Share

Bab 5

Sepertinya Mas Romi ragu, saat aku mengajaknya belanja ke supermarket. Mungkin dia berfikir dari mana aku mempunyai uang buat belanja. Sedangkan, uang yang dia kasih ke aku perharinya, saja tidak menentu. Kadang tiga puluh ribu, lima puluh ribu, maksimal tujuh puluh ribu. Terkadang juga, dia tidak memberi sama sekali.

Bukan karena pelit suamiku memberinya segitu, tetapi karena memang penghasilan dari menarik angkot tidak menentu, tergantung dari hasil tarikannya. Jika, telah membeli bensin dan memberikan setoran kepada pemiliknya, tetapi masih ada sisa uang, maka itulah pendapatannya hari ini. Begitulah, sistem kerja di angkutan umum.

"Ada, lah Mas, kalau untuk berbelanja keperluan dan jajanan anak. Makanya, aku ngajak Mas jalan. Atau mungkin, Mas mau nambahin uang buat belanjaannya?" tanyaku balik, setelah aku menjawab pertanyaan suamiku.

"Nih, Mas tambahin lima puluh ribu. Alhamdulillah, itu pendapatan Mas hari ini. Lumayanlah, buat beli bensin untuk pulang pergi ke supermarket." Mas Romi, menyodorkan satu lembar uang senilai lima puluh ribu.

"Pegang saja sama Mas, 'kan buat membeli bensin."

Aku, menyuruh Mas Romi untuk menyimpan uang tersebut. Karena, uangnya akan dibelikan bensin, buat perjalanan kami ke supermarket.

"Mah, ayo! Adek, sama Kakak sudah siap," ajak Arkan.

"Ia, sebentar ya sayang. Papa mau ganti baju dulu," ujarku.

Aku memberitahu anakku, kalau Papanya mau berganti pakaian dulu. Karena, Mas Romi barusan hanya memakai sarung serta koko. Karena, ia baru selesai shalat ashar. Sedangkan, aku dan juga anak-anak telah siap, kami telah memakai pakaian terbaik yang kami punya.

Setelah Mas Romi berganti pakaian, kami pun naik angkot untuk berangkat menuju supermarket.

Aku, duduk di jok depan bareng sama suamiku. Sedangkan, kedua anakku di ganggu belakang. Tetapi, pintu belakang angkotnya sengaja di tutup. Supaya, tidak ada orang yang mengira kalau angkotnya sedang narik. Saat mobil melewati warung Bu Ami, kebetulan sedang banyak orang. Warung Bu Ami dengan kontrakanku saling membelakangi, jadi walaupun jarak antara warung Bu Ami dengan kontrakanku dekat.

Tapi aku tidak mengetahui, kalau di warung Bu Ami sedang ramai. Saat mobil melintas, Ibu-ibu yang sedang nongkrong di warung tersebut langsung memalingkan muka. Sedangkan, Mas Romi sengaja membuka kaca jendela depan lebar-lebar, supaya bisa menyapa mereka. Tetapi, tidak ada satupun orang yang menjawab sapaan suamiku.

"Dek, kenapa itu Ibu-ibu? Kok, tumben nggak pada ngejawab ucapan Mas? Malah semuanya pada memalingkan muka." Mas Romi bertanya kepadaku, tentang sikap Ibu-ibu tadi.

"Mas, Adek jawabnya nanti saja ya, kalau kita sudah kembali kerumah. Nggak enak kalau ngomong sekarang, kita 'kan sedang ada diperjalanan." Aku, tidak langsung menjawab pertanyaan Mas Romi. Karena, kami sedang berada di perjalanan. Takutnya, nanti Mas Romi malah kepikiran, hingga tidak konsentrasi dalam membawa kendaraannya.

"Ya sudah, terserah kamu saja, Dek" Mas Romi menyetujui, kalau pembicaraannya ditunda sampai kami pulang dari Supermarket.

Mas Romi pun kembali melajukan mobilnya, ia tidak lagi bertanya apapun tentang para tetanggaku itu. Mas Romi, malah mengajak kedua anaknya mengobrol. Ia memberitahu ini dan itu tentang apapun, yang dilihat dan dilalui kami. Sesampainya di depan Supermarket yang kami tuju, kami pun segera turun lalu masuk ke dalamnya. Aku memilih semua yang diperlukan, sesuai dengan apa yang aku catat.

Sedangkan Mas Romi dan kedua anakku, mencari camilan sesuai dengan kemauan mereka. Setelah merasa cukup, aku pun mengajak suami serta anakku menuju kasir untuk membayarnya. Total semua belanjaanku, hampir mencapai satu juta seratus ribu rupiah. Aku pun segera membayar dengan uang tunai, dari dalam dompetku. Mas Romi melongo, melihat aku mengeluarkan uang sebanyak itu buat belanja.

Setelah membayar, kami keluar dengan menenteng barang belanjaan kami. Tangan kami berempat, semuanya membawa kantong kresek, berlogo nama swalayan yang kami kunjungi. Setelah sampai parkiran, kami menuju angkot suamiku dan segera masuk ke dalamnya. Barang belanjaan semuanya disimpan di belakang bersama Arman dan Arkan.

"Dek, katanya kamu mau cerita tentang sikap para tetangga tadi." Mas Romi mengingatkanku, tentang janjiku yang mau bercerita padanya setelah sampai rumah.

"Memangnya, Mas penasaran?" tanyaku, saat kami telah berada di kamar kami.

"Iya, dong Dek. Mas penasaran banget malah. Memangnya ada apa sih? Sampai mereka semua, bersikap seperti itu sama kita." Mas Romi berkata, kalau dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi.

"Baiklah, Mas. Aku akan menceritakan yang sebenarnya. Tetapi, aku minta sama Mas, Mas jangan sampai terpancing emosinya. Mas siap nggak?" tanyaku.

"Iya, Dek. Mas siap kok, Mas juga tidak akan terpancing emosi." Mas Romi menyetujui syarat dariku.

Aku pun menceritakan semuanya, dari awal belanja sayur di Mang Ade sampai belanja sembako di Bu Ami. Bahkan, saat Bu Ratmi datang mengambil minyak, serta kedatangan Marni aku ceritakan semua. Bahkan ucapan Arkan pun aku sampaikan. Semua kejadian hari ini, semuanya aku beritahu kepada suamiku. Saat aku bercerita, raut wajah Mas Romi berubah tegang tidak sesantai tadi.

"Jadi, semuanya ini berawal dari mulut ibuku sendiri?" Mas Romi bertanya kepadaku, ia seakan tidak percaya dengan apa yang aku sampaikan.

"Iya, Mas. Karena, dari awal kita pacaran sampai sekarang. Ibu tidak menyukaiku, bahkan belum menerimaku, sebagai mentunya. Bahkan, ia belum menerimaku, sebagai bagian dari keluarganya. Sikap Ibu padaku, berbeda dengan sikap ibu pada menantunya yang lain." Aku membenarkan, dengan apa yang aku ucapkan.

"Ya sudah, kalau begitu kamu harus ekstra sabar ya, Dek. Mungkin ini ujian rumah tangga kita, yang datangnya dari Ibu Mas. Kamu bisa 'kan tetap bersabar, demi Mas dan anak-anak? Siapa tau dengan kesabaranmu, hati Ibu bisa melunak. Bahkan bisa menyayangimu, seperti kepada menantunya yang lain."

Mas Romi, memintaku untuk tetap bersabar menghadapi Ibunya.

"Insya Allah, Mas," sahutku pendek.

"Ya sudah, ayo kita tidur! Tidak terasa, ternyata sudah hampir jam sepuluh," ucap Mas Romi.

"Iya, Mas ayo kita tidur! Nanti, kita malah kesiangan bangun untuk shalat subuh." Aku pun segera naik ke atas kasur, dan memakai selimut sampai ke dada.

Setelah itu, aku pun memejamkan mata. Namun, baru saja aku mau terlelap. Ada suara handphone berbunyi. Dari nada suaranya, sepertinya handphonenya Mas Romi. Aku pun bangun dan segera mengambil handphonenya, yang berada di atas meja rias.

Aku melihat kontak Ibu, yang tertera di layar handphone mas Romi. Rupanya, yang menelepon Mas Romi malam-malam begini, adalah Bu Ratmi Ibu kandung suamiku. Aku pun segera membangunkan Mas Romi, takut ada hal urgent yang mesti disampaikan.

"Mas, Mas Romi, bangun Mas!" Aku, menggoyang-goyangkan tubuh Mas Romi untuk membangunkannya.

"Ada apa, Dek. Memangnya sudah siang, kok kamu bangunin Mas? Perasaan, Mas baru saja tidur kok sudah pagi lagi." Mas Romi, mengira sudah pagi, saat aku membangunkannya.

"Bukan sudah pagi, Mas. Tetapi, ini ada telepon buat kamu dari Ibu. Makanya, Mas aku bangunkan. Siapa tau Ibu ada informasi penting, yang perlu segera disampaikan, Mas." Aku menjelaskan tentang maksudku membangunkannya.

"Kenapa, Ibu menelpon malam-malam begini? Ada apa ya, Dek?" Mas Romi bertanya kepadaku, yang pastinya aku juga tidak tahu jawabannya.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status