Share

Bab 4

"Astagfirullah. Masa iya sih, Bu. Kok bisa, Mira, sampai setega itu? Aku nggak nyangka, ternyata sifat aslinya Mira seperti itu ya, Bu." Bu Ami sampai beristigfar saat mendengar cerita dari Bu Asmi.

"Iya benar, Bu. Marni sampai nangis-nangis lho, datang kerumah saya. Ia menceritakan semuanya ini kepada saya. Karena saya orangnya tidak tegaan, jadi saya memberi uang seratus ribu buat berobat anaknya Marni. Saya kasih lho, Bu Ami. Bukannya ngutangin," terang Bu Asmi, ia berkata dengan banyak penekanan di setiap katanya, seolah menegaskan.

"Ih, Mira, Ibu nggak nyangka lho, kalau kamu ternyata sejahat itu. Sudah sana, lebih baik kamu pergi saja mencari warung lain, kalau untuk beli minyaknya! Aku nggak sudi menerima uang, dari orang yang jahat seperti kamu. Yang ada, nanti aku terkena imbas dari kelakuan kamu itu." Bu Ami mengusirku, ia tidak mau meladeni aku belanja, ternyata ia sudah termakan oleh ucapannya Bu Asmi tersebut.

Rupanya memang benar apa kata pepatah, kalau mulut itu lebih tajam dari pada silet. Buktinya, ucapan Marni yang mengatakan kalau aku sudah membentaknya. Membuat aku malah mendapat hujatan, bahkan diusir dari warung.

"Tapi, Bu. Nggak seperti itu ceritanya, kalian berdua sudah salah paham sama saya." Aku membela diri karena, aku tidak merasa melakukannya.

"Sudahlah, Mira. Mana ada seorang maling mau ngaku, kalau dia maling. Jika semua maling pada ngaku penjara penuh, otomatis polisi tidak ada kerjaan lagi." Bu Asmi, tidak mau mendengarkan pembelaanku.

"Iya, bener Bu Asmi. Sudah sana pergi, kamu cari warung lain saja!Lebih baik kehilangan satu pelanggan, daripada punya pelanggan yang tidak punya rasa empati." Bu Ami kembali mengusirku, ia menyuruhku untuk mencari warung lain buat belanja.

Bahkan Bu Ami, rela memutuskan hubungan pembeli dan pelanggan denganku. Karena, ia sudah termakan dengan ucapan yang tidak benar. Aku pun, segera pergi dari warung Bu Ami menuju rumah. Aku, tidak kuasa untuk membeli minyak ke warung lain.

Karena, aku merasa sedih dan juga emosi, dengan apa yang terjadi saat ini. Perkataan mereka, membuat diriku down. Sampai rumah, aku menangis. Aku memenumpahkan semua kesedihanku. Andai uang tabunganku sudah cukup untuk membeli rumah, aku akan membeli rumah yang jauh dari kampung ini.

"Assalamualaikum," ucap anak keduaku, saat ia masuk ke dalam rumah sepulang dari sekolah.

"Waalaikumsalam," jawabku dari dapur.

Saat anakku datang, aku sedang menggoreng tempe dan tahu ditepungin. Aku, menggoreng menggunakan minyak jelantah, yang masih layak dipakai. Untung saja, masih ada minyak bekas menggoreng bawang kemarin. Jadi bisa aku pergunakan untuk menggoreng tahu dan tempe saat ini.

Karena, aku malas membeli minyak di warung lain. Aku takut akan mendapatkan perlakuan yang sama, dari pemilik warung, serta pembeli yang kebetulan berbelanja di warung tersebut. Seperti, perlakuan Bu Ami dan Bu Asmi tadi.

"Mah, lagi masak apa?" tanya anakku, yang sudah berganti pakaian dengan baju biasa.

"Mama, lagi goreng tempe sama tahu yang ditepungin, sayang. Kamu, mau makan sekarang?" tanyaku balik, setelah menjawab pertanyaan anakku.

"Iya, Mah. Masih ada Ayam goreng nggak, Mah?" tanya anakku lagi.

Arkan menanyakan Ayam goreng, yang kemarin Mas Romi beli dari pasar. Arkan adalah anak keduaku, sedangkan anak pertamaku bernama Arman. Aku, sengaja merebus semua ayam, yang Mas Romi belu menggunakan bumbu kuning, biar kalau mau makan tinggal goreng saja.

"Ada kok, sayang. Tapi nanti ya, setelah Mama selesai menggoreng tempe sama tahunya. Lebih baik, Arkan cuci tangan sama kaki saja dulu ya!" Aku, menyuruh Arkan untuk sabar menunggu, sampai menggoreng tahu tempenya selesai.

"Iya, Mah," sahut anakku, sambil duduk di kursi meja makan yang ada di dapur buatan suamiku.

Walaupun kontrakan petak, tetapi ukurannya lumayan besar. Dengan dua kamar, ruang depan, dapur sama kamar mandi. Setelah selesai menggoreng tempe, aku melanjutkan menggoreng Ayam. Setelah itu, aku siapkan makan buat Arkan.

"Arkan, ini sayang makanannya, habis in ya!" Aku menyodorkan sepiring nasi, beserta lauknya ke hadapan Arkan.

"Terima kasih, ya Mah," ucap anakku, sambil menerima piring berisi nasi, serta lauk yang aku berikan.

"Iya, sayang," sahutku.

Arkan pun berdoa dulu sebelum makan, setelah itu ia makan dengan sangat lahap. Aku juga ikut makan, sambil menemani Arkan. Kami makan dengan khusyuk, tanpa ada sepatah kata pun keluar dari kami. Selesai makan, aku segera mencuci piring kotor, serta perabotan bekas memasak.

"Mah, tadi pas Arkan pulang, Arkan ditegur sama Bu Ami. Katanya, Arkan jangan jajan lagi diwarungnya. Emangnya kenapa, sih Mah? Kok, Bu Ami ngomong begitu? Memangnya, Arkan salah apa sama Bu Ami?" tanya anakku, saat dia mencuci tangannya.

Degh!

Hatiku berdenyut nyeri, saat mendengar Arkan berbicara. Tega sekali, Bu Ami berkata seperti itu, kepada anak sekecil Arkan yang tidak tahu apa-apa.

"Arkan nggak salah, kok. Mungkin Bu Ami sedang ada masalah, jadi lebih baik Arkan nurut saja apa kata Bu Ami. Nanti, setelah Papa datang narik angkot. Kita, akan belanja kebutuhan dan juga jajanan, buat Arkan dan Kakak, Biar nggak perlu jajan lagi di Bu Ami." Aku mengajak Arkan untuk berbelanja, setelah Masa Romi pulang nanti.

"Iya, Mah. Nanti, kita ke supermarket aja ya Mah," pinta Arkan.

"Iya, sayang," sahutku.

Untung saja, aku telah mengambil sejumlah uang dari tabunganku kemarin, tanpa sepengetahuan Mas Romi. Jadi, buat belanja nanti sore, aku tidak perlu lagi menggesek ATMku. Aku sengaja mau berbelanja ke supermarket, biar sekalian aku beli perlengkapan dapur buat sebulan kedepan.

Karena, mulai sekarang aku tidak mau lagi berbelanja di warungnya Bu Ami. Paling-paling, aku tinggal mikirin buat belanja sayuran. Aku, akan mengatur waktu yang tepat buat belanja. Supaya, pas aku belanja nanti, tidak sedang banyak Ibu-ibu yang berkerumun. Aku malas, jika harus terus menerus dihina. Mau melawan juga percuma, sebab orang kecil sepertiku hanya akan tetap dianggap salah.

"Mah, Arkan ada PR. Arkan mau ngerjain dulu ya, supaya dzuhur nanti Arkan tinggal mengaji saja." Arkan, pamit kepadaku untuk mengerjakan PR dari sekolahnya.

"Iya, sayang silahkan! Mama juga mau melanjutkan bikin cerita, ya sayang. Nanti, kalau Kakak pulang, Arkan suruh Kakak makan ya!" Aku, mengizinkan Arkan untuk mengerjakan PR dari sekolahnya, sekalian meminta Arkan, supaya menyuruh Arman makan jika sudah pulang nanti.

"Iya, Mah," sahut anakku.

Arkan pergi berjalan ke kamarnya, aku juga pergi ke kamarku. Karena, aku tidak bisa fokus mengetik cerita, jika banyak orang di sekitarku. Aku biasa menyendiri, agar dapat ide untuk aku tuangkan kedalam ceritaku.

"Mas, kita pergi berbelanja yuk!" ajakku, saat Mas Romi sedang beristirahat, setelah mandi serta makan tadi.

"Memangnya kamu mau beli apa, Dek?" tanya Mas Romi.

"Aku, mau belanja buat kebutuhan rumah, sama belanja camilan buat anak-anak." Aku memberitahu Mas Romi, maksudku mengajaknya berbelanja ke supermarket.

"Memangnya kamu punya uangnya, Dek?" tanyanya lagi.

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Ristanto
suka bangetttt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status