Share

CHAPTER 8: TITIK BALIK

"Bagaimana keadaan ayah saya?" ujar Nathan setelah dokter selesai memeriksa keadaan Jonathan.

Sang dokter pun menghela napas sejenak lalu memasang ekspresi senetral mungkin. "Hmm, begini, sepertinya ayah Anda mengalami stres berlebih. Selain itu, tekanan darahnya juga cukup rendah karena tubuhnya kurang menerima asupan nutrisi seimbang. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Selebihnya Ayah Anda baik-baik saja , karena yang beliau butuhkan hanya istirahat yang cukup dan pola makan yang teratur."

Nathan langsung menghela napas lega dan berterima kasih pada sang dokter. Usai itu, ia meminta ijin pada dokter tersebut untuk menemui ayahnya di dalam ruang rawat.

Sesaat setelah Nathan masuk ke ruang rawat, matanya langsung tertuju pada Jonathan yang terbaring lemah di kasur berbalut selimut putih tipis. Seketika itu juga, terlintas memori mendiang ibunya yang juga terbaring di atas tempat tidur hingga ajal menjemputnya. Kini memori itu berhasil menimbulkan prasangka buruk dalam benaknya tentang sang Ayah yang juga akan pergi meninggalkannya dalam waktu dekat.

Sadar akan pikiran buruknya, Nathan langsung menggeleng cepat. 

'Tidak! Berhenti memikirkan itu, Nathan!' batinnya diiringi perasaan takut yang mulai bergejolak dalam dada.

Nathan kembali melangkahkan kakinya secara perlahan, lalu duduk di kursi sebelah tempat tidur Jonathan. Menunggu dalam hening sampai sang Ayah membuka matanya kembali.

Sembari menunggu, Nathan menatap sekilas wajah pucat sang Ayah yang masih terpejam. Dari posisinya, dia baru menyadari bila kini wajah sang Ayah tampak begitu tirus dan lelah. Tidak lagi segar seperti biasanya.

Entah kenapa, rasa sakit kembali menusuk relung hatinya ketika mengetahui bila kepergian ibunya ternyata berdampak begitu besar pada ayahnya. 

Saat ia usap lembut rambut Jonathan yang mulai memutih, terdengar suara pintu terbuka. Alhasil, Nathan pun sontak menoleh. Di depan ambang pintu tersebut berdiri Natalie dengan napas terengah-engah.

"Haah ... bagaimana keadaan ... huftt ... Ayaah?? Kali ini ... haahh ... apa yang terjadii pada Ayahh???" ucapnya dengan nada panik sembari berjalan menghampiri tempat tidur Jonathan.

Nathan menghela napasnya beberapa kali, berusaha menenangkan dirinya terlebih dahulu.

"Kata dokter, Ayah mengalami stres berlebih. Ditambah dua minggu terakhir ini nafsu makan Ayah menurun drastis. Jadi, yaah begitu ...." Nathan kembali menghela napasnya. Tersirat perasaan tak nyaman dalam benaknya.

Natalie pun duduk di kursi yang ada di sisi berlawanan. Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dan hanya memandangi wajah sang Ayah dalam hening.

Keheningan yang tercipta di dalam ruang rawat tersebut berhasil membuat suara hembusan napas Jonathan

kini dapat terdengar cukup jelas di telinga Nathan dan juga Natalie. Hingga beberapa saat berlalu, suara Natalie kembali memecah kesunyian.

"Tidak terasa ya, sudah dua minggu berlalu semenjak kepergian Ibu. Dan sudah dua kali pula Ayah sampai tak sadarkan diri seperti ini ...." Usai berkata demikian, Natalie mengangkat wajahnya menatap lekat Nathan. 

"Sepertinya kepergian Ibu jadi pukulan terberat bagi Ayah," sambungnya dengan lirih. Seketika iris matanya bergetar menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Nathan pun kembali menghela napasnya yang terasa berat itu tanpa berkata apa pun. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia sadar bila kepergian ibunya yang begitu tiba-tiba itu cukup menorehkan luka mendalam baginya. Namun, ketika melihat kondisi Jonathan yang tampak seperti mayat hidup itu. Ia jadi tidak bisa membayangkan seberapa besar dan dalamnya luka yang dirasakan oleh ayahnya.

Mungkin rasa sakitnya berkali-kali lipat dari luka yang ia maupun Natalie rasakan.

Lalu, apa yang harus mereka berdua lakukan untuk membangkitkan kembali semangat hidup Jonathan?

.

.

.

Pagi menjelang, cahaya matahari menembus masuk dari sela-sela tirai jendela. Secercah cahaya menyilaukan yang berhasil membangunkan Jonathan dari istirahat panjangnya.

"Pagi Ayah," ucap Nathan sesaat setelah sang Ayah siuman.

Jonathan menolehkan kepalanya menatap Nathan samar-samar. Matanya kembali terpejam sesaat karena harus beradaptasi dengan silaunya cahaya yang ada di ruangan tersebut.

Selang beberapa detik, pria paruh baya itu berusaha bangkit dari atas kasur dan memposisikan dirinya untuk duduk. Saat melihat Jonathan kesulitan untuk bangun, Nathan pun langsung beranjak dari kursinya dan ikut membantu sang Ayah untuk duduk.

"Apa Ayah sudah merasa lebih baik sekarang?" tanya Nathan dengan tatapan sendu.

Jonathan hanya mengangguk lemah. "...Kenapa Ayah bisa ada di sini?" ujarnya kemudian dengan suara pelan.

Menghela napas sejenak, Nathan membalas, "Ayah pingsan lagi di toko keramik Ibu."

"...Ohh ...." Hanya itu yang terucap oleh Jonathan. Seketika iris biru langitnya menjadi suram, tidak lagi bersinar seperti dulu.

Kebisuannya membuat suasana menjadi canggung, terutama bagi Nathan yang kini juga memilih untuk diam. Pria bersurai coklat itu mengamati perubahan raut wajah serta sorot mata sang Ayah.

Hampa. Itulah yang terpancar dari iris matanya.

.

.

.

Tepat di siang harinya, dokter yang menangani Jonathan menyatakan bila dirinya sudah boleh pulang. Sepanjang perjalanan, tidak ada satu pun kata yang terucap dari mulut pria paruh baya itu. Jonathan hanya memandangi suasana sekitar lewat kaca jendela mobilnya dengan tatapan kosong.

Nathan pun memilih untuk fokus mengemudi, karena dia ingin memberi ayahnya sedikit ruang. Setibanya di rumah, Natalie dan para pelayan menyambut kepulangan mereka dengan senyum tersungging di wajahnya. Sesaat setelah Jonathan masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap, Natalie langsung menarik Nathan ke dalam kamar tidurnya untuk berbicara secara empat mata.

"Ada apa sih, Natalie?" ujar Nathan bingung.

Sebelum menjawabnya, wanita bersurai pirang tersebut mengeluarkan sebuah buku diari berwarna merah muda dari dalam laci meja kerjanya. "Ini," ucapnya sembari menyodorkan diari tersebut pada Nathan.

"Ini buku diari kamu?" tanya Nathan lagi, sambil menatap buku diari itu dengan tatapan bingung bercampur rasa penasaran.

"Bukan. Itu buku diari Ibu," balas Natalie singkat.

"Lalu?"

Usai menghela napas berat, Natalie kembali berujar, "Sebulan sebelum kepergiannya, Ibu kasih buku diari itu ke aku. Ibu berpesan padaku untuk menyampaikan diari itu ke Ayah dan menyuruhnya membaca sampai habis."

"Jadi ... bisa tolong kamu berikan itu pada Ayah sekarang?" lanjutnya dengan senyum penuh harap.

Selama beberapa saat, tidak ada tanggapan dari Nathan. Pria itu hanya mengerutkan dahinya sejenak ketika melihat Natalie tersenyum penuh harap padanya.

"Terus, kenapa kamu malah minta tolong sama aku?" tanya Nathan menyelidik.

Natalie langsung membuang muka ke sembarang arah lalu memainkan ujung rambut pirangnya yang tergerai ke bagian depan.

"Yaah, karena aku pikir kamu lebih dekat dengan Ayah dibanding aku," ucapnya dengan bibir mengerucut.

Mendengar jawabannya, Nathan hanya menghela napas pelan lalu mengangguk. "Hmm, baiklah. Aku akan kasih ini ke Ayah sekarang,"  ujarnya lalu beranjak keluar dari kamar Natalie.

.

.

Tok tok tokcklek

"Ayah?"

Sesaat Nathan membuka pintunya, ia melihat Jonathan duduk meringkuk di bawah tepi kasur sembari memeluk dan mencium pakaian tidur yang sering digunakan Emily. Terlebih dari posisinya saat ini, Nathan bisa melihat dengan jelas wajah Jonathan yang basah dengan air mata. 

Alhasil, ia langsung mengurungkan niatnya karena ingin memberi ayahnya waktu untuk menyendiri selama beberapa saat. Sejenak ia amati sampul buku diari sang Ibu. Ketika melihat tulisan 'Dear Mr. J' dirinya jadi tergelitik untuk membuka isinya dan membacanya. Namun, saat jemarinya baru saja membuka halaman pertama. Namun, prinsip hidupnya dengan cepat mengambil alih pikirannya.

'Tidak boleh. Hanya Ayah yang boleh membacanya,' batin Nathan, membatalkan niatnya dan memilih untuk mengembalikan buku diari tersebut pada Natalie.

Sesaat pria itu membuka pintu kamar Natalie, ia melihat adiknya itu sedang memandangi sebingkai foto mendiang ibunya dengan tatapan sendu.

"Maaf Natalie. Sepertinya lain kali saja kita berikan buku diari ini," ucap Nathan sedikit berhati-hati. Ia langsung bergegas keluar dari kamar Natalie karena ingin memberinya ruang untuk berduka.

Meski tak dimungkiri bila dirinya juga belum benar-benar mengikhlaskan kepergian ibunya. Tapi, ia tidak bisa meluapkan emosinya, karena merasa semuanya akan percuma. Yang ia harus lakukan adalah mengikhlaskan kepergiannya. Dengan begitu mendiang ibunya akan tenang di sana. Itulah yang ia pikirkan.

Sampai saat ia baru saja membuka pintu kamarnya, pernyataan yang terlontar dari mulut Natalie berhasil menghentikan langkahnya.

"Nathan, kurasa kita harus menemui Produser itu."

To be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status