Share

Bab 6

"Angkat saja, Mas. Siapa tau penting," saranku.

Mas Romi pun segera mengangkat telepon dari Ibunya, yang terus berdering tanpa henti. Ia juga mengeraskan suara teleponnya, mungkin supaya aku dapat mendengarkan pembicaraan mereka. Supaya, aku tidak salah paham terhadap Mas Romi.

"Assalamualaikum, Bu," sapa Mas Romi kepada Bu Ratmi.

"Waalaikumsalam, Romi. Rom, kakakmu Rendi besok akan datang bersama anak istrinya. Kamu bisa nggak, menyuruh Mira buat datang kerumah Ibu? Supaya, dia bisa membantu Ibu buat memasak serta beres-beres. Ibu malu, kalau Kakakmu datang tapi rumah masih berantakan dan makanan belum tersaji. Kamu tau sendiri, kalau Ibumu ini sudah tua. Tidak gesit lagi, kalau bekerja. Makanya, Ibu meminta bantuan Istrimu untuk bantu-bantu. Karena, selain kamu anak bungsu Ibu, kamu juga yang paling dekat jaraknya dengan Ibu." Bu Ratmi bicara to the point, ia menyampaikan maksudnya menelepon Mas Romi.

"Iya, Bu. Nanti, Romi tanya dulu sama Mira, ia besok bisa bantu Ibu atau nggak." Mas Romi tidak langsung menjawab ya, tetapi ia mau meminta persetujuanku dulu.

"Iya, Romi. Tapi, Ibu minta tolong sama kamu, kamu harus memaksa Mira supaya mau datang ke rumah Ibu dan membantu Ibu. Kalau nggak, Ibu selamanya akan membenci dia dan tidak akan menganggap, kalau dia adalah bagian dari keluarga Ibu." Bu Ratmi memaksa Mas Romi, supaya Mas Romi bisa memaksaku untuk datang kerumah Ibunya.

Bu Ratmi, bahkan mengancamku jika aku tidak mau membantunya. Maka, ia tidak akan menganggapku menantunya. Mungkin, Bu Ratmi lupa atau melupakan bagaimana perlakuannya padaku. Tetap saja, kalau anak mantunya yang dari kota mau datang.

Ia butuh bantuanku, serta meminta supaya aku mau membantunya. Mending, kalau mertuaku itu baik kepadaku dan tidak menjelekkanku kepada semua orang. Tetapi mertuaku ini ajaib, ia akan baik saat membutuhkan tenagaku saja.

"Iya, Bu, akan Romi usahakan," sahut Mas Romi.

"Baik, Ibu tunggu ya, Rom! Assalamualaikum," ucap Bu Ratmi mengakhiri percakapan mereka.

Bahkan, Bu Ratmi memutuskan sambungan telepon, sebelum Mas Romi menjawab salamnya. Mas Romi pun menyimpan handphonenya, di atas meja rias seperti biasanya.

"Mas, Kak Rendi sekeluarga mau pulang ya?" tanyaku.

"Iya, Dek. Tapi, kamu diminta Ibu buat bantu-bantu di sana. Apa kamu mau membantunya? Setelah, apa yang Ibuku lakukan sama kamu selama ini?" Mas Romi bertanya kepadaku, tentang keputusan yang akan aku ambil.

Ia mempertanyakan tentang sikap apa yang akan aku ambil, serta Mas Romi pun bertanya tentang perasaanku setelah Ibu memperlakukannya seperti itu.

"Aku akan mengikuti saranmu, Mas. Apapun yang sekiranya terbaik untukku, Mas. Jikalau menurut Mas, aku lebih baik diam di rumah. Ya akan aku lakukan diam di rumah, tapi kalau menurut Mas aku harus membantu Ibu, aku juga akan membantu Ibu." Aku kembali memberikan keputusan kepada Mas Romi, kalau aku mau menuruti saran terbaik dari Mas Romi suamiku.

"Dek, kamu memang istri terbaik, pilihan Mas. Makanya, Mas ngotot ingin menikahimu, walaupun Ibu Mas melarangnya. Karena, Mas suka akan kesabaranmu, yang tidak pernah mendendam walaupun kamu tersakiti." Mas Romi memujiku, membuat pipiku memanas karena pujiannya.

"Sudah, ah Mas. Jangan suka bikin aku GR, nanti aku besar kepala kalau kamu puji terus. Ayo, Mas lebih baik kita tidur! Tuh lihat, jarum jam sudah mau sampai ke jam sebelas, nanti kita kesiangan." Aku, mengajak Mas Romi untuk tidur, supaya tidak kesiangan bangunnya.

Tanpa berkata lagi, Mas Romi pun menuruti perkataanku. Ia, kembali membaringkan tubuhnya, ke atas kasur. Sambil menarik selimut sampai dada. Kemudian, ia memelukku tubuhku bagaikan memeluk bantal guling.

Aku pun mencoba memejamkan mataku, yang malah menjadi hilang rasa kantuknya karena telah terganggu, oleh deringan suara telepon tadi. Sedangkan, Mas Romi sudah kembali pulas, sebab sudah terdengar dengkuran dari mulutnya.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status