Share

CHAPTER 2: TAWARAN INTERVIEW

“Maaf, bisa Anda jelaskan maksud Anda barusan?”

Menghela napas sejenak, sang produser kembali mengutarakan maksud serta tujuannya secara rinci.

“Begini, saya tertarik untuk mengangkat kisah Anda beserta sang istri ke dalam sebuah film. Berdasarkan kisah yang tadi Anda ceritakan saat sesi wawancara bersama Global Enterpreneur, tampaknya akan sangat bagus bila kisah Anda diangkat ke dalam bentuk audio visual.

Saya ingin merangkai karakter serta alur ceritanya dengan baik berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Oleh karena itu, saya ingin melakukan wawancara lebih mendetail dengan Anda terkait hal tersebut.”

Usai produser itu menjelaskan maksud dan tujuannya, Jonathan hanya diam. Dari raut wajahnya, tampak seperti sedang mempertimbangkan tawarannya.

Usai memikirkannya sejenak, Jonathan dengan tegas menjawab, “Maaf, saya tidak tertarik.” 

Saat dia hendak melangkahkan kakinya ke arah mobil, sang produser itu menghentikannya.

“Apa Anda tidak ingin membicarakannya terlebih dahulu dengan keluarga Anda terkait tawaran saya?” Produser itu mencoba meyakinkannya sekali lagi.

“Tidak,” tegas Jonathan.

Belum sempat dia berbalik badan, produser muda tersebut mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam saku bajunya.

“Saya rasa Anda perlu waktu untuk mempertimbangkannya. Bila Anda berubah pikiran, Anda bisa menghubungi saya ke nomor yang tertera,” ucapnya kemudian.

Setelahnya, sang produser itu mohon ijin untuk pergi karena keperluannya sudah selesai.

Sementara itu, Jonathan masih berdiri di sana sembari menatap kartu nama yang ada di genggamannya.

Alfred Wales dari JE Production?’ batinnya saat membaca nama dari perusahaan yang tertera di kartu tersebut. 

Entah kenapa, ia merasa tak asing dengan nama tersebut.

Namun, teringat akan janjinya untuk menjenguk sang istri, Jonathan buru-buru masuk ke dalam mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi.

Sial! Tunggu aku Emily!’ batinnya resah sembari sesekali mengecek jam tangannya.

Jonathan mengucap syukur berkali-kali dalam hatinya karena kondisi jalanan tampak ramai lancar. Sehingga masih memungkinkan untuk dirinya sampai lebih cepat.

.

.

.

Setibanya di tempat tujuan, Jonathan berlari secepat mungkin untuk sampai ke ruang di mana Emily terbaring lemah. Pria paruh baya itu saat ini berada di rumah sakit untuk melihat keadaan sang istri tercinta.

“Hai, bagaimana keadaanmu?” ujar Jonathan sembari duduk di kursi yang berada di sisi kiri tempat tidur istrinya.

Alhasil, Emily, Nathan dan Natalie yang sedari tadi sibuk bertukar cerita langsung menoleh ke arah Jonathan dengan senyum tersungging di wajahnya.

“Hai, aku sudah jauh lebih baik sekarang. Bagaimana wawancara tadi?” balas wanita paruh baya tersebut dengan suara pelan. Bahkan, kedua matanya tampak sayu, seolah tak memiliki tenaga lagi.

Sembari mengelus pelan pipinya yang mulai tirus, Jonathan menceritakan semua pertanyaan serta jawaban yang ia lakukan saat wawancara tadi. Bukan hanya itu saja, pria paruh baya itu juga menceritakan tentang tawaran sang produser bernama Alfred Wales pada mereka.

“Produser itu mau mengangkat kisah Ayah dan Ibu ke dalam sebuah film layar lebar?” tanya Nathan, mengulangi perkataan sang Ayah dengan nada tak percaya.

Berbeda dengan Natalie yang langsung merespon dengan tegas, “Tidak, aku tidak setuju akan hal itu.”

“Ayah juga tidak menyetujuinya,” balas Jonathan sama tegasnya.

“Hmm, aku juga tidak menyetujuinya. Karena bagaimanapun juga kondisi Ibu sangat tidak memungkinkan untuk melakukan wawancara,” ujar Nathan lagi usai berpikir sejenak.

Jonathan mengangguk setuju, sementara Emily hanya diam, tak berkomentar apa pun.

“Dia memberikan kartu namanya pada Ayah, bila sewaktu-waktu Ayah berubah pikiran.” Pria paruh baya itu mengeluarkan kartu nama produser tersebut dari dalam saku jasnya.

“Kamu tidak mau menerima tawarannya, Jonathan?” Kini pertanyaan terlontar dari mulut Emily.

Jonathan langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak. Seperti yang Nathan bilang barusan, untuk saat ini aku ingin memprioritaskan kesembuhanmu dulu, Emily.”

Menghela napas pelan, wanita paruh baya itu mengalihkan pandangannya ke selimut putih polos yang membalut tubuhnya saat ini sembari menautkan jemarinya erat-erat.

“Begitu ya … maafkan aku Jonathan.” Tersirat rasa sedih di suaranya ketika mengucapkan kata-kata itu.

“Kenapa minta maaf? Kamu ‘kan tidak salah apa-apa,” balas Jonathan sembari balas menggenggam jemarinya erat.

Lagi seperti tadi, Emily kembali berucap, “Maaf … karena aku, kamu jadi kesusahan seperti ini ….”

“Kamu bicara apa sih? Sudah kubilang, ini bukan salahmu ‘kan? Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Emily,” tegas Jonathan dengan memberi penekanan di tiap katanya.

Melihat kedua orang tuanya beradu argumen seperti itu, Nathan dan Natalie memilih untuk pergi. Mereka enggan mencampuri urusan kedua orang tua mereka.

“Ayah, Ibu … jam istirahat sudah hampir selesai, jadi aku harus segera kembali ke kantor. Sampai jumpa lagi nanti sore,” ujar Nathan. Begitupun dengan Natalie yang juga mohon pamit karena harus mengajar tari di studio tarinya.

Keheningan melanda usai kedua anak mereka pergi. Sepasang suami istri itu sibuk berkutat dengan pikirannya masing-masing. Setelah beberapa waktu berselang, suara Emily kembali memecah keheningan, “Jonathan … maaf, harusnya aku tidak menyembunyikan apa pun darimu.

Jonathan pun langsung menatapnya lekat-lekat, menunggu Emily untuk melanjutkan perkataannya. Entah kenapa, jauh di dalam lubuk hatinya, dia memiliki firasat kalau sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang buruk.

Menghembuskan napasnya secara perlahan, Emily kembali bersuara, “Maaf Jonathan … untuk semuanya. Aku tahu … semua ini pasti sangat berat untukmu. Tapi … waktuku sudah tidak banyak lagi ….” Suaranya terdengar parau, tak lagi merdu seperti kicauan burung gereja di pagi hari.

Jonathan bisa melihat dengan jelas kesedihan serta penyesalan mendalam terpancar dari kedua iris mata istrinya. Tampak begitu gelap, tak tersisa cahaya setitik pun.

Hatinya seolah teriris ketika melihat sosok istrinya yang tampak begitu rapuh. Tanpa ia sadari, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. “Kenapa …? Ini bukan salahmu dan juga bukan salah siapa-siapa.”

Sembari mengeratkan genggaman jemarinya. Jonathan kini mengecup sisi kepala Emily dengan lembut, seolah mengatakan padanya kalau semuanya akan baik-baik saja.

“Aku yakin kamu bisa pulih, Emily. Jadi, jangan menyerah.” Iris biru langitnya bergetar, diiringi perasaan berkecamuk dalam dada.

Namun, pria itu berusaha menekan perasaannya sekeras mungkin. Untuk saat ini dia harus tetap tegar, karena dia tahu istrinya akan semakin rapuh bila melihat dirinya menangis.

“Aku ada di sini untukmu, Sayang.”

.

.

.

Sepulangnya dari rumah sakit, Jonathan langsung menghubungi sang produser terkait tawaran wawancaranya.

"Selamat sore, Tuan. Saya Jonathan yang tadi siang Anda tawari untuk wawancara. Begini, saya sudah membicarakannya dengan keluarga saya dan kami sepakat untuk menolak tawaran wawancara Anda. Terima kasih." Tanpa menunggu jawaban dari produser muda tersebut, ia langsung memutuskan sambungan teleponnya.

Menghembuskan napasnya kasar, pria paruh baya itu terduduk di tepi tempat tidurnya.

'Ya, ini yang terbaik untuk semuanya.'

.

.

.

Keesokan paginya, sang produser muda itu tiba di kantornya dengan langkah gontai. Ia pun duduk bersandar di sofa panjang berwarna hitam. Dari wajahnya terlihat jelas kalau dia tampak begitu lelah.

Selang beberapa saat kemudian, produser tersebut dihampiri oleh dua sosok staf wanita yang baru saja tiba, yang di masing-masing name tagnya tertera nama Klara dan Olivia.

“Ohh, Anda sudah tiba? Umm, apa ada masalah, Mr. Wales?” tanya Klara, seorang staf wanita bersurai biru navy dengan raut wajah bingung sekaligus khawatir.

Sementara Olivia, staf wanita bersurai hitam itu hanya diam berdiri di sebelahnya sembari memperhatikan dengan seksama.

Menggeleng lemah, sang produser tersebut hanya menghela napas panjang seolah habis melakukan pekerjaan berat.

“Umm … Anda yakin?” Wanita bersurai biru navy itu kembali bertanya untuk memastikannya.

Sama seperti tadi, si produser itu hanya menganggukan kepalanya.

Tidak mengerti apa yang terjadi dengan bos mereka, akhirnya kedua staf wanita tersebut ijin pamit untuk masuk ke ruang kerja mereka.

Saat masih di pertengahan jalan, staf wanita yang diketahui bernama Olivia tersebut berbisik, “Kurasa aku tahu apa yang terjadi dengan Bos.”

Klara langsung menoleh sembari menaikan alisnya. “Kamu tahu?”

Staf wanita bersurai hitam itu langsung mengangguk dengan penuh keyakinan. Ia pun kembali berbisik, “Kudengar, kemarin Bos berencana menemui Mr. Jonathan Hamilton untuk menawarinya wawancara.”

Kedua iris mata Klara langsung membulat dengan sempurna.

“Hah?”

To be Continued …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status