Share

Bab 3

"Pelit amat sih kamu, sama Ibu suamimu. Masa iya, minta minyak saja nggak boleh." Bu Ratmi, berkata dengan entengnya.

"Bukannya nggak boleh, Bu. Tapi, minyaknya, jangan semuanya dibawa Ibu, dong. Nanti, Mira mau goreng tempe, sama tahunya pakai apa?" Aku, bertanya kepada mertuaku.

Semoga saja, ia berbaik hati mau membagi dua minyak gorengnyanya. Masa iya, aku baru saja membeli minyak goreng sebanyak dua liter. Sekarang, aku harus membelinya lagi. Tidak lucu, 'kan?

"Ah, sudahlah! Awas, Ibu mau pulang! Kamu, kalau mau menggoreng tempe atau tahunya, beli lagi aja minyaknya sana, repot amat sih! Kalau nggak, kamu menggorengnya pakai minyak goreng bekas saja." Bu Ratmi, berbicara seenaknya saja, tanpa mau mengerti perasaanku.

"Tapi, Bu," kataku.

"Minggir kamu, Mira!" ucap Bu Ratmi, sambil mendorong tubuhku.

Hampir saja aku terjatuh, kalau aku tidak berpegangan ke lemari makan yang ada di sana. Bu Ratmi, bukannya mendengar apa yang mau aku katakan. Tetapi, ia malah melengos pergi tanpa peduli lagi denganku.

'Memang dasar, mertua nggak punya ahlak, boro-boro mau meringankan beban hidup anak sama menantunya. Ini malah mau mengurasnya. Mending, kalau dia mau berterima kasihnya, ini malah seenaknya saja. Malah, ia sampai tega bilang kesemua orang, kalau aku ini menantu pelit, menantu yang tidak peduli sama mertua. Tidak sadar apa, pekerjaan anaknya hanya seorang sopir angkot. Berapa sih, penghasilannya?' gerutuku dalam hati. Kesal, sebal menjadi satu.

Aku pun, segera melangkah menuju pintu depan. Karena, sudah pasti pintu depan akan dibiarkan terbuka oleh Ibu mertuaku itu. Benar saja dugaanku, pada saat aku sampai ruang depan, pintu rumah terbuka lebar. Mertuaku ini, sudah seperti seorang manusia yang tidak memiliki adab saja. Untung saja, kelakuannya tidak turun sama Mas Romi suamiku.

Pada saat aku akan menutup pintu, Mirna datang ke rumah kontrakanku. Entah mau apa dia datang kerumahku. Sebenarnya, aku malas banget untuk meladeninya. Tetapi sudah kepalang basah, sebab dia telah melihatku, serta pintu ini sedang terbuka.

"Mira, jangan tutup dulu pintunya, tunggu aku sebentar!" Marni, berteriak seperti seorang rentenir yang sedang menagih hutang.

"Ada apa, Marni? Kok, kamu teriak-teriak begitu sih. Malu tau, nanti dikira orang aku ini kenapa?" Aku, bertanya kepada Marni, kenapa dia berteriak memanggilku.

"Mbak, kamu punya simpanan uang nggak? Aku, mau pinjam dulu. Nanti sore, aku ganti, kok." Marni, memberitahu maksud kedatangannya kerumahku.

Ternyata, dia datang kerumahku, hanya untuk meminjam uang kepadaku. Dia tidak merasa malu, setelah apa yang dilakukannya kepadaku, saat sedang berbelanja sayuran tadi pagi.

"Uang buat apa, Marni? Kamu 'kan tau, kalau aku hanya seorang perempuan miskin. Aku, mana ada uang, buat dipinjamkan sama kamu." Aku, sengaja merendahkan diri dihadapan Marni.

"Cuma tiga ratus ribu saja, kok Mbak. Masa iya kamu nggak punya," ujar Marni.

"Ya, kalau menurutmu uang tiga ratus ribu itu cuma. Kenapa, kamu mesti meminjam sama aku? Aku tidak ada uang sebanyak itu, Marni," tolakku.

Aku, bukannya tidak punya uang sebanyak itu. Cuma, aku malas saja jika harus berurusan sama Marni, yang mulutnya suka bikin sakit hati. Lebih baik, aku berkata tidak punya. Toh, selama ini dia juga, menganggap aku perempuan miskin. Jadi, aku biarkan kesan miskin melekat di dalam diriku.

"Ah, memang dasar kamunya saja yang pelit, Mbak. Ya sudah, permisi!" pamit Marni, sambil mukanya ditekuk.

Setelah Marni pergi, aku menutup pintu bahkan menguncinya. Aku pun kembali mengambil handphoneku, yang ada di atas meja. Aku pun duduk di kursi kayu, yang sudah menemaniku semenjak aku mengontrak di sini. Aku, kembali mengetik cerita yang tadi tertunda. Semenjak setahun ini, aku selalu menulis cerita dan menitip ceritaku di beberapa platform.

Baik yang bayarannya berupa rupiah, sampai bayaran dolar. Alhamdulillah, dari hasil menulis ini, aku bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Hingga bisa menambah untuk biaya kehidupan yang tiap hari semakin meningkat saja. Tetapi, Mas Romi belum tahu, kalau aku memiliki penghasilan dari menulis ini.

Aku juga mengambil penghasilanku, hanya seperlunya saja. Biarlah aku tabung, buat biaya pendidikan anak-anakku nanti. Atau bahkan nanti, bisa buat membeli rumah. Setelah kurasakan jari tanganku pegal, aku pun segera menghentikan aktifitasku. Aku, pergi ke warung Bu Ami untuk membeli minyak goreng lagi.

"Assalamualaikum,Bu. Aku, mau membeli minyak gorengnya seperempat saja." Aku mengucapkan salam, serta memberitahu kebutuhanku saat sampai ke warungnya Bu Ami.

"Lho, Mir. Bukannya tadi pagi kamu sudah membeli minyak dua liter ya. Kok, sekarang beli lagi?" tanya Bu Ami.

Iya, Bu. Tadi minyaknya sudah dibuka, eh nggak taunya tumpah, mungkin kesenggol Kucing, Bu." Aku sengaja berbohong, sebab tidak mungkin aku menceritakan yang sebenarnya kepada orang lain.

Biarlah orang lain menilaiku jelek, tapi jangan balas mereka dengan kejelekan pula. Lebih baik kita diam, seiring berjalannya waktu akan kelihatan juga siapa yang benar dan siapa yang salah.

"Eh, Mira! Bisa nggak sih, kalau jadi orang tuh jangan terlalu pelit?" Bu Asmi berkata kepadaku, dengan nada nyolot.

"Maksud Ibu, apa? Aku, kurang paham dengan maksud Ibu." Aku bertanya, apa maksud dari ucapannya Bu Asmi itu.

"Alah, pura-pura nggak tau lagi. Jangan berlagak bodoh deh kamu, Mira! Satu kampung juga sudah pada tau, kalau kamu itu seorang perempuan yang perhitungan. Pelit sama Mertua, tetangga minta tolong juga nggak dibantu. Kamu pikir, kamu juga nggak bakal butuh bantuan gitu?" Bu Asmi, berkata panjang lebar.

Namun, semua perkataannya tidak aku mengerti. Malah membuat kepalaku pusing, sebab tidak paham dengan maksudnya. Kenapa bisa, Bu Asmi berbicara begitu? Apa maksudnya?

"Beneran Bu, Mira tidak faham dengan maksud Ibu. Mira, minta tolong sama Bu Asmi, tolong dijelaskan sedetail mungkin. Karena, Mira beneran tidak tau maksud ucapan Bu Asmi." Aku meminta, supaya Bu Asmi menjelaskan maksud ucapannya barusan.

"Tadi siang, si Marni datang kerumah kamu 'kan?" tanya Bu Asmi.

"Iya, Bu. Memangnya kenapa, dengan Marni?" Aku bertanya balik kepada Bu Asmi, menanyakan tentang Marni.

Aku merasa ada bau-bau yang tidak enak, saat Bu Asmi mengatakan nama Marni. Pasti, ada sesuatu yang tidak beres, sehingga Bu Asmi sampai menegorku begitu.

"Kamu, tadi habis membentak Marni 'kan? Saat dia datang kerumahmu, mau meminjam uang? Kalau kamu memang tidak mau meminjamkan uang, sama Marni. Kamu, tidak perlu sampai membentak dia, Mira. Apalagi, Marni cuma pinjam uang lima puluh ribu, buat berobat anaknya. Tetapi, dia bukannya dikasih pinjaman, malah dapat bentakan dari kamu. Dasar kamu itu tetangga dzolim, Mira." Bu Asmi panjang lebar, menceritakan maksud dari ucapannya.

"Astagfirullah. Masa iya sih, Bu. Mira, sampai setega itu?" Bu Ami beristigfar, saat mendengar cerita dari Bu Asmi.

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Ristanto
siipp lanjutkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status