Share

4. Insiden Fitting Baju

"Mas Esha sudah datang. Sebentar saya akan mengambilkan jas pesanan Mas Esha. Pak Tian keluar sebentar. Tapi beliau sudah menyelesaikan semua pesanan Mas Esha. Tunggu sebentar ya, Mas?"

Tiwi, salah seorang staff  Swan Boutique and Bridal, milik Sebastian Reynaldi, sang perancang busana, sekaligus pemilik butik, menyambut Ganesha dan Arimbi hangat. 

Tiwi adalah asisten senior butik yang biasanya melayani Arimbi dan Seno. Arimbi tersenyum kecil. Ia malu karena datang ke butik bersama laki-laki yang berbeda. Ketika ia masuk ke dalam butik bersama Ganesha saja, beberapa orang staf tampak berbisik-bisik lirih. Arimbi yakin mereka pasti membicarakannya. Wajar, mengingat bahwa biasanya ia mendatangi butik bersama dengan Seno.

Arimbi duduk diam di sudut butik. Sementara Ganesha melihat-lihat beberapa kebaya-kebaya kontemporer rancangan Sebastian Reynaldy yang dikenakan pada manekin.

Ganesha memesan jas yang lain rupanya. Bukan jas yang sedianya akan dikenakan oleh Seno.

Sejurus kemudian Tiwi kembali dengan jas dalam pelukan. Di belakangnya Icha mengikuti dengan sehelai kebaya indah yang disampirkan pada lengannya.

"Ini jasnya Mas Esha. Silakan dicoba dulu. Dan ini kebaya Mbak Rimbi. Silakan dicek dulu. Apakah sudah sesuai dengan model yang Mas Esha inginkan. Pak Tian dan team design lembur dua hari hingga jam tiga pagi mengerjakannya. Semoga saja hasilnya memuaskan. Berikan pada Mbak Rimbi kebayanya, Cha." Tiwi memberi perintah pada asistennya. 

Satu pemahaman memasuki pemikiran Arimbi. Ternyata Ganesha tidak mau menggunakan jas dan kebaya yang sedianya akan dikenakan olehnya dan juga Seno. Ganesha memilih pakaian mereka sendiri. Dikerjakan oleh Sebastian, perancang busana langganan keluarga Caturrangga. Kata Tiwi tadi Sebastian dan teman mengebut dua hari dua malam. Arimbi bisa membayangkan berapa kocek yang harus dikeluarkan oleh Ganesha, untuk jas dan kebaya ini.

Jas dan kebayanya dengan Seno, yang mereka pesan enam bulan sebelumnya saja, membuat Seno harus merogoh kocek dalam-dalam. Bagaimana dengan permintaan pakaian-pakaian istimewa ini dalam dua hari jadi? Arimbi tidak berani membayangkannya.

"Jas saya nanti saja saya coba. Kamu temani saja calon istri saya berpakaian. Saya ingin melihatnya mengenakan kebaya spesial pilihan saya itu." Ganesha berbicara dengan Tiwi seolah-olah Arimbi tidak ada di sana. 

"Ayo, Mbak Rimbi. Ikut saya ke ruang ganti pakaian." Tiwi mengambil alih kebaya indah dari lengan Icha. Ia kemudian berjalan mendahului Arimbi ke ruang ganti. Arimbi membuntuti dalam diam. 

Mereka berjalan ke satu ruangan besar berdinding kaca. Di sana ada lima  ruangan khusus yang disekat dengan tirai. Ke sana lah Tiwi membawanya. 

"Kita ke fiiting room yang nomor tiga saja ya, Mbak?" Arimbi menolak saat Tiwi membawanya ke fitting room nomor satu. Karena biasanya di sana lah ia mencoba pakaian saat masih bersama Seno. Arimbi benar-benar ingin menghapus bayangan Seno dari pernikahannya dengan Ganesha ini. Bahkan sekedar ruang ganti pakaian pun ia usahakan berbeda, agar suasananya berbeda.

"Baik. Pilih senyamannya Mbak Arimbi saja." 

Tiwi menyibak tirai, mempersilakan Arimbi masuk. Setiba di fitting room, Tiwi melepas hanger dan memberikan kebaya indah itu ke tangan Arimbi. 

"Ayo dicoba, Mbak Rimbi. Kebaya pesanan Mas Esha ini adalah kebaya teranggun yang pernah saya lihat. Tertutup, simple, namun meneriakkan kata mahal." Tiwi mengelus sekilas kebaya yang sudah berpindah tangan.

"Masa sih?" Pujian yang dilontarkan Tiwi terhadap gaun kebayanya membuat Arimbi penasaran. Arimbi pun memperhatikan detail kebaya di tangannya.

Kebaya ini sekilas terlihat sederhana. Berkerah shanghai dengan butiran kancing mutiara. Panjang kebayanya sendiri hampir semata kaki. Detail renda bunga-bunga yang bergerombol di tepi kebaya mengesankan kemewahan nan elegan. Tiwi benar, dibalik kesederhanaannya kebaya ini menunjukkan kelasnya.

"Iya, ya. Cantik sekali." Arimbi mengelus permukaan kebaya dengan pandangan menerawang. Nama Sebastian Reynaldi memang bukan kaleng-kaleng. Kebayanya dengan Seno saja bagus sekali. Dan yang ini beberapa kali lipat lebih bagus lagi. 

Pernikahannya juga akan berlangsung megah, mengingat begitu banyaknya tamu yang diundang. Namun kedua mempelai yang duduk di atas pelaminan mewah itu nanti, tidak memiliki cinta. Hanya keterpaksaan saja yang membuat mereka berdua ada di sana. Sayang sekali rasanya jikalau mereka harus menghabiskan biaya sebesar ini.

"Mbak Rimbi ingin saya bantu menggunakan kain songket dulu atau bagaimana?" Tiwi menawarkan bantuan.

"Tidak apa-apa, Mbak Tiwi. Saya bisa sendiri. Nanti kalau saya membutuhkan bantuan, saya akan memanggil Mbak Tiwi." 

Arimbi menolak bantuan Tiwi secara halus. Bukan apa-apa, Arimbi merasa sangat tidak nyaman saat harus membuka pakaiannya di hadapan orang lain. Walaupun dirinya dan Tiwi sama-sama perempuan, tetap saja, Arimbi rikuh.

"Baik, saya menunggu di depan saja ya? Kalau Mbak Rimbi butuh apa-apa, Mbak Tinggal teriak saja seperti biasa," Tiwi tersenyum maklum. Ia memahami ketidaknyamanan Arimbi. Karena sebelumnya, saat bersama Seno, Arimbi juga bersikap yang sama.

Sepeninggal Tiwi, Arimbi mulai menyalin pakaian. Ketika menggunakan kebaya, Arimbi sangat hati-hati sekali. Ia takut kalau kebayanya rusak apabila ia mengenakannya dengan tergesa. Setelah kebaya melekat erat di tubuhnya, barulah Arimbi memanggil Tiwi. Ia kesulitan mengancingkan kancing-kancing mutiara di punggungnya. 

"Wah, Mbak Arimbi cantik sekali. Sampai pangling saya." Tiwi terpana. Tiwi  membantu Arimbi mengancingkan kebaya dan mengencangkan songketnya. 

"Ah, Mbak Tiwi bisa saja. Kebayanya yang cantik. Saya mah cuma manekin saja," kata Arimbi canggung. Ia tidak biasa dipuji terang-terangan.

"Manekinnya memang sudah bagus, tapi karena modelnya juga bagus, jadi hasilnya maksimal. Ayo kita ke depan, Mbak. Mas Seno, eh maaf, Mas Esha sudah menunggu." 

Tiwi Jadi kepingin menggigit lidahnya sendiri saat salah berucap. Terbiasa melayani Arimbi dan Seno, lidahnya jadi selip mengucapkan nama Seno. Sementara Arimbi, ia gamang saat nama Seno kembali disebut. 

"Saya minta maaf ya, Mbak Rimbi ?" Tiwi kembali meminta maaf ketika melihat Arimbi tertegun.

"Tidak apa-apa. Saya mengerti," Arimbi tersenyum kecut. 

"Kalau begitu mari kita keluar. Kita perlihatkan betapa cantiknya Mbak Rimbi ini pada Mas Esha." 

Tiwi sangat berhati-hati sekali kala menyebut nama sang mempelai pria. Selain tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya bersikap professional, ia juga harus menjaga perasaan calon mempelainya.

Arimbi mengikuti instruksi Tiwi. Ia pun mengikuti langkah Tiwi yang tengah menyibak tirai.

"Lho, Rimbi. Kamu di sini juga?"

Nina Sujatmiko. Sepupu pencuri mantan pacarnya melihat Arimbi dengan senyum merendahkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status