Share

Bab 3

Author: empat2887
last update Last Updated: 2022-11-05 01:55:10

"Pelit amat sih kamu, sama Ibu suamimu. Masa iya, minta minyak saja nggak boleh." Bu Ratmi, berkata dengan entengnya.

"Bukannya nggak boleh, Bu. Tapi, minyaknya, jangan semuanya dibawa Ibu, dong. Nanti, Mira mau goreng tempe, sama tahunya pakai apa?" Aku, bertanya kepada mertuaku.

Semoga saja, ia berbaik hati mau membagi dua minyak gorengnyanya. Masa iya, aku baru saja membeli minyak goreng sebanyak dua liter. Sekarang, aku harus membelinya lagi. Tidak lucu, 'kan?

"Ah, sudahlah! Awas, Ibu mau pulang! Kamu, kalau mau menggoreng tempe atau tahunya, beli lagi aja minyaknya sana, repot amat sih! Kalau nggak, kamu menggorengnya pakai minyak goreng bekas saja." Bu Ratmi, berbicara seenaknya saja, tanpa mau mengerti perasaanku.

"Tapi, Bu," kataku.

"Minggir kamu, Mira!" ucap Bu Ratmi, sambil mendorong tubuhku.

Hampir saja aku terjatuh, kalau aku tidak berpegangan ke lemari makan yang ada di sana. Bu Ratmi, bukannya mendengar apa yang mau aku katakan. Tetapi, ia malah melengos pergi tanpa peduli lagi denganku.

'Memang dasar, mertua nggak punya ahlak, boro-boro mau meringankan beban hidup anak sama menantunya. Ini malah mau mengurasnya. Mending, kalau dia mau berterima kasihnya, ini malah seenaknya saja. Malah, ia sampai tega bilang kesemua orang, kalau aku ini menantu pelit, menantu yang tidak peduli sama mertua. Tidak sadar apa, pekerjaan anaknya hanya seorang sopir angkot. Berapa sih, penghasilannya?' gerutuku dalam hati. Kesal, sebal menjadi satu.

Aku pun, segera melangkah menuju pintu depan. Karena, sudah pasti pintu depan akan dibiarkan terbuka oleh Ibu mertuaku itu. Benar saja dugaanku, pada saat aku sampai ruang depan, pintu rumah terbuka lebar. Mertuaku ini, sudah seperti seorang manusia yang tidak memiliki adab saja. Untung saja, kelakuannya tidak turun sama Mas Romi suamiku.

Pada saat aku akan menutup pintu, Mirna datang ke rumah kontrakanku. Entah mau apa dia datang kerumahku. Sebenarnya, aku malas banget untuk meladeninya. Tetapi sudah kepalang basah, sebab dia telah melihatku, serta pintu ini sedang terbuka.

"Mira, jangan tutup dulu pintunya, tunggu aku sebentar!" Marni, berteriak seperti seorang rentenir yang sedang menagih hutang.

"Ada apa, Marni? Kok, kamu teriak-teriak begitu sih. Malu tau, nanti dikira orang aku ini kenapa?" Aku, bertanya kepada Marni, kenapa dia berteriak memanggilku.

"Mbak, kamu punya simpanan uang nggak? Aku, mau pinjam dulu. Nanti sore, aku ganti, kok." Marni, memberitahu maksud kedatangannya kerumahku.

Ternyata, dia datang kerumahku, hanya untuk meminjam uang kepadaku. Dia tidak merasa malu, setelah apa yang dilakukannya kepadaku, saat sedang berbelanja sayuran tadi pagi.

"Uang buat apa, Marni? Kamu 'kan tau, kalau aku hanya seorang perempuan miskin. Aku, mana ada uang, buat dipinjamkan sama kamu." Aku, sengaja merendahkan diri dihadapan Marni.

"Cuma tiga ratus ribu saja, kok Mbak. Masa iya kamu nggak punya," ujar Marni.

"Ya, kalau menurutmu uang tiga ratus ribu itu cuma. Kenapa, kamu mesti meminjam sama aku? Aku tidak ada uang sebanyak itu, Marni," tolakku.

Aku, bukannya tidak punya uang sebanyak itu. Cuma, aku malas saja jika harus berurusan sama Marni, yang mulutnya suka bikin sakit hati. Lebih baik, aku berkata tidak punya. Toh, selama ini dia juga, menganggap aku perempuan miskin. Jadi, aku biarkan kesan miskin melekat di dalam diriku.

"Ah, memang dasar kamunya saja yang pelit, Mbak. Ya sudah, permisi!" pamit Marni, sambil mukanya ditekuk.

Setelah Marni pergi, aku menutup pintu bahkan menguncinya. Aku pun kembali mengambil handphoneku, yang ada di atas meja. Aku pun duduk di kursi kayu, yang sudah menemaniku semenjak aku mengontrak di sini. Aku, kembali mengetik cerita yang tadi tertunda. Semenjak setahun ini, aku selalu menulis cerita dan menitip ceritaku di beberapa platform.

Baik yang bayarannya berupa rupiah, sampai bayaran dolar. Alhamdulillah, dari hasil menulis ini, aku bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Hingga bisa menambah untuk biaya kehidupan yang tiap hari semakin meningkat saja. Tetapi, Mas Romi belum tahu, kalau aku memiliki penghasilan dari menulis ini.

Aku juga mengambil penghasilanku, hanya seperlunya saja. Biarlah aku tabung, buat biaya pendidikan anak-anakku nanti. Atau bahkan nanti, bisa buat membeli rumah. Setelah kurasakan jari tanganku pegal, aku pun segera menghentikan aktifitasku. Aku, pergi ke warung Bu Ami untuk membeli minyak goreng lagi.

"Assalamualaikum,Bu. Aku, mau membeli minyak gorengnya seperempat saja." Aku mengucapkan salam, serta memberitahu kebutuhanku saat sampai ke warungnya Bu Ami.

"Lho, Mir. Bukannya tadi pagi kamu sudah membeli minyak dua liter ya. Kok, sekarang beli lagi?" tanya Bu Ami.

Iya, Bu. Tadi minyaknya sudah dibuka, eh nggak taunya tumpah, mungkin kesenggol Kucing, Bu." Aku sengaja berbohong, sebab tidak mungkin aku menceritakan yang sebenarnya kepada orang lain.

Biarlah orang lain menilaiku jelek, tapi jangan balas mereka dengan kejelekan pula. Lebih baik kita diam, seiring berjalannya waktu akan kelihatan juga siapa yang benar dan siapa yang salah.

"Eh, Mira! Bisa nggak sih, kalau jadi orang tuh jangan terlalu pelit?" Bu Asmi berkata kepadaku, dengan nada nyolot.

"Maksud Ibu, apa? Aku, kurang paham dengan maksud Ibu." Aku bertanya, apa maksud dari ucapannya Bu Asmi itu.

"Alah, pura-pura nggak tau lagi. Jangan berlagak bodoh deh kamu, Mira! Satu kampung juga sudah pada tau, kalau kamu itu seorang perempuan yang perhitungan. Pelit sama Mertua, tetangga minta tolong juga nggak dibantu. Kamu pikir, kamu juga nggak bakal butuh bantuan gitu?" Bu Asmi, berkata panjang lebar.

Namun, semua perkataannya tidak aku mengerti. Malah membuat kepalaku pusing, sebab tidak paham dengan maksudnya. Kenapa bisa, Bu Asmi berbicara begitu? Apa maksudnya?

"Beneran Bu, Mira tidak faham dengan maksud Ibu. Mira, minta tolong sama Bu Asmi, tolong dijelaskan sedetail mungkin. Karena, Mira beneran tidak tau maksud ucapan Bu Asmi." Aku meminta, supaya Bu Asmi menjelaskan maksud ucapannya barusan.

"Tadi siang, si Marni datang kerumah kamu 'kan?" tanya Bu Asmi.

"Iya, Bu. Memangnya kenapa, dengan Marni?" Aku bertanya balik kepada Bu Asmi, menanyakan tentang Marni.

Aku merasa ada bau-bau yang tidak enak, saat Bu Asmi mengatakan nama Marni. Pasti, ada sesuatu yang tidak beres, sehingga Bu Asmi sampai menegorku begitu.

"Kamu, tadi habis membentak Marni 'kan? Saat dia datang kerumahmu, mau meminjam uang? Kalau kamu memang tidak mau meminjamkan uang, sama Marni. Kamu, tidak perlu sampai membentak dia, Mira. Apalagi, Marni cuma pinjam uang lima puluh ribu, buat berobat anaknya. Tetapi, dia bukannya dikasih pinjaman, malah dapat bentakan dari kamu. Dasar kamu itu tetangga dzolim, Mira." Bu Asmi panjang lebar, menceritakan maksud dari ucapannya.

"Astagfirullah. Masa iya sih, Bu. Mira, sampai setega itu?" Bu Ami beristigfar, saat mendengar cerita dari Bu Asmi.

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Ristanto
siipp lanjutkan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Membungkam Nyinyiran Mertua Dan Tetangga Dengan Kesuksesan   Bab 137. Tamat

    "Lho, kok ada foto Mas sama Meri sedang berpelukan begini sih? Kamu dapat dari mana, Dek?" Mas Romi bertanya dengan sorot mata yang menatap tajam ke arahku."Aku dikirim Susi, Mas. Katanya kalian berdua ada hubungan spesial, bener nggak sih Mas apa yang dia bilang? Karena aku melihat foto kalian juga terlihat begitu mesra," tanyaku mau minta penjelasan.'Dek ... Dek, kamu itu lebih percaya Mas suami kamu, sama Merry Adik kamu, atau sama Susi temen kamu? Temen yang sudah merebut mantan pacar kamu, sewaktu kamu masih sekolah dulu. Kalau memang kamu lebih percaya sama Susi, Berarti kamu salah besar, Dek. Karena Mas sama Merry itu tidak ada hubungan spesial, terkecuali hubungan antara kakak ipar dan adik ipar. Kamu jangan mau di bodohi sama Susi dong, Dek. Dia itu hanya menginginkan, supaya hubungan kamu dan Mas berantakan. Kamu tahu nggak, Dek, kalau Susi dan suaminya sekarang hubungannya sedang goyang. Karena suaminya Susi ketahuan selingkuh, makanya dia memanas-manasi kamu. Mungkin t

  • Membungkam Nyinyiran Mertua Dan Tetangga Dengan Kesuksesan   Bab 136

    "Alhamdulillah, akhirnya Meri mau menggantikan Lusi. Kalau sampai Meri tidak mau, pasti toko kueku terbengkalai. Semoga dengan kedatangan Meri nanti, toko kueku akan semakin berkembang, aamiin," harapku.Kemudian aku mengangkat tubuh Nadyra dan segera memberikan asi kepadanya. Tidak berapa lama anak keduaku yang bernama Azka pulang dari sekolah dan langsung masuk ke kamarku untuk menyalamiku. Alhamdulillah, aku mempunyai anak-anak yang shaleh, semoga gadis kecilku juga menjadi anak yang shaleha, aamiin."Assalamualaikum, Bu, Kakak pulang," ucapnya sambil meraih tanganku dan menciumnya."Waalaikumsalam, Kak Azka, alhamdulillah Kakak udah pulang tuh, Dek. Bagaimana belajarnya hari ini, Kak, lancar?" Aku bertanya keadaan Azka di sekolah, setelah aku menjawab salam dari anakku yang nomer dua ini."Lancar dong, Bu, Kakak bisa menjawab semua soal ulangan hari ini," sahut Azka.Ia menjawabnya dengan begitu bersemangat, kebetulan hari ini memang ada ulangan harian di sekolah Azka."Alhamdul

  • Membungkam Nyinyiran Mertua Dan Tetangga Dengan Kesuksesan   Bab 135

    "Mbak Mira, terima kasih ya. Karena Mbak Mira telah paham dengan keadaanku," ucap Lusi."Iya, Lusi, sama-sama. Aku harus paham, sebab yang namanya manusia pasti punya problem. Kehidupan yang kita jalani tidak akan selamanya bisa sesuai harapan kita," sahutku."Ya sudah, Mbak, aku pamit ke toko dulu ya. Assalamualaikum," pamit Lusi.Aku pun mengiyakan, saat Lusi pamit untuk pergi ke toko. Kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian, yang sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk masalah ini. Setelah Lusi kembali ke toko, setelah ia selesai membicarakan apa yang ingin diungkapkannya. Aku melamun seorang diri, membayangkan bagaimana nasib toko kueku, ketika Lusi sudah tidak ada lagi nanti? Sedangkan aku baru saja melahirkan dan tidak bisa membuat kue seperti dulu. Menurut Lusi, ia akan pergi sekitar satu minggu lagi. Jadi aku harus segera mencari orang untuk menggantikan Lusi membuat kue, mumpung masih ada waktu untuk mencari orang yang tepat pengganti Lusi tersebut. Setelah setelah

  • Membungkam Nyinyiran Mertua Dan Tetangga Dengan Kesuksesan   Bab 134

    "Itu, Dek, Meri barusan menyuruh Mas memasangkan lampu yang ada di kamarnya. Kata dia mumpung ada Mas karena ternyata lampu kamarnya putus," sahut Mas Romi."Oh begitu, ya Mas, ya sudah kalau memang seperti itu. Mas, sudah dulu ya, meneleponnya soalnya Nadyra-nya mau nyusu dulu. Nanti kita sambung lagi," pungkasku.Setelah itu aku pun mengakhiri sambungan telepon, kemudian menyimpan telepon tersebut di atas nakas, sebab Nadyra memang sudah terbangun dari tidurnya. Aku menyusui Nadyra, sambil tiduran, supaya Nadyra kembali terlelap. Soalnya baru juga berapa menit dia tidur kini sudah terbangun karena kehausan. Setelah Nadyra kembali tertidur, aku pun merapikan selimutnya, lalu bangkit dari kasur. Aku berniat akan pergi ke toko untuk mengeceknya. Sudah lebih satu bulan semenjak aku melahirkan, aku tidak pernah lagi mengecek toko kueku. Biasanya aku menyerahkan semuanya kepada Lusi. Pas aku baru membuka pintu kamar, ternyata Lusi sudah ada di depan pintu kamarku. "Eh, Mbak Mira, baru

  • Membungkam Nyinyiran Mertua Dan Tetangga Dengan Kesuksesan   Bab 133

    Rasanya nggak mungkin juga, jika suami serta adik kandungku tega menghianati aku. Makanya aku tidak akan percaya seratus persen, dengan perkataan Susi, yang belum jelas kebenarannya. Bisa saja Mereka berpelukan begitu karena Mas Romi mau menolong Meri, bukan karena sengaja berpelukan karena mempunyai perasan lain. Aku percaya, kalau mereka berdua tidak akan seperti itu.[Ya sudah, terserah kamu saja kalau memang kamu tidak percaya. Aku hanya ingin memberitahu kanu saja, apa yang terjadi di sini tanpa sepengetahuan kamu.] Susi mengirimi chat lagi kepadaku.[Terima kasih, Susi, sebab kamu telah mau memberitahu aku. Tapi aku lebih percaya kepada mereka berdua,] terangku lagi.Setelah membalas chat terakhir dari Susi, Susi pun tidak lagi mengirim chat kepadaku. Sepertinya ia kecewa karena aku tidak percaya dengan aduannya tersebut. Biar saja, sebab jika aku menuruti semua aduan Susi, sudah pasti rumah tanggaku, yang aku bina sekitar lima belas tahun ini akan sia-sia.Setelah tidak ada c

  • Membungkam Nyinyiran Mertua Dan Tetangga Dengan Kesuksesan   Bab 132

    "Makanya, Mbak Widi, jangan menuruti emosi dulu. Cari tau dulu kebenarannya, kalau sudah seperti ini siapa yang rugi," tanyaku merasa geram dengan apa yang terjadi."Iya, Mbak Mira, aku menyesal sudah gegabah. Sekarang aku menyesal, Mbak, sebab telah mendengar kata orang dan menuruti emosi." ujar Mbak Widi."Ya sudah nggak apa-apa, Mbak. Aku mau kok memaafkan Mbak Widi," ungkap Meri.Adikku ini memang orang baik, ia tidak pernah mau ribet dan mempermasalahkan apa pun. Sifat dia sama persis dengan sikap Bapak kami, yang lebih memaafkan ketimbang memperpanjang masalah. Aku pun memiliki sifat yang sama, tidak pernah mau ribet, atau berpikir untuk membalas perlakuan jahat orang lain. Karena bagiku memiliki sifat seperti itu capek, sebab permasalahan akan tetap ada dan tidak ada habisnya. Aku ingin hidup tentram dan damai, makanya kami tidak terlalu mempermasalahkan semua itu. Toh lama kemanan orang yang membenci kita akan bosan sendiri, sebab kita tidak meladeni mereka."Terimakasih, M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status