Kini resepsi telah usai. Saat ini, Arimbi telah berada di room 214 Hotel Adiwangsa. Ia terduduk kelelahan di sudut ranjang indah yang ditaburi dengan serpihan bunga berwarna merah.
Arimbi memandang sekeliling ruangan takjub. Kamar pengantinnya ini didekorasi dengan sangat apik. Selain serpihan bunga bentuk hati, ada sepasang angsa yang terbuat dari handuk di tengah-tengah ranjang. Kepala kedua angsa tersebut didekorasi saling bertemu dan membentuk gambar hati. Ada beberapa kuntum bunga mawar lagi di samping hiasan kedua angsa yang tengah kasmaran tersebut.
Pandangan Arimbi berpindah ke meja rias. Terlihat beberapa lilin aromaterapi dalam wadah-wadah yang klasik dan cantik. Pantulan lilin panjang berulir membuat suasana semakin romantis dengan kilaunya yang keemasan. Dekorasi kamar honeymoonnya ini memang sangat indah.
"Hufft...." Arimbi mengela napas kasar. Dirinya duduk sendirian di sini, sementara Ganesha masih berada di luar. Arimbi tidak tahu apa yang dilakukan Ganesha di luar sana. Seperti kesepakatan sebelumnya, ia pun tidak berusaha mencari tahu. Mereka toh tidak boleh mencampuri urusan satu sama lain.
Tadi sebelum masuk ke dalam kamar, Arimbi sempat melihat bayangan tubuh Ganesha yang berjalan bersama beberapa relasi-relasinya ke arah lift. Arimbi juga sempat mendengar sekilas, kalau mereka membicarakan perihal proyek raksasa yang sedang mereka garap.
Baru satu hari menjadi istri Ganesha, Arimbi sudah mendapatkan satu clue. Bahwa Ganesha ini workoholic. Bayangkan, Ganesha sempat-sempatnya membicarakan masalah bisnis pada malam pertamanya.
Walaupun Arimbi tahu bahwa malam pertama atau malam ke seratus mereka berdua tidak akan ada bedanya, tetapi tetap saja, tingkah Ganesha ini berlebihan. Kesan yang timbul, Ganesha seperti tidak menganggap pernikahannya istimewa.
Arimbi berdecak. Sudahlah. Memang bagi Ganesha pernikahan ini tidak istimewa, bukan? Jadi untuk apa ia mengharap sebaliknya? Kalau ia mau jujur, sebenarnya kekecewaannya ini bukan untuk dirinya sendiri. Ia juga sama tidak pedulinya dengan Ganesha. Yang ia jaga adalah kesan dan pandangan orang lain. Salah satunya adalah tamu-tamu dan keluarga besarnya. Lebih tepatnya lagi mata Seno dan Nina. Ia tidak mau kalau kedua penghianat itu menertawai kemalangannya. Sudah dinikahi terpaksa, eh tidak dipedulikan calon suami penggantinya pula. Harga dirinya yang sudah dikoyak-koyak, kini dijadikan keset juga.
Arimbi mengibaskan kepala. Membuang segala hal yang membuat hatinya sedih. Yang lalu biarlah berlalu. Mulai hari ini ia harus menutup buku mengenai cinta masa lalunya dengan Seno. Sebaiknya ia fokus saja menata masa depan. Perkara jodoh, ia pasrahkan saja pada Tuhan. Ia tidak mau lagi memikirkannya. Toh ia sudah melihat jodoh yang bukan jodoh di depan matanya. Sedang dialaminya pula. Bahwa kalau bukan jodoh, tinggal selangkah menuju ijab pun, bisa gagal kalau takdir berkehendak lain. Lebih baik ia mengikhlaskan saja apa yang sudah menjadi takdirnya. Seperti nasehat ibunya tadi kemarin malam sebelum ijab kabul keesokan paginya.
"Rimbi, Ibu ingin mengatakan satu hal padamu agar kamu tidak berkecil hati. Ketahuilah, Rimbi. Bahwa jodoh itu unik, Nak. Sering kali yang kita kejar-kejar menjauh. Yang tidak kita minati malah mendekat. Yang selalu kita diimpikan, tidak berujung pernikahan. Yang tak pernah kita duga, malah bersanding di pelaminan. Benar tidak?"
"Benar, Bu. Rimbi sama sekali tidak pernah membayangkan, bawa Rimbi akan menjadi istri Mas Esha."
"Nah, itu artinya, jodoh bukan masalah seberapa kamu menginginkan seseorang atau seberapa lama kamu mengenalnya. Melainkan seberapa yakin kamu padanya. Seberapa ikhlas juga saat kamu gagal mendapatkannya. Lalu digantikan dengan yang lebih baik menurutNya. Menurut Ibu itulah jodoh."
Teringat kembali pada nasehat sang ibu, Arimbi memantapkan hati. Bahwa semua yang terjadi memang sudah takdirnya. Yang penting ia tetap tawakal dan ikhtiar. Selebihnya ia pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Arimbi menggerakan pinggangnya ke kanan dan ke kiri, dalam posisi masih duduk di sudut ranjang. Ia lelah setelah berdiri berjam-jam di atas pelaminan.
Perlahan Arimbi berdiri. Ia bermaksud menukar gaun pengantinnya dan membersihkan wajah. Gerah sekali rasanya memakai gaun pengantin yang berat dan juga riasan tebal yang membuat wajahnya kaku. Belum lagi kepalanya yang terasa pusing akibat mahkota yang lumayan berat, di atas puncak kepalanya.
Arimbi berjalan tersaruk-saruk ke arah kamar mandi. Ia bermaksud menyalin pakaian di sana. Ia takut melepaskan pakaian di dalam kamar. Ganesha bisa saja masuk sewaktu-waktu.
"Aduh!" Arimbi nyaris jatuh terjerembab oleh ujung gaunnya sendiri. Untung saja ia dengan sigap memegang meja rias. Arimbi kemudian melepaskan sepatu. Menyusunnya rapi di samping lemari. Setelahnya ia mengenakan sandal hotel yang nyaman. Barulah ia masuk ke dalam kamar mandi.
Ketika pintu kamar mandi di buka, lagi-lagi Arimbi di hadapkan pada pemandangan romantis lain. Di pinggir bath up, bejajar lilin aroma terapi yang harum. Taburan kelopak bunga mawar merah tersebar indah seperti taman bunga. Di sudut bath up juga ada dua buah teh dalam gelas bergagang yang cantik. Arimbi jadi tidak tega mandi, karena takut akan merusak tatanan hamparan bunga-bungaannya.
Setelah bersusah payah menanggalkan gaun pengantin, Arimbi membersihkan make upnya terlebih dahulu di wastafel. Yang untungnya lagi, sudah tersedia cleansing oil dan toner di meja wastafel. Setelah riasan wajahnya bersih, barulah Arimbi masuk ke dalam bath up. Air dalam bath masih hangat. Pertanda bahwa room maid baru belum lama mempersiapkan airnya.
Baru sekitar lima belas menit berendam, ponselnya berbunyi. Arimbi buru-buru bangkit dari bath tub. Jangan-jangan Ganesha yang meneleponnya. Mengeringkan tubuh seadanya, Arimbi meraih bath rope dari kapstok. Titik-titik air masih menetes dari ujung-ujung rambutnya. Arimbi tidak ingin Ganesha menunggu lama.
Merogoh tas tangan tergesa-gesa, Arimbi mengerutkan kening saat melihat hanya sejumlah nomor sebagai pemanggilnya. Pemanggilnya orang yang tidak ia kenal lagi. Karena tidak masuk dalam kontak orang-orang yang ia simpan. Arimbi pun mengabaikannya. Panggilan kedua dan ketiga terus berdering. Dan seperti tadi, Arimbi membiarkannya saja. Dan seperti tadi pemanggilnya tidak mau menyerah. Dering ponsel seperti menerornya.
Terganggu dengan ulah si penelepon misterius, Arimbi bermaksud menonaktifkan ponselnya. Pada saat itu, masuk chat dinotifikasi ponselnya. Arimbi berdecak kesal setelah tahu nomor siapa yang terus menerornya. Seno yang menggunakan nomor lain rupanya.
Sepertinya Seno tahu kalau ia tidak akan pernah mengangkat telepon dari Seno lagi, makanya Seno menggunakan nomor lain untuk merusuhinya. Namun karena ia tetap tidak mau mengangkat panggilannya, makanya Seno terpaksa meninggalkan pesan.
Ting!
Jikalau tadi Seno hanya menulis bahwa dirinya adalah Seno, kali ini ia mengirimkan sebuah gambar.
Penasaran Arimbi pun membuka gambar yang dikirimkan Seno. Terlihat Ganesha duduk berhadap-hadapan dengan seorang gadis cantik berambut ikal. Lokasi mereka duduk Sepertinya di lobby. Kepala keduanya berdekatan saat memperhatikan layar laptop. Di kanan kiri keduanya ada beberapa orang laki-laki dan perempuan lagi. Sepertinya mereka semua tengah membahas sebuah project.
Perempuan di samping Mas Esha itu adalah Nelly Hartadi. Mantan terindah Mas Esha. Kamu lihat 'kan, Rim? Mereka berdua itu sebenarnya masih saling cinta. Cuma masing-masing masih saling gengsi saja.
Arimbi memperhatikan bahasa tubuh keduanya. Memang jika dilihat melalui photo begini, keduanya tampak intim. Tapi Arimbi tidak mau ambil pusing. Mereka toh sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing.
Mas Esha meninggalkanmu di kamar pengantin sendirian, demi menemui mantan terindahnya ini. Kamu tidak sebodoh itu untuk mengartikan sikap Mas Esha ini bukan? Oh ya, kamu juga boleh menanyakan apapun soal Nelly ini. Mas bersedia menjawabnya untukmu.
Arimbi menutup aplikasi percakapan. Ia malas meladeni Seno. Lebih baik mempersiapkan diri untuk tidur saja. Dengan begitu ia bisa menghindari banyak hal. Salah satunya adalah berdua-duaan dengan Ganesha di kamar dalam keadaan sadar. Rasanya pasti sangat canggung sekali.
Tindakannya ini membuat Seno makin nekad. Seno kembali meneleponnya. Baru saja Arimbi bermaksud menonaktifkan ponsel, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Ganesha pun masuk ke dalam kamar.
Menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan apa-apa di balik bath rope, Arimbi refleks menyilangkan kedua lengannya ke dada. Arimbi takut kalau Ganesha bisa melihat bagian-bagian sensitif tubuhnya.
"Siapa yang menelepon?" Ganesha bertanya seraya melepas jas hitam, dasi kupu-kupu dan kemejanya. Dalam sekejab Ganesha sudah bertelanjang dada. Hanya celana hitam yang menggantung indah di pinggangnya. Sementara jas, dasi dan kemejanya Ganesha bertumpuk di atas ranjang yang penuh taburan bunga.
Arimbi membelalak. Ganesha ini santai sekali melepas pakaian di depan matanya. Tidak ada rikuhnya sama sekali. Jangan-jangan Ganesha sudah lupa pada janjinya sendiri untuk tidak menyentuhnya. Laki-laki bisa saja berubah pikiran bukan? Istimewa sekarang Ganesha mempunyai hak sebagai suami untuk ia layani. Memikirkan itu semua Arimbi ngeri kian. Apalagi Ganesha kini berjalan menghampirinya. Arimbi terus mundur dan mundur dengan tangan masih memegang ponsel yang terus berdering. Seno ini sudah gila rupanya.
Tepat ketika kaki Arimbi menyentuh ranjang dan tidak bisa mundur lagi, Arimbi memeluk dirinya kian erat. Matanya dan mata Ganesha saling bertatapan dalam jarak dekat.
Deg!Arimbi seketika panik. 'Apakah malam ini kami akan...?'
"Relakan, Mbak. Tempatkan masalah sesuai dengan masanya. Masa lalu tempatnya memang di waktu lalu. Dewasalah untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa Mbak lakukan tentang masa lalu, kecuali memutuskan terus hidup di sana dan menderita selamanya atau berubah menjadi lebih baik."Nina tidak menjawab pertanyaan Arimbi. Dirinya sangat mengerti apa yang dikatakan oleh Arimbi. Ia bukanlah orang bodoh. Dirinya hanya seorang pendengki serakah yang tidak bisa melihat kebahagiaan orang lain."Kita pulang ya, Nin? Ayah yakin setelah minum obat dan tidur pasti kamu akan merasa lebih baik. Kalau ada waktu, Rimbi pasti akan menengokmu ke rumah. Iya 'kan, Rim?" Pak Sujatmiko menatap Arimbi sendu dengan pandangan meminta pertolongan.Arimbi langsung tidak menjawab pertanyaan terselubung pamannya. Melainkan ia menatap Ganesha terlebih dahulu. Meminta izin tanpa bicara. Ketika melihat Ganesha mengangguk samar barulah Arimbi berbicara."Iya, Mbak. Nanti kalau ada waktu luang, Rimbi akan menjen
"Kamu di sini saja, Rim. Ingat kamu sedang hamil. Nina itu sedang depresi. Apa pun akan berani ia lakukan." Ganesha menahan bahu Arimbi saat istrinya itu ingin bangkit dari tempat tidur."Tapi saya harus, Mas. Bagaimanapun Mbak Nina itu sepupu saya. Sedikit banyak saya memahami kepribadiannya. Lagi pula ada Mas juga. Saya pasti aman." Arimbi membujuk Ganesha."Ayolah, Mas. Daripada Nina membuat ulah yang mengacaukan acara, sebaiknya kita cegah terlebih dahulu." Arimbi menghela lengan Ganesha. Teriakan histeris Nina makin membahana."Baiklah. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Mas tidak mau kamu sampai kenapa-kenapa." Kalimat Ganesha ditanggapi anggukan singkat oleh Arimbi. Sesampai di ruang tamu, keadaan mulai kacau. Nina terus menjerit histeris, dan mengatakan bahwa ia tidak terima diperlakukan tidak adil oleh Seno. Sejurus kemudian dua orang Satpam komplek terlihat memasuki rumah. Dengan segera mereka mengamankan Nina. Namun Nina terus meronta-ronta liar dan memaki-maki Seno sera
"He eh," Bu Astuti mengangguk lemah. Mata tuanya berkaca-kaca. Sungguh ia menyesal pernah berbuat tidak baik pada Arimbi, hanya karena ia kesal pada Ganesha. Jika saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya mengubah sikap judes dan nyinyirnya dulu pada Arimbi. Istri Ganesha ini lembut dan baik hati."Ini minumnya, Bu. Kalau Ibu tidak keberatan saya bantu meminumkannya ya, Bu?" Dengan sopan Arimbi meminta izin Bu Astuti."He eh... he eh..." Bu Astuti mengangguk berkali-kali. Kedua mata tuanya kini membentuk kolam air mata. Bu Astuti menangis tanpa suara."Ayo diminum, Bu. Pelan-pelan saja agar tidak tersedak." Arimbi membungkuk. Ia memeluk bahu Bu Astuti sambil mendekatkan bibir Bu Astuti pada birai gelas. "Sudah, Bu?" tanya Arimbi lagi. Bu Astuti sudah menghabiskan seperempat gelas air putih. Bu Astuti mengangguk. "Sebentar ya, Bu. Saya mengambil tissue dulu." Arimbi menarik selembar tissue dari atas meja. Setelahnya ia mengelap sudut bibir dan dagu Bu Astuti yang basah. "Maaf...
Dua tahun kemudian."Sah!" Arimbi, Ganesha dan beberapa kerabat lain ikut mengucapkan kata sah, saat penghulu menyatakan ijab kabul Seno dan Rina sah. Ya, hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Seno, Rina dan juga Mahesa. Karena keduanya pada akhirnya memutuskan menikah setelah dua tahun berpacaran."Akhirnya mereka menikah juga ya, Rim?" Ganesha tersenyum sumringah melihat sepasang pengantin baru di depannya saling memasang cincin. Ia ikut gembira untuk Seno. Sebagai seorang kakak, ia mengasihi Seno dengan caranya sendiri. Di masa lalu Seno memang banyak sekali melakukan kesalahan. Namun perlahan-lahan ia berubah dan menjadi pribadi yang lebih. "Iya, Mas." Arimbi menimpali kalimat Ganesha singkat. Ia memang selalu hati-hati apabila membicarakan soal Seno. Ia tidak mau Ganesha mengira kalau dirinya masih peduli pada Seno."Seno sekarang sudah banyak berubah ya, Rim? Tepatnya sejak ia tahu kalau dirinya ternyata memiliki Mahes. Sekarang kebahagiaan Mahes adalah prioritasnya, Ma
"Ayo lanjutkan ceritamu di taman belakang saja." Arimbi membawa Menik ke taman kecil kesayangannya. Di sana ia kerap menghabiskan waktu bercocok tanam. Mulai dari berbagai macam jenis bunga hingga tanaman herbal ada di tamannya."Lanjutkan ceritamu, Nik." Arimbi menghempaskan pinggulnya di kursi taman. "Tuh, Mbak Tini juga sudah menyiapkan makanan kecil. Kita mengobrol di sini saja sementara Mas Esha dan Bang Ivan bekerja." Arimbi kian semangat mengorek cerita tatkala Mbak Tini muncul dengan sepiring pisang goreng hangat dan dua gelas sirup markisa."Ya, terus aku membawa Bu Mirna ke rumah sakit. Beberapa saat kemudian Ivan dan Pak Kristov menyusul. Di situ aku baru tahu kalau ibu-ibu yang aku tolong adalah ibunya Ivan. Singkat cerita aku dan Bu Mirna kemudian menjadi akrab. Tidak lama kemudian Ivan pun menembakku. Katanya untuk pertama kalinya ibunya mencomblanginya. Dengan dua mantan Ivan terdahulu Bu Mirna tidak cocok. Ivan juga bilang ia sudah lelah pacaran ala remaja ingusan. Ia
Arimbi termangu menatap televisi. Baru saja diberitakan bahwa Bastian Hadinata yang digadang-gadang akan menjadi walikota telah dilengserkan. Selain dinilai tidak layak menjadi calon walikota, saat ini Bastian juga telah diamankan karena terbukti melakukan gratifikasi terhadap beberapa proyek pemerintah.Televisi juga menayangkan wawancara singkat dengan Bastian dalam seragam berwarna oranye. Di scene-scene lain, terlihat Priska dan Prisila berlarian sambil menutupi wajah mereka dengan syal. Mereka berdua tampak menghindari awak media yang terus memburu saat mereka baru saja keluar dari kantor polisi. Berita tentang korupsi dan gratifikasi yang dilakukan oleh Bastian Hadinata memang tengah menjadi headline di mana-mana. Apalagi semua aset-aset Bastian Hadinata saat ini telah disita oleh negara. Tidak heran kalau Prisila dan Priska sekarang menjadi bulan-bulanan pers. Mereka dikejar di mana pun mereka berada."Kamu percaya dengan karma bukan, Ri? Lihatlah, apa yang sekarang terjadi pa