Ibu menangis terisak, mendengar isi surat Pakde Azhari. Aku ingat betul wajahnya. Dia dulu sering mengantarku sekolah. Saat itu usiaku tujuh tahun. Budhe Sukma meninggal karena sakit. Meninggal bersama janin enam bulan didalam kandungan. Janin yang di nanti begitu lama oleh pakde dan budhe. Namun Allah memanggil mereka bersamaan.Setelah pemakaman budhe, aku ingat pakde mengamuk, memecahkan barang-barang dirumahnya. Dua bulan lebih pakde tak mau bicara. Hanya aku yang dia respon saat kuberikan minum atau makan. Ya, mbah ti sering memintaku memberikan makanan pada pakde. Sebab hanya aku yang diterimanya dengan baik.Hingga suatu pagi, pakde tak ada dirumah. Tak dapat dicari dimanapun. Dan meninggalkan surat yang isinya jangan mengharapkan dia hidup lagi. Dan semua orang diminta untuk melupakannya.Sejak saat itu, tak ada lagi kabar pakde Azhari. Tak sedikitpun kami tau dimana dia. Hidup atau mati. Bahkan ketika mbahti dan mbah kakung meninggal pakde tak datang. Dan sekarang, orang-ora
"Sari!" Suara terkejut mas Aldo dari atas ranjang. Remang kulihat pergerakan lain dibelakangnya. Apa ada orang lain bersamanya?"Mas, ada siapa?"Suara perempuan di belakang mas Aldo. Ku buka tirai dan jendela kamar. Nampaklah dua manusia itu terduduk di atas ranjang. Matanya menyipit karena silaunya cahaya."Kurang ajar kamu mas!"Kulempar mereka dengan berbagai benda di atas meja rias. "Sari, sabar sari. Jangan begini""Aduh sakit mas, aduh" Suara perempuan itu meminta perlindungan mas Aldo. Mas Aldo memeluknya. Ku angkat kursi rias karena melihat mereka berpelukan. Mas Aldo berdiri hanya dengan celana pendeknya."Jangan Sari. Letakkan" Pintanya dengan suara memelas."Mas!" Perempuan itu memanggil mas Aldo. Aku menatapnya nyalang."Turun kamu dari ranjangku!" Aku berjalan mendekatinya. Mas Aldo memasang badan. Panas sudah dadaku melihatnya lebih membela perempuan itu dibandingkan aku."Kamu membelanya mas? Iya!""Bukan membela, mas hanya takut kamu menyakitinya"Aku menatap tak per
"Apa maksudmu tak ada yang boleh tinggal dirumah itu!"Mas Aldo mengulang kalimatku dengan nada yang lebih tinggi."Sampai putusan sidang, kamu atau aku. Kita sama-sama keluar rumah itu""Tidak bisa!" Ibu menatapku tajam."Kenapa tidak bisa, Ibu takut rumah itu jatuh ketanganku? Atau ibu takut anakmu dan pacar barunya itu tinggal dirumah ini? Seperti ibu yang dulu keberatan juga aku tinggal disini" Sekalian saja aku bongkar sikap ibu mertuaku selama ini. Semua mata menatap tak percaya. Ibu nampak salah tingkah."Pak RT, maaf. Jika pengurus disini masih mengizinkan rumah itu ditempati mas Aldo dan perempuan itu, saya akan membawa masalah ini kekantor polisi" Ancamku. Meski tak akan aku lakukan. Enak sekali jika hanya masuk penjara, bisa ditebus uang, bahkan mungkin hanya kurungan beberapa bulan. Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin lima tahunku di bayarnya setimpal, rasa sakitku terbayar lunas, bahkan penghianatan ini juga!"Bagaimana mas Aldo, saya serahkan pada mbak Sari mau lapor a
Hari ini berkas-berkasku di ambil. Aku menyiapkan segalanya sendiri. Untungnya semua yang mereka minta masih aku rawat. Termasuk buku nikah ibu dan Bapak. Tersimpan rapi dalam tas hitam peninggalan Bapak."Paling cepat dua minggu mbak, sampai satu bulan mungkin akan selesai."Aku menganggukkan kepala pelan. " Kami permisi dulu. Kawan lain sudah menunggu dibandara. Pesawat kami akan berangkat siang ini. Semoga mbak Sari dan ibu sehat. Kita bertemu beberapa minggi lagi. Salam untuk ibu Zharoh""Amin. Terimakasih pak. Nanti saya sampaikan pada ibu"Lelaki itu pergi meninggalkan rumah. Aku mengantarkannya ke jalan. Melihat mobil mereka pergi menjauh, aku baru masuk kedalam rumah."Sari, hutangnya berapa sih? Setiap hari didatangi rentenir" Bu Ika, tetangga samping rumahku berteriak.Aku tau, ini hanya akan jadi bahan gosip mereka. Lihat saja di teras rumah bu Ika, sidah berkumpul ibu-ibu lain untuk merapatkan urusanku. Alasannya sih rujakan, bikin panas kuping, tapi sekalian meracik bumb
Katakan bu besan, apa begitu caramu memperlakukan menantu?"Ibu mas Aldo terdiam. Antara terkejut dan binggung. Ibuku termasuk perempuan manut. Tidak pernah sekalipun ibu bicara lantang. Tapi ini?"Perlakuan apa bu, yang ada anakmu yang merampas rumah Aldo. Aku kesini untuk memberi tahukan kelakuanya, tapi mengapa justru dibela ibunya sendiri!" Ibu mertuaku mencibir tak suka."Sejak kapan rumah itu milik Aldo? Sejak kapan rumah bersama itu jadi milik Aldo?""Ya sejak di bangun. Saya keluar uang juga untuk rumah itu." Ibu mertua kekeh membenarkan pendapatnya."Dikira kami tidak keluar uang. Tanahnya saja ibu besan minta dibayar juga. Lupa?" Ibu kembali berkata dengan ketus.Tentu kami tak akan lupa, Ibu mas Aldo meminta kami membayar juga tanah yang sekarang dibanguni rumah itu. "Kita bertemu di pengadilan saja bu, jika ibu merasa rumah itu milik ibu sendiri, silahkan ibu berjuang di pengadilan!" Akhirnya aku bicara. Panas rasanya kuping ini mendengar ucapan ibu mas Aldo."Sombongmu S
Oh, aku baru ingat. Mbak Yayuk punya adik lelaki yang tugas di jawa barat. Dia juga seorang tentara seperti suami mbak Yayuk."Yuda, adiknya mbak Yayuk" Dia mengulurkan tangan ramah."Sari" Aku menjabat tangannya."Pulang kerumah dulu ya sar. Antar yuda dulu""Iya mbak, tapi kalau mbak Yayuk repot, Sari bisa pergi sendiri mbak"" Dirumah mbak Yayuk dulu saja Sar, Mereka bilang pagi ini ada banyak sidang. Jadi selesai siang" Mbak Nur tiba-tiba memberi kabar.Karena sudah terlanjur disini, aku putuskan menunggu saja mereka dirumah mbak Yayuk. Sekalian melihat Siti. Selama ini dia kerja dari rumah mbak Yayuk. Karena aku belum bisa membawa dagangan pulang. Mungkin nanti aku akan beritau Siti, aku tak bisa mempekerjakannya lagi."Sar, kok melamun" mbak Nur membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum kikuk. "Oh gak mbak, lupa ini ada sayuran dari kebun ibu sendiri" Kuberikan seplastik besar sayuran pada mbak Yayuk dan Mbak Nur lalu memilih masuk kedalam mobil. Sebentar kemudian, mbak Nur duduk di
anusia hanya dapat berencana, selebihnya Allah lah pemilik Hak atas hidup kita. Bu Muslimah, setelah melalui malam panjang dengan perjuangan, akhirnya menghembuskan nafas subuh tadi. Aku masih menenangkan Siti. Gadis itu menangis tak juga berhenti. Aku tau rasanya kehilangan orang tua. Saat Bapak pergi, aku juga patah hati. Aisyah selalu didekapan kakaknya, dia tak mau ditinggal kemanapun. Terkadang gadis kecil itu masih mencari Uminya. Berat pasti. Kehilangan sosok wanita, satu-satunya yang mereka miliki. Abbi Siti pergi entah kemana, sejak Aisyah berusia dua tahun. Sejak itu, bu Muslimah berjuanh sendiri untuk membesarkan anak-anak mereka.Sejak kemarin aku tak pulang. Tak tega meninggalkan Siti sendirian. Aku sudab menghubungi ibu. Ibu mengizinkan aku disini lebih lama. Siti masih menangis. Bahkan saat jenazah sudah dikebumikan.Para tetangga mulai pulang. Rumah ini terasa semakin kosong. Hanya beberapa yang masih disini. Merapikan rumah dan menyiapkan untuk kirim do'a nanti mala
Aku mulai mencari keseluruh rumah. Namun tak kutemukan apapun selain uang dalam mesin cuci itu. Akhirnya kuputuskan berhenti. Lelah mencari sendiri dirumah yang lumayan luas untukku.Kurebahkan tubuh di lantai ruang tengah. Angin semilir memasuki pintu samping dan dinginnya lantai membuatku merasa sedikit ngantuk. Saat mata terpejam sebentar, aku teringat titipan mbak Yayuk dan mbak Nur."Astagfirullah!" Aku berdiri dan merapikan kembali bajuku.Bug.., bug...Aku terdiam. Kenapa lantai pijakanku bergoyang. Kucoba injak lagi.Bung.., bung...Ada rongga dibawah lantai ini. Kucoba angkat dengan tangan. Tak bisa, aku butuh sesuatu yang lebih kecil dan kuat. Aku berfikir sejenak. Aku teringat sesuatu. Aku ambil penggaris di tempat kerja mas Aldo. Penggaris besi tipis aku ambil.Kucoba mencungkilnya dengan alat tulis itu dan ubin itu terangkat. Ada tempat kecil dibawahnya dengan kendi tanah juga. Kubuka bungkus itu, mataku kembali membulat sempurnah. Uang dengan bungkus plastik didalam ke