Siti sudah kami antar ke pesantren. Kania menelphone mengabari jika dia sudah pulang kerumah, dan dia bilang ada tamu untukku." Mas, bisa antar kerumah dulu? Ada tamu kata Kania""Rumah? Kita putar balik?"Aku menepuk jidatku sendiri. Aku lupa jika mas Yuda belum tau aku pindah rumah."Bukan mas, rumahku sekarang di Cendana Cluster. Lebih dekat dengan bhatalionmu kan mas""Kamu sudah pindah rumah?""Sebetulnya belum. Tapi ada kejadian dirumah lamakuJadi kami terpaksa pindah lebih awal. Ingat ibu Ika? ""Iya, yang kamu urus saat dirumah sakit?"Aku menganggukkan kepala. Mas Yuda masih ingat. "Iya mas, dia meninggal. Tergantung dirumah""Astagfirullah! Bunuh diri?"Aku menggelengkan kepala seraya mengangkat bahuku. "Belum tau, tapi ada yang jangal menurutku dalam kematiannya."Mas Yuda masih sibuk mengemudi. Seperti sedang memikirkan sesuatu. " Biar polisi yang mencari tau, jika ada yang janggal, aku yakin akan segera terungkap."Aku mengangguk setuju. Memang bukan urusan kami mencari
Aku dan mas Yuda menuju Toko ibu. Api masih begitu besar, melahap apapun yang ada didepannya. Ibu nampak menangis dalam dekapan mas Aldo.Bisa bayangkan bagaimana tangisnya? Kehilangan seratus ribu saja ibu bisa mengamuk, sekarang melihat sendiri jualannya di lahap si Jago merah tanpa ampun.Beberapa orang juga terlihat sibuk mengambil ember dan gayung. Tapi mau sampau kapan, api sebesar itu disiram dengan ember dan gayung?"Kok belum ada mobil pemadam datang ya mas?" Aku bertanya pada mas Yuda. "Gak tau, coba mas hubungi." Mas Yuda menjauh dari kerumunan dan menghubungi pemadam kebakaran.Aku melihat kearah ibu. Melihatnya terus meronta, aku berlari menenangkannya. "Bu, sabar bu. Jangan begini"Ibu menatapku tak suka. Terlebih mas Aldo dan Rani. " Tu mas, dia pasti mau menertawakan kita!" Rani melihatku dengan sinis dan berbisik pada mas Aldo.Aku menghela nafas. "Heh Rani, hamil saja mulutmu seperti rongsokan, apa lagi gak hamil!" Ucapku sinis."Ngapain juga kamu kesini? Mau terta
Sejujurnya, aku tak menyangka. Mbak Nadira kakak mas Alan, adalah Nadira yang sama, yang pernah disebut mbak Yayuk dan mas Yuda. Dunia sesempit ini. Hingga semalam aku pulang kerumah. Rasanya kisah hari itu, seperti sekenario sebuah drama.Mas Yuda yang ku bilang gagah, bahkan bisa menjaga lisannya untuk tak menjawab secuilpun hinaan mbak Nadira. Harusnya ia bisa mencari alasan, atau membenarkan dirinya sindiri. Tapi dia bilang. Tak ada gunanya, segala yang terjadi memang sudan menjadi takdir. Termasuk perpisahannya dengan mbak Nadira.Aku mengendarai mobil ke rumah mbak Yayuk, setelah lebih dulu membuka toko dan menerima laporan penjualan hari kemarin. Ada yang harus aku bicarakan pada mbak Yayuk. Terlebih saat mengantar Siti kemarin, aku tak bertemu dengannya.Aku sampai di depan rumah mbak Yayuk. Aisyah ikut bersamaku juga. Hari ini ibu ingin membuat bolu pisang untuk tetangga sekitar, karenanya aku membawa Aisyah agar tak menganggu mbah ti nya.Aku turun dari mobil. Melihat lampu
Tak berapa lama mbak Yayuk kembali dengan rombongan ibu-ibu berdaster. Beberapa barang sudah di keluarkan dari dalam rumah. Jadi lebih mudah untuk membaginya segera."Sari, bener ini barang mau di hibahkan gratis?" Mak Odah bertanya."Bener mak, tapi di catat dulu siapa saja dan mau yang mana. Satu orang cuma boleh ambil satu barang besar dan satu barang kecil.""Bener gak ni? Nanti sudah dirumah, bu Ida datang ambil barangnya lagi""Gak bakalan. Ini barang punya sari, ada urusan apa bu Ida?" Mbak Yayuk ikut bicara.Seluruh isi ruang tamu, ruang tenggah dan kamar depan sudah di teras sekarang. Ada dua set meja dan kursi, meha makan, kulkas, TV, lemari, bifet bahkan etalase kaca."Yang di dapur juga mbak?" "Iya, semua. Mesin cuci, kompor Rak sepatu dan sepatunya juga!" Ucapku memerintah. Rani berdiri dengan wajah tak suka didepan pintu. Menghadang para pekerja itu masuk."Sudah cukup! Jangan sentuh barang didapur!""Lhaa, kenapa memangnya?" Aku sekarang berdiri didepannya."Bagaimana
Exavator itu kini berada di halaman. Aku melihat mas Aldo dan Rani membawa barang yang tersisa keluar. Beberapa kali aku melihat Rani menghentakkan kakinya kelantai. Namun mas Adlo bergeming."Lucunya pasangan tak beradab itu. Begitu saja terus biar semakin banyak yang tau kelakuannya" mbak Yayuk yang ikut menunggu jadi geram sendiri.Mereka keluar rumah dan mengunci pagar."Mana kuncinya?" Aku meminta kunci rumah yang baru pada Mas Aldo. "Kamu sudah taruh begituan di halaman, kunci rumah juga mau kamu ambil?" Mas Aldo sepertinya sedang tak ingin berdebat."Iya, semua ingin aku ambil. Kecuali kamu!" Ucapku melihatnya memutar bola mata. "Mana!" Dia memberikan kunci itu padaku. Mau seriby kali pun kunci rumah kamu ganti, jika putusan banding itu belum keluar, aku tak akan merelakan rumah itu!Aku melibat mereka berjalan menuju rumah ibu Saat memasuki pekarangan rumah, mas Aldo masih melihatku tak suka." itu exavator yakin bakal disitu terus Sar?" Mbak Yayuk bertanya."Yakin lah mbak
Ruang pemeriksaan begitu terasa dingin. Atau tubuhku sendiri yang merasa tak siap disini. Jika bisa aku ingin lari, sembunyi. Namun tidak. Aku tak berani. Mbak Yayuk bisa menyeretku lagi kembali kemari. Dia manusia paling galak pada masanya."Apa kabar mbak Sari, lama sekali ya tidak bertemu."Tak ada jawaban. Kalimatku membeku di krongkongan ini. Aku berusaha tersenyum. Meski debaran jantung ini saling berhantaman dengan nyaliku sendiri." Ada keluhan apa kali ini?"Seorang dokter kandungan bertanya, wajah yang tak asing bagiku sebenarnya. Namanya Dokter Ana. Dia adalah teman baik mbak Yayuk semasa kuliah. Hanya beda jurusan.Terlebih Sebagai sesama ibu Persip, dokter Ana juga dekat dengan mbak Yayuk. wanita ini bahkan yang memberiku banyak kekuatan dulu, saat hasil pemeriksaanku belum menunjukkan tanda kehamilan.Ruangan ini adalah saksi bisu, perjuanganku sebagai istri seorang Aldo. Kemari selalu seorang diri, tanpa suami yang tak memiliki satu Visi denganku, membuat rasaku pada
Aku menatap ibu dan mbak Asya. Ibu melihatku tak suka. Sementara mbak Asya antara melihatku dan membuang wajahnya." Apa maksudmu membawa truk besar itu kerumah Aldo? Kalian kan sudah berpisah! Jangan campuri lagi kehidupan Aldo!"Truk? Mungkin masksud ibu excavator itu. Aku masih terdiam, Satpam tokoku menghalangi ibu mendekat kearah kami. Mbak Yayuk mengendong Aisyah masuk."Sari, masuk saja. Jangan habiskan waktumu meladeni mantan mertua yang tak punya rasa kasih itu!" Mbak Yayuk menarik ujung bajuku Aku memberinya isyarat agar masuk lebih dulu. Kasihan Aisyah jika tertidur dalam gendongan terlalu lama. Mbak Yayuk juga pasti lelah membopong bocah gembul itu ."Masuklah mbak, nanti aku kesana"Mbak Yayuk berlalu pergi. Meninggalkan tatapan awas pada ibu dan mbak Asya."Perempuan tak tau diri. Saudara bukan, kakak bukan, segitunya membela orang lain!" Ibu berucap menatap tak suka pada mbak Yayuk. "Kalau ibu kemari hanya untuk membuat masalah, maaf, Sari tak ada waktu""Halah. Sibu
Hari berganti hari, perutku semakin membesar. Ibu begitu menjaga makanku. Aisyah juga sangat bahagia. Aku sempat merasa takut, takut melalui semuanya sendiri. Namun yang membuatku kuat adalah, banyaknya dukungan yang aku dapat. Dan mas Yuda, entah mengapa ia lebih sering datang kerumah, ke toko. Sampai mbak Yayuk bilang, kehidupan mas Yuda selain dinas dan tugas adalah diriku.Tim pengacaraku bilang, dua hari lagi putusan bandingku keluar. Aku berharap memenangkannya. Rumah itu akan aku berikan pada mbak Yayuk untuk di kelola, menjadi tempat belajar dan bermain anak di daerah sana.Jika kalian tanya apa mas Aldo sudah tau kehamilanku? Tidak. Dia tak tau. Aku belum memberi tahunya. Untuk apa membicarakan sesuatu yang tak pernah dia harapkan. Dua minggu lagi dia akan menikahi Rani. Aku melihat foto undangam mereka di InstaGrem.Dunia itu lucu ya, yang baik tak pernah nampak di mata mereka yang tak suka, sementara yang buruk justru di bela dan di beri penghargaan besar, hanya karena ses