Arvan masih berusaha menutupi tubuh Aeri dengan badannya. Namun, Aeri justru mendorong Arvan ke samping.
“Apa sih? Memang ada yang salah dengan pakaianku? Sudah, minggir, dong! Gerah tahu.” Perempuan itu bahkan melepas jaket yang ia pakai.
“Tapi, kerudungmu?”
“Mulai sekarang, aku tidak mau pakai kerudung!”
Perkataan Aeri membuat semua orang kembali terkejut.
Dia lalu melirik pada mama mertuanya yang membuka mulutnya lebar-lebar.
“Daripada nanti ada yang nyindir-nyindir kerudungan, tapi tingkahnya seperti setan. Mending, aku lepas saja kerudungku. Kasihan citra kerudung jadi rusak gara-gara orang seperti itu, kan?”
“Kamu!” Rullistya hendak menghampiri Aeri yang terang-terangan menyindirnya. Tapi, beruntung Senopati menahannya.
“Kamu menyindirku?!” teriak Rullistya lagi.
Aeri hanya diam, tetapi dia menatap balik mertuanya untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.
“Sudahlah, ma! Soal kerudung, itu terserah Aeri mau memakainya apa tidak. Lebih baik sekarang, kita selesaikan masalah hari ini,” sela Senopati dengan bijak.
Di tengah suasana keruh, pria itu berusaha menenangkan orang.
Dan orang seperti ini adalah orang yang Aeri hormati–tidak seperti putranya yang hanya malah diam seperti patung.
“Aeri, apa benar kamu melecehkan Frisya dengan mau menciumnya?” tanya Senopati mendadak.
Aeri mengernyitkan alisnya. “Cium? Kapan aku mau menciumnya? Dia aja bahkan tidak mau aku cium.”
“Bohong! Kamu tadi bilang ‘I want a kiss’. Artinya kamu mau menciumku, kan? Apa itu bukan pelecehan?”
Aeri terlihat diam sebelum mengangguk.
Dia sekarang memahami permasalahannya.
“Ahh, soal itu! Aku tadi mencari permen kiss, ini.” Aeri lantas mengeluarkan sebuah permen kiss dari sakunya. “Tapi, aku tidak mengira kamu akan memikirkan ‘kiss’ yang lain.”
“Sebagai penjelasan tambahan kalau kamu mengungkit pujianku tentang dirimu yang seksi, bukankah kamu memang memakai pakaian ketat?”
Aeri mengeluarkan smirknya sambil melihat Frisya dari atas sampai bawah.
Plak!
Mendengar kata-kata Aeri, Rullistya langsung menamparnya.
“Lihat pa, lihat! Perempuan ini sudah gila. Pokoknya mama tidak mau tahu, mama mau dia pergi dari rumah ini.”
“Ma....”
Belum sempat Arvan bicara, Senopati menyelanya. “Baiklah kalau itu yang Mama mau, Aeri akan pergi dari rumah ini.”
“Tidak. Dia memang harus pergi.”
*****
Aeri kini pulang ke apartemennya.
Dia melihat sekelilingnya. Sebelumnya, ruangan ini seperti kapal pecah, tetapi kini sangat bersih.
Aeri tidak peduli.
Dia melempar tas ranselnya ke sofa sembari memperhatikan seluruh ruang apartemennya.
Kulkasnya juga sudah diisi penuh dengan bahan-bahan masakan, bahkan buah-buahan yang ada juga masih segar.
Di balkon, tanamannya sudah disiram–masih hijau dan belum layu–membuat Aeri bernapas lega.
Baru kemarin dia pergi, tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun.
“Kok kamu sudah balik?” tanya seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamar membawa banyak gelas.
Perempuan itu adalah asistennya yang sebelumnya menggantikannya menjadi fotografer di pernikahannya.
“Gak diusir kan, kamu?”
Asistennya itu kemudian berjalan ke arah dapur–meletakkan gelas-gelas itu ke wastafel.
“Arika!” teriak Aeri tidak menjawab pertanyaan asistennya tersebut. Perempuan itu justru memeluk Arika yang tengah mencuci gelas dari belakang. “Tahu, nggak? Aku diusir tahu.”
“Sudah kuduga,” ucap asistennya itu datar.
Tapi, Aeri tidak sakit hati. Perempuan itu memang jarang memiliki ekspresi lain di wajah kakunya itu. Dan, sifatnya inilah yang membuat Aeri suka pada perempuan satu itu.
“Pasti capek ya, kamu membersihkan apartemen sendirian?” tanya Aeri sambil memperhatikan asistennya itu mencuci gelas.
“Tentu, makanya naikkan gajiku.”
“Baru juga kemaren gajimu naik.”
Arika menatap Aeri kesal.“Bilang aja pelit.”
“Emang aku pelit.”
Aeri tersenyum lebar.
Dia mengambil pisau dan dengan inisiatifnya memasak makanan.
Dari jauh, Arika hanya memperhatikan bossnya itu memasak.
Meski Aeri bilang dia pelit, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Malah Aeri adalah Boss yang royal.
Tidak hanya mempekerjakannya, Aeri juga membolehkannya tinggal di apartemennya.
Gajinya juga tidak pernah dipotong, malah selalu naik meski sedikit.
*****
Selesai memasak, Aeri menaruh makanannya di atas meja. Dia menyuruh Arika untuk makan, sementara dia sendiri pergi ke kamarnya.
“Kamu, nggak makan?” tanya Arika saat melihat Aeri berlalu-lalang, seperti tengah mencari-cari sesuatu.
“Aku masih kenyang. Kamu makan yang banyak, aja. Kalau perlu, habisin semuanya.”
Arika mengangguk. Tanpa diminta pun, dia juga akan menghabiskannya.
“Oh, iya Rik. Kamu taruh di mana kameraku?” tanya Aeri dari dalam kamar.
“Di lemari sebelah kiri!” teriak Arika.
“Kalau koper?”
“Di atas lemari. Memang ada apa kamu tanya koper?”
“Buat barang-barangku.”
Arika tidak meneruskan makannya. Dia lantas menghampiri Aeri di kamar yang sebelumnya rapi dan sudah dibuat berantakan lagi oleh perempuan itu.
“Kamu mau pergi ke mana sampai mengepak baju-bajumu segala?”
Aeri sontak menoleh pada Arika, sebelum kembali membereskan baju-bajunya.
“Aku mau pindah. Tinggal bareng suamiku.”
"Ck," decakan kesal Arvan di tengah meeting sukses membuat suasana rapat menjadi hening.Keringat dingin membasahi dahi seorang anak buahnya yang tadi presentasi di hadapan semua orang di sana. Entah apa yang salah dari presentasinya hingga membuat bosnya itu berdecak. Tidak hanya anak buahnya yang presentasi saja, namun seluruh anak buahnya di ruangan itu juga merasa ketakutan. Setelah kemarin timnya melakukan kesalahan yang membuat proyek besar yang dia tangani hampir gagal. Arvan yang harus turun tangan untuk menangani masalah itu menjadi sensitif.Sedikit saja kesalahan yang anak buahnya lakukan bisa membuatnya marah besar dan bahkan sampai memecat anak buahnya tersebut.Karena itu, para anak buahnya bersikap hati-hati untuk tidak membuat bos mereka marah.Anak buah yang presentasi menelan ludah sebelum memberanikan diri untuk bertanya. "M-mohon maaf pak Arvan, apakah ada yang salah dari presentasi saya?" Jari-jari tangan si anak buah gemetaran, teman-temannya yang sesama anak bu
Menjadi fotografer wedding selalu membuat Aeri excited. Kepuasan mengabadikan momen bahagia pengantin yang baru menikah adalah hal yang membuatnya merasa bahagia."Bapak, boleh sedikit geseran ke kiri, nah iya, tahan ya, satu, dua, ...." Bersamaan dengan hitungan ketiga, muncul cahaya dan suara shutter dari kamera.cekrek!Aeri mengatur posisi para keluarga dalam sesi foto bersama keluarga kedua mempelai.Selesai sesi foto keluarga besar, kini giliran dia memfoto para tamu undangan yang ingin berfoto dengan pengantin. Kadang saat sesi foto begini, ada saja hal menyebalkan yang dia alami.Seperti saat akan memfoto, tiba-tiba saja ada seorang tamu undangan yang lewat di depannya, alhasil hasil fotonya menjadi jelek. Tidak lagi dengan para fotografer dadakan yang kadang mengganggunya waktu mengabadikan momen bahagia pengantin."Eh, kamu minggiran sana, aku mau ngambil foto cucuku."Seorang ibu-ibu dengan kasar menggesernya untuk mengambil foto cucunya bersama mempelai pengantin.'lah, di
Pada akhirnya Arvan dapat juga berbaring di tempat tidur. Dia melihat jam di ponselnya. Jam menunjukkan sudah pukul 4 lewat, entah sudah berapa jam dia dimarahi oleh papanya. Mungkin jika bukan karena Kyran, Arvan butuh berjam-jam lagi untuk bisa berbaring diatas tempat tidur. "Aku harus berterimakasih padanya nanti." Ucapnya sebelum dia jatuh tertidur. Rasanya tidak lama saat Arvan memejamkan mata dia kembali dibangunkan oleh suara berisik lagu yang diputar dengan keras. Arvan awalnya menutup kepalanya dengan bantal, namun karena lagu itu tidak kunjung berhenti, dia yang tidak tahanpun melempar bantal itu ke asal suara. "Berisik, nggak lihat orang lagi tidur." Arvan bangkit duduk di atas tempat tidur, dia menatap tajam seseorang di depannya. "Lagian, siapa suruh kakak tidur di kamarku," Alvin, orang yang ditatap tajam melempar balik bantal yang mengenainya pada Arvan, "AC dikamar kakak kan sudah diperbaiki, kenapa tidak balik ke kamar kakak sendiri, kenapa masih tinggal di kam
"Mama!" Senopati menekan nada suaranya untuk tidak membentak istrinya."Lagian kenapa sih Papa masih membelanya? Dia itu istri yang buruk, lihat!" Rullistya menunjuk pada Frisya yang tadi menyusulnya ke arah Arvan dan kini dia memegangi lengan Arvan yang terlihat akan jatuh kapan saja. "Beratus-ratus kali Frisya lebih baik dari perempuan itu, seharusnya papa mendukung putra kita menikah dengannya bukan dengan perempuan tidak jelas itu."Senopati hanya bisa menghela napas panjang, kepada putranya dia bisa saja tegas, tapi tidak demikian jika dengan istrinya."Tapi, yang kini menjadi istrinya Arvan itu Aeri, Ma," ingatkan Senopati, "dan Aeri adalah istri yang Arvan pilih.""Lalu, memang kenapa kalau Aeri istri Arvan, tidak menutup kemungkinan mereka akan cerai nantinya.""Jangan bicara seperti itu, Ma. Mama mau pernikahan putra kita gagal?""Tentu, malah mama berdoa secepatnya Arvan berpisah dari perempuan itu."'Amin.' Spontan Arvan mengaminkan ucapan mamanya. Dia memang ingin secepat
"Kenapa kamu tidak bilang pada papa kalau mama memintamu dan Aeri pulang?" Tanya papa setelah dari tadi menceramahi Arvan gara-gara Aeri yang tiba-tiba keluar rumah.Padahal waktu Senopati datang, jelas-jelas dia melihat Aeri menghajar Arvan, tapi masih saja Arvan yang dia salahkan karena melihat Aeri yang hampir mau menangis dan pergi begitu saja waktu dia tanya ada apa."Lalu ini, kamu. Bisa-bisanya kamu tenang-tenang saja padahal istrimu entah ada di mana sekarang."Sudut bibi Arvan sobek, dan lebam di pipinya membiru. Tidak ada yang merawat lukanya, tidak seperti Frisya yang karena luka ditangannya sampai dibawa ke rumah sakit oleh mamanya.'Apa mereka tidak menganggap aku anak apa? Satunya mengurus Frisya, satunya lagi Aeri,' gerutu Arvan dalam hati.Dia semakin menekan kompres es batu pada luka di bibirnya, mengalihkan rasa kesalnya pada rasa sakit yang malah membuatnya merintih."Aku kira papa tahu soal mama yang membawa Aeri pulang, lagian juga aku dan Aeri di sini sampai reno
Aeri yang biasanya tenang, hari ini memuntahkan segala uneg-unegnya, keluh kesahnya terlalu banyak hingga butuh waktu lama untuk dia berhenti mengeluh panjang lebar.Entah sudah berapa kali Arika menahan untuk tidak menguap di hadapan Aeri, dia juga sampai malas mengecek jam, waktu mendengarkan Aeri. Dia menopang kepalanya dengan lengan yang dia sandarkan ke sandaran sofa, dia duduk sembari menghadap Aeri yang ada di sampingnya.Di posisinya itu, godaan untuk tidur begitu besar. Hampir saja dia tertidur, tapi untungnya Aeri menyudahi keluh kesahnya."Rasanya aku menyesal menikah dengan si ba*sat itu, akan lebih baik kalau aku menikah denganmu, Ka." Aeri menoleh pada Arika di sampingnya yang mendadak kantuknya hilang mendengar ucapannya."Kamu bercanda, kan?""Aku tidak bercanda," mata Aeri penuh dengan keyakinan yang membuat bulu kuduk Arika merinding, "akan lebih baik kalau aku menikah dengan ...,""Oke, shut up," Arika menutup mulut Aeri.Aeri yang dia kenal memang orang aneh, salah
Keras kepala, itulah hal baru yang Arvan ketahui dari Aeri. Arvan memegang dahinya, pusing. Tidak tahu lagi bagaimana menghadapi Aeri."Kamu ini ya," saat Rullistya akan menampar Aeri, Frisya segera menahannya."Tante, sudah jangan main tangan dengan Aeri." Frisya memegang erat tangan Rullistya."Ma, sebaiknya mama keluar dulu dari sini, tenangin dulu diri Mama.""Kenapa mama yang harus pergi, yang seharusnya pergi itu dia, wanita kurang ajar itu, ini rumah mama!" tidak terima dengan perkataan Arvan, Rullistya kini malah memarahinya.Arvan menghela napasnya lelah, dia lalu menatap Aeri. Dia sebenarnya malas berurusan dengan istrinya itu, bahkan sekedar bicara saja rasanya berat."Aeri ...,""Ya, ya, aku tahu, kamu pasti mau mengusirku kan?" Aeri memotong perkataan Arvan."Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu.""Kamarku?" ulangnya setelah mendengar ucapan Arvan, entah bagaimana kekesalannya pada laki-laki itu meningkat.Dia tahu Arvan akan menyuruhnya pergi, tapi dia tidak menyangka aka
"Meskipun sisa, makanan itu masih layak untuk dimakan, lagian yang makan makanan itu tidak hanya kamu saja, Aeri, tapi semua orang di rumah ini, bahkan Arvan, dia juga memakan makanan itu, benarkan Arvan?" Frisya bertanya pada Arvan untuk menyakinkan kata-katanya.Dan karena memang Arvan memakan makanan itu, jadi dia pun mengiyakan perkataan Frisya."Apa yang Frisya katakan benar Aeri, dan sejak kapan kamu jadi pilih-pilih makanan begini, lagian itu hanya makanan sisa semalam bukan makanan basi."Disudutkan oleh dua orang di hadapannya membuat Aeri tidak bisa tidak memutar bola matanya."Lalu, kalau semua orang makan makanan itu, apa aku harus memakannya juga, enggak kan?" Aeri mengangkat bahunya sebelum dia memunggungi Arvan untuk membantu Frisya membasuh tangannya di wastafel.Tapi Frisya menolak bantuannya, dia menepis tangan Aeri dan berjalan mendekati Arvan yang dengan sigap menahannya yang hampir terjatuh."Aeri yang kukenal tidak akan buang-buang makanan.""Sya, tanganmu perlu
Saat Aeri akan membawa nampan makanan ke dapur, dia melihat Arvan yang mendekatkan wajahnya pada Frisya, seperti orang yang akan berciuman.Spontan Aeri menyiram Arvan dengan sup yang dia bawa."Ck, ini siapa yang ...." Saat Arvan menoleh, dia melihat Aeri yang tersenyum cerah padanya, "Aeri. Apa maksudnya kamu menyiramku?" Arvan yang tadi akan marah, menekan nada suaranya untuk tidak berteriak di depan Aeri."Lama nggak ketemu ya Van, sepertinya kamu lupa kalau istrimu sedang sakit.""Apa-apaan kamu ini, kenapa kamu menyiramku?" Kembali Arvan bertanya mengacuhkan perkataan Aeri.Aeri memutar bola matanya, dia lalu menendang lutut Arvan."Auww!" Ringis Arvan memegang lututnya."Entahlah, pengen aja aku nyiram kamu, lagian bukannya negrawat istri yang sakit, ini malah enak-enakan berduaan dengan perempuan lain.""Ck, siapa juga yang berduaan.""Lalu ..." Aeri melihat antara Frisya dan Arvan.Sebelum Arvan bicara, Frisya lebih dulu berkata."Kamu salah paham Ri, aku dan Arvan bukannya b