Share

Tanda Merah

"Mbak, kok' bengong sih! Rini permisi dulu, mau mandi." 

Baru berjalan dua langkah, aku menghentikannya, "tunggu! Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."

Rini berhenti, kemudian berbalik menghadapku.

"Ini apa? Kenapa di lehermu ada tanda merah seperti ini?" Jari telunjukku mengarah pada tanda merah di leher Rini.

Ia terlihat gelagapan sambil merapikan rambutnya yang terurai untuk menutupi lehernya.

"Oh, ini toh, ini bekas kerokan, Mbak! Sebenarnya semalam Rini mau minta tolong sama Mbak Adel buat ngerokin Rini, tapi Mbak Adel nya udah tidur. Jadi ngerok sendiri deh," jawabnya.

Aku tidak yakin kalau itu adalah bekas kerokan. Bisa saja ia telah melakukan sesuatu. Apalagi semalam aku ketiduran, jadi tidak bisa mengawasinya.

"Rini mandi dulu ya, Mbak, gerah ni," ucapnya sambil mengipas-ngipaskan tangannya pertanda bahwa ia kegerahan. Kemudian berlalu dari hadapanku.

Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja. Sudah banyak cerita di aplikasi KBM yang kubaca belakangan ini. Ceritanya sama persis seperti si Rini. Sepupu atau pembantu muda yang tinggal serumah dengan majikannya biasanya akan jadi pelakor dan merusak rumah tangga dari sang majikan. 

Aku memang suka membaca cerita di KBM, bahkan rela membeli koin untuk membuka bab yang dikunci, apalagi temanya tentang pelakor. Tapi biarpun aku suka dengan tema seperti itu, bukan berarti aku menginginkan suamiku diambil pelakor.

Setelah menjinjing ember di tangan, aku menuju halaman depan untuk menyiram bunga. Memutar keran untuk mengambil air, kemudian mulai menyirami bunga di dalam pot, satu persatu.

"Selamat pagi, Del," sapa Bu RT yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku, entah sejak kapan beliau ada disitu. Aku terlalu fokus menyiram bunga sehingga tidak menyadari kehadirannya.

"Pagi juga, Bu," ucapku sambil tersenyum ke arahnya.

"Wajahmu pucat ya, Del. Kamu sakit?" Bu RT mendekat sambil mengamati wajahku.

"Enggak kok', Bu. Adel baik-baik saja." Aku meyakinkan Bu RT agar ia tahu bahwa aku baik-baik saja, hanya kepalaku yang masih terasa sedikit pusing.

"Apa yang kita omongin kemarin sudah kamu buktikan belum?" bisik Bu RT di telingaku. Mungkin beliau tidak mau jika orang lain mendengar pembicaraan kami.

Aku menggeleng, pertanda belum mendapatkan bukti apapun. Niatku untuk mengawasi Rini dan Mas Farid semalam gagal total karena aku ketiduran.

"Yasudah, saya pamit dulu. Tetap waspada, jangan biarkan wanita lain mengganggu suamimu," pesan Bu RT sebelum beliau pergi dan berkumpul dengan ibu-ibu yang sedang mengerumuni gerobak sayurnya Kang Dadang.

"Dek … ternyata kamu di sini, Mas nyariin kamu dari tadi." Mas Farid menghampiriku sambil tersenyum manis padaku.

Aku tidak membalasnya karena masih kesal dan marah padanya. 

"Dek, masuk yuk."

Lagi-lagi, aku tidak menjawabnya, hanya menuruti ajakannya saja.

"Dek, kok di meja makan belum ada sarapan? Mas kan mau berangkat kerja. Tolong bikinin ya," pintanya dengan pelan.

"Aku lagi malas masak, Mas. Mas sarapan di luar saja," ketusku.

Mas Farid terdiam, aku tahu ia kecewa. Ia masih berusaha tersenyum, lebih tepatnya memaksakan untuk tersenyum.

"Jangan gitu dong, Dek. Kamu kan tahu sendiri kalau gaji Mas bulan ini sudah habis buat beli AC, buat jatah bulanan Ibu dan juga uang pegangan buat Rini. Mas sudah enggak punya uang lagi," keluhnya.

"Itu bukan urusanku, Mas," ucapku santai, tapi aku yakin ucapanku barusan menyakitkan bagi Mas Farid.

"Ya sudah, Mas pamit dulu. Tapi tolong kamu masak untuk Rini ya. Dia kan sedang hamil, jadi enggak bagus jika makannya telat," pintanya tanpa memikirkan perasaanku. 

"Mas kan sudah ngasih uang pegangan buat dia. Nanti kalau lapar diia juga bisa beli sendiri, kok'. Lagian di kulkas masih ada ayam, telor dan ikan. Suruh saja dia masak, biar nggak keenakan numpang geratisan." Aku sengaja bicara seperti itu untuk memancing reaksi Mas Farid. Hanya wanita itu kah yang penting baginya? Sedangkan aku tidak ditanyakan sudah sarapan atau belum.

Mas Farid tidak bicara lagi. Ia langsung memakai sepatu kerjanya kemudian menyambar tas kerjanya.

"Mas pamit, ya!" 

Aku mencium punggung tangannya, aku tidak bisa menolaknya meskipun dalam keadaan marah.

Setelah mengantar Mas Farid ke garasi, aku pun masuk melalui pintu belakang. Kulihat wanita itu sedang duduk di ruang makan setelah mengambil piring dan sendok terlebih dahulu di rak piring. Mungkin ia mengira kalau aku sudah menyiapkan sarapan untuknya. Enak bangat dia jadi orang!

"Mbak, enggak ada sarapan ya?" Ia bertanya dengan santai seolah aku ini pembantunya.

"Kalau mau sarapan, beli sana," jawabku ketus.

"Santai aja, Mbak. Nggak usah jutek gitu," ucapnya sambil tersenyum sinis.

"Siapa yang jutek, aku biasa aja kok. Emang lagi malas masak saja. Jika kamu lapar, kamu masak saja. Ada sayuran, ayam dan ikan tuh di kulkas. Apa jangan-jangan kamu enggak bisa masak?" 

"Oh ya, bentar lagi aku mau keluar. Kamu beresin rumah ya, lantainya disapu terus di pel juga. Itu kamar mandi juga jangan lupa disikat. Aku nggak sempat, lagian kamu kan nggak ada kerjaan di rumah." Aku sengaja menyuruhnya untuk melakukan semua pekerjaan itu, agar ia sadar diri bahwa ia hanya numpang di sini.

Rini terlihat kesal padaku, ia sama sekali tidak menjawabku. 

Malas kok' dipelihara! Sudah numpang gratis, eh … malah mau dilayani juga seperti tuan putri. Sorry yah, aku tidak bisa diperlakukan seperti itu.

Bersambung

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
diawal2, tak pikir ceritanya akan makin baik. makin kesini, makin ga jelas.. kalobuat baca cerita kayak gini, mesti beli koin, ya rugi bandar...
goodnovel comment avatar
Pipit Mbone Nisa
adel terlalu bego
goodnovel comment avatar
Dapur Nenk Lia
ya salah lama amat sih thor buat Adel tau klw suaminya slingkuh,berbelit belur ahh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status