Bab 3
Suara siapa itu? Rini hanya sendirian di dalam. Apa jangan-jangan Mas Farid berada di dalam? Terus suara itu ....
Tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing, tubuhku luruh ke lantai dan selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Saat membuka mata, ternyata aku sudah berada di dalam kamar.
Kepalaku masih terasa pusing. Aku berusaha mengingat kejadian semalam saat Mas Farid tidak berada di sisiku.
Desahan yang kudengar dari kamar Rini, dan … suara itu?
Apa mungkin aku hanya bermimpi? Tapi kenapa rasanya seperti nyata? Aku yakin sekali bahwa apa yang kualami semalam bukanlah mimpi.
Seingatku, semalam aku terjatuh di depan kamar Rini. Saat membuka mata ternyata malah berada di atas ranjang. Mas Farid juga masih terlelap di sampingku.
Terakhir yang kuingat sebelum tidur, Mas Farid memberiku jus buah, terus setelah itu aku langsung tertidur. Biasanya aku tidur di atas jam sembilan malam, semalam baru jam tujuh sudah ketiduran.
Ya Rabb, ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi?
Kupaksakan untuk bangun walaupun kepala masih pusing. Bergegas ke kamar mandi, kemudian menyegarkan tubuhku dengan guyuran air.
Setelah selesai mandi, kuambil wudhu dan menunaikan ibadah shalat subuh. Aku bersimpuh di hadapan-Nya. Mencurahkan semua keluh kesahku.
Aku memohon pada-Nya agar senantiasa menjaga dan melindungi rumah tanggaku. Kupasrahkan semuanya kepada-Nya. Semoga engkau selalu menjaga hati suamiku, ya Allah.
Aku merasa lebih tenang setelah curhat kepada Allah. Mama selalu berpesan agar aku mengadukan semua keluh kesahku kepada Allah. Ternyata benar, sekarang aku jauh merasa lebih tenang.
Kulirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 05:30. Mas Farid masih terlelap, ia sulit sekali bangun di saat subuh. Seringkali ia bangun jam enam pagi dan sholat subuh pun sering kali di akhir waktu. Aku selalu mengingatkan, tapi Mas Farid selalu bersikukuh bahwa sholatnya pasti akan diterima oleh Allah. Wallahu alam, tugasku hanya mengingatkan saja.
***
Pagi ini, aku akan memasak nasi goreng untuk sarapan kami. Segera kusiapkan bahan-bahannya dan mulai mengolahnya.
Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi, seperti ada orang yang sedang mandi. Aku mendengarnya dengan jelas karena kamar mandi letaknya di dekat dapur.
Tak lama kemudian, keluarlah Rini dari kamar mandi. Aku mengernyitkan kening saat melihat rambut Rini yang basah.
"Keramas ya, Rin?" tanyaku saat ia berjalan di sampingku.
"Iya, Mbak, biar segar," jawabnya sambil menekan-nekan handuk yang menutupi kepalanya.
"Emang enggak kedinginan?" tanyaku lagi. Rasa ingin tahuku semakin tinggi, apalagi setelah mengalami kejadian semalam yang menurutku benar-benar nyata. Walaupun kenyataannya saat bangun, aku sudah berada di kamar. Tetap saja aku mencurigai mereka.
"Enggak dingin kok', Mbak. Airnya seger. Oh ya, Rini ke kamar dulu ya, Mbak."
Aku menganggukkan kepala, pertanda mengiyakan. Berusaha menepis segala pikiran buruk yang ada di otakku karena memang kecurigaanku belum terbukti.
***
Saat sedang sarapan, aku menanyakan kejadian semalam kepada Mas Farid. Ia hanya mengatakan bahwa aku hanya bermimpi. Tapi aku belum bisa mempercayainya, soalnya apa yang kualami benar-benar seperti nyata.
Setelah selesai sarapan, Mas Farid pun berpamitan dan hendak berangkat ke kantor. Mas Farid bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta.
Setelah pamit, Mas Farid celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu.
"Cari apa sih, Mas?" tanyaku, heran melihat tingkahnya.
"Mas nyari Rini, kok' dia enggak ikut sarapan bareng kita ya?" Mas Farid malah balik bertanya padaku.
"Nanti kalau sudah lapar pasti dia makan kok'. Enggak usah khawatir," jawabku. Rini memang seperti menghindar dariku. Entah ada apa dengannya, aku tidak mau tahu dan tidak mau ambil pusing juga.
"Yasudah, Mas pamit yah." Mas Farid mengulurkan tangannya dan akupun mencium punggung tangannya dengan takjim.
"Iya, Mas. Hati-hati ya!"
Setelah Mas Farid pergi, aku pun segera mengerjakan pekerjaan rumah yang belum selesai. Mulai dari mencuci baju, piring, menyapu rumah, mengepel lantai dan lainnya ku kerjakan sendiri.
Aku tipikal orang yang mandiri, aku sudah terbiasa mengerjakan semua ini mulai dari masa gadis, dulu. Mama yang selalu mengajariku. Mama bilang sebesar apapun gaji seorang istri, setinggi apapun jabatannya, kodrat wanita adalah mengurus rumah tangga. Rumah adalah tempat paling nyaman untuk istri. Tapi bukan berarti si istri tidak boleh ikut bekerja. Boleh-boleh saja, asalkan tidak lupa pada kewajibannya dan niatnya tulus lillahi ta'ala untuk membantu suaminya.
Nasihat itu lah yang selalu kuingat. Biarpun penghasilan dari butik milikku lebih besar dari gaji Mas Farid, tapi aku tetap menghargainya dan bangga memiliki suami yang bertanggung jawab. Tidak pernah sekalipun aku merendahkannya, justru aku selalu membanggakannya, terlebih di depan orang tuaku.
Alhamdulillah, semua pekerjaan rumah sudah beres. Sekarang saatnya berangkat ke butik.
Kukeluarkan motor matic yang kubeli enam tahun lalu itu dari garasi. Menghidupkan mesinnya, kemudian mengendarai dengan kecepatan sedang.
Soal Rini, biarkan saja lah. Kerjaannya hanya berdiam diri di kamar. Kata Mas Farid dia akan membantu meringankan pekerjaanku, nyatanya justru membuatku semakin repot.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, Alhamdulillah sampai juga di butik.
Ku buka rolling doo dengan ucapan bismillah, semoga hari ini daganganku laris manis, amin.
Baru beberapa menit butik dibuka, pelanggan sudah mulai berdatangan karena kemarin aku sempat menayangkan siaran langsung juga untuk mempromosikan barang baru di grup jual beli. Mungkin mereka melihat postinganku yang kemarin.
Alhamdulillah ya Allah, rezeki hari ini lebih banyak dari yang kemarin. Baru buka beberapa jam saja sudah diserbu oleh pelanggan. Alhamdulillah … tak henti-hentinya aku mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan-Nya.
Saking sibuknya melayani pelanggan, aku tidak sadar ternyata sudah saatnya makan siang. Biasanya Mas Farid akan menelponku di saat jam makan siang. Tapi kali ini tidak, bahkan pesan pun tidak ada. Aku sampai bolak balik membuka aplikasi hijau bergambar telepon tersebut untuk memastikannya.
Jika Mas Farid tidak mengabariku, biar aku yang menelponnya, kan sama saja. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.
Kutekan kontak yang kuberi nama suamiku di ponselku, kemudian mulai menelponnya. Hanya bunyi 'tut ...tut … tut …' yang terdengar. Tidak ada jawaban. Kucoba berulang kali tapi tetap tidak diangkat. Aku masih tetap tenang dan berusaha agar tidak berprasangka buruk.
Sambil menunggu kabar dari Mas Farid, aku menyeruput jus alpukat yang kupesan di warung sebelah. Iseng-iseng kubuka GPS untuk mengecek posisi Mas Farid. Mataku membulat saat GPS menunjukkan kalau suamiku sedang berada di rumah, bukan di kantor.
Apa yang dilakukan Mas Farid di rumah? Di rumah kan ada Rini, apa jangan-jangan …
Pikiranku mulai tidak tenang, jus alpukat yang sedang kuminum mendadak rasanya hambar, memikirkan Mas Farid dan Rini.
Apa yang sedang mereka lakukan? Apa kepentingan Mas Farid menemuinya? Kepalaku benar-benar pusing memikirkannya.
Kucoba menghubungi ponsel Mas Farid kembali, yang tadinya panggilanku masuk tapi tidak diangkat, sekarang malah non aktif.
Aku harus segera pulang sekarang, harus membuktikan kebenarannya.
Bersambung
Bab 68"Mbak Adel," tangan Rini bergerak, mengisyaratkan agar aku mendekat. Aku pun menurutinya, mendekat ke arah Rini."Mbak, maafin Rini, ya! Rini telah merusak rumah tangga Mbak Adel dengan Mas Farid. Mas Farid tidak bersalah, Mbak. Rini lah yang sudah menjebak dan memaksa Mas Farid. Ini semua adalah kesalahan Rini. Rini mohon, berikan kesempatan kedua buat Mas Farid, Mbak. Mas Farid sangat menyayangimu, Mbak."Rini kemudian menceritakan kisah masa lalunya. Mulai dari penolakannya saat dilamar oleh Mas Farid, sampai akhirnya ia nekat menyusul Mas Farid ke kota. Di stasiun seorang preman menawarkan bantuan, dan preman itulah yang menjebaknya dan merenggut kesuciannya. Rini juga menceritakan semua kisah pilunya saat dijual oleh preman tersebut hingga akhirnya ia terjebak, menjadi wanita penghibur di tempat prostitusi.Rini juga bercerita saat ia menjebak Mas Farid, hingga ia hamil dan tidak tahu anak siapa. Karena Rini tidak hanya berhubungan dengan Mas Farid, ia juga melakukan hubun
Bab 67Aku, Mas Farid, Ibu dan juga Mama, kini berada di rumah sakit umum, di ruang rawatnya Rini.Entah apa yang terjadi pada Rini sehingga kondisinya kritis seperti itu. Rini berbaring lemah tak berdaya di atas kasur yang hanya berukuran untuk satu orang itu. Di hidungnya dipasang selang pernapasan, sedangkan di punggung tangannya terdapat selang infus.Mas Farid tertunduk lesu melihat kondisi istrinya itu, sementara ibu mertua, entahlah. Aku tidak bisa menerka-nerka bagaimana perasaannya saat ini.Tak lama kemudian, seorang anggota kepolisian datang menghampiri kami. Beliau kemudian menjelaskan kondisi Rini kepada kami."Selamat pagi, Pak, Bu. Tadi, pasien sempat siuman, dia meminta agar kami menghubungi saudari Adel. Katanya ada hal penting yang ingin ia katakan pada saudari Adel," ucapnya sambil memandangi tubuh Rini yang kini sedang berbaring lemah tak berdaya."Sebenarnya, apa yang terjadi pada Rini, Pak?" tanya Mama penasaran. Ternyata Mama sama denganku, aku juga ingin menany
Bab 66Kembali? Berarti Mas Farid telah salah mengira. Ia pikir dengan aku memaafkannya, aku akan bersedia kembali lagi padanya. Aku memang sudah memaafkannya, tapi tidak untuk kembali lagi padanya."Tidak, Mas. Aku memang sudah memaafkanmu. Tapi untuk kembali, maaf aku tidak bisa," ucapku dengan tegas."Itu berarti, kamu belum ikhlas maafin Mas, Dek. Mas harus meyakinkanmu dengan cara apa lagi? Biar kamu tahu betapa Mas sangat mencintaimu?" Mas Farid terlihat frustasi, hingga ia menjambak rambutnya sendiri."Apa karena kaki Mas sudah cacat? Makanya kamu tidak bersedia lagi menerima Mas? Jawab, Dek." Mas Farid terus mendesakku agar menjawab pertanyaannya."Sejujurnya, bukan karena kondisi fisikmu yang membuatku tidak mau lagi bersama denganmu, Mas. Tetapi karena kebohongan dan juga pengkhianatanmu itulah yang membuatku enggan untuk kembali lagi bersamamu," tegasku lagi agar Mas Farid bisa mengerti.Andai saja Mas Farid tidak mengkhianatiku, mungkin saat ini aku masih setia mendampingi
Bab 65. POV AdeliaSyukurlah, akhirnya Rini ditangkap polisi. Kini tidak ada lagi yang mengusik ketenanganku. Sekarang, Rini sudah mendekam di dalam penjara, ia pantas menerima balasan atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.Mas Farid juga sudah siuman dan kini kondisinya sudah semakin membaik. Mas Farid telah keluar dari rumah sakit dan kini ia tinggal di kontrakan bersama ibunya. Sedangkan Mas Rudi, memilih untuk kembali lebih dulu ke kampung karena tidak bisa berlama-lama meninggalkan anak dan istrinya.Sejak Rini ditangkap polisi, aku tidak pernah lagi menjenguk Mas Farid. walaupun Ibu dan Mas Rudi berulang-kali menelponku dan memintaku untuk datang, tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka.Ibu bilang, Mas Farid ingin sekali bertemu denganku, dan ia juga ingin meminta maaf padaku.Aku tidak berniat lagi untuk menemui Mas Farid. Bagiku, ia bukan siapa-siapa lagi, meskipun kami belum resmi bercerai. Tapi sekarang, proses perceraian kami sedang diproses dan sebentar lagi ka
Bab 64Semenjak Mbak Adel ninggalin rumah, Mas Farid selalu murung, apalagi setelah kami pindah ke kontrakan karena rumah tersebut sudah disita.Aku sudah mencoba menghiburnya, melakukan apapun agar bisa menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh cinta padaku. Tapi sekeras apa pun usahaku, tetap saja tidak berhasil.Hingga pada suatu hari, Mas Farid nekat menemui Mbak Adel di butiknya. Aku tahu, pasti Mas Farid ingin membujuk Mbak Adel agar mau balikan padanya.Usaha Mas Farid gagal total karena aku berusaha memanas-manasi Mbak Adel dengan cara meminta harta gono-gini. Aku sudah tahu bahwa butik itu milik Mbak Adel, aku sengaja melakukannya agar Mbak Adel semakin kesal.Mas Farid terlihat kesal saat seorang ibu-ibu datang bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya Mbak Adel.Mas Farid tidak terima, bahkan sampai adu jotos dengan lelaki itu.Aku dan Mbak Adel berusaha untuk melerai mereka, karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan.Mbak Adel memilih untuk pergi meni
Bab 63Akhirnya, aku nekat mendatangi rumah Mas Farid. Aku ingin tinggal bersama Mas Farid dan istrinya. Awalnya Mas Farid menolak, tapi akhirnya ia setuju setelah aku kembali mengancamnya. Saat Mbak Adel mendapati bahwa aku telah berada di rumahnya, ia terlihat tidak suka dan sepertinya menaruh curiga. Tapi aku beralasan bahwa aku adalah sepupunya Mas Farid dan suamiku sudah meninggal. Dengan berat hati, Mbak Adel mengizinkanku tinggal di rumah mereka. Rumah yang akan menjadi milikku juga.Hidup satu atap bersama Mas Farid dan istrinya membuatku tidak nyaman. Aku ingin, Mas Farid menjadi milikku satu-satunya. Aku tidak ingin berbagi.Aku sengaja berlagak seperti tuan putri di rumah itu agar Mbak Adel merasa tidak tenang dan akhirnya pergi meninggalkan Mas Farid. Aku sengaja membuat Rumah berantakan seperti kapal pecah, dengan begitu aku berharap agar mereka bertengkar dan akhirnya berpisah.Aku juga sering meminta sesuatu yang tidak wajar. Seperti AC misalnya. Agar Mbak Adel cembur
Bab 62Bus yang aku tumpangi sudah tiba di terminal. Hanya butuh waktu sekitar tiga puluh menit lagi untuk sampai ke kampung halaman. Desa tempat tinggalku merupakan desa terpencil, sehingga tidak bisa dilintasi oleh bus. Hanya mobil angkot lah satu-satunya angkutan umum di desaku.Sambil menunggu angkot, aku menyempatkan diri mengganti pakaian dengan yang lebih sopan. Untungnya, tadi Bang Zon menghentikan motornya di sebuah butik dan menyuruhku untuk membeli beberapa helai pakaian. Menurutnya, pakaian yang kukenakan tidak pantas dipakai oleh wanita baik-baik. Yah, Bang Zon menginginkan agar aku berubah menjadi wanita yang lebih baik setelah keluar dari tempat tersebut.Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke tempat semula. Ternyata di sana sudah ada angkot yang menunggu penumpang.Aku pun segera menaiki angkot tersebut dan tidak lupa menyebutkan nama kampungku.Di tengah perjalanan, angkot yang aku tumpangi tiba-tiba mogok. Sementara, penumpangnya tinggal aku sendiri dan saat ini k
Bab 61"Mampir ke cafe dulu ya, Bang. Rini lapar nih," ucapku kepada Bang Zon saat kami dalam perjalanan pulang menuju tempat pros--titusi yang sudah menjadi tempat tinggalku. "Iya," ucapnya sambil menganggukkan kepala.Saat Bang Zon menghentikan laju motornya di depan cafe, aku melihat sosok seorang lelaki yang selama ini ku cari-cari. Lelaki itu adalah Mas Farid, lelaki yang sangat kurindukan dan sangat kucintai.Mas Farid keluar dari dalam cafe, bergandengan tangan dengan seorang wanita berhijab. Parasnya sangat cantik dan ayu. Aku tidak tahu siapa wanita itu.Tanpa terasa, bulir bening mengalir dari sudut netra saat melihat dengan langsung sang pujaan hati bergandengan dengan wanita lain. Ingin segera kupeluk lelaki yang sangat kucintai itu, tapi kuurungkan niatku. Tidak mungkin aku menemuinya dengan penampilanku yang seperti sekarang, apalagi Mas Farid sedang bersama dengan wanita lain.Aku masih berdiri, mematung di depan cafe sambil memandangi Mas Farid dari belakang. Mas Fari
Bab 60Saat membuka mata, aku shock bukan main saat mendapati lelaki yang sudah berumur, tidur satu selimut denganku. Tubuhku hanya ditutupi oleh selimuti, begitu juga lelaki itu, ia juga sama sepertiku.Air mata tidak bisa lagi kutahan, mengalir dengan deras begitu saja. Aku sudah kotor, najis dan hina. Tubuhku sudah tidak suci lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibku."Kamu kenapa nangis?" Lelaki tersebut mendekat dan mencoba untuk mengelap air mataku. "Jangan sentuh aku," bentakku, membuat ia terkejut dan langsung bangkit dari tempat tidur."Nggak usah munafik. Kamu 'kan melakukannya bukan untuk yang pertama kalinya, kenapa malah menangis seperti itu? Kayak baru kehilangan keperawanan aja," ejeknya sambil memunguti bajunya yang berserakan di lantai."By the way, om suka pelayananmu. Lain kali, om akan boo-king kamu lagi," ucapnya. Setelah itu, lelaki itu pun pergi.Tubuhku masih dibalut oleh selimut. Perlahan, aku bangkit dari atas ranjang, memunguti pakaianku yang jug