Napas Arimbi tersangkut-sangkut saat wajah Ganesha kian dekat dengannya. Arimbi memejamkan mata. Ia tidak kuasa menatap manik hitam Ganesha.
"Kemarikan ponselmu. Yang meneleponmu terus-terusan itu Seno bukan? Heh, saya berbicara padamu. Ngapain kamu merem-merem seperti itu?" Sebuah sentilan mengenai keningnya.
Alhamdullilah!
Walau bersyukur, Arimbi tengsin. Ia malu sekali karena mengira akan dimacam-macami oleh Ganesha. Kesal, Arimbi menjitak keningnya sendiri. Bikin malu saja.
Demi mendinginkan wajahnya yang memanas, Arimbi kembali masuk ke dalam kamar mandi. Sebaiknya ia mencuci muka, agar wajahnya tidak berwarna seperti tomat masak begini. Ia tidak peduli Ganesha akan berbicara apa pada Seno, terkait chat dan photo yang Seno kirimkan. Biar saja. Toh mereka berdua kakak adik. Ia tidak mau ikut campur. Yang penting ia sudah menaati perintah Ganesha. Bahwa setiap kali Seno menelepon, ia harus memberikan ponsel padanya.
Samar-samar Arimbi mendengar kalau Ganesha memperingati Seno agar tidak menelepon istrinya lagi. Mendengar kata istri yang ia dengar secara langsung begini, membuat Arimbi terkesima. Cara Ganesha mengucapkannya seolah-olah, keluar dari hatinya yang terdalam. Padahal pernikahan mereka berdua hanya sandiwara belaka.
Setelah tidak terdengar suara apapun lagi, Arimbi meraih pakaian dalam bekas mengenakan pakaian pengantin tadi. Biarlah ia menggunakan pakaian dalam bekas, daripada ia tidak mengenakannya sama sekali. Nanti ia akan menggantinya setelah membongkar koper dan mandi kembali.
Arimbi membuka pintu kamar mandi setelah celingak-celinguk kanan kiri. Karena ia tidak mendapati Ganesha di depan pintu kamar mandi, ia pun keluar dengan damai.
"Astaga!" Arimbi kaget karena ternyata Ganesha tengah membuka kancing celananya. Arimbi refleks menutup mata dan kembali masuk ke dalam kamar mandi. Matanya sudah tercemar beberapa kali dalam waktu beberapa menit. Bagaimana jika seminggu? Sebulan? Setahun? Arimbi tidak bisa membayangkannya.
"Arimbi, ngapain kamu kembali masuk ke kamar mandi? Kamu sudah selesai membersihkan diri bukan?"
"Sudah, Mas." Arimbi menjawab dari dalam kamar mandi.
"Kalau sudah, keluar dong. Gantian. Saya juga mau membersihkan diri."
"I-Iya, Mas." Gugup Arimbi pun membuka pintu kamar mandi. Di ambang pintu pandangan Arimbi dan Ganesha saling bersirobok.
"Ngapain kamu ketakutan seperti itu?" Ganesha mendecakkan lidah. Arimbi ini seperti tidak percaya padanya.
"Nggak apa-apa kok, Mas," sahut Arimbi gelisah. Ganesha kembali mendecakkan lidah. Ia paling tersinggung apabila dianggap sebagai orang yang tidak bermoral.
"Dengar, Rimbi. Saya memang laki-laki normal. Berdarah, berdaging serta memiliki nafsu. Tapi saya juga memiliki kendali diri dan juga moral yang baik. Jadi jika saya sudah berjanji kalau saya tidak akan menyentuhmu, itu artinya janji saya tidak akan berubah. Kecuali kamu yang menginginkan perubahan. Hal itu bisa kita bicarakan kemudian."
Gimana gimana? Dirinya yang menginginkan perubahan? Mimpi saja!
*******
Arimbi kini membuka koper dengan cepat. Ia kemudian menarik pakaian dalamnya sembarang, beserta satu set piyama berbahan satin.Sementara Ganesha mandi, sebaiknya ia berganti pakaian yang lebih sopan terlebih dahulu. Hanya mengenakan bathrope sepaha seperti ini, sungguh membuatnya tidak nyaman. Setiap kali ia berjalan, bathropenya tersibak sampai ke atas. Ia tidak mau mencari penyakit berduaan dalam kamar dengan seorang laki-laki dalam pakaian seperti ini.
Setelah celingukan sebentar, Arimbi segera mengganti pakaiannya. Gerakannya sangat cepat, mengingat Ganesha bisa saja sewaktu-waktu keluar dari kamar mandi.
Tepat ketika ia mengancingkan piyama, pintu kamar mandi terbuka. Arimbi menarik napas lega. Untung saja, ia sudah selesai berpakaian.
Tapi sepertinya tidak untung juga. Setelah dirinya rapi, malah Ganesha yang kini berpenampilan setengah telanjang. Ganesha tidak menggunakan bathrope. Melainkan hanya melilitkan selembar handuk putih yang menggantung indah di pinggulnya.
Arimbi salah tingkah. Ia tidak tahu harus menyembunyikan diri di mana. Kalau ia balik lagi ke kamar mandi, rasanya aneh juga. Ia akan terlihat seperti tengah diare atau anyang-anyangan. Tetapi tetap berdiri di dalam kamar pun, susah juga. Ia jadi seperti memelototi Ganesha yang akan mengganti pakaian.
Bingung, Arimbi tidak sadar kalau ia terus mondar-mandir di kamar. Dirinya yang tidak biasa berbagi kamar dengan orang lain, benar-benar merasa tidak punya tempat untuk bernaung.
"Ngapain kamu mondar-mandir terus? Sedang latihan baris-berbaris?"
Latihan baris-berbaris? Ya tidaklah! Kurang kerjaan amat ia latihan baris-berbaris di dalam kamar malam-malam begini.
"Bukan. Saya hanya bingung harus menempatkan diri di mana saat Mas berganti pakaian." Arimbi jadi kepingin menggigit lidahnya sendiri, setelah kalimat tanpa filternya ia lontarkan.
"Kenapa bingung? Sekarang saya tanya, kamu ingin melihat saya berganti pakaian atau tidak?" Ganesha menjinjitkan alis.
"Hah? Tentu saja tidak!" Arimbi menggoyang-goyangkan kedua tangannya panik. Tuduhan Ganesha membuatnya malu, sehingga ia buru-buru membantah.
"Kalau begitu kamu tinggal memandang ke arah yang lain saja pada saat saya berganti pakaian. Gampang bukan? Mengapa harus dibuat repot?"
'Ngomong memang gampang. Prakteknya bagaimana coba?' batin Arimbi. Tapi, alih-alih mengatakannya, Arimbi justru mengalihkan pembicaraan, "Ya, tapi kan saya tidak enak, Mas. Masa Mas grasak-grusuk berpakaian, sementara saya masih ngejogrok di sini. Suara-suara Mas yang timbulkan saat berpakaian, akan membuat saya rikuh."
"Rikuh karena membayangkan penampakan saya berpakaian. Begitu?" Ganesha memperjelas kalimat Arimbi.
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa