PoV (3)(3 bulan kemudian)----Hamdan sudah keluar dari jeruji besi. Kini ia bisa menghirup udara kebebasan. Hamdan dan Mega melakukan cara kotor, apa sih yang tidak bisa jika menggunakan uang. Hingga mereka juga tega menjual rumah Ibu Irina tanpa sepengetahuan nya.Mereka kembali ke rumah yang dulu di beli Hamdan. Sebagian cicilan rumah sudah di bayar oleh Mega. "Mas, keluargamu sudah di usir dari rumah." Mega memberitahu pada Hamdan ketika mereka akan pulang ke rumah. Karena kemarin Hamdan masih belum tahu tentang keluarganya yang di usir."Oh.. Biarlah. Yang penting aku bebas! Selama ini aku sudah berkorban untuk keluarga, sekarang gantian mereka yang berkorban untukku! Rumah itu juga ada hak-ku karena sudah membiayai renonasinya!"jawab Hamdan dan menoleh pada Mega dengan seulas senyum di bibirnya. Sesantai itu Hamdan menanggapi berita tentang keluarganya.Mega merasa lega. Ini yang dia inginkan. Hamdan berhenti peduli pada keluarganya sendiri. "Akhirnya aku tak perlu takut, jik
Semenjak kejadian itu, memang Rere berubah baik. Tak ada mencari masalah denganku, sekarang aku juga sudah pindah ke rumah baru dengan Mas Arkan.Dan Mbak Hana yang meminta pekerjaan, aku sudah meminta izin pada Mas Arkan saat itu. Dan suamiku menyerahkan semua padaku, jika kasihan mau menerimanya bekerja. Aku memberi kesempatan pada Mbak Hana.Awalnya Mbak Hana bekerja dengan baik, walau ia sempat berhutang sebanyak 2 juta di minggu kedua bekerja. Alasan Mbak Hana meminjam uang itu, untuk berobat mantan ibu mertua. Aku pun memberikan pinjaman padanya. Tapi setelah pinjaman itu. Mbak Hana berhenti berangkat kerja, aku pernah mengirim pesan, karena hampir seminggu dia tak masuk, dan Mbak Hana justru memblokir nomorku setelah pesan berubah menjadi centang berwarna biru.[Nanti hutang nya juga aku bayar! Baru 1 minggu hutangin udah di tagih!] balasan pesan Mbak Hana 4 hari setelah memblokirku.Kenapa dia berpikir aku menagih hutang, padahal aku bertanya tentang dia bekerja lagi atau tid
PoV Nasna"Arggghhh..!" terdengar jeritan kesakitan. Itu Naomi kan dia masih berani datang ke sini juga dan jatuh di lantai dapur.Naomi meringis menahan sakit, ternyata di lantai terlihat mengkilat, seperti tumpahan minyak. Beruntung aku belum masuk dapur, jika saja aku datang lebih dahulu pasti aku yang akan jatuh. Apa ini, kerjaan Rere? "Naomi?" Rere datang dan melihat keadaan temannya sudah terjatuh di lantai yang licin itu, karena minyak goreng. "Sakit, tolongin aku!" pekik Rere. Uhhh pasti sangat menyakitkan bokongnya yang mendarat duluan di lantai."Kenapa kamu bisa ke sini?" Rere ingin melangkah namun ia ragu dan kembali mundur. "Cepat tolong aku, ish!" pekik Naomi karena Rere hanya melihat dia yang masih terduduk di lantai merasakan kesakitan pada bagian tubuhnya, yang menghantam lantai dengan keras. Rere seperti kebingungan dan akhirnya mengulurkan tangannya, untuk menjadi pegangan Naomi. Naomi berusaha berdiri, tapi sepertinya lantai yang licin itu membuat dirinya sus
PoV HamdanTangisan Mega tak kunjung mereda, ia terus menangisi putra kami yang sudah meninggal karena kelainan jantung. Bayi mungil itu hanya bertahan 3 hari saja, jujur sebagai Ayah aku juga merasakan sedih dan bersalah. Karena sikapku yang tidak baik pada Mega selama ia mengandung."Ini semua karenamu, anakku meninggal!" ucap Mega lirih di dalam tangisannya. Kata itu terus ia ulang, menyalahkan diriku."Kamu yang membuat anak kita meninggal, kamu tak pernah perhatian padaku ketika hamil dan memberiku tekanan," Mega terus saja,menyudutkan aku. Aku sadar telah mengabaikan Mega dan kehamilan nya. Tak bisa kubohongi jika perasaanku dan pikiran ini terus mengingat Nasna dan Nisa. Aku sangat cemburu dan sakit hati melihat kebahagiaan mereka dengan Arkan. Ingin rasanya aku mengganti tempat Arkan. Ya tempat yang seharusnya menjadi milikku setelah direbut oleh pria itu, dia telah merebut Ibu dari anakku. Apalagi Nissa memanggil Arkan dengan panggilan papa. Huhh semakin membuat telingaku s
Bab 1"Bilangin nih sama anakmu, jangan suka pinjam mainan Gina!"ujar Ibu mertua menghempas kasar tangan putriku yang berusia 7 tahun."Kamu kalau gak mampu beliin mainan untuk anak, mending anakmu di kurung di rumah aja!" timpal Mbak Hana."Nisa, gak ada rebut mainan Gina, Bu," rengek putriku yang kini sudah kupeluk."Tadi Gina yang ajak Nisa main," ucapku mengusap tangan Nisa."Nisa aja pandai ngarang, dia itu tiap hari kluyuran ke rumahku. Bilangin anakmu jangan main sama Nisa, gak level suka ngerebut mainan anakku lagi, makanya jangan miskin!" ucap Mbak Hana belagu.Begitulah Kakak iparku. Dia selalu menghina diriku. "Orang miskin, gak tau diri. Dulu Hamdan sudah kularang menikah denganmu, pakai pelet apa kamu hingga Hamdan tetap kekeh menikahimu!" cerca Ibu mertuaku.Astagfirullah mereka bilang aku menggunakan pelet untuk suamiku."Lihat aku, punya rumah besar dan bagus. Gak rumah kecil kayak punyamu," Mbak Hana semakin menjadi menghina."Nanti aku bisa beli rumah lebih bagus da
Bab 2"Kenapa Nas, kamu kan juga ada bagian. Sebagian rejekiku itu hak keluargaku!" tukas Mas Hamdan. Selalu begitu jawabannya. Akhirnya yang aku tunggu datang, mobil baru yang aku beli di antar. Mereka semua seperti terkesima melihat mobil di turunkan dari mobil towing."Mobil siapa itu?" ujar Ibu. Karena berhenti di depan rumahku, kebetulan depan rumah adalah rumah Mbak Hana."Apa Dion, belikan kamu mobil baru?" tanya Ibu pada Mbak Hana."Mungkin Bu, ya ampun Mas Dion kasih suprise mobil!" Mbak Hana memekik senang dan mengeluarkan ponselnya merekam mobil baru itu.**Mbak Hana semakin kegirangan, apalagi beberapa tetangga keluar melihat karena suara Mbak Hana heboh sekali."Mobil baru, Mbak Hana?" tanya Bu Wati menghampirinya. "Huum Buk, suprise dari suami saya!" sahut Mbak Hana dan masih merekam mendekati mobil itu."Biasa Bu Wati, suaminya kan anak juragan sawit. Jadi beliin mobil baru itu udah biasa!" timpal Ibu mertua memuji menantunya yang kaya.Tapi sales itu menghampiri di
Bab 3"Nasna..!" Mas Hamdan membentak dan kilat matanya penuh amarah."Mau kupatahkan tanganmu, telah berani menampar Mbak Hana!" ucap Mas Hamdan dengan nafas memburu."Kamu tidak terima, masih bagus kutampar, tidak kurobek mulut lancang Kakakmu itu!" ujarku membalas tatapan Mas Hamdan. Sudah cukup di perlakukan tidak adil, hingga harus menahan hinaan mereka terus menerus membuatku tersiksa batin selama menikah."Bicara lagi kamu, mulutmu itu yang kurobek!" hardik Mas Hamdan mendekat."Kenapa kamu marah, ketika aku menampar mulut kurang ajar itu. Kenapa kamu tidak marah ketika Ibu dan Kakakmu melontarkan fitnah keji padaku!" "Hajar istrimu itu Hamdan, dia yang kurang ajar. Aku tak terima dengan perbuatannya!" Mbak Hana menghasut Mas Hamdan. "Memang orang miskin, tak berpendidikan. Jadi kelakuannya ya begini, Hamdan kamu ketiban sial menikah dengan dia. Bagus kamu menikah dengan Mega, dia wanita berpendidikan setara denganmu. Juga kerjanya di balai desa, tiap hari pakai seragam. Gak
Bab 4Aku menahan tawa dan melanjutkan langkah menuju rumah. "Heh, kenapa kamu ngeledekin aku ya!" hardik Mbak Hana yang sedang berjalan menghampiriku."Kamu pikir, aku iri melihatmu membeli mobil baru! Hasil melont* aku tak akan iri!" ucapnya dengan salah satu bibirnya di naikkan."Manusia punya penyakit iri hati, dan busuk sepertimu memang sulit menerima kenyataan. Sehingga bisa menuduh seperti itu haha...!" aku berlalu meninggalkan mbak Hana yang str*s karena iri dengki nya melihat pencapaianku.Mas Hamdan mendatangi meja makan. "Cuma oseng kangkung?" tanya menatapku yang sedang menyiapkan makanan untuk Nisa."Ada tempe goreng juga tuh!" "Masa cuma ini, Nas? Aku mau ayam, atau gak ikan!" keluh Mas Hamdan. Ia memang selalu ingin makan enak, dengan nafkah pas-pasan. Terkadang aku membeli ayam 10 ribu hanya dapat 3 potong dan ia yang makan sendiri, sedangkan Nisa kubelikan telur. Tapi itu dulu, setelah punya penghasilan aku sering mengajak Nisa makan enak tanpa sepengetahuan Mas Ha