah salah mengira. Ia pikir dengan aku memaafkannya, aku akan bersedia kembali lagi padanya. Aku memang sudah memaafkannya, tapi tidak untuk kembali lagi padanya."Tidak, Mas. Aku memang sudah memaafkanmu. Tapi untuk kembali, maaf aku tidak bisa," ucapku dengan tegas."Itu berarti, kamu belum ikhlas maafin Mas, Dek. Mas harus meyakinkanmu dengan cara apa lagi? Biar kamu tahu betapa Mas sangat mencintaimu?" Mas Farid terlihat frustasi, hingga ia menjambak rambutnya sendiri."Apa karena kaki Mas sudah cacat? Makanya kamu tidak bersedia lagi menerima Mas? Jawab, Dek." Mas Farid terus mendesakku agar menjawab pertanyaannya."Sejujurnya, bukan karena kondisi fisikmu yang membuatku tidak mau lagi bersama denganmu, Mas. Tetapi karena kebohongan dan juga pengkhianatanmu itulah yang membuatku enggan untuk kembali lagi bersamamu," tegasku lagi agar Mas Farid bisa mengerti.Andai saja Mas Farid tidak mengkhianatiku, mungkin saat ini aku masih setia mendampingi
Bab 65. POV AdeliaSyukurlah, akhirnya Rini ditangkap polisi. Kini tidak ada lagi yang mengusik ketenanganku. Sekarang, Rini sudah mendekam di dalam penjara, ia pantas menerima balasan atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.Mas Farid juga sudah siuman dan kini kondisinya sudah semakin membaik. Mas Farid telah keluar dari rumah sakit dan kini ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sedangkan Mas Rudi, memilih untuk kembali lebih dulu ke kampung karena tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak dan istrinya.Sejak Rini ditangkap polisi, aku tidak pernah lagi menjenguk Mas Farid. walaupun Ibu dan Mas Rudi berulang-kali menelponku dan memintaku untuk datang, tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka.Ibu bilang, Mas Farid ingin sekali bertemu denganku, dan ia juga ingin meminta maaf padaku.Aku tidak berniat lagi untuk menemui Mas Farid. Bagiku, ia bukan siapa-siapa lagi, meskipun kami belum resmi bercerai. Tapi sekarang, proses perceraian kami sedang diproses dan sebentar lagi ka
Bab 64Semenjak Mbak Adel ninggalin rumah, Mas Farid selalu murung, apalagi setelah kami pindah ke kontrakan karena rumah tersebut sudah disita.Aku sudah mencoba menghiburnya, melakukan apapun agar bisa menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh cinta padaku. Tapi sekeras apa pun usahaku, tetap saja tidak berhasil.Hingga pada suatu hari, Mas Farid nekat menemui Mbak Adel di butiknya. Aku tahu, pasti Mas Farid ingin membujuk Mbak Adel agar mau balikan padanya.Usaha Mas Farid gagal total karena aku berusaha memanas-manasi Mbak Adel dengan cara meminta harta gono-gini. Aku sudah tahu bahwa butik itu milik Mbak Adel, aku sengaja melakukannya agar Mbak Adel semakin kesal.Mas Farid terlihat kesal saat seorang ibu-ibu datang bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya Mbak Adel.Mas Farid tidak terima, bahkan sampai adu jotos dengan lelaki itu.Aku dan Mbak Adel berusaha untuk melerai mereka, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.Mbak Adel memilih untuk pergi meni
Bab 63Akhirnya, aku nekat mendatangi rumah Mas Farid. Aku ingin tinggal bersama Mas Farid dan istrinya. Awalnya Mas Farid menolak, tapi akhirnya ia setuju setelah aku kembali mengancamnya. Saat Mbak Adel mendapati bahwa aku telah berada di rumahnya, ia terlihat tidak suka dan sepertinya menaruh curiga. Tapi aku beralasan bahwa aku adalah sepupunya Mas Farid dan suamiku sudah meninggal. Dengan berat hati, Mbak Adel mengizinkanku tinggal di rumah mereka. Rumah yang akan menjadi milikku juga.Hidup satu atap bersama Mas Farid dan istrinya membuatku tidak nyaman. Aku ingin, Mas Farid menjadi milikku satu-satunya. Aku tidak ingin berbagi.Aku sengaja berlagak seperti tuan putri di rumah itu agar Mbak Adel merasa tidak tenang dan akhirnya pergi meninggalkan Mas Farid. Aku sengaja membuat Rumah berantakan seperti kapal pecah, dengan begitu aku berharap agar mereka bertengkar dan akhirnya berpisah.Aku juga sering meminta sesuatu yang tidak wajar. Seperti AC misalnya. Agar Mbak Adel cembur
Bab 62Bus yang aku tumpangi sudah tiba di terminal. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk sampai ke kampung halaman. Desa tempat tinggalku merupakan desa terpencil, sehingga tidak bisa dilintasi oleh bus. Hanya mobil angkot lah satu-satunya angkutan umum di desaku.Sambil menunggu angkot, aku menyempatkan diri mengganti pakaian dengan yang lebih sopan. Untungnya, tadi Bang Zon menghentikan motornya di sebuah butik dan menyuruhku untuk membeli beberapa helai pakaian. Menurutnya, pakaian yang kukenakan tidak pantas dipakai oleh wanita baik-baik. Yah, Bang Zon menginginkan agar aku berubah menjadi wanita yang lebih baik setelah keluar dari tempat tersebut.Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke tempat semula. Ternyata di sana sudah ada angkot yang menunggu penumpang.Aku pun segera menaiki angkot tersebut dan tidak lupa menyebutkan nama kampungku.Di tengah perjalanan, angkot yang aku tumpangi tiba-tiba mogok. Sementara, penumpangnya tinggal aku sendiri dan saat ini k
Bab 61"Mampir ke cafe dulu ya, Bang. Rini lapar nih," ucapku kepada Bang Zon saat kami dalam perjalanan pulang menuju tempat pros--titusi yang sudah menjadi tempat tinggalku. "Iya," ucapnya sambil menganggukkan kepala.Saat Bang Zon menghentikan laju motornya di depan cafe, aku melihat sosok seorang lelaki yang selama ini ku cari-cari. Lelaki itu adalah Mas Farid, lelaki yang sangat kurindukan dan sangat kucintai.Mas Farid keluar dari dalam cafe, bergandengan tangan dengan seorang wanita berhijab. Parasnya sangat cantik dan ayu. Aku tidak tahu siapa wanita itu.Tanpa terasa, bulir bening mengalir dari sudut netra saat melihat dengan langsung sang pujaan hati bergandengan dengan wanita lain. Ingin segera kupeluk lelaki yang sangat kucintai itu, tapi kuurungkan niatku. Tidak mungkin aku menemuinya dengan penampilanku yang seperti sekarang, apalagi Mas Farid sedang bersama dengan wanita lain.Aku masih berdiri, mematung di depan cafe sambil memandangi Mas Farid dari belakang. Mas Fari
Bab 60Saat membuka mata, aku shock bukan main saat mendapati lelaki yang sudah berumur, tidur satu selimut denganku. Tubuhku hanya ditutupi oleh selimuti, begitu juga lelaki itu, ia juga sama sepertiku.Air mata tidak bisa lagi kutahan, mengalir dengan deras begitu saja. Aku sudah kotor, najis dan hina. Tubuhku sudah tidak suci lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibku."Kamu kenapa nangis?" Lelaki tersebut mendekat dan mencoba untuk mengelap air mataku. "Jangan sentuh aku," bentakku, membuat ia terkejut dan langsung bangkit dari tempat tidur."Nggak usah munafik. Kamu 'kan melakukannya bukan untuk yang pertama kalinya, kenapa malah menangis seperti itu? Kayak baru kehilangan keperawanan aja," ejeknya sambil memunguti bajunya yang berserakan di lantai."By the way, om suka pelayananmu. Lain kali, om akan boo-king kamu lagi," ucapnya. Setelah itu, lelaki itu pun pergi.Tubuhku masih dibalut oleh selimut. Perlahan, aku bangkit dari atas ranjang, memunguti pakaianku yang jug