Share

Nafkah 30 Ribu

Bab 4

Aku menahan tawa dan melanjutkan langkah menuju rumah.

"Heh, kenapa kamu ngeledekin aku ya!" hardik Mbak Hana yang sedang berjalan menghampiriku.

"Kamu pikir, aku iri melihatmu membeli mobil baru! Hasil melont* aku tak akan iri!" ucapnya dengan salah satu bibirnya di naikkan.

"Manusia punya penyakit iri hati, dan busuk sepertimu memang sulit menerima kenyataan. Sehingga bisa menuduh seperti itu haha...!" aku berlalu meninggalkan mbak Hana yang str*s karena iri dengki nya melihat pencapaianku.

Mas Hamdan mendatangi meja makan.

"Cuma oseng kangkung?" tanya menatapku yang sedang menyiapkan makanan untuk Nisa.

"Ada tempe goreng juga tuh!"

"Masa cuma ini, Nas? Aku mau ayam, atau gak ikan!" keluh Mas Hamdan. Ia memang selalu ingin makan enak, dengan nafkah pas-pasan. Terkadang aku membeli ayam 10 ribu hanya dapat 3 potong dan ia yang makan sendiri, sedangkan Nisa kubelikan telur. Tapi itu dulu, setelah punya penghasilan aku sering mengajak Nisa makan enak tanpa sepengetahuan Mas Hamdan.

"Aku tadi beli token listrik dua puluh ribu, sisanya cuma cukup beli kangkung dan tempe. Masih untung ada minyak goreng," jelasku.

"Kamu ini istri perhitungan! Aku gak mau makan!" ujar Mas Hamdan.

"Terserah, minta saja makan pada ibumu kan semua uang gaji kamu berikan pada dia!" sahutku.

"Kamu kenapa sih iri pada Ibuku! Itu sebagai baktiku pada orangtua, apalagi Ayahku sudah tiada,"

"Dan kamu harus memenuhi keinginannya, karena Ibumu paling berjasa untuk hidupmu. Sehingga semua gaji, dan tanggungan Ibu dan saudaramu itu harus kamu penuhi, aku paham," jawabku santai, sudah hapal apa yang akan di ucapkan Mas Hamdan.

"Kamu sudah paham, jadi gak usah hitung pemberianku pada Ibu. Itu sudah kewajibanku, ngerti!" bentaknya.

"Kewajiban untuk bertanggung jawab dengan anak dan istri, seperti nya kamu lupa!"

"Dasar istri ed*n masih saja tak mengerti, tidak pernah bersyukur aku nikahi! Kamu kan terbiasa hidup miskin, jadi uang tiga puluh ribu sudah banyak!" ucapnya dan pergi.

Suami bermulut tajam, itulah Mas Hamdan. Dia memberiku nafkah 30 ribu juga karena saran Ibunya. Semua perkataan Ibunya mau salah sekalipun, wajib ia patuhi.

"Kenapa sih Ayah, marah-marah terus?" Nisa terlihat sedih karena sering melihat Mas Hamdan sering marah padaku.

"Gak apa sayang, Ayah cuma salah paham. Sekarang habiskan makanannya, dan berangkat sekolah," jawabku tersenyum.

"Nasna..!

"Nasna..!" suara teriakan dan gedoran pintu membuatku tersentak kaget.

"Ada apa Bu? Bisa kan santai ngetuk pintunya!" ujarku ketika membuka pintu, ternyata Ibu mertua dan Anggi adik iparku yang datang.

Tanpa menjawab mereka berdua nyelonong masuk ke dalam rumah dan celingukan, seperti mencari sesuatu bahkan masuk ke dalam kamar.

"Mau ngapain?" tanyaku kesal ketika Ibu masuk ke kamar, bahkan melihat ke kolong tempat tidur.

"Mana pria yang menjadi pelangganmu!" ucap Ibu.

"Kalian masih berpikir picik, fitnah apalagi ini!" mereka masih berpikir jika aku ju*l diri, jika bukan mertuaku sudah kuseret keluar.

"Terus mbak dapat uang dari mana, bisa beli mobil. Apa pesugihan ya!" cibir Anggi.

"Keluar kalian, entah apa yang kalian tuduhkan padaku!"

"Kan Bu, dia gak mau kasih tahu usahanya. Mencurigakan banget!" ujar Anggi sinis.

"Beritahu apa usahamu, atau ku minta Hamdan menceraikan kamu!" kecam Ibu menunjukku.

Aku menyingkirkan telunjuk Ibu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Purnaningsih
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status