Bab 15Bu Ratmi dan Mbak Dewi menghina cara jalanku, yang menurut mereka tergesa-gesa, seperti orang yang kelaparan."Bener Dew, si Mira itu makannya seperti orang yang kesurupan saja makannya. Mungkin selama dia hidup di kampung, dia itu tidak pernah memakan-makanan yang enak seperti ini. Makanya, dia lahap banget makannya." Bu Ratmi menimpali ucapan menantunya, yang terus saja nyinyir tentang apapun yang aku lakukan.Brak!Mas Romi menggebrak meja, membuat semua orang hampir loncat karena kaget. Aku pun baru melihat sikap Mas Romi yang seperti ini. Karena selama aku berumah tangga dengannya, dia tidak pernah menunjukan sikap kasarnya terhadapku. Bahkan kalaupun aku sedang merajuk, dia akan menggodaku dengan leluconnya. Jadi walaupun disaat kami berdua sedang ada konslet, kami hanya akan diam-diaman tanpa saling menegur. Mas Romi tidak pernah sedikitpun marah kepadaku, seperti yang ditunjukkannya sekarang ini, apalagi di saat makan seperti ini."Ibu sama Mbak Dewi itu kenapa sih, mu
Mas Romi masih tetap mengutamakan tatakrama, walaupun dia dalam keadaan emosi. Kami berdua pergi meninggalkan Ibu, yang masih saja mematung diluar. Kami berdua, menuju angkot yang Mas Romi parkirkan di pinggir jalan tidak jauh dari rumah Ibu."Mas, coba lihat Ibu. Kenapa Ibu belum masuk ke dalam ya? Dia malah masih tetap berada di depan rumah." Aku memberitahu Mas Romi, tentang Ibunya."Sudah biarin saja, Dek! Lebih baik sekarang, kita pergi dari sini. Tapi, Mas belum bisa pulang ya, Mas masih mau narik. Tadi Mas pulang dulu, sebab ada yang akan Mas bicarakan sama Ibu dan Kak Rendi. Eh ... pas Mas datang, malah mendengar kamu sedang dihakimi oleh mereka. Maafin sikap keluarga Mas ya, Dek! Kamu, harus banyak bersabar menghadapi sikap keluarga Mas." Mas Romi meminta maaf atas sikap keluarganya kepadaku, dia juga berpesan supaya aku tetap memiliki stok sabar buat meladeni keluarga suamiku itu."Iya, Mas. Mira pasti akan memaafkan mereka kok. Insya Allah juga, Mira akan terus bersabar me
"Aku nggak merasa malu dan aku juga nggak apa-apa, jika menjadi bahan perbincangan kalian, yang penting aku tidak menyusahkan dan merepotkan kalian bukan? Semoga saja dengan kalian bergosip tentangku, dosa-dosaku yang segunung dapat berkurang bahkan bersih semuanya. Itu malah akan menguntungkan buatku," sahutku. Aku menjawab perkataan mereka, dengan sedikit berdalil. Semoga saja setelah mendengar perkataanku, ada yang nyangkut di hati sanubari mereka. Sehingga mereka tidak terus-terusan bergunjing. Tetapi, kalaupun mereka akan tetap seperti itu, itu juga hak mereka."Ah kamu sok banget, sih Mbak Mira. Kenapa kamu nggak menjadi ustadzah saja? Tapi mana mungkin jadi Ustadzah orang pengajian yang kamu hadiri saja, hanya satu bulan sekali, itu pun kadang-kadang." Marni menimpas ucapanku, ia merasa tidak senang saat aku mengingatkan mereka."Iya, ilmu agama masih cetek saja sudah mau menceramahi kami. Kamu sudah seperti orang paling bener saja, Mira. Padahal kalau dia orang yang bener, ngg
"Iya, Mbak. Memangnya sebenernya seperti apa sih, Mbak, kronologinya?" tanya Lusi lagi. Sepertinya, Lusi benar-benar penasaran, dengan kejadian yang sebenarnya dari versiku. Aku pun segera menceritakan semua kejadian di siang itu, setelah kedatangan mertuaku kemudian datang Marni. Aku menceritakan sedetail mungkin, tanpa ditambahkan atau dikurangi, kecuali saat Bu Ratmi mengambil minyak. Aku sengaja tidak menceritakannya kepada Lusi karena aku masih menjaga nama baik keluarga suamiku. "Nah, begitu Lusi kejadian yang sebenarnya. Aku tidak berkata kasar kepada Marni seperti apa yang diucapkan orang-orang. Aku juga bukannya kikir ataupun pelit, saat Marni mau meminjam uang. Karena aku malas saja sama dia, bukankah dia juga sekalu bilang banyak uang? Sehingga dia selalu merendahkan aku setiap saat, di hadapan semua orang. Tapi kenapa, setelah ia merendahkan aku, dia malah ingin berhutang padaku, aneh bukan? Terus setelah aku tidak memberinya pinjaman, dia koar-koar ke semua orang, kalau
"Ya jelaslah aku berani, Marni. Aku dari dulu juga berani melawanmu, aku tidak pernah merasa takut dengan siapa pun selama aku benar. Aku diam bukan berarti aku takut, ya Marni. Tetapi karena aku masih menghargai kamu. Namun, kamu malah semakin melunjak dan aku terus dipojokan. Daripada aku terus teraniaya, lebih baik aku akan memilih untuk melawanmu, Marni." Aku panjang lebar menyahut ucapan Marni, aku kini melawan apapun ucapan Marni. Aku sudah bosan menjadi orang yang tertindas, makanya aku kini akan bangkit untuk melawan semua orang yang akan membuat hidupku serta keluargaku hancur. Aku tidak mau lagi dikata-katai oleh orang-orang yang tidak memiliki hari nurani seperti Marni."Baik kalau begitu kita lihat saja nanti," ujar Marni sambil berlalu pergi, tanpa mengucapkan salam seperti saat dia datang tadi."Mbak Mira, kok ada ya orang seperti itu. Datang tidak dijemput pulang tidak diantar, seperti di film jelangkung saja." Lusi, mengomentari sikapnya Marni yang memang keterlaluan
Bab 20[Oh, alhamdulillah kalau begitu, Ran. Terima kasih juga buat kamu karena telah mengajakku bergabung, buat menjadi reseller di toko online milikmu. Aku jadi mendapat rezeki sebanyak ini, terima kasih ya!] Aku berterima kasih kepada Rani karena merasa bahagia, mendapatkan rezeki yang lumayan besar untuk menambah pundi-pundi rupiah ditabunganku.[Iya, Mira sama-sama,] sahut Rani, ia kembali membalas chat dariku.Setelah itu, aku tidak lagi mengirim chat kepada Rani. Namun, aku membuka sms yang ternyata dari mbanking. Aku membuka sms tersebut, ternyata ada dua transferan ke nomer rekeningku, tetapi dari dua nomer yang berbeda. Pertama transfer atas nama Rani dan yang kedua, dari platform menulis yang aku ikut bernaung di dalamnya."Alhamdulillah ya Allah," lirihku, merasa sangat bahagia setelah melihat angka yang tertera di dalamnya.Bulan ini, aku mendapat transferan dari platform sebanyak lima juta rupiah. Ditambah, transferan dari Rani dua juta jadi total semua pemasukanku untuk
"Sudah, Mbak diam dulu! Nanti juga Mbak bakal tau kok, apa yang aku kasih sama mereka." Lusi berbisik kepadaku."Oh, baiklah," sahutku.Aku pun menuruti perkataan Lusi, aku hanya diam dan melihat reaksi emak-emak, yang sedang melihat sesuatu di handphonenya Lusi. Sebenarnya aku juga benar-benar penasaran, dengan apa yang dimaksud Lusi ini. Tapi aku berusaha memendam dulu, mungkin nanti Lusi akan menjelaskannya."Marni, jadi kamu itu membohongi kami ya?" tanya Bu Asmi, sambil melipat tangan di dadanya."Apa maksud, Bu Asmi?" Marni bertanya balik."Tuh, kamu lihat sendiri! Kemudian kamu jelaskan sama kami, ini maksudnya apa?"tanya Bu Asmi."Bu Nuri berikan handphonenya kepada Marni, biar dia melihatnya kemudian dia harus menjelaskannya!" Bu Asmi menyuruh Bu Nuri untuk menyerahkan handphone Lusi kepada Marni.Marni pun menerima handphone tersebut, yang disodorkan oleh Bu Nuri. Kemudian dia pun melihat ke arah handphone Lusi, ia menonton apa yang dilihat Bu Asmi, serta Ibu-ibu yang lain.
Setelah itu, semua Ibu-ibu yang berjumlah lima orang tersebut langsung pergi dari hadapan kami. Mereka semua pasti segan, dengan ancaman Bu Asri yang akan membawa suaminya, jika mereka tidak segera pergi dari kontrakan miliknya itu.Setelah kepergian Ibu- Ibu gemuk Marni tersebut, aku dan Lusi pun masuk ke rumah kami masing-masing. Begitu juga dengan Bu Asri, ia pun pulang karena kebetulan sudah waktunya shalat dzuhur.***"Mas, kamu tahu nggak, kalau tadi aku di labrak sama Ibu-ibu, yang suka nongkrong di warungnya Bu Ami?" Aku bertanya kepada Mas Romi, tentang kejadian yang memintaku tadi siang. "Memangnya kenapa, Dek? Mereka melabrak kamu?" tanya balik Mas Romi.Mas Romi jiga sepertinya heran, kenapa aku bisa sampai di landak oleh Ibu-ibu. Kebetulan saat ini kami sudah berada di kamar, sebab seperti biasanya setiap malam dan sebelum kami tidur. Kami selalu membahas tentang kejadian seharian yang kamu alami. "Biasa, Mas, gara-gara mulutnya si Marni." Aku memberitahu Mas Romi, ke