Bab 2.
"Kalau boleh tahu, sepupu yang mana ya?" tanyaku penuh selidik. Ya, aku harus tahu dengan jelas dari mana asal usul wanita itu.
"Kamu nggak kenal, Dek, soalnya kalian belum pernah bertemu sebelumnya," sahut Mas Farid. Dari gelagatnya saja, aku sudah bisa menebak siapa dia.
"Sepertinya Mbak Adel tidak suka melihat kedatangan Rini. Maaf jika kehadiran Rini di rumah ini membuat Mbak jadi terganggu. Jika Mbak Adel keberatan dengan kehadiranku disini, aku akan pergi, Mbak," ucapnya. Raut wajahnya berubah menjadi sedih. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar merasa bersalah atau justru ini hanya berakting.
Aku memang tidak suka jika wanita itu tinggal di sini. Jelas, aku merasa terganggu, pulang-pulang melihat suamiku sedang berduaan dengan wanita asing di rumahku sendiri.
"Iya, aku keberatan. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ada wanita asing di dalam rumahku. Jelas saja aku berpikiran lain." Aku sengaja berkata seperti untuk melihat bagaimana expresi Mereka.
Mas Farid harus tahu bahwa tidak boleh sembarangan membawa orang lain ke rumah ini. Begitu juga dengan wanita yang mengaku sebagai sepupunya Mas Farid itu, ia harus sadar diri.
"Biarpun kamu adalah sepupunya Mas Farid, tapi kamu harus minta ijin dulu padaku sebelum menginjakkan kaki di rumah ini," ucapku dengan tegas.
"Maaf, Mbak. Tapi tadi kata Mas Farid tunggu sampai Mbak Adel pulang dulu, biar ada kejutan," ucapnya, berusaha membela diri.
Kejutan apaan? Aku tidak bisa percaya kalau mereka adalah saudara sepupu setelah melihat pemandangan menyakitkan tadi.
"Dek, kamu jangan gitu, dong! Kasihan Rini. Biarkanlah ia tinggal di rumah ini. Bukan untuk seterusnya kok, hanya sementara sampai Rini merasa tenang." Mas Farid berusaha membujukku.
Aku memang merasa keberatan untuk mengizinkan wanita itu tinggal di rumah ini.
Sebenarnya, aku bukanlah orang yang kejam dan tidak punya rasa kasihan. Banyak yang menjadi pertimbangan untuk menerima wanita itu tinggal di rumah ini. Apalagi keadaannya saat ini ia sedang hamil.
Aku tidak mau nantinya rumah tanggaku berantakan gara-gara kehadiran wanita yang mengaku sebagai sepupunya Mas Farid itu di sini. Apalagi, aku belum yakin betul kalau wanita itu adalah sepupunya Mas Farid. Bisa saja mereka membohongiku.
Bagiku tidak cukup kalau hanya mendengar penjelasan mereka, harus ada bukti, baru aku bisa mempercayainya. Bisa saja mereka mengaku kalau suaminya Rini sudah meninggal agar aku percaya.
"Benarkah suamimu sudah meninggal, Rini?" Aku bertanya hanya untuk memastikannya saja.
Wanita itu tiba-tiba menangis, aku sendiri bingung melihatnya. Perasaan, tidak ada yang salah dengan pertanyaanku. Wajar aku menanyakannya.
"Rin, tolong jangan menangis. Jika kamu menangis, nanti janin yang ada di dalam kandunganmu bisa stress loh." Mas Farid berusaha menenangkan wanita itu.
Aku tercengang melihat sikap Mas Farid kepada wanita itu. Perhatian sekali! Bahkan Mas Farid sepertinya sudah paham betul bagaimana memperlakukan wanita yang sedang hamil.
"Mari kita bicara di kamar, Dek. Mas akan jelasin semuanya." Mas Farid menarik tanganku dan membawaku masuk ke kamar.
"Dek, Mas kan sudah jelasin tadi, kalau suaminya Rini sudah meninggal. Lihat tuh, Rini jadi tersinggung!" Mas Farid malah menyalahkanku karena menanyakan hal yang ingin kuketahui.
"Wajar saja jika aku bertanya, Mas! Rini kan akan tinggal di sini, jadi aku harus tau semua tentang dia," ucapku tak mau kalah.
Mas Farid sudah berubah. Baru satu hari wanita itu hadir di rumah ini, sikapnya sudah seperti ini.
Aku duduk di tepi ranjang, malas mendengar Mas Farid jika ia hanya ingin menyalahkanku.
Melihatku diam seperti itu, Mas Farid duduk di sampingku. Ia memutar posisi duduknya agar berhadapan denganku.
Tangan kekar itu membingkai wajahu, lalu meminta maaf atas kesalahannya.
"Maafin Mas, Dek. Mas tidak bermaksud menyalahkanmu. Mas hanya kasihan melihat kondisi Rini saat ini. Dia stress karena kehilangan suaminya."
"Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya, Mas?"
"Awalnya, Mas sudah menolak. Tapi Mas enggak enak sama Ibu dan Tante. Mereka yang mengusulkan agar Rini tinggal di rumah kita untuk sementara waktu." Lelaki berparas tampan yang sudah mendampingiku selama empat tahun itu menunjukkan rasa bersalahnya.
"Lagian, Rini juga bisa membantumu untuk beres-beres rumah, biar kamu nggak kecapean mengerjakan semuanya sendirian, Dek," ucapnya lagi.
"Benarkah yang kamu katakan itu, Mas? Mas yakin?" Aku menatapnya, dalam.
"Mas berkata yang sebenarnya. Tidak sedikitpun terlintas di benak Mas untuk menduakan mu. Alangkah bodohnya jika Mas melakukannya, apalagi sampai membawa wanita itu ke rumah kita." Mas Farid menggenggam tanganku, kemudian menciumnya.
"Yakin?" Kalau dia sepupunya Mas, kenapa Mas sampai mengelus dan menempelkan telinga Mas di perutnya? Apakah seperti itu caramu memperlakukan saudara sepupumu, Mas?" Aku mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.
Raut wajah Mas Farid tiba-tiba berubah, mendadak gugup dan mengalihkan pandangannya.
"Begini, Dek. Kamu salah paham. Mas cuma ingin merasakan gerakan calon ponakan Mas yang ada di dalam kandungan Rini. Mas pingin punya anak." Suara Mas Farid terdengar lirih saat ia mengatakan ingin memiliki anak.
Disitulah kelemahanku, sampai saat ini, aku belum bisa memenuhi keinginannya.
"Mas pingin punya anak?" Aku bertanya sambil menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata. Jika dibahas soal anak, maka aku tidak akan bisa ngomong apa-apa lagi, karena sampai detik ini belum bisa memberikan keturunan untuk suamiku.
"Enggak kok', Mas cuma bercanda." Mas Farid tersenyum padaku, terlihat sekali bahwa senyumnya seperti dipaksakan.
"Semoga saja Mas berkata jujur, jika ada kebohongan atau rahasia yang Mas tutup-tutupi, maka rumah tangga kita akan hancur, Mas! Aku tidak mau menjalani pernikahan yang di dalamnya penuh kebohongan," tegasku agar Mas Farid berpikir seribu kali jika ia ingin bermain api dengan wanita lain.
"Mas enggak akan pernah mengkhianatimu, Dek. Hanya kamu satu-satunya wanita yang Mas cintai di dunia ini. Mas tidak akan pernah mengkhianati pernikahan kita." Mas Farid mendekapku ke dalam pelukannya. "Percaya sama Mas," lirihnya.
Meskipun Mas Farid bicara seperti itu, tapi aku belum bisa mempercayai omongannya. Aku harus tetap menyelidikinya.
***
Setelah lelah seharian bekerja di butik muslimah yang sudah aku kelola sebelum menikah dengan Mas Farid, aku terpaksa harus memasak lagi untuk makan malam kami.
Aku jarang sekali memasak di malam hari karena sudah capek dengan aktivitasku yang membutuhkan waktu dan energi. Biasanya sepulangnya dari butik, aku akan singgah ke warung nasi Padang langgananKu. Makan nasi bungkus saja, biar praktis.
Berbeda dengan malam ini, niatku yang tadinya akan mengajak Mas Farid untuk makan di luar sambil merayakan anniversary kita, gagal sudah karena kehadiran wanita itu.
Hanya telur balado dan sayur bening yang bisa kusiapkan. Mas Farid menemaniku menatanya di atas meja, sedangkan wanita itu masih mengurung diri di kamar.
"Dek, panggil Rini, gih! Biar kita makan sama-sama," ucap Mas Farid sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.
Mas Farid adalah suami yang baik. Ia seringkali membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Bukan hanya baik, pastinya perhatian dan romantis. Di mataku Mas Farid adalah sosok laki-laki yang sempurna.
Semoga saja firasat burukku tidak benar dan tidak akan pernah terjadi. Karena jika hal itu sampai terjadi, aku tidak akan pernah memaafkannya.
Aku mengetuk pintu kamar tamu, yang saat ini ditempati oleh Rini. Tak lama pintu terbuka, keluarlah Rini dengan mata sembab. Mungkin ia habis menangis.
"Rin, kita makan dulu, Mas Farid sudah menunggu di meja makan."
"Baik, Mbak," jawabnya, kemudian mengikutiku menuju ruang makan.
Suasana makan malam kali ini hening, berbeda dengan sebelumnya. Biasanya Mas Farid akan menyuapiku dan aku juga melakukan hal yang sama. Aku mencoba memaklumi keadaan ini dan tetap bersikap seperti biasa. Hanya saja hatiku belum bisa tenang sebelum memastikan bahwa suamiku tidak ada hubungan spesial dengan Rini.
***
Tengah malam, aku tiba-tiba terbangun karena dorongan ingin buang air kecil. Aku terkejut saat mengetahui tubuh Mas Farid tidak ada lagi di atas kasur. Kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar, tetap tidak ada.
Kemana Mas Farid malam-malam begini? Apa mungkin ia sedang di kamar mandi?
Akhirnya kuputuskan untuk menyusulnya ke kamar mandi. Di rumah ini hanya ada satu kamar mandi yang letaknya di dekat dapur.
Begitu sampai di depan kamar mandi, kudapati pintunya terbuka, itu artinya tidak ada orang di dalamnya.
Kemana Mas Farid? Tidak mungkin malam-malam begini ia pergi ke pabrik!
Rumah ini tidak begitu luas, hanya ada ruang tamu, ruang tengah, tiga kamar, dapur dan kamar mandi. Kucari ke setiap ruangan, tapi tidak kutemukan juga.
Saat melewati kamar Rini, samar-samar terdengar seperti suara de sa han.
Suara siapa itu? Rini hanya sendirian di dalam. Apa jangan-jangan Mas Farid berada di dalam? Terus suara itu ...
Bersambung
Bab 68"Mbak Adel," tangan Rini bergerak, mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku pun menurutinya, mendekat ke arah Rini."Mbak, maafin Rini, ya! Rini telah merusak rumah tangga Mbak Adel dengan Mas Farid. Mas Farid tidak bersalah, Mbak. Rini lah yang sudah menjebak dan memaksa Mas Farid. Ini semua adalah kesalahan Rini. Rini mohon, berikan kesempatan kedua buat Mas Farid, Mbak. Mas Farid sangat menyayangimu, Mbak."Rini kemudian menceritakan kisah masa lalunya. Mulai dari penolakannya saat dilamar oleh Mas Farid, sampai akhirnya ia nekat menyusul Mas Farid ke kota. Di stasiun seorang preman menawarkan bantuan, dan preman itulah yang menjebaknya dan merenggut kesuciannya. Rini juga menceritakan semua kisah pilunya saat dijual oleh preman tersebut hingga akhirnya ia terjebak, menjadi wanita penghibur di tempat prostitusi.Rini juga bercerita saat ia menjebak Mas Farid, hingga ia hamil dan tidak tahu anak siapa. Karena Rini tidak hanya berhubungan dengan Mas Farid, ia juga melakukan hubun
Bab 67Aku, Mas Farid, Ibu dan juga Mama, kini berada di rumah sakit umum, di ruang rawatnya Rini.Entah apa yang terjadi pada Rini sehingga kondisinya kritis seperti itu. Rini berbaring lemah tak berdaya di atas kasur yang hanya berukuran untuk satu orang itu. Di hidungnya dipasang selang pernapasan, sedangkan di punggung tangannya terdapat selang infus.Mas Farid tertunduk lesu melihat kondisi istrinya itu, sementara ibu mertua, entahlah. Aku tidak bisa menerka-nerka bagaimana perasaannya saat ini.Tak lama kemudian, seorang anggota kepolisian datang menghampiri kami. Beliau kemudian menjelaskan kondisi Rini kepada kami."Selamat pagi, Pak, Bu. Tadi, pasien sempat siuman, dia meminta agar kami menghubungi saudari Adel. Katanya ada hal penting yang ingin ia katakan pada saudari Adel," ucapnya sambil memandangi tubuh Rini yang kini sedang berbaring lemah tak berdaya."Sebenarnya, apa yang terjadi pada Rini, Pak?" tanya Mama penasaran. Ternyata Mama sama denganku, aku juga ingin menany
Bab 66Kembali? Berarti Mas Farid telah salah mengira. Ia pikir dengan aku memaafkannya, aku akan bersedia kembali lagi padanya. Aku memang sudah memaafkannya, tapi tidak untuk kembali lagi padanya."Tidak, Mas. Aku memang sudah memaafkanmu. Tapi untuk kembali, maaf aku tidak bisa," ucapku dengan tegas."Itu berarti, kamu belum ikhlas maafin Mas, Dek. Mas harus meyakinkanmu dengan cara apa lagi? Biar kamu tahu betapa Mas sangat mencintaimu?" Mas Farid terlihat frustasi, hingga ia menjambak rambutnya sendiri."Apa karena kaki Mas sudah cacat? Makanya kamu tidak bersedia lagi menerima Mas? Jawab, Dek." Mas Farid terus mendesakku agar menjawab pertanyaannya."Sejujurnya, bukan karena kondisi fisikmu yang membuatku tidak mau lagi bersama denganmu, Mas. Tetapi karena kebohongan dan juga pengkhianatanmu itulah yang membuatku enggan untuk kembali lagi bersamamu," tegasku lagi agar Mas Farid bisa mengerti.Andai saja Mas Farid tidak mengkhianatiku, mungkin saat ini aku masih setia mendampingi
Bab 65. POV AdeliaSyukurlah, akhirnya Rini ditangkap polisi. Kini tidak ada lagi yang mengusik ketenanganku. Sekarang, Rini sudah mendekam di dalam penjara, ia pantas menerima balasan atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.Mas Farid juga sudah siuman dan kini kondisinya sudah semakin membaik. Mas Farid telah keluar dari rumah sakit dan kini ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sedangkan Mas Rudi, memilih untuk kembali lebih dulu ke kampung karena tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak dan istrinya.Sejak Rini ditangkap polisi, aku tidak pernah lagi menjenguk Mas Farid. walaupun Ibu dan Mas Rudi berulang-kali menelponku dan memintaku untuk datang, tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka.Ibu bilang, Mas Farid ingin sekali bertemu denganku, dan ia juga ingin meminta maaf padaku.Aku tidak berniat lagi untuk menemui Mas Farid. Bagiku, ia bukan siapa-siapa lagi, meskipun kami belum resmi bercerai. Tapi sekarang, proses perceraian kami sedang diproses dan sebentar lagi ka
Bab 64Semenjak Mbak Adel ninggalin rumah, Mas Farid selalu murung, apalagi setelah kami pindah ke kontrakan karena rumah tersebut sudah disita.Aku sudah mencoba menghiburnya, melakukan apapun agar bisa menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh cinta padaku. Tapi sekeras apa pun usahaku, tetap saja tidak berhasil.Hingga pada suatu hari, Mas Farid nekat menemui Mbak Adel di butiknya. Aku tahu, pasti Mas Farid ingin membujuk Mbak Adel agar mau balikan padanya.Usaha Mas Farid gagal total karena aku berusaha memanas-manasi Mbak Adel dengan cara meminta harta gono-gini. Aku sudah tahu bahwa butik itu milik Mbak Adel, aku sengaja melakukannya agar Mbak Adel semakin kesal.Mas Farid terlihat kesal saat seorang ibu-ibu datang bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya Mbak Adel.Mas Farid tidak terima, bahkan sampai adu jotos dengan lelaki itu.Aku dan Mbak Adel berusaha untuk melerai mereka, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.Mbak Adel memilih untuk pergi meni
Bab 63Akhirnya, aku nekat mendatangi rumah Mas Farid. Aku ingin tinggal bersama Mas Farid dan istrinya. Awalnya Mas Farid menolak, tapi akhirnya ia setuju setelah aku kembali mengancamnya. Saat Mbak Adel mendapati bahwa aku telah berada di rumahnya, ia terlihat tidak suka dan sepertinya menaruh curiga. Tapi aku beralasan bahwa aku adalah sepupunya Mas Farid dan suamiku sudah meninggal. Dengan berat hati, Mbak Adel mengizinkanku tinggal di rumah mereka. Rumah yang akan menjadi milikku juga.Hidup satu atap bersama Mas Farid dan istrinya membuatku tidak nyaman. Aku ingin, Mas Farid menjadi milikku satu-satunya. Aku tidak ingin berbagi.Aku sengaja berlagak seperti tuan putri di rumah itu agar Mbak Adel merasa tidak tenang dan akhirnya pergi meninggalkan Mas Farid. Aku sengaja membuat Rumah berantakan seperti kapal pecah, dengan begitu aku berharap agar mereka bertengkar dan akhirnya berpisah.Aku juga sering meminta sesuatu yang tidak wajar. Seperti AC misalnya. Agar Mbak Adel cembur
Bab 62Bus yang aku tumpangi sudah tiba di terminal. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk sampai ke kampung halaman. Desa tempat tinggalku merupakan desa terpencil, sehingga tidak bisa dilintasi oleh bus. Hanya mobil angkot lah satu-satunya angkutan umum di desaku.Sambil menunggu angkot, aku menyempatkan diri mengganti pakaian dengan yang lebih sopan. Untungnya, tadi Bang Zon menghentikan motornya di sebuah butik dan menyuruhku untuk membeli beberapa helai pakaian. Menurutnya, pakaian yang kukenakan tidak pantas dipakai oleh wanita baik-baik. Yah, Bang Zon menginginkan agar aku berubah menjadi wanita yang lebih baik setelah keluar dari tempat tersebut.Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke tempat semula. Ternyata di sana sudah ada angkot yang menunggu penumpang.Aku pun segera menaiki angkot tersebut dan tidak lupa menyebutkan nama kampungku.Di tengah perjalanan, angkot yang aku tumpangi tiba-tiba mogok. Sementara, penumpangnya tinggal aku sendiri dan saat ini k
Bab 61"Mampir ke cafe dulu ya, Bang. Rini lapar nih," ucapku kepada Bang Zon saat kami dalam perjalanan pulang menuju tempat pros--titusi yang sudah menjadi tempat tinggalku. "Iya," ucapnya sambil menganggukkan kepala.Saat Bang Zon menghentikan laju motornya di depan cafe, aku melihat sosok seorang lelaki yang selama ini ku cari-cari. Lelaki itu adalah Mas Farid, lelaki yang sangat kurindukan dan sangat kucintai.Mas Farid keluar dari dalam cafe, bergandengan tangan dengan seorang wanita berhijab. Parasnya sangat cantik dan ayu. Aku tidak tahu siapa wanita itu.Tanpa terasa, bulir bening mengalir dari sudut netra saat melihat dengan langsung sang pujaan hati bergandengan dengan wanita lain. Ingin segera kupeluk lelaki yang sangat kucintai itu, tapi kuurungkan niatku. Tidak mungkin aku menemuinya dengan penampilanku yang seperti sekarang, apalagi Mas Farid sedang bersama dengan wanita lain.Aku masih berdiri, mematung di depan cafe sambil memandangi Mas Farid dari belakang. Mas Fari
Bab 60Saat membuka mata, aku shock bukan main saat mendapati lelaki yang sudah berumur, tidur satu selimut denganku. Tubuhku hanya ditutupi oleh selimuti, begitu juga lelaki itu, ia juga sama sepertiku.Air mata tidak bisa lagi kutahan, mengalir dengan deras begitu saja. Aku sudah kotor, najis dan hina. Tubuhku sudah tidak suci lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibku."Kamu kenapa nangis?" Lelaki tersebut mendekat dan mencoba untuk mengelap air mataku. "Jangan sentuh aku," bentakku, membuat ia terkejut dan langsung bangkit dari tempat tidur."Nggak usah munafik. Kamu 'kan melakukannya bukan untuk yang pertama kalinya, kenapa malah menangis seperti itu? Kayak baru kehilangan keperawanan aja," ejeknya sambil memunguti bajunya yang berserakan di lantai."By the way, om suka pelayananmu. Lain kali, om akan boo-king kamu lagi," ucapnya. Setelah itu, lelaki itu pun pergi.Tubuhku masih dibalut oleh selimut. Perlahan, aku bangkit dari atas ranjang, memunguti pakaianku yang jug