Share

BAB 37

Author: Dana Jaryanto
last update Last Updated: 2025-04-23 00:56:27

"Kalau kamu keberatan dengan keputusan saya, kamu boleh ajukan surat resign sekarang!" tegas Bram dengan nada tajam, tatapannya menusuk tajam ke arah Sonia.

Sonia terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia memilih untuk diam.

"Awas aja lu cacat," rutuknya dalam hati, menahan emosi yang sudah berada di ujung tanduk.

"Oke, semua keputusan saya bersifat final. Jika ada yang tidak suka, silakan ajukan surat pengunduran diri ke HRD sekarang juga," lanjut Bram dengan nada yang tetap keras.

"Baik, Pak," jawab seluruh peserta meeting serempak, beberapa dengan nada enggan.

Bram lalu mengalihkan pandangan ke Nayara. "Nay, ini buku catatan. Tolong kamu catat ya seluruh hasil meeting hari ini."

"Siap, Pak!" jawab Nayara dengan penuh semangat. Ia segera mengeluarkan pulpen dan mulai mencatat dengan seksama.

Meeting pun dimulai. Bram memberikan arahan strategis kepada seluruh manajer dan beberapa staf yang bertugas di berbagai cabang Darmaseraya Group. Nayara memperhatikan dengan cermat, mencatat setiap
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 38

    Saat pintu lift terbuka dan Bram melangkah keluar menuju lobi, matanya langsung menangkap sosok lelaki paruh baya berjas rapi yang tengah berdiri dengan tangan bersilang di depan dada. Wajah lelaki itu begitu familiar.“Pak Dimas!” seru Bram penuh semangat. Ia segera menghampiri dan menjabat tangan pria itu dengan hangat.Senyum Dimas mengembang. “Pak Bram,” balasnya, sama ramahnya.“Kenapa tidak langsung naik ke atas, Pak? Bukankah kita sudah buat janji?” tanya Bram heran.“Saya memang sengaja menunggu di bawah, biar ada kejutan sedikit buat Pak Bram,” ucap Dimas, terkekeh ringan. “Tapi… bisa nggak kita ngobrolnya di kafe dekat sini saja?”“Oh, tentu. Mari, mari, Pak,” sahut Bram antusias. Sebelum melangkah keluar, ia sempat menoleh ke arah resepsionis.“Kamu, tolong beri tahu Nayara. Katakan saya keluar sebentar,” perintah Bram.“Baik, Pak,” jawab sang resepsionis sigap.Keduanya pun keluar dari gedung. Hanya terpaut satu bangunan dari kantor pusat Darmaseraya, terdapat sebuah kafe

    Last Updated : 2025-04-23
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 39

    "Oh, saya pikir kamu ada hubungan keluarga dengan keluarga Mahendra," kata Bram sembari menatap Nayara penuh selidik.Perkataan itu membuat Nayara tersentak. Tenggorokannya terasa kering, dan ia secara refleks menelan ludah. Ia tahu, jika terlalu jujur, Bram pasti akan mengorek lebih dalam—hal yang paling ingin ia hindari saat ini."Saya… bukan siapa-siapa, Pak," jawabnya singkat, lalu segera pamit untuk kembali ke ruang kerjanya.Namun belum sempat ia menapaki koridor panjang kantor, langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Sonia—mantan sekretaris Bram yang kini dipindahkan ke bagian administrasi. Mata Sonia menyipit tajam, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis.Tanpa aba-aba, Sonia menarik paksa lengan Nayara."Akh! Sakit!" seru Nayara, terkejut sekaligus kesakitan.Dengan kasar Sonia menyeret Nayara menuju tangga darurat yang sepi dan gelap. Di tempat itulah, ia mendorong tubuh Nayara hingga menghantam tembok dingin."Lu siapa sih, hah? Baru juga datang udah ngerebut posisi

    Last Updated : 2025-04-23
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 40

    Pesan singkat dari Dimas Prayoga muncul di layar ponsel Nayara."Nay, tolong angkat. Penting."Nayara menatap layar itu lama. Tangannya gemetar, pikirannya bercabang. Jika ia angkat, ia khawatir Dhirga akan tahu dan marah besar. Tapi jika tidak, bisa jadi ada hal penting. Entah kenapa, nama Dimas yang kembali muncul selalu membawa gelombang kecemasan sekaligus perasaan tak menentu.Telepon kembali berdering. Kali ini, Nayara menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu menyentuh tombol hijau."Halo, Dim... ada apa?" suaranya lemah, tapi cukup jelas."Kamu katanya sudah kerja ya di Darmaseraya?" suara Dimas di seberang terdengar ringan, namun Nayara tahu, ada sesuatu di balik pertanyaan itu.Nayara menelan ludah. Pertanyaan itu sebenarnya biasa saja, tapi situasi membuatnya terasa rumit."Iya, Dim. Kenapa?""Oh, bagus kalau gitu. Kebetulan aku lagi menjalin kerja sama dengan Darmaseraya. Mungkin nanti kita bisa lebih mudah berkoordinasi, kan kamu sekarang jadi sekretaris Pak Bram.

    Last Updated : 2025-04-23
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 41

    "Tumben Mas Dhirga kirim pesan... biasanya langsung masuk kamar," bisik Nayara lirih sambil melangkah menuju kamar.Langkahnya perlahan, seiring dengan detak jantung yang kian tak beraturan. Ada kecemasan yang perlahan merambat dari dada ke seluruh tubuh. Pesan singkat dari Dhirga semalam terasa seperti sinyal samar akan badai yang segera datang. Trauma kekerasan yang pernah ia terima sebelumnya kembali menghantui benaknya, membangkitkan kenangan pahit yang tak pernah benar-benar pergi.Ada masalah apa lagi?Sepenting apa pertemuan besok sampai harus mengabari duluan?Bayangan akan sesuatu yang buruk terus menghantui pikirannya. Dhirga hanya mengirim satu kalimat singkat, tanpa penjelasan. Tidak seperti biasanya. Biasanya ia akan langsung masuk kamar, dengan wajah dinginl , dan nyaris tidak bicara. Tapi semalam... hanya pesan.Pagi itu, seperti biasa Nayara bersiap berangkat. Namun ada yang berbeda. Mobil kantor yang biasa menjemputnya dikabarkan mogok. Sopir pun mengabari bahwa ia ta

    Last Updated : 2025-04-24
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 42

    "Terima kasih, Pak," ucap Nayara lembut begitu ia turun dari taksi online yang berhenti tepat di depan gedung utama kantor Darmaseraya Group. Tangannya menggenggam erat tongkat yang selalu menemani langkahnya. Meski perlahan, ia tampak tenang.Langkah Nayara baru beberapa meter dari pintu masuk ketika suara familiar menyapanya."Nay, kamu nggak pakai mobil kantor hari ini?" Sapa Bram"Enggak, Pak. Katanya mobilnya mogok," jawab Nayara tenang sambil tersenyum kecil. Ia berusaha tampak biasa saja meski dalam hatinya masih menyimpan cemas.Bram mengangguk, matanya menatap Nayara sejenak sebelum berkata, "Kalau begitu, nanti sore saya antar pulang ya."Nayara segera menggeleng. "Duh, jangan, Pak. Saya takut suami saya marah."Bram terlihat berpikir sejenak, lalu menimpali, "Kalau begitu, kamu pakai mobil saya saja. Sopir biasa nanti yang antar."Mata Nayara sedikit melebar, lalu mengangguk pelan. "Kalau itu boleh, Pak. Terima kasih banyak, ya." Senyum tipis terukir di bibirnya, tulus namu

    Last Updated : 2025-04-25
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 43

    "Aku lagi ada masalah," ucap Dhirga pelan, menunduk lesu. Wajahnya tampak berbeda—tak ada lagi sorot tajam, tak ada arogansi yang biasa melekat pada pria itu. Suaranya terdengar berat, seperti sedang memikul beban dunia.Nayara menatap suaminya dengan hati-hati. Selama lebih dari setahun pernikahan mereka, baru kali ini Dhirga Mahendra berbicara dengan nada lembut. Biasanya, Dhirga hanya menunjukkan wajah dingin, kadang membentak, bahkan tak jarang mengabaikannya seolah Nayara bukan siapa-siapa. Namun malam ini... ada sesuatu yang berbeda."Masalah apa, Mas?" tanyanya lirih, pelan seperti takut memancing emosi pria itu.Dhirga menatap tangannya sendiri. Jemarinya bergetar ringan. "Aku punya utang besar di perusahaan. Parahnya lagi, uang yang kupakai itu... uang dari investor."Nayara terdiam. Napasnya tercekat, namun ia berusaha tetap tenang."Untuk apa uang itu, Mas?""Untuk investasi," jawab Dhirga. "Ada tawaran masuk, proyek luar negeri. Imbal baliknya katanya besar. Aku tergiur...

    Last Updated : 2025-04-25
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 44

    “Oke, Bu. Saya mau,” akhirnya jawaban Sonia terdengar mantap, tanpa ragu sedikit pun.Clarissa tersenyum puas. “Ini kartu namaku, dan ini kartu ATM-nya. Pin-nya 321321. Ini baru DP,” ucap Clarissa pelan tapi penuh tekanan. “Kalau kamu berhasil, aku akan transfer jumlah yang jauh lebih besar ke rekening ini.”Sonia menerima kartu emas dsn kartu nama Clarissa itu dengan tatapan penuh antusias.“Nama saya Sonia, Bu,” ucapnya.“Aku Clarissa, Sonia. Aku tunggu kabar baik darimu. Kamu harus bisa dapatkan foto skandal antara Nayara dan bosnya. Jelas?”“Siap, Bu Clar,” jawab Sonia tegas.Setelah Clarissa pergi, Sonia tak membuang waktu. Ia langsung membuka aplikasi belanja online dan memesan obat tidur dosis tinggi. Ia tahu, waktunya terbatas dan rencana ini harus sempurna.Tak butuh waktu lama, kurir instan tiba di lobi kantor Darmaseraya. Ia menyerahkan paket ke meja resepsionis.“Paket atas nama Ibu Sonia,” kata sang kurir.Resepsionis menerima paket itu, matanya sempat menelusuri tulisan

    Last Updated : 2025-04-25
  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 45

    Sonia menatap layar ponselnya. Pesan dari Clarissa muncul dengan jelas:"Good, cek di ATM ya, aku sudah transfer, nominalnya lebih besar dari sebelumnya."Mata Sonia langsung berbinar seperti kilatan berlian. Senyum licik tersungging di wajahnya. Ia segera meraih tas kecilnya, memasukkan kartu ATM berwarna emas itu, lalu berjalan cepat ke arah mesin ATM di sudut gedung. Di dalam hatinya, Sonia membayangkan deretan angka besar yang akan memenuhi saldo rekening itu. Bayangan hidup mewah sudah menari-nari dalam benaknya. Sepatu mahal, tas branded, perhiasan berkilauan—semua kini terasa semakin dekat dalam genggamannya.Sementara itu, di ruangan CEO, Bram mengerjapkan matanya, terbangun dari tidurnya yang aneh. Pandangannya masih buram, napasnya sedikit berat. Ia mengangkat kepala perlahan, mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa kulit berwarna cokelat tua di sudut ruangan.Kening Bram mengerut."Perasaan tadi aku di kursi kerja," gumamnya, mencoba mengingat. Ia mengedarkan pandan

    Last Updated : 2025-04-26

Latest chapter

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 58

    Sesaat setelah Dimas tiba di lobi Rumah Sakit Internasional Prayoga, langkah kakinya tak bisa ditahan lagi. Ia berlari melewati lorong panjang yang sunyi, hanya terdengar derap sepatunya yang tergesa-gesa. Aroma khas antiseptik rumah sakit menusuk hidung, namun Dimas tidak peduli. Tujuannya hanya satu—ruangan tempat Nayara dirawat.Di depan pintu ruang rawat, Dimas berpapasan dengan dokter yang baru saja keluar. Napasnya memburu."Dok, bagaimana keadaannya?" tanya Dimas dengan nada cemas.Dokter itu mengangguk pelan sambil membetulkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Tatapannya tenang namun penuh kehati-hatian."Barusan saya periksa, Ibu Nayara sedang beristirahat. Kondisinya cukup stabil untuk saat ini," jawabnya."Apa dia sempat bertanya tentang siapa yang menyelamatkannya?" Dimas menggali lebih jauh, raut wajahnya tegang.Dokter menghela napas ringan, lalu menatap Dimas dalam-dalam."Tadi beliau sempat bicara dengan suster, dan sesuai permintaan Pak Dimas, suster telah menja

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 57

    “Permisi, Dok.”Suara lembut seorang suster memecah keheningan saat ia mendorong pintu ruangan dokter.“Masuk, Sus,” jawab dokter sambil tetap memandangi layar monitor.Suster itu melangkah masuk, lalu menyerahkan map berwarna biru. “Ini hasil rekam medis pasien setelah operasi, Dok.”“Terima kasih, Sus.” Dokter mengangguk singkat dan menerima map tersebut, kemudian suster itu pamit keluar dengan pelan, meninggalkan ruangan yang kembali sunyi.Dokter membuka lembar demi lembar hasil pemeriksaan, lalu menoleh ke Dimas yang duduk di depannya dengan wajah cemas dan mata tak berkedip.“Pak Dimas,” ujar dokter sambil menata hasil rekam medis di mejanya, “Saya akan jelaskan kondisi Ibu Nayara saat ini.”Dimas langsung menegakkan tubuhnya. “Iya, Dok. Bagaimana hasilnya?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.Dokter tersenyum tipis, lalu mengangguk. “Syukur alhamdulillah, kondisi Ibu Nayara saat ini cukup stabil. Respon tubuhnya terhadap operasi juga sangat baik. Jika tidak ada komplikasi la

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 56

    Suara monitor berdetak pelan "Tit... tit... tit..." seperti ketukan waktu yang menegangkan.Sudah lebih dari enam jam Dimas duduk terpaku di depan ruang operasi. Wajahnya tegang, mata sembab, dan tangan terus menggenggam erat tas kecil berisi dokumen Nayara. Setiap detik terasa lambat, setiap suara dari dalam ruangan membuat jantungnya melompat. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa dalam hati, berharap Tuhan masih mengizinkan Nayara bertahan dan kembali pulih.Sementara itu, di rumah sakit berbeda, suasana mendadak tegang. Seorang dokter dan beberapa suster berlari tergesa menuju ruang NICU. Alarm kecil berbunyi cepat dan tajam.Dhirga, Jeni, Sintia, Leonardo, dan Adinda sontak berdiri. Tanpa pikir panjang, mereka mengikuti dokter dan perawat, rasa takut menguasai mereka. Jantung Dhirga berdetak cepat. Ia tidak siap menerima kabar buruk.Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan dengan wajah muram. Ia menghampiri Dhirga perlahan."Dok... bagaimana kondisi anak

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 55

    Tok. Tok.Suara ketukan pintu itu memecah keheningan ruangan kerja Bram yang luas dan minimalis."Permisi, Pak," ujar resepsionis dengan sopan saat membuka pintu."Masuk," jawab Bram tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.Namun, ketika ia melihat dua tamu yang berdiri di ambang pintu, ia segera berdiri dari kursinya."Wisnu!" sapa Bram hangat, menjabat tangan pria berseragam yang kini berdiri di hadapannya.Wisnu tersenyum hormat. "Selamat siang, Pak Bram. Perkenalkan, ini AKP Januar, Kanit yang menangani kasus yang Bapak laporkan.""Saya Januar, Pak," ujar pria berpakaian dinas itu sambil menunduk hormat."Silakan duduk. Kamu boleh kembali," kata Bram kepada resepsionis."Baik, Pak," jawabnya lalu menutup pintu dengan sopan.Bram mempersilakan kedua tamunya duduk di sofa kulit hitam yang terletak di pojok ruangan. Kopi hangat dan air mineral telah tersedia di atas meja kecil di depannya."Bagaimana perkembangan kasus saya, Pak Januar?" tanya Bram dengan nada serius, kedua

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 54

    "Pak Dimas..." suster berlari tergesa ke arah pria yang tengah berdiri gelisah di lorong rumah sakit. "Ada apa, Sus?" tanya Dimas, wajahnya tampak tegang. "Nayara, Pak..." jawab sang suster, nafasnya terengah. Ia seolah menahan sesuatu yang mendesak untuk dikatakan. "Ada apa dengan Nayara?!" suara Dimas meninggi, matanya menatap tajam penuh kekhawatiran. "Nayara kritis, Pak..." akhirnya suster itu menjawab, suaranya pelan namun cukup menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menuju ruang ICU, langkahnya cepat dan mantap. Di belakangnya, Dhirga, Jeni, dan Sintia ikut menyusul. Tepat di depan pintu ICU, mereka berpapasan dengan dokter yang menangani Nayara. "Dok, bagaimana keadaan Nayara?" tanya Dimas, suaranya terdengar putus asa. "Iya, Dok... gimana keadaan istri saya?" sela Dhirga dengan nada dibuat-buat seolah benar-benar peduli. Dokter menarik nafas sejenak, lalu menjawab, "Keadaan Nayara kritis. Kami sedang berusaha semaksimal m

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 53

    “Jangan ikut campur kamu, Ardi!” bentak Dimas, suaranya menggelegar memantul di sepanjang koridor rumah sakit.Ardi Kusuma Prayoga, seorang direktur utama di Rumah Sakit Internasional Prayoga, melangkah mendekat. Wajahnya datar, tapi matanya menyorotkan ketidaksenangan. Ia adalah adik sepupu Dimas, satu darah, satu garis keturunan, namun hubungan mereka jauh dari kata harmonis. Sejak Dimas dipercaya menggantikan ayahnya sebagai pimpinan Prayoga Group—konglomerasi besar yang menaungi berbagai lini bisnis termasuk rumah sakit ini—api cemburu terus membara di dada Ardi.“Bagaimana aku bisa diam kalau suara kalian terdengar sampai ke dalam?” sahut Ardi tajam. “Kalian pikir tempat ini pasar?”Ia tertawa sinis, nada tawanya seperti ejekan yang ditusuk dengan pisau tajam.“Oh... jadi perempuan yang dirawat di dalam itu istri kamu?” tanyanya sinis pada Dhirga, matanya melirik ke arah ruang VVIP. “Dan kamu, Dimas... kamu benar-benar tak punya malu. Sudah tak ada perempuan lain di dunia ini sam

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 52

    "Mau apa kalian ke sini?" tanya Dimas dengan suara dingin namun tegas, saat membuka pintu dari dalam ruangan VVIP tempat Nayara dirawat. Bajunya rapi, wajahnya tegang, dan matanya memerah menahan amarah. Di belakangnya, terlihat tubuh Nayara terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, diselimuti selimut putih dengan infus menggantung di sampingnya."Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kamu bawa kabur Nayara tanpa seizinku?!" bentak Dhirga dengan mata melotot, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Ia benar-benar terbakar emosi.Dimas menutup pintu pelan, lalu berjalan mendekat ke arah Dhirga dengan tatapan yang tak gentar."Bawa kabur? Seharusnya aku yang ambil Nayara dari kamu, Dhirga! Dia lebih pantas menjauh dari kamu!" suaranya meninggi, dan aura protektif terpancar dari sikapnya."Apa maksudmu, hah?!" Dhirga mencengkram kerah jas Dimas, namun Dimas tak mundur. Dengan tenang, ia menarik selembar kertas dari map di tangannya dan menyodorkannya ke waj

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 51

    “Siap, Pak,” jawab dokter singkat, lalu segera berbalik arah memasuki ruang ICU.Adinda datang tergesa bersama Leonardo. Wajahnya cemas, sorot matanya mencari-cari sosok Dhirga. Begitu melihatnya berdiri di sudut lorong rumah sakit, ia langsung mendekat.“Dhirga,” sapa Adinda pelan, “bagaimana keadaan Clarissa?”Dhirga menoleh, matanya sembab, wajahnya kelelahan. “Clarissa belum stabil, Mah…” suaranya nyaris tak terdengar.“Anakmu sudah lahir belum?” tanya Leonardo.“Sudah, Pah… Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang NICU karena lahir prematur,” jawab Dhirga dengan lirih, berusaha tetap tenang meski jantungnya berkecamuk hebat.Belum sempat mereka berbincang lebih jauh, pintu ruang ICU terbuka lebar. Seorang suster mendorong tandu besar beroda yang membawa inkubator transparan. Di dalamnya, seorang bayi mungil terlelap, tubuhnya dibungkus selimut tipis, dan wajahnya begitu damai—meski tubuhnya sangat kecil dan rapuh.“Itu... cucu kita, Pah,” bisik Adinda, matanya berkaca-kaca.Semua

  • Mempelai Wanita yang Tak Diharapkan   BAB 50

    Dimas Prayoga berdiri di depan ruang donor dengan napas tak beraturan. Matanya langsung menatap tubuh Nayara yang terkulai lemah di atas kursi donor. Ia melangkah cepat masuk ke ruangan. "Suster, ini kenapa Nayara seperti ini?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar. "Beliau baru saja mendonorkan darah untuk pasien yang ada di ruang ICU, Pak. Golongan darahnya sangat langka," jawab suster itu tanpa menoleh, sibuk mencatat. Tanpa banyak bicara, Dimas segera membopong tubuh Nayara keluar dari ruangan. Langkahnya cepat dan mantap. Suster di belakangnya langsung berseru panik. "Pak, mau dibawa ke mana? Pasien belum stabil!" Namun Dimas tak menggubris. Ia membuka pintu mobilnya, meletakkan Nayara dengan hati-hati, lalu tancap gas menuju rumah sakit internasional milik keluarganya. Hujan masih turun, dan jalanan lengang di tengah malam mempercepat lajunya. Sesampainya di rumah sakit, petugas sudah sigap menyambut. Seorang suster datang membawa tandu dorong. "Cepat! Dia kehi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status