Banyak orang yang mengatakan pada Adisti bahwa menikahi Biyan bak mendapatkan jackpot. “Kenapa? Apa karena statusku sebagai manajer senior?” Biyan, yang mengajaknya makan gulai di kawasan Radio Dalam, keheranan menyimak curhatan Adisti itu sebulan setelah mereka jadi pasutri. “Atau karena… aku ganteng?” Adisti hampir menyemburkan es teh manis yang disesapnya. Memang, paras Biyan mampu menyaingi para model runway hingga anggota boyband Kpop. Beruntunglah para entertainer itu, sang suami memilih jadi pengusaha. Bisa-bisa karier mereka melempem kalau pria itu beralih profesi. “Kurasa begitu. Kaya, tampan, baik hati—” Tawa menggelegar Biyan menarik perhatian beberapa pengunjung. “Lho, kenyataannya begitu. Kamu tuh tipe male lead yang belakangan aku temukan di naskah-naskah romance.” “Semacam CEO atau mafia dingin yang punya istri kecil itu?” Giliran, Adisti tak bisa menyembunyikan tawanya. “Kenapa penulis-penulismu doyan bikin female lead sebagai perempuan kecil?” “Height difference t
“Apa kabar anak Mama di sana? Betah di Evia?” Biyan, yang dibangunkan panggilan telepon Salma, mengecek ulang deretan angka yang tertera di layar ponsel. Bukan kontak dikenal, tetapi dia mengenali kode nomor telepon Indoneia yang tercantum di bagian depan. “Pagi, Ma. Pakai nomor siapa ini? Kok bukan punya Mama?” “Iya, ini nomor kantor. Ponsel Mama lagi di-charge.” Oke, ternyata memang ibunya yang menghubungi, bukan scammer yang memakai aplikasi tertentu. “Maaf Mama jarang kontak kamu, tapi syukurnya Utari selalu kasih update.” “Kenapa harus lewat Utari, sih, padahal aku bisa kontak langsung seandainya,” Biyan tak percaya dia mengeluhkan hal ini terus menerus, “ada jaringan internet di vila.” Hening sesaat. “Kita bicarakan soal itu nanti. Waktu Mama cuma sebentar.” “Oke, Mama mau tanya sesuatu padaku? Atau kasih kabar?” “Dua-duanya. Mama mulai dari kabar dulu,” sahutnya. “Bulan depan, Mama akan ke Yunani buat menjengukmu sekaligus cek kondisimu di rumah sakit sana. Apa sejauh ini
Melihat Utari masuk ke vila Biyan tak lama setelah Adisti pulang dari tracking serta-merta meruntuhkan ekspektasinya. Sedarurat apa urusan yang perlu mereka bahas sampai sang suami perlu menunda obrolan? Pasti lebih penting dan menyenangkan sampai Utari terlihat semringah kala memasuki bangunan itu.“Aku penasaran, apa Biyan sengaja meminjam bukumu karena sudah mengingat masa lalu kalian?” Celetukan Batara mengalihkan perhatian Adisti yang sedari tadi mengamati balkon vila sang suami. “Tadi dia kelihatan bingung, and a little bit upset.”“Aku enggak mau menaruh harapan terlalu tinggi.” Sudah cukup membiarkan fokusnya terbelah sampai keteteran mengerjakan proyek menulis. “Hari ini Chelsea masak apa, ya? Mungkin dia butuh bantuanku di dapur.”Maka untuk mengusir asumsi-asumsi menyebalkan, Adisti memutuskan terjun ke dapur. Dibandingkan dirinya, skill memasak Chelsea sebenarnya lebih baik. Barangkali berkat kemandiriannya yang terasah sejak duduk di bangku SMP.Selepas makan malam, keemp
"Sejak awal saya tahu kamu adalah pembawa bencana, Adisti." Di bawah pucatnya penerangan koridor rumah sakit, Adisti berhadapan dengan perempuan yang bertahun-tahun menginspirasinya. Perempuan yang dua tahun terakhir resmi menjadi ibu mertuanya. Perempuan yang juga entah mengapa begitu membencinya tanpa pernah memberinya penjelasan. Perempuan yang Adisti kenal sebagai Salma Adiratna. "Bu, apa yang menimpaku dan Mas Biyan murni kecelakaan. Pihak kepolisian sudah menjelaskan semuanya, kan?" "Saya tidak peduli ini murni kecelakaan atau hasil rekayasamu. Satu hal yang saya tahu, kamu adalah biang masalah. Sekarang terbukti, kan, putraku belum sadar dari komanya." Pening kepala Adisti mendengar cercaan Salma. Perdebatan mereka tak akan pernah berakhir, bahkan saat Biyan siuman nanti. Sang ibu mertua pasti sudah menyiapkan daftar alasan untuk menyalahkannya. "Sudah selesai bertengkarnya?" Seorang lelaki paruh baya berjas putih keluar dari ruang ICU. "Aku bisa dengar kalian dari dalam.
Kali terakhir Biyan opname adalah sepuluh tahun lalu gara-gara operasi usus buntu. Saat itu, Biyan keluar kelas selepas menyelesaikan ujian akhir semester. Perut bagian bawahnya tiba-tiba terasa sangat nyeri seperti dipuntir tangan raksasa. Syukurnya, peristiwa itu terjadi di hari terakhir pekan ujian di kampus, sehingga dia bisa istirahat total selepas operasi. Biyan berharap dia tak perlu masuk rumah sakit lagi, apalagi kalau harus menginap. Aroma disinfektan bercampur obat sering membuatnya mual. Belum lagi aura sedih nan menyeramkan dari koridor-koridornya yang bikin Biyan semakin tak betah. Kalau bukan karena terpaksa, Biyan lebih memilih datang ke klinik atau memanggil dokter kepercayaan Salma untuk pemeriksaan. Namun, nasib seseorang kadang sulit ditebak. Lagi-lagi, Biyan menghadapi situasi yang kurang mujur. Kala membuka mata, Biyan mendapati dirinya tidur di ruangan berdinding hijau pucat. Di sekitarnya ada bunyi bip rendah yang meningkahi deru AC. Seorang perawat terkes
“Pa, kenapa Papa kasih Bu Salma izin buat bawa Mas Biyan pulang? Aku istrinya, aku punya hak buat merawat suamiku.” “Dis, ingat penjelasan Papa kemarin? Papa juga inginnya kamu yang urus Biyan. Hanya saja kita perlu menstabilkan kondisi fisik dan mentalnya sebelum meneruskan pemeriksaan.” “Tapi, Papa bilang penderita amnesia retrograde….” Adisti mengusap wajahnya. Dia sudah terlalu lelah menangis, bahkan matanya masih bengkak gara-gara air mata yang tak henti mengalir sejak Biyan siuman. Sejak suaminya tak lagi mengenali dirinya, juga pernikahan mereka. Hal lain yang membuat perempuan itu terpukul adalah penjelasan Gumilar terkait amnesia retrograde. “Berat buat Papa menyampaikannya, jenis amnesia ini bukan yang sering kamu lihat di sinetron atau tulis sebagai kisah fiksi,” katanya. “Ada kemungkinan ingatan Biyan tentangmu, tentang rumah tangga kalian, tak akan pernah kembali.” Sulit dipercaya. Namun, menyanggah pernyataan Gumilar yang sehari-hari bekerja sebagai dokter adalah upa
Adisti sedang menyantap bakmie di kantor saat Gumilar menyampaikan kabar penting itu. “Papa serius?” Dia berjalan menjauhi Indah menuju sudut ruangan. “Mereka masih di sana? Gimana kondisi Mas Biyan?” “Mereka sudah pulang sekitar sepuluh menit lalu.” Bukan jawaban yang ingin Adisti dengar. “Biyan jauh lebih baik meski masih berusaha mengingat tahun-tahunnya yang hilang. Papa enggak bisa ungkit namamu juga, maaf.” Sebenarnya, perempuan itu lelah harus menoleransi kondisi Biyan. Sudah hampir seminggu, tetapi Salma belum kunjung memberi lampu hijau untuk menjenguk suaminya. “Terus, kapan rencananya Mas Biyan dibawa ke luar negeri?” Fakta bahwa sang ibu mertua serius dengan kata-katanya itu membuat lutut Adisti lemas. “Dia enggak mungkin terbang ke sana sendirian, kan?” “Mereka belum bahas jadwal, baru ingin memastikan kesehatan suamimu dan syarat-syaratnya,” Gumilar meringis. “Rencananya, mereka akan pergi ke Yunani. Papa langsung telepon kamu karena ingat residensimu di sana juga.”
“Kenapa Evia, bukan Athena, Mykonos, atau Santorini?”“Soalnya kita pergi buat sekalian recovery.” Utari menyerahkan brosur berisi profil Pulau Evia. “Tempatnya enggak seramai di daratan utama. Jadi, kamu bisa lebih fokus healing.”“Masuk akal.” Biyan mengamati foto-foto cantik beserta penjelasan yang tertera pada brosur. “Kapan harus kusiapkan dokumen buat paspor dan visa?”“Kamu tinggal tunggu semuanya beres.” Perempuan di hadapannya tersenyum. “Tante Salma sudah menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Toh kamu juga masih butuh waktu buat istirahat.”Seorang pelayan meletakkan dua mangkuk udon bersama minuman yang mereka pesan. Siang ini, Utari mengajak Biyan makan di luar sekaligus membahas rencana perjalanan ke Yunani.Sesungguhnya, Biyan sungkan harus bepergian jauh dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai CEO agen travel. Apalagi, berdasarkan keterangan Salma, dia baru menjabat selama tiga bulan. Toh soft skill dan hard skill yang dikuasainya tidak ikut terhapus bersama memori dar