Share

CHAPTER 3: PENGHARAPAN

“Hah?”

“Iyaa. Beliau pendiri J&E Group.” Olivia kini berbisik dengan penuh antusias.

Namun, Klara hanya diam, tidak berkomentar apapun. 

Melihatnya diam seperti itu, rekan kerjanya kembali melanjutkan topik pembicaraan.

“Yaah, kurasa Bos gagal menemuinya.” Meletakan jari telunjuk di dagunya, staf wanita bersurai hitam itu melanjutkan, “Atau tawaran wawancaranya ditolak mentah-mentah oleh Mr. Hamilton.”

Raut wajahnya terlihat begitu yakin dengan dugaannya.

“Oooh … begitu ….” Klara hanya menjawab seadanya.

“Lagipula, beliau memang terkenal sebagai sosok yang sangat menjaga privasinya. Jadi, sampai saat ini tidak ada yang tahu seperti apa keluarganya. Selama ini yang kulihat beliau hanya muncul bersama istrinya saja,” lanjut Olivia sedikit acuh.

Setibanya di dalam ruang kerja, mereka berdua langsung duduk di kursi masing-masing untuk mengedit tumpukan naskah yang sudah memasuki deadline.

Namun, tanpa sepengetahuan siapapun, sebenarnya sedari tadi timbul rasa gelisah di dalam benak Klara.

Bagaimana ini?’ batinnya resah.

.

.

.

Setelah beberapa saat duduk termenung, Alfred, sang produser muda itu memutuskan untuk memfokuskan dirinya pada pekerjaan yang belum terselesaikan. Untuk urusan tawaran wawancara kemarin, biarlah itu menjadi urusan di hari esok. Yang jelas dia masih belum menyerah.

Melakukan peregangan sejenak, produser tersebut beranjak dari sana dan melangkah dengan penuh semangat ke ruang kerjanya.

.

.

.

“Ayah, sore ini aku akan ada rapat dengan divisiku. Jadi, titipkan permohonan maafku pada Ibu ya,” ujar Nathan sebelum menyendok makan siang ke dalam mulutnya.

“Oh, baiklah,” balas Jonathan singkat.

Mereka pun makan dalam suasana hening. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga mereka. Tidak ada yang berbicara selama acara makan berlangsung.

Sementara staf yang lain sibuk bertukar cerita dan canda satu sama lain, sehingga suasana kafetaria tetap terasa hidup.

Selesai mereka makan siang, Nathan mulai membuka topik pembicaraan, selagi jam istirahat masih cukup lama.

“Ayah, menurutmu apa Ibu bisa sembuh total?”

“Tentu saja. Ibumu pasti bisa pulih. Kenapa bertanya seperti itu?” tegas Jonathan.  Namun, tak dimungkiri kalau sebenarnya dia merasa takut.

Menggeleng pelan. “Tidak ada maksud apapun. Hanya saja, kata dokter kemarin, penyakit Ibu sudah dalam stadium akhir. A-aku takut … kalau waktu Ibu … sudah tidak lama lagi …,” ucap Nathan dengan suara pelan. Terpancar kesedihan di kedua iris matanya.

Bagi Jonathan, kata demi kata yang terucap dari mulut putranya bagaikan sebilah pisau yang menyayat hatinya. Terasa begitu menyakitkan.

“Tidak. Ibumu pasti bisa sembuh,” sanggahnya dengan suara gemetar, namun terdengar tegas dan penuh keyakinan.

.

.

.

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, langit sudah kehilangan cahaya kemilaunya. Saat ini Jonathan sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menjenguk istrinya.

Sudah sebulan berlalu sejak istrinya masuk rumah sakit karena penyakit ginjal kronisnya, dan selama sebulan penuh pula Jonathan datang untuk memberinya dukungan emosional.

Tiap detik yang ia lalui bersama sang istri sangatlah berharga, sehingga ia tidak mau melewatkannya barang sedetik pun.

Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, tersimpan rasa takut dan kecemasan yang luar biasa.

Dia takut bila apa yang dikatakan oleh putranya tadi siang akan menjadi kenyataan. Dia takut jikalau Emily benar-benar akan pergi meninggalkannya untuk selamanya. Dia takut, apabila saat itu tiba, dia tak akan sanggup menghadapi rasa sakitnya dan memilih untuk menyerah.

Jonathan tidak bisa membayangkan akan seperti apa perjalanan hidupnya tanpa kehadiran Emily, sang istri yang selalu setia menemaninya sejak pertama kali mereka membangun rumah tangga.

Membayangkannya saja sudah membuat dunianya terasa hampa seketika.

Tidak!’ batinnya mencoba menghentikan pikiran buruk yang terus berputar di kepalanya sedari tadi.

Pria itu masih percaya akan nyatanya mukjizat Tuhan. Dia masih yakin dan percaya penuh pada kuasa-Nya. Dia percaya kalau Tuhan pasti memiliki suatu rencana atas Emily dan juga dirinya.

Tidak ada yang mustahil bila Tuhan sudah berkehendak, bukan?

Ya. Untuk saat ini Jonathan hanya ingin bertemu dan menemani Emily. Karena memang hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini selain berdoa memohon kesembuhan pada Tuhan.

.

.

.

“Selamat siang, Mr.Wales. Naskah yang kemarin Anda minta sudah siap,” ujar Klara sembari menyerahkan berkas naskah pada Alfred.

“Aa, terima kasih. Saya cek dulu ya,” balas sang produser sambil membuka beberapa halaman untuk dia baca sekilas.

Setelahnya, staf wanita tersebut mohon pamit untuk kembali ke ruang kerjanya. Usai membaca beberapa adegan, produser muda itu langsung terkesima dengan alur serta adegan yang tertuang di dalam naskah tersebut.

“Woow, Klara memang sangat berbakat dalam penulisan naskah film slice of life. Tak salah aku mempercayakannya untuk menangani naskah film ini,” pujinya pada staf wanita surai biru navy itu dengan penuh rasa kagum.

Bahkan, dalam satu dialog terselip quotes; Bila kerikil kecil menjadi alasanmu untuk berhenti berjuang, maka rancangan indah yang telah Tuhan siapkan tidak akan pernah tampak di matamu.

Naskah yang berjudul ‘A Dreamer’ menceritakan tentang perjalanan dua orang kakak beradik yang ingin mengejar cita-citanya sebagai pemain figure skating.

Di akhir alur naskah,  produser itu tampaknya terinspirasi untuk kembali membujuk Jonathan Hamilton supaya menyetujui pembuatan film tentang perjalanan hidupnya.

Seketika, satu ide timbul dalam pikirannya.

“Benar juga, aku 'kan bisa bertanya padanya,” ujarnya dengan penuh antusias.

.

.

Malam hari pun tiba, ada beberapa staf yang harus lembur untuk mengejar deadline pengeditan naskah. Begitupun dengan Klara. Saat ini dia sedang mengirimi pesan ke baby sitter yang bertugas menjaga anaknya.

[Selamat malam, Henry … maaf ya hari ini aku harus lembur. Tolong sampaikan pada Arthur kalau aku baru akan pulang sekitar jam sepuluh. Jadi, tolong temani Arthur tidur sampai aku pulang ya. Terima kasih.]

Beberapa menit kemudian muncul notifikasi balasan pesan dari baby sitternya.

[Baik, Nona. Jangan khawatir, saya akan menemani Arthur sampai Anda pulang. Jaga kesehatan Anda ya, Nona.]

Setelah itu, Klara kembali melanjutkan pekerjaannya. Di saat dirinya sibuk mengetik, Alfred masuk ke ruang kerjanya dan langsung duduk di kursi yang ada di sebelahnya.

Saat ini hanya ada mereka berdua di dalam ruang kerja tersebut.

“Klara, maaf ya kalau saya menganggu waktu lemburmu. Tapi ada yang ingin saya bicarakan denganmu,” ucap sang produser kemudian.

Menghentikan kegiatannya sejenak lalu menoleh, si pemilik nama bertanya, “Ya, ada apa Pak?”

Setelah berpikir sejenak, produser itu pun mulai mengutarakan pikirannya, “Umm … begini, saya berencana untuk mewawancarai Mr. Jonathan Hamilton. Kamu tahu 'kan? Pendiri J&E Group.”

Klara hanya menganggukan kepalanya, lalu mempersilahkan produser itu untuk kembali berbicara.

"Tapi sayangnya, beliau menolak tawaran wawancara saya." Menghela napas sejenak. "Jadi, apa saya boleh minta tolong padamu?"

"Minta tolong apa, Pak?" tanya Klara kemudian.

"Apa kamu bisa mempertemukan saya dengan putranya?"

To be Continued…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status