LOGIN“Kamu benar-benar menghancurkan segalanya!” Ivan menatap tajam sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang menunduk meremas tangannya yang dingin dan gemetar.
“Kamu harus bertanggung jawab!” Dengan takut-takut Deana mengangkat kepalanya, sorot mata tajamnya berembun, bibirnya yang bergetar sedikit terbuka. “Aku sudah bertanggung jawab, mengobatinya dan membantunya bekerja semalaman kalau kamu tahu! Tentu saja kamu tidak tahu, kamu tidak pernah mau tahu apa yang kulakukan!” teriaknya, tertelan bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. Ia tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa berteriak seperti itu kepada Ivan. Tiga tahun ini ia selalu bersikap lembut dan baik, sekalipun pria itu telah menyakitinya. Karena ia mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini. “Ap-apa yang harus kulakukan?” tanyanya kemudian, dengan terbata. Tenggorokannya mendadak sakit, suaranya keluar dengan kasar seperti memuntahkan kerikil. “Ivan, aku belum siap untuk melakukannya sekarang. Ak-aku butuh waktu,” lanjutnya pelan. “Tentu saja kamu butuh waktu!” semprot Ivan cepat, tanpa menunggu Deana menghirup udara. “Tangannya terluka karenamu, dia tidak akan bisa melakukannya dengan maksimal. Karena itu, kamu harus menebus kesalahan dengan mengajaknya makan malam. Anggap saja sebagai pendekatan.” “Makan malam?” Deana menggigit bibir bawahnya. Mempertimbangan. Ide itu tidak terlalu buruk, lagipula itu hanya makan malam. Tidak akan membuatnya menderita berlebihan, kecuali tatapan yang selalu membuat jantungnya menggila. “Kalau begitu, aku akan memasak sesuatu yang dia sukai. Kakak ipar suka makan apa?” Sorot mata Ivan menghunus tajam, membuat dada Deana berdesir seolah pria itu bisa membelahnya dan mengeluarkan organ-organnya dengan paksa. Dia berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Deana, tangannya terulur untuk mengusap bibir bawahnya dengan kasar, seolah memberi pelajaran pada bibir kurang ajar itu. “Memasak?” Suaranya berat dan tajam, membuat Deana membeku dan berpikir telah melakukan kesalahan. “Kamu ingin menjamunya dan bertingkah genit di depan semua orang? Kamu ingin membuatku malu dengan menjalang di depan semua keluargaku? Di depan ayahku?” Seperti ditampar bolak-balik tanpa jeda, sakit menjalar di dada Deana hingga ke wajah yang kini terasa panas. Ia tidak tahu kenapa Ivan bisa semarah itu. Dan lagi, kenapa dia selalu berkata kasar, seolah ia benar-benar melakukan kesalahan fatal? Tidakkah lebih baik bicara baik-baik tanpa menggunakan urat? Deana tidak menjawab. “Aku akan melakukan reservasi di restoran private bintang lima. Kakakku suka makanan jepang. Jadi, ikuti seleranya dan jangan membuatnya kecewa.” Ivan membungkuk dan mengecup bibir Deana cukup lama. Tidak bisa dipungkiri, di dalam hati kecilnya ia sangat merasa bersalah. Namun, tidak memiliki pilihan lain. Konsekuensi tidak memiliki keturunan jauh lebih berat daripada meminta istrinya menggoda pria lain. Posisinya di perusahaan, kehormatannya, istrinya, hartanya, ia akan kehilangan semua itu jika tidak memiliki keturunan. Jika sebaliknya, ia tidak akan kehilangan apa pun, kecuali kesucian istrinya yang ternoda, tetapi tidak masalah karena tidak berpengaruh pada stabilitas hidupnya. Saat Ivan akan melepaskan bibirnya, Deana menahannya dengan melingkarkan tangan di leher Ivan sambil perlahan berdiri. Namun, pria itu berhasil melepaskan diri dengan mendorongnya cukup keras. “Tidak sekarang, Sayang. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengatur makan malam.” Ia melepaskan tangan Deana, dan melangkah keluar. Ivan menolaknya. Air mata mengalir di pipi Deana, menggigit bibir bawahnya untuk meredam tangis. “Kamu tidak mau disentuh olehku, sedangkan kamu membiarkanku untuk disentuh orang lain? Kamu benar-benar jahat, Ivan.” Tanpa sadar tangan Deana terkepal erat. Sedangkan di luar kamar, Ivan melangkah ringan menuju kamar kakaknya. Bibirnya tertarik lebar, kontras dengan ekspresi yang ia perlihatkan pada Deana. Ia mengetuk pintu kayu solid berwarna coklat itu beberapa kali. Begitu pintu terbuka ia langsung menerobos masuk. Agra melihat tingkah Ivan dengan tatapan datar. Ia bersandar di dinding dekat pintu dengan tangan terlipat di depan dada. “Apa yang kamu lakukan?” tanyanya. “Em?” Ivan yang sedang melihat koleksi buku Agra pun menoleh. “Ah, Deana mengusulkan makan malam untuk menebus rasa bersalahnya, tapi dia terlalu malu untuk mengatakannya langsung. Jadi, aku di sini untuk mengatakan padamu. Bagaimana? Apa kakak memiliki waktu?” Agra tidak langsung menjawab. Mengingat kembali peristiwa malam itu, kemudian melihat punggung tangannya yang merah kehitaman sedikit melepuh di tengahnya. Luka itu tidak terlalu besar dan bukan sebuah masalah besar baginya. Ia tidak menyangka Deana akan merasa bersalah hingga separah ini. Embusan napas panjang meluncur dari bibirnya. “Baiklah, kalau itu bisa membuatnya berhenti merasa bersalah.” Ivan tersenyum lebar. “Kalau begitu aku akan melakukan reservasi di restoran jepang kesukaanmu!” balasnya, antusias. “Istrimu tidak suka makanan jepang.” Senyum di bibir Ivan lenyap perlahan, kelopak matanya mengedip cepat. Bagaimana dia bisa tahu? Padahal ia selalu menekankan pada Deana untuk bersikap biasa saja saat sedang makan makanan jepang bersama Agra. “Siapa bilang?” Ivan pura-pura tertawa. “Dia sangat suka ikan mentah!” Agra diam saja memperhatikan dengan wajah dingin tanpa minat. “Kakak tidak perlu memikirkannya. Aku akan melakukan reservasi sekarang.” Dengan cepat Ivan mengakhiri ketegangan itu, dan melangkah keluar dari kamar Agra. Bodoh! Sebelah bibir Agra terangkat. Ia menutup pintu sambil terkekeh sinis, tahu Ivan hanya bicara omong kosong. Sedangkan ia tahu Deana tidak suka makanan jepang jauh sebelum Ivan menikah dengannya. “Kita lihat, sampai kapan dia akan bertahan sebagai istri yang baik,” gumamnya. *** Deana tidak bisa berhenti meremas tangannya untuk menutupi rasa gugup. Mereka baru saja sampai di restoran, baru duduk dan hendak menikmati makanan, tetapi Ivan sudah keluar untuk mengangkat telpon yang katanya penting. Sekarang, hanya tersisa dirinya dan Agra, membuat suasana menjadi semakin canggung. Ivan sengaja pura-pura mengangkat telpon untuk membuatnya terjebak bersama Agra, Deana tahu. “Kalau tidak suka, bisa pesan yang lain,” ucap Agra karena Deana hanya diam saja, menatap ramen di hadapannya tanpa minat. Kata-kata itu membuat Deana mendongak, spontan tersentak oleh tatapan Agra yang dingin. Secara naluriah ia menunduk dan langsung meraih sumpit yang masih tergeletak di meja. “T-tidak perlu, aku menyukainya.” “Jangan memaksakan diri kalau pada akhirnya makanan itu akan dimuntahkan. Di sini juga ada makanan dari negara lain, katakan apa yang kamu suka, aku yang akan membayarnya sebagai ganti.” Kata-katanya yang tegas menggantung di udara, membuat suasana semakin tidak nyaman. Namun, Deana tetap berusaha tenang, menyantap makanannya tanpa suara meski di dalam kepalanya bertanya-tanya … dari mana Agra tahu makanan itu akan dimuntahkan? Ivan? Walaupun sering merendahkannya, Ivan tidak mungkin mengatakan rahasia itu karena secara tidak langsung akan membuatnya malu. Lalu …. Deana curi-curi pandang sambil berpikir keras. Apa selama ini dia memperhatikanku? Batinnya.“Kakak ipar …. Jangan lakukan ini, jangan ….” Deana meronta dengan tidak terkendali saat tangan Agra perlahan menyusup ke dalam pakaiannya. Ia membeku begitu tangan hangat itu menyentuh permukaan kulit punggungnya tanpa penghalang.Sebuah lenguhan lolos tanpa sadar. Tangannya justru melingkar di leher Agra, membiarkan bibir pria itu menginvasi dada bagian atasnya. “Apa Ivan bisa memberimu ini, hem? Responmu seperti wanita yang sudah lama tidak disentuh.” Suara Agra rendah dan serak, menggerogoti kewarasannya.Tidak, Ivan tidak bisa memberikan kesenangan yang sama. Sudah lama sekali sejak Ivan mempermainkannya seperti ini. Sejak dituntut untuk memiliki keturunan, Ivan hanya fokus menumpahkan benih tanpa melakukan hal lain, seolah dia hanya menginginkan anak dan tidak peduli akan kepuasan Deana atau dirinya sendiri.“Kenapa tidak menjawab?” Agra mendongak, mengarahkan mata gelap berkabutnya ke wajah Deana yang duduk mengangkang di pangkuan. Tangannya perlahan merambat ke depan tubuh
“Apa yang mengganggu pikiranmu?”Di tengah kegiatan menyantap sashimi, Agra dibuat sangat terganggu dengan gerakan gelisah Deana. Wanita itu tidak berhenti menggoyangkan kaki, dan menjatuhkan sumpit ke mangkok hingga menimbulkan dentingan nyaring.Dengan tatapan polos ia mendongak, bola matanya bergerak cepat seolah sedang mencari alasan. “Tidak ada. Hanya saja ….” Ia melihat ke arah pintu. “Kenapa Ivan lama sekali. Apa aku harus keluar untuk mencarinya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Di sisi lain, ia tidak mau disangka melarikan diri dari kecanggungan, walaupun memang itu yang sebenarnya ingin ia lakukan.“Kenapa harus repot-repot, kamu bisa menggunakan ponselmu.” Agra menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.Mengikuti arah pandang Agra, ragu-ragu Deana mengambil ponsel itu dan mengetikkan sesuatu. Di dalam hati ia menggerutu kesal karena seolah pria itu tidak membiarkannya keluar.Pesan terkirim, Deana meletakkan ponselnya kembali, bersamaan dengan pintu yang dibuka dari l
“Kamu benar-benar menghancurkan segalanya!” Ivan menatap tajam sang istri yang duduk di tepi ranjang, sedang menunduk meremas tangannya yang dingin dan gemetar. “Kamu harus bertanggung jawab!”Dengan takut-takut Deana mengangkat kepalanya, sorot mata tajamnya berembun, bibirnya yang bergetar sedikit terbuka.“Aku sudah bertanggung jawab, mengobatinya dan membantunya bekerja semalaman kalau kamu tahu! Tentu saja kamu tidak tahu, kamu tidak pernah mau tahu apa yang kulakukan!” teriaknya, tertelan bersama saliva yang meluncur kasar di tenggorokan. Ia tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa berteriak seperti itu kepada Ivan.Tiga tahun ini ia selalu bersikap lembut dan baik, sekalipun pria itu telah menyakitinya. Karena ia mencintainya lebih dari apa pun di dunia ini. “Ap-apa yang harus kulakukan?” tanyanya kemudian, dengan terbata. Tenggorokannya mendadak sakit, suaranya keluar dengan kasar seperti memuntahkan kerikil. “Ivan, aku belum siap untuk melakukannya sekarang. Ak-aku butuh w
"Apa yang kamu lakukan di sana?" Ivan yang sedang menyelesaikan beberapa pekerjaan tiba-tiba bertanya ketika melihat Deana masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di atas ranjang."Aku ingin beristirahat. Memangnya kenapa? Ada yang harus kubantu?" Ia baru saja mencuci piring dan membereskan meja setelah makan malam. Tubuhnya sangat lelah disamping merasa tertekan karena Carla tidak berhenti menyinggungnya soal kehamilan."Kakak ada di mana?" tanya Ivan."Aku melihatnya sedang menerima telpon di ruang tengah, sepertinya dia sedang sibuk," jawab Deana acuh tak acuh. Sejujurnya ia sedang menghindari rencana Ivan dengan mengatakan Agra sedang sibuk, lantaran ia belum siap melakukan sesuatu. Entah kenapa, tatapan kakak iparnya itu membuat jantungnya berdebar-debar."Tck! Mungkin dia sedang bekerja." Ivan menarik napas panjang. "Begini saja. Kamu buatkan dia kopi dan sedikit basa-basi agar nantinya tidak terlalu kaku.”"Tapi, Ivan, aku benar-benar lelah. Besok saja ya, sekarang biark
Rumah besar keluarga Mahawira selalu tampak megah, tetapi bagi Deana, rumah itu terasa seperti penjara yang pintunya sudah dikunci rapat. Ia menelan ludah susah payah ketika kini sudah menghadap pintu besar itu."Apa lagi yang kamu pikirkan? Tidak perlu takut. Kita cukup mengatakan kalau rumah kita dalam renovasi dan terpaksa menginap untuk beberapa hari. Bukankah itu bukan sesuatu yang sulit?" Ivan berbisik tajam di telinganya.Mau tidak mau Deana mengangguk, walau kepalanya terasa berat.Saat tangan Ivan terulur akan mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu. Ivan langsung memasang wajah sumringah, kontras dengan aura gelap yang tadi ia pancarkan."Kakak?" sapanya, tersenyum lebar, terlihat polos seperti anak kecil. Kebetulan sekali kakaknya itu ada di rumah. Jadi, tidak perlu repot-repot mencari alasan agar dia datang.Kening Agra mengerut, terkejut lantaran tidak biasanya Ivan datang. Namun, bukan hal itu yang membuatnya heran. Pandangannya mengarah pada Deana yang m
“Suami anda tidak bisa menghasilkan keturunan.” Kata-kata itu bergema di telinga Deana Kamanta.Ia duduk kaku di kursi rumah sakit, jemarinya gemetar menggenggam kertas hasil pemeriksaan yang masih hangat. Sedangkan matanya berulang kali membaca baris yang sama, berharap ada kesalahan cetak, berharap dokter keliru. Akan tetapi, tidak. Kata-kata itu tertulis sangat jelas.Infertilitas pria.Suaminya mandul, seperti yang dokter sampaikan.“Memalukan!” Ivan Mahawira, suaminya, bergumam seraya berjalan mondar-mandir di depannya. Sama seperti dirinya, ia juga sangat kecewa.Mendengar itu, lantas Deana mendongak, kemudian berdiri. Ia meraih lengan suaminya, berusaha menenangkannya. Ivan berhenti bergerak ketika Deana berbicara, “Aku tahu ini berat buat kita, tapi kamu harus tahu kalau ini bukan salah siapa-siapa. Ini medis, bukan Aib. Kita bisa coba program bayi tabung, donor sperma atau—” “Diam!” Ivan menoleh, matanya merah menyala dan suaranya menggema di sepanjang koridor. “Jangan seo







