Share

Bab 6. Diusir

Arvan masih berusaha menutupi tubuh Aeri dengan badannya. Namun, Aeri justru mendorong Arvan ke samping.

“Apa sih? Memang ada yang salah dengan pakaianku? Sudah, minggir, dong! Gerah tahu.” Perempuan itu bahkan melepas jaket yang ia pakai.

“Tapi, kerudungmu?”  

“Mulai sekarang, aku tidak mau pakai kerudung!” 

Perkataan Aeri membuat semua orang kembali terkejut. 

Dia lalu melirik pada mama mertuanya yang membuka mulutnya lebar-lebar. 

“Daripada nanti ada yang nyindir-nyindir kerudungan, tapi tingkahnya seperti setan. Mending, aku lepas saja kerudungku. Kasihan citra kerudung jadi rusak gara-gara orang seperti itu, kan?”

“Kamu!” Rullistya hendak menghampiri Aeri yang terang-terangan menyindirnya. Tapi, beruntung Senopati menahannya. 

“Kamu menyindirku?!” teriak Rullistya lagi.

Aeri hanya diam, tetapi dia menatap balik mertuanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.

“Sudahlah, ma! Soal kerudung, itu terserah Aeri mau memakainya apa tidak. Lebih baik sekarang, kita selesaikan masalah hari ini,” sela Senopati dengan bijak. 

Di tengah suasana keruh, pria itu berusaha menenangkan orang.

Dan orang seperti ini adalah orang yang Aeri hormati–tidak seperti putranya yang hanya malah diam seperti patung.

“Aeri, apa benar kamu melecehkan Frisya dengan mau menciumnya?” tanya Senopati mendadak.

Aeri mengernyitkan alisnya. “Cium? Kapan aku mau menciumnya? Dia aja bahkan tidak mau aku cium.”

“Bohong! Kamu tadi bilang ‘I want a kiss’.  Artinya kamu mau menciumku, kan? Apa itu bukan pelecehan?”

Aeri terlihat diam sebelum mengangguk.

Dia sekarang memahami permasalahannya.

“Ahh, soal itu! Aku tadi mencari permen kiss, ini.” Aeri lantas mengeluarkan sebuah permen kiss dari sakunya. “Tapi, aku tidak mengira kamu akan memikirkan ‘kiss’ yang lain.”

“Sebagai penjelasan tambahan kalau kamu mengungkit pujianku tentang dirimu yang seksi, bukankah kamu memang memakai pakaian ketat?” 

Aeri mengeluarkan smirknya sambil melihat Frisya dari atas sampai bawah.

Plak!

Mendengar kata-kata Aeri, Rullistya langsung menamparnya.

“Lihat pa, lihat! Perempuan ini sudah gila. Pokoknya mama tidak mau tahu, mama mau dia pergi dari rumah ini.”

“Ma....”

Belum sempat Arvan bicara, Senopati menyelanya. “Baiklah kalau itu yang Mama mau, Aeri akan pergi dari rumah ini.” 

“Tidak. Dia memang harus pergi.”

*****

Aeri kini pulang ke apartemennya. 

Dia melihat sekelilingnya. Sebelumnya, ruangan ini seperti kapal pecah, tetapi kini sangat bersih.

Aeri tidak peduli.

Dia melempar tas ranselnya ke sofa sembari memperhatikan seluruh ruang apartemennya. 

Kulkasnya juga sudah diisi penuh dengan bahan-bahan masakan, bahkan buah-buahan yang ada juga masih segar.

Di balkon, tanamannya sudah disiram–masih hijau dan belum layu–membuat Aeri bernapas lega.

Baru kemarin dia pergi, tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun. 

“Kok kamu sudah balik?” tanya seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamar membawa banyak gelas.

Perempuan itu adalah asistennya yang sebelumnya menggantikannya menjadi fotografer di pernikahannya.

“Gak diusir kan, kamu?” 

Asistennya itu kemudian berjalan ke arah dapur–meletakkan gelas-gelas itu ke wastafel.

“Arika!” teriak Aeri tidak menjawab pertanyaan asistennya tersebut. Perempuan itu justru memeluk Arika yang tengah mencuci gelas dari belakang. “Tahu, nggak? Aku diusir tahu.”

“Sudah kuduga,” ucap asistennya itu datar.

Tapi, Aeri tidak sakit hati. Perempuan itu memang jarang memiliki ekspresi lain di wajah kakunya itu. Dan, sifatnya inilah yang membuat Aeri suka pada perempuan satu itu.

“Pasti capek ya, kamu membersihkan apartemen sendirian?” tanya Aeri sambil memperhatikan asistennya itu mencuci gelas.

“Tentu, makanya naikkan gajiku.”

“Baru juga kemaren gajimu naik.”

Arika menatap Aeri kesal.“Bilang aja pelit.”

“Emang aku pelit.”

Aeri tersenyum lebar. 

Dia mengambil pisau dan dengan inisiatifnya memasak makanan. 

Dari jauh, Arika hanya memperhatikan bossnya itu memasak.

Meski Aeri bilang dia pelit, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Malah Aeri adalah Boss yang royal.

Tidak hanya mempekerjakannya, Aeri juga membolehkannya tinggal di apartemennya. 

Gajinya juga tidak pernah dipotong, malah selalu naik meski sedikit.

*****

Selesai memasak, Aeri menaruh makanannya di atas meja. Dia menyuruh Arika untuk makan, sementara dia sendiri pergi ke kamarnya.

“Kamu, nggak makan?” tanya Arika saat melihat Aeri berlalu-lalang, seperti tengah mencari-cari sesuatu.

“Aku masih kenyang. Kamu makan yang banyak, aja. Kalau perlu, habisin semuanya.”

Arika mengangguk. Tanpa diminta pun, dia juga akan menghabiskannya.

“Oh, iya Rik. Kamu taruh di mana kameraku?” tanya Aeri dari dalam kamar.

“Di lemari sebelah kiri!” teriak Arika.

“Kalau koper?” 

“Di atas lemari. Memang ada apa kamu tanya koper?”

“Buat barang-barangku.”

Arika tidak meneruskan makannya. Dia lantas menghampiri Aeri di kamar yang sebelumnya rapi dan sudah dibuat berantakan lagi oleh perempuan itu.

“Kamu mau pergi ke mana sampai mengepak baju-bajumu segala?”

Aeri sontak menoleh pada Arika, sebelum kembali membereskan baju-bajunya.

“Aku mau pindah. Tinggal bareng suamiku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status