Arimbi melirik Ganesha yang tengah menyetir di sampingnya. Saat ini mereka berdua akan melakukan fitting terakhir pakaian pengantin.
Arimbi sama sekali tidak menduga, kalau pada fitting terakhirnya akan ia lakukan bersama Ganesha setelah dua kali sebelumnya bersama Seno.
Tapi seperti inilah kenyataan. Semua hal bisa kita rencanakan. Namun hasil akhirnya, tetap menjadi rahasia Allah.
Laju mobil berbelok ke kanan. Jalan yang diambil Ganesha memang benar. Mereka akan ke butik di mana dirinya dan Seno memesan pakaian. Ya, dalam pernikahannya dengan Ganesha tiga hari lagi, dirinya memang tetap akan mengenakan pakaian pengantin seperti yang ia dan Seno pilih tiga bulan yang lalu. Hanya saja mempelai prianya beda.
Tiga puluh menit telah berlalu sejak mereka berkendara. Namun tidak sepatah pun kata keluar dari bibir mereka berdua. Ganesha menyetir dengan mulut terkatup rapat dengan pandangan lurus ke depan. Ganesha bersikap seolah-olah tidak ada penumpang di dalam mobilnya.
Arimbi melirik Ganesha sekali lagi. Ia tidak betah diam-diaman seperti ini. Pada dasarnya dirinya bukanlah seorang pendiam yang tahan berjam-jam tanpa mengeluarkan suara. Istimewa ada orang lain di sampingnya. Dirinya bukan seperti Menik. Mantan pacar Ganesha, sekaligus sahabatnya yang ayu dan anggun.
'Ganesha itu menyukai ketenangan dan keteraturan. Ganesha tidak suka dengan wanita yang heboh dan berisik. Makanya selama berpacaran, interaksi mereka cukup dengan bahasa kalbu dan tatapan mata saja.'
Tiba-tiba Arimbi teringat kata-kata sahabatnya yang dianggap Arimbi aneh.Bagaimana mereka berdua bisa mengutarakan keinginan mereka masing-masing apabila tidak dikatakan? Makanya dulu ia kerap memuji Menik sebagai salah seorang perempuan paling sabar. Bagaimana tidak sabar? Menik tahan dua tahun berpacaran dengan orang bisu seperti Limbad.Dalam keheningan mobil, Arimbi mengamati bentuk wajah Ganesha. Ia mencoba mencari persamaan antara wajah Seno dan Ganesha. Mereka berdua itu kakak beradik. Seharusnya secara fisik mirip bukan?
"Apakah telah tumbuh tanduk di wajah saya?" Tiba-tiba saja Ganesha berpaling. Arimbi tidak sempat mengalihkan pandangannya ke arah lain. Akibatnya ia kini bertatapan dalam jarak dekat dengan Ganesha.
Dan untuk pertama kalinya Arimbi melihat wajah Ganesha dengan jelas. Kedua kornea mata hitam Ganesha, sekilas sangat mirip dengan Seno. Namun auranya bertolak belakang. Tatapan Seno itu ramah dan hangat. Sementara Ganesha datar dan dingin.
Hidung Seno mancung dan lurus. Bentuknya sempurna. Sementara Ganesha, ada bagian yang sedikit menonjol dan tidak simetris. Walaupun tetap mancung dan menawan, sepertinya tulang hidung Ganesha pernah patah. Bentuk dahi dan rahang mereka juga berbeda. Seno berdahi kecil dan berahang lancip seperti Bu Santi. Sementara Ganesha berahang kuat dan tegas seperti Pak Hasto. Secara keseluruhan garis-garis wajah Seno halus dan menawan. Khas pria ibukota metroseksual.
Sedangkan Ganesha kasar dan laki-laki sekali. Mungkin karena Ganesha tidak suka berdandan laki. Istilah dandan laki, ia ketahui dari Seno. Dandan laki itu meliputi facial, manicure pedicure, serta menggunakan kosmetik untuk perawatan wajah dan tubuh. Harus Arimbi akui. Kosmetik dan peralatan mandinya kalah jauh dengan Seno.
"Maaf, saya tidak mengerti dengan pertanyaan Mas Esha," Arimbi mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tidak tahu harus menanggapi pertanyaan Ganesha seperti apa.
"Kamu mengerti. Hanya saja kamu tidak mau mengakui."
Menik benar. Ganesha kalau berbicara memang hanya seperlunya. Tetapi poinnya kena.
Arimbi bungkam. Tidak etis kalau ia mengatakan bahwa ia sedang membanding-bandingkan wajah Ganesha dengan Seno.
"Kalau kamu mencari kelebihan wajah saya dengan Seno, kamu akan kecewa. Saya tidak semenawan dan semetroseksual Seno."
Arimbi meringis. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Ganesha bisa menebak isi pikiran.
Demi menguraikan ketegangan Arimbi membuka kaca mobil. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam dan membuangnya melalui mulut. Ia memerlukan udara segar sebelum dikuliti oleh Ganesha. Begitulah hal yang biasa dibicarakan oleh Menik. Menik selalu mengatakan bahwa Ganesha akan mengkritiknya habis-habisan apabila ia meminta Ganesha untuk berubah. Karena prinsip Ganesha, tiap individu mempunyai keunikan masing-masing.
"Untuk kamu ketahui, saya memang tidak menyukai parfum yang terlalu keras seperti Seno. Tapi saya selalu menjaga kebersihan tubuh. Sebelum menjemputmu tadi, saya sudah mandi dan menggunakan deodorant. Jadi saya yakin kalau tubuh saya tidak menguarkan aroma yang tidak enak. Kamu terlalu berlebihan kalau sampai membuka kaca mobil hanya karena tidak tahan membaui aroma tubuh saya."
Salah lagi! Ternyata tindakannya membuka kaca mobil telah menyinggung perasaan Ganesha. Ganesha pikir bahwa dirinya tidak tahan membaui aroma yang tidak enak di dalam mobil.
"Mas Esha salah. Saya membuka kaca mobil bukan karena mencium aroma yang tidak enak. Saya hanya ingin menghirup udara segar."
Ganesha tidak langsung menjawab. Ia menghidupkan lampu tangan terlebih dahulu, dan membelokkan mobilnya ke arah butik.
"Alasan kamu aneh. Saat ini pukul dua belas siang lewat tiga puluh menit. Matahari sedang terik-teriknya. Jalanan juga penuh debu dan asap kendaraan bermotor. Tidak ada segar-segarnya sama sekali. Cari alasan yang lebih masuk akal. Saya bukan anak kecil."
Arimbi termenung. Dengan karakter Ganesha yang menyusahkan seperti ini, bagaimana nasib pernikahan mereka selanjutnya? Lihatlah hanya tiga puluh menit bersama saja mereka sudah saling debat kusir.
"Saya mengatakan yang sesungguhnya, Mas. Saya membuka jendela, hanya ingin mengganti atmosfer. Jangan terlalu sensitif, Mas."
Demi menyeimbangkan sifat Ganesha yang menginginkan segala sesuatunya berdasarkan logika, Arimbi berusaha memberikan jawaban yang logis. Kalau tidak, nanti panjang lagi urusannya. Dirinya udah sangat tertekan karena harus menjalani fitting pakaian dengan suami pengganti. Bayangan bahwa ia akan mendapat pandangan-pandangan keheranan dari orang-orang di butik saja, sudah menguras emosinya. Jikalau ia harus bersilat lidah lagi dengan Ganesha, dikhawatirkan tenaganya akan habis sebelum sampai di butik.
"Mengganti atmosfer? Berarti kamu tidak menyukai atmosfer dalam mobil ini? Begitu?"
Ya Allah, ya Robbi. Tolonglah hambamu ini.
"Mengenai saya yang sensitif. Bukankah itu adalah hal yang paling kalian kaum perempuan inginkan? Setiap kami melakukan tindakan yang logis, kalian selalu mengatakan kalau kami tidak sensitif. Dan kini saat saya sensitif untuk segala hal, kamu malah menganggapnya sebagai kekurangan."
Sepertinya analisa Menik salah. Ganesha bukan orang yang irit bicara. Melainkan orang yang gemar mengkritik orang lain. Menik menganggap Ganesha pendiam, karena mereka memang tidak berbicara dengan bahasa lisan. Mereka berdua hanya tatap-tatapan tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Pantas saja Menik menganggap kalau Ganesha pendiam.
Baiklah. Demi kedamian semua pihak, sebaiknya ia mengganti topik pembicaraan saja.
"Mengapa Mas ingin menikahi saya?"
"Bukan saya yang ingin. Tapi kedua orang tua saya."
"Saya menerima lamaran Mas, eh lamaran atas desakan kedua orang tua Mas, juga demi nama baik kedua orang tua saya. Bukan karena hal lain." Arimbi membela diri. Jangan sampai manusia sombong di depannya ini mengira bahwa ia gembira sekali ia lamar.
"Itu urusanmu. Saya tidak perlu tahu."
Astaghfirullahaladzim!
Arimbi memutuskan untuk menutup mulutnya saja. Pelajaran pertamanya bersama Ganesha adalah ; jangan berbasa basi jikalau tidak ingin sakit hati. Analisa Menik tentang sifat pendiamnya Ganesha memang salah. Tapi aksi penanggulangan untuk meredam segala keributannya sudah benar. Yaitu diam. Titik.
Perjalanan kembali seperti semula. Mereka diam-diaman seperti anak SD yang tengah musuhan. Sejurus kemudian tas tangan dalam pangkuan Arimbi bergetar. Ketika Arimbi mengintip nama pemanggilnya, ia seketika mengabaikannya. Seno meneleponnya. Dan Arimbi membiarkannya.
Karena suasana dalam mobil yang hening, deringan dan getaran ponsel Arimbi terdengar begitu nyaring. Arimbi mengeluarkan ponselnya dari salam tas. Ia bermaksud memblock nomor Seno.
"Berikan ponselmu pada saya. Yang meneleponmu itu Seno bukan?" Ganesha mengulurkan tangan kirinya. Tanpa banyak bicara Arimbi memberikan ponselnya. Ia memang sudah tidak sudi berinteraksi dengan Seno lagi.
Ganesha tidak langsung menjawab panggilan Seno. Ia memegang erat ponsel Arimbi pada kemudi, dan membelokkannya pada parkiran butik. Mereka sudah tiba di tempat tujuan. Setelah mobil terparkir rapi, Ganesha memindahkan persnelling pada posisi P, sembari menaikkan rem tangan. Ganesha membiarkan mesin mobil dan ac menyala, karena ia ingin berbicara dengan Seno. Agar fair, Ganesha menghidupkan loudspeaker. Dengan begitu Arimbi juga bisa ikut mendengar pembicaraannya dengan Seno.
"Ada apa kamu menelepon Arimbi, Sen? Ingat kamu sudah punya istri sekarang. Jangan membuat salah paham istrimu dengan Arimbi. Minimalisirlah hal yang tidak perlu."
Di sampingnya, Arimbi mendengarkan dengan senyum kecut. Ganesha berbicara dengan sangat taktis. Fokus pada masalah. Tidak ada drama-drama yang tidak perlu.
"Berikan ponselnya pada Rimbi, Mas. Mas jangan ikut campur dalam hubunganku dan Rimbi."
"Kamu itu ternyata pelupa ya, Seno? Makanya masalah kerap kali menghampirimu. Dengar baik-baik! Seharusnya, aku yang memperingatimu agar kamu jangan mengusik Rimbi lagi. Karena sebentar lagi Rimbi akan menjadi istriku. Dan aku tidak suka jika ada laki-laki lain yang mengendap-endap di belakangku. Jelas, Seno?"
"Jangan berlebihan, Mas. Mas mendapatkan Rimbi juga karena hibahan dariku bukan? Jangan merasa hebat. Aku tahu, Mas cuma mau balas dendam karena dulu Nelly lebih membatalkan pernikahan dengan Mas, karena jatuh cinta padaku. Tapi itu semua bukan salahku bukan, Mas? Aku tidak bisa melarang orang jatuh cinta padaku."
Arimbi membeku. Ia sama sekali tidak tahu soal kasus calon istri Ganesha yang membatalkan pernikahan karena jatuh cinta pada Seno. Dengan sendirinya apa yang Seno katakan terasa masuk akal. Mungkin saja Ganesha ingin balas dendam padanya bukan?
"Kamu ini memang benar-benar mental pecundang ya, Seno? Sudah kamu yang salah, namun kamu masih berupaya memfitnah orang lain. Aku sudah muak menjadi tumbal atas semua tindakan tidak bertanggungjawabmu! Kamu ingin kembali pada Arimbi? Baik, aku akan katakan keinginanmu pada ayah dan ibu. Jadi aku tidak perlu capek-capek membersihkan jejak-jejak kesalahanmu."
"Tunggu, Mas. Bukan maksudku untuk--"
"Mas Esha. Block saja teleponnya. Untuk apa mengurusi hal yang tidak penting. Ayo kita segera fitting pakaian saja." Arimbi menimpali manja, pembicaraan panas antara Ganesha dan Seno.
"Baik. Ayo kita masuk." Ganesha mematikan panggilan ponsel Seno begitu saja.
"Untuk ke depannya, saya tidak mau lagi melihat kamu mengangkat telepon dari Seno untuk alasan apapun."
"Tidak masalah, Mas. Bukankah tadi saya meminta Mas memblock saja nomor ponselnya."
Arimbi mengangguk. Bukan masalah ia takut pada ancaman Ganesha. Tapi lebih pada keinginannya sendiri yang tidak ingin lagi mempunyai urusan dengan suami orang.
"Tidak perlu," Ganesha menggeleng. Memblock seseorang itu artinya kamu takut padanya. Jangan membuat Seno merasa di atas angin karena kamu takut padanya. Biarkan saja kalau ia meneleponmu. Hanya saja, jangan kamu angkat. Kalau kebetulan ada saya, berikan ponselmu pada saya seperti saat ini. Mengerti, Rimbi?"
"Mengerti, Mas. Mas, sebelum kita fitting pakaian, bolehkah saya menanyakan satu hal?" tanya Arimbi ragu. Ia penasaran akan satu hal.
"Silakan."
"Apa benar kalau dulu Seno pernah menggagalkan pernikahan Mas, karena calon Mas jatuh cinta padanya?"
"Tidak tepat seperti itu. Bukan Seno yang menggagalkan pernikahan. Lebih jelasnya, Nelly lah yang membatalkan pernikahan karena ia bilang, ia telah jatuh cinta pada pria lain. Nelly tidak pernah menyebutkan nama Seno. Saya baru tahu kalau pria itu Seno, setelah Seno akhirnya berpacaran dengan Nelly."
Deg!
Seno tega sekali menikung kakak kandungnya sendiri.
"Kalau begitu, mengapa Seno tidak menikahi Nelly?"
Ganesha menatap mata Arimbi dalam. "Karena bulan berikutnya Seno jatuh cinta pada sahabat Menik, sekretaris ayah saya yang kebetulan ikut bersama Menik menjenguk ayah saya yang sedang sakit."
"Astaghfirullahaladzim...." ucap Arimbi terkejut. Seno jatuh cinta padanya saat tengah menjalin hubungan dengan Nelly? Untuk pertama kalinya, Arimbi sangat bersyukur karena gagal menikah dengan "adik iparnya" itu.
"Mas Esha sudah datang. Sebentar saya akan mengambilkan jas pesanan Mas Esha. Pak Tian keluar sebentar. Tapi beliau sudah menyelesaikan semua pesanan Mas Esha. Tunggu sebentar ya, Mas?" Tiwi, salah seorang staff Swan Boutique and Bridal, milik Sebastian Reynaldi, sang perancang busana, sekaligus pemilik butik, menyambut Ganesha dan Arimbi hangat. Tiwi adalah asisten senior butik yang biasanya melayani Arimbi dan Seno. Arimbi tersenyum kecil. Ia malu karena datang ke butik bersama laki-laki yang berbeda. Ketika ia masuk ke dalam butik bersama Ganesha saja, beberapa orang staf tampak berbisik-bisik lirih. Arimbi yakin mereka pasti membicarakannya. Wajar, mengingat bahwa biasanya ia mendatangi butik bersama dengan Seno. Arimbi duduk diam di sudut butik. Sementara Ganesha melihat-lihat beberapa kebaya-kebaya kontemporer rancangan Sebastian Reynaldy yang dikenakan pada manekin. Ganesha memesan jas yang lain rupanya. Bukan jas yang sedianya akan dikenakan oleh Seno. Sejurus kemudian
Arimbi terdiam sejenak. Ia menata emosinya dulu, baru bertindak. Melihat gaun pengantin berkerah sabrina yang dipegang oleh Icha di belakang Nina, satu pengertian memasuki benak Arimbi. Seno dan Nina akan menggelar resepsi juga rupanya. Dan gaun yang dipegang oleh Icha itu adalah gaun pengantin untuk resepsinya bersama Seno. Rupanya Nina akan mengenakan gaunnya.'Tenangkan dirimu, Rimbi. Bersikaplah anggun dan penuh harga diri. Jangan membuat ular beludak ini tertawa karena melihat keterpurukanmu,' batin Rimbi."Iya, Mbak. Ini Mas Esha memesan kebaya spesial untuk saya kenakan saat akad nanti. Bagus tidak, Mbak?" Arimbi dengan sengaja memutar tubuhnya sekali. Memperlihatkan siluet tubuh rampingnya yang anggun dengan kebaya putih gadingnya."Ya, lumayanlah. Untuk ukuran calon mempelai pengganti, si Esha cukup royal juga. Asal jangan nanti setelah nikah kamu dicerai ya?"Tiwi terbatuk. Sementara Icha berdiri serba salah. Mereka berdua merasa kasihan pada Arimbi yang diserang oleh peremp
Kini resepsi telah usai. Saat ini, Arimbi telah berada di room 214 Hotel Adiwangsa. Ia terduduk kelelahan di sudut ranjang indah yang ditaburi dengan serpihan bunga berwarna merah. Arimbi memandang sekeliling ruangan takjub. Kamar pengantinnya ini didekorasi dengan sangat apik. Selain serpihan bunga bentuk hati, ada sepasang angsa yang terbuat dari handuk di tengah-tengah ranjang. Kepala kedua angsa tersebut didekorasi saling bertemu dan membentuk gambar hati. Ada beberapa kuntum bunga mawar lagi di samping hiasan kedua angsa yang tengah kasmaran tersebut. Pandangan Arimbi berpindah ke meja rias. Terlihat beberapa lilin aromaterapi dalam wadah-wadah yang klasik dan cantik. Pantulan lilin panjang berulir membuat suasana semakin romantis dengan kilaunya yang keemasan. Dekorasi kamar honeymoonnya ini memang sangat indah. "Hufft...." Arimbi mengela napas kasar. Dirinya duduk sendirian di sini, sementara Ganesha masih berada di luar. Arimbi tidak tahu apa yang dilakukan Ganesha di luar
Napas Arimbi tersangkut-sangkut saat wajah Ganesha kian dekat dengannya. Arimbi memejamkan mata. Ia tidak kuasa menatap manik hitam Ganesha. "Kemarikan ponselmu. Yang meneleponmu terus-terusan itu Seno bukan? Heh, saya berbicara padamu. Ngapain kamu merem-merem seperti itu?" Sebuah sentilan mengenai keningnya. Alhamdullilah! Walau bersyukur, Arimbi tengsin. Ia malu sekali karena mengira akan dimacam-macami oleh Ganesha. Kesal, Arimbi menjitak keningnya sendiri. Bikin malu saja. Demi mendinginkan wajahnya yang memanas, Arimbi kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebaiknya ia mencuci muka, agar wajahnya tidak berwarna seperti tomat masak begini. Ia tidak peduli Ganesha akan berbicara apa pada Seno, terkait chat dan photo yang Seno kirimkan. Biar saja. Toh mereka berdua kakak adik. Ia tidak mau ikut campur. Yang penting ia sudah menaati perintah Ganesha. Bahwa setiap kali Seno menelepon, ia harus memberikan ponsel padanya. Samar-samar Arimbi mendengar kalau Ganesha memperingati Seno
"Bukan, Mas!" Arimbi membantah cepat meski matanya sudah membola. Salah lagi. Mungkin inilah yang membuat kaumnya emoh berdekatan dengan Ganesha? Mulut Ganesha ini sungguh berbisa. Selalu tembak langsung tanpa filter. "Kalau bukan, lalu apa? Hidup itu dibuat simple saja, Rimbi. Kalian kaum perempuan sangat suka membuat asumsi sendiri. Berpikir berlebihan jangan-jangan begini atau kalau-kalau begitu. Kalian kerap overthinking. Padahal semua itu tidak berguna. Kamu hanya menghabiskan waktu tanpa solusi." Ganesha meraih satu handuk lagi untuk mengeringkan rambutnya. Air masih menetes di ujung-ujung rambutnya. "Jadi harusnya bagaimana Mas Ganesha Teguh? Eh maaf, tidak sengaja." Arimbi meringis. Inilah penyakitnya yang sulit ia hilangkan. Ia acapkali menyuarakan apa yang ada di kepalanya. Kalau menurut istilah ibunya, mulutnya lebih dahulu bersuara sebelum otaknya memerintahkan sebaliknya. Kalimat sarkasnya dihadiahi lirikan dingin Ganesha melalui sudut matanya. "Kamu tidak perlu mi
"Saya jelaskan sekali lagi. Kita akan memberi kesan kalau kita akan pindah ke rumah baru hari ini. Untuk itu kita akan berpamitan dulu kepada kedua orang tua saya," terang Ganesha."Padahal?" sela Arimbi tidak sabar. Kata kesannya itu mencurigakan. Saat ini mereka tengah bersiap-siap check out dari hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang kurang dua puluh menit.Dan Ganesha bilang mereka akan berbicara untuk mufakat dulu. Agar jawaban mereka nanti kompak saat diinterogasi oleh kedua orang tuanya."Padahal cuma kamu yang pindah. Saya akan tetap tinggal di apartemen seperti biasa. Pengaturan ini kita buat sebagai konsekuensi dari perjanjian kita sebelumnya. Yaitu ; kita tidak akan mencampuri urusan pribadi masing-masing. Paham?"Ganesha menerangkan maksudnya sekali lagi. Ia tidak ingin Arimbi nanti salah berbicara di hadapan kedua orang tuanya. Bisa panjang nanti urusannya. Makanya ia membriefing istri pura-puranya ini terlebih dahulu."Begitu ya? Lantas kalau nanti ketahuan
'Padahal kamu sudah mengucapkannya tiga tahun lalu. Lantas kembali mengucapkannya tidak kurang dari dua minggu yang lalu,' batin Ganesha."Astaga, tidak, Mas. Mana mungkin saya setidaktahu diri itu meminta bagian saham?" cicit Arimbi ngeri. "Coba ingat-ingat lagi. Tiga tahun yang lalu, atau dua minggu yang lalu mungkin?" Ganesha mencoba memberi kata kunci.Tiga tahun yang lalu? Sudah lama sekali. Ia tidak ingat tentu saja. Kalau dua minggu yang lalu? Arimbi mencoba mengingat-ingat. Dua minggu lalu, itu artinya ia masih bersama dengan Seno. Perasaan ia tidak mengatakan apapun pada Seno."Sumpah demi apapun, saya bukan orang yang seperti itu, Mas. Lagi pula untuk apa saya meminta saham, jabatan, ini itu. Bukannya saya sombong. Tapi harta benda kedua orang tua saya sudah lebih dari cukup, Mas. Saya tidak butuh yang lain lagi." Arimbi semakin ngeri.Ganesha mendecakkan lidah. Ternyata ia salah menebak kepribadian Arimbi. Selama tiga tahun menjadi kekasih Seno, ia mengira Arimbi adalah so
"Aku menyindir?" Ganesha menunjuk dadanya sendiri dengan sendok masih di tangan. Bahasa tubuhnya tetap cuek, tak terganggu. "Aku hanya mengatakan kebenaran di depan matamu. Aku bukan tipe orang yang suka menyindir-nyindir. Lagipula, kamu ini aneh. Kamu sendiri yang mengoceh-ngoceh. Giliran diberi tanggapan, malah kamu yang ngamuk-ngamuk. Kamu waras kan?" "Sudah Seno, jangan membuat keributan. Selesaikan makanmu dan segera kembali ke kantor. Kamu makan siang di sini karena ingin makan rendang buatan Ibu bukan?" Bu Santi dengan sigap menengahi pertikaian di antara kedua putranya. Seno dan Ganesha memang seperti ini adanya sedari keduanya remaja. Seperti anjing dan kucing. Tidak pernah akur satu sama lain. Seno kerap membuat masalah, dan Ganesha lah yang menyelesaikannya. "Ibu selalu begini. Membela Mas Esha terus." Seno makin sewot. Dia khawatir Arimbi makin tidak respek padanya karena terus dimarahi seperti seorang anak kecil. "Oh, jadi kamu berharap dibela oleh Ibu? Minta perlin