Share

CHAPTER 7: KETERPURUKAN JONATHAN

"Selamat siang Tuan Hamilton," sapa Alfred sambil tersenyum tipis.

Jonathan sedikit menaikan alisnya ketika melihat sosok produser muda tersebut memasuki ruang kerjanya.

Pria paruh baya itu pun berdeham, kemudian membalas sapaannya dengan lugas, "Selamat siang. Ada perlu apa Anda kemari? Kalau Anda ingin membahas perihal wawancara lagi, maaf saya tidak punya waktu banyak." Sambil berkata demikian, tangannya sibuk merapikan berkas yang telah dia tandatangani.

"Umm, sebelumnya saya minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan. Tapi, Anda tak perlu khawatir. Kedatangan saya kemari bukan untuk itu," balas Alfred sembari menautkan kedua tangannya, bermaksud menutupi kegugupan yang dia rasakan.

"Lalu?"

Menghela napas sejenak, produser muda tersebut kembali berujar, "Begini, saya datang untuk menyampaikan turut berduka cita pada Anda secara pribadi, Tuan Hamilton. Saya minta maaf, karena baru bisa menyampaikannya sekarang."

Usai itu keheningan melanda, karena tak ada balasan apa pun dari Jonathan. Pria paruh baya itu hanya menatap sang produser dengan tatapan dingin. Tidak menolak, tapi tidak juga menerima ungkapan belasungkawanya.

Suasana canggung pun tak dapat terelakan. Terutama bagi sang produser muda itu. Bila dirinya boleh berterus terang, sebenarnya dia ingin sekali berputar arah dan keluar dari ruangan tersebut saat itu juga.

Namun, sebagai orang yang beradab dia tidak bisa melakukannya. Jadi, yang bisa dia lakukan adalah menunggu pria paruh baya tersebut mengatakan sesuatu lalu—

"Anda bisa keluar sekarang."

Produser muda itu langsung mengangkat wajahnya dengan mata membulat sempurna.

"Eeh-oh, baik. Selamat siang, Tuan." Usai berkata demikan, Alfred langsung berbalik dan keluar dari ruang kerjanya.

Saat pintu tertutup rapat, Jonathan langsung membenamkan wajahnya ke kedua tangannya. Mengeluarkan semua rasa sesak yang sempat dia tahan di balik wajah dinginnya.

Bulir air mata kembali mengalir silih berganti, membasahi wajahnya. Bahkan, ada yang jatuh membasahi beberapa dokumen di atas mejanya.

Cklek!

"Permisi—eh, Tuan?" Terkejut melihat Jonathan seperti itu, alhasil Alex, sekretaris pribadinya kembali menutup pintu dan mengurungkan niatnya masuk ke sana. Pria itu bermaksud memberi atasannya sedikit ruang privasi.

Masih berdiri di depan pintu, Alex hanya bisa menghela napasnya yang terasa berat itu. Seolah dirinya ikut merasakan duka mendalam yang masih merundung atasannya tersebut. Karena sudah sebulan berlalu, namun Jonathan masih belum bisa mengikhlaskan kepergian Emily.

.

.

.

Sepulangnya Jonathan dari kantor, beliau meminta Alex, sekretaris pribadinya untuk menemaninya ke kantor pusat kerajinan milik Emily.

"Selamat datang di H&M Crafts, Tuan Hamilton."

Kedatangan mereka disambut dengan ramah oleh salah satu staf di sana.

Jonathan hanya membalasnya dengan senyum seadanya, kemudian berlanjut masuk dan melihat-lihat sekitar. Sementara Alex menunggu di ruang tunggu.

Saat jarak langkah kaki pria paruh baya itu sudah cukup jauh, staf tadi langsung berbisik pelan ke telinga Alex.

"Maaf Tuan Alex, sepertinya Tuan Hamilton kelihatan lebih kurus dari sebelumnya. Apa beliau baik-baik saja?"

Sang sekretaris langsung menganggukan kepalanya lalu kembali ke posisi semula.

"Ya, beliau baik-baik saja. Tidak perlu khawatir," balasnya kemudian dengan lugas. 'Yaah, akhir-akhir ini nafsu makan beliau memang berkurang drastis.' sambungnya dalam hati.

.

.

Selama sebulan terakhir, tiada hari tanpa Jonathan menghampiri toko Emily. Pria paruh baya itu selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat usaha mendiang istrinya.

Entah kenapa, tiap kali dia kemari, langkah kakinya selalu membawanya masuk ke ruang kerja mendiang istrinya. Saat memasukinya pun, pria itu selalu memandangi beberapa bingkai foto yang terpajang di dinding seperti sebelum-sebelumnya. Bagaikan rutinitas.

Terutama pada satu bingkai foto berukuran cukup besar yang terpajang di sisi dinding dekat meja kerja mendiang istrinya.

Sebuah foto jaman dulu yang menampilkan sosok Jonathan dan Emily bersama beberapa anak jalanan. Foto pertama yang mereka ambil saat Emily datang ke London untuk pertama kalinya.

Seketika itu juga, berbagai rasa sakit kembali muncul dalam dadanya—seolah tertikam dengan sebilah pisau. Lehernya seperti tercekak, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Jiwanya seolah terenggut dari dalam tubuhnya. Merasa tak berdaya, Jonathan pun terduduk lemah di kursi kerja mendiang istrinya. 

Pria bersurai pirang itu hanya duduk bergeming di sana, merasakan derasnya air mata yang mengalir membasahi wajah tirusnya. Mencoba mengeluarkan rasa sesak yang memenuhi dadanya tanpa perlu membuat kebisingan.

"...Emily ... hiikss ... kenapaa—hikks ... kamu pergi secepat ini ...? Kenapa kamu tidak menungguku ...? Kenapa ...?" Kalimat bernada lirih itulah yang terus keluar dari mulutnya setiap kali berkunjung ke sana, berharap pesan tersebut akan sampai pada mendiang istrinya.

.

.

Tak terasa sudah dua setengah jam berlalu, dan sudah selama itu pula Alex membujuk Jonathan untuk pulang. Namun, pria paruh baya itu enggan keluar dari dalam ruang kerja mendiang istrinya. Dia masih ingin berada di sana. 

Alhasil, tak ada pilihan lain bagi Alex selain menghubungi Nathan agar membujuknya untuk pulang. Seperti yang sudah-sudah.

.

.

Beberapa menit berselang, Nathan tiba di sana dan menghampiri sang Ayah di dalam ruang kerja mendiang ibunya.

Tok tok tok—cklek!

"Ayah ...?"

Pria bersurai coklat itu memasuki ruangan tersebut dan berjalan menghampiri sang Ayah yang masih diam termenung di meja kerja milik mendiang ibunya.

Sekali lagi, Nathan mencoba memanggilnya. Namun, hasilnya tetap sama.

Menghela napas sejenak, pria surai coklat tersebut kembali memanggil sang Ayah. Untuk panggilan yang ketiga kali ini, Jonathan akhirnya memberi sebuah respon dengan menolehkan kepala.

"Ayah, ayo pulang. Ayah tidak bisa terus-terusan seperti ini," lirih Nathan, mencoba menguatkan sang Ayah dengan menggenggam erat tangannya yang semakin kurus.

Membuang wajahnya ke sembarang arah, Jonathan pun membalas dengan suara lirih, "Pulanglah Nathan. Biarkan Ayah di sini selama beberapa saat. Ayah masih ingin bersama dengan Ibu."

"Ayah, Ibu sudah tidak ada di sini. Ibu sudah pergi untuk selama-lamanya. Bukankah Ayah yang bilang begitu ...?" tegas Nathan sembari menatap nanar Jonathan yang kini terlihat seperti seonggok daging bernyawa.

Hening. Tidak ada respon apa pun dari Jonathan. Pria paruh baya itu hanya diam dengan tatapan kosong. 

"Mau sampai kapan Ayah akan begini terus? Kumohon, jangan seperti ini. Ayah masih punya aku dan Natalie. 

Aku dan Natalie masih ada di sini untuk menemani Ayah. Please ... berhenti menyiksa diri Ayah lebih dari ini," sambung Nathan dengan suara bergetar.

Pria surai coklat itu pun berlutut di hadapan Jonathan dan menundukan kepalanya, memohon dengan sangat pada beliau.

Sama seperti di awal. Tidak ada respon apa pun dari Jonathan. Pria paruh baya itu masih dikuasai oleh perasaan sedih mendalam.

Kesedihan yang dia rasakan sampai membuatnya tak menghiraukan perkataan yang terlontar dari mulut Nathan. Bahkan, keberadaan putra sulungnya juga seolah tak tampak lagi di penglihatannya. Semuanya tampak begitu gelap dan hampa.

Telinganya bagaikan tuli. Matanya bagaikan buta. Tubuhnya seolah tak mampu untuk bergerak lebih banyak. 

Pria paruh baya itu tak sanggup lagi menghadapi betapa sakitnya kehilangan. Ia tak sanggup lagi menghalau kegelapan yang kembali meliputi dirinya.

Semuanya terlalu melelahkan. Ia sudah tak memiliki gairah untuk menjalani hari esok. Kini hanya satu hal yang ia inginkan...

Menyusul sang istri tercinta.

"Ayaaahh!"

To be Continued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status