Share

Mencari Sebuah Kebenaran

Natasha pun bertanya kepada salah satu pegawai WO di ruangan itu. Ia melihat ruangan yang akan menjadi tempat resepsi itu sudah hampir 100 persen siap.

"Mbak, tadi yang nganter saya ke kamar transit pengantin siapa ya?" tanya Natasha dengan sopan.

Salah satu pegawai WO pun langsung menghentikan kegiatannya menata piring. Dia nampak sedang berpikir keras. Natasha berusaha untuk menunggu.

"Oh iya, pegawai baru kami, Mbak. Sepertinya dia..." ujarnya terputus. Dia lalu melihat ke arah pegawai muda yang tengah menata gelas. "Itu, Mbak orangnya." Mantap dia berkata.

Natasha pun mengangguk paham. Dengan gaun milik sahabatnya itu ia menghampiri pegawai perempuan yang tadi ditunjuk.

"Mbak, bisa bicara sebentar?" tanya Natasha dengan sopan.

Pegawai WO yang baru saja dihampiri itu menoleh kaget ke arahnya. Dia sempat mematung sesaat sebelum menjawab, "Baik, Mbak," jawabnya dengan sedikit gugup.

Natasha mengajak pegawai itu untuk duduk di ujung ruang resepsi. Mereka berdua duduk saling berhadapan. Natasha harus mengatur ritme suara dan langkahnya. Dia tak boleh bertindak gegabah. Salah-salah dia melakukan kecerobohan.

"Mbak, kok bisa mengajak saya untuk menikah di sini?" Natasha langsung bertanya ke topik pembicaraan. Rasanya tak sabar apabila harus bertele-tele. Ia harus mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

"Maaf, Mbak. Sesuai arahan dari ketua saya harus mengajak perempuan yang bajunya sesuai dengan komando lewat telepon," ujarnya lirih. Sepertinya pegawai WO itu menyadari ada kesalahan yang dia perbuat.

"Mbak, juga enggak melihat foto atau benda apapun yang dapat memperlihatkan sosok pengantin perempuannya?" tanya Natasha dengan menggebu. Ia seperti melihat seekor tupai yang masuk ke dalam ruangan sempit dan tertutup.

Dengan wajah polosnya, pegawai itu menggeleng. Ia lalu menundukkan wajahnya tanpa melihat ke arah Natasha. "Memangnya kenapa, Mbak bertanya seperti itu?" tanyanya polos. Masih dengan tidak melihat ke arah Natasha.

Natasha menghembuskan napasnya kesal. Ia lalu menatap wajah polos pegawai WO dengan tatapan sendu. Apa yang dilakukannya telah membuat kehebohan. Dan juga menghancurkan kisah romansa dua guru paling famous di kotanya.

"Mbak tahu..." Natasha memulai ucapannya. Dia berbicara dengan lirih. Takut membuat kesalahan jika berbicara keras.

Pegawai WO itu langsung memasang telinga. Mendekatkan wajahnya le arah Natasha.

"Mbak, pengantin perempuannya salah. Seharusnya pengantin perempuannya itu bukan saya. Saya hanya menggunakan baju pengantin milik teman saya. Teman saya takut kekecilan pada saat hari pernikahannya, makanya meminta saya untuk mencobanya," ucap Natasha.

Pegawai WO itu langsung kaget. Bak seperti di sambar petir di siang bolong. Ternyata apa yang telah dilakukannya berujung petaka. Kesalahan kecil yang berakibat fatal untuk selamanya.

Raut wajahnya langsung berubah. Rasanya Natasha dapat melihat pegawai itu tengah tertimpa batu besar di atas kepalanya. Penyesalan yang seolah tidak ada artinya.

Sekonyong-konyong ia lalu berlutut.

Menyesali semua perbuatannya. Natasha dibuat menbeku dengan apa yang seolah terjadi di hadapannya.

"Mbak, maafkan saya. Saya pegawai baru yang lalai. Seharusnya saya melihat foto calon pengantin perempuan ataupun melihat nama dari calon pengantin perempuan. Bukan hanya terpaku pada gaun yang sama," ucapnya penuh sesal.

Penyesalan memang datang terlambat. Tak ada yang dapat dilakukan selain mencoba melewatinya.

Natasha menjadi merasa kasihan terhadap pegawai WO itu, yang notabenenya adalah pegawai baru.

Ada rasa kasihan yang tiba-tiba menggelayuti dirinya. Mau tak mau apa yang sudah terjadi tak dapat diubah lagi. Dia harus menerima apa yang sudah digariskan oleh Tuhan.

"Maafkan atas keteledoran dan kecerobohan yang sudah saya lakukan, Mbak," ucapnya dengan penuh penyesalan.

Natasha tak dapat berucap apapun. Ia ingin menghakimi pegawai WO yang sudah membuat segalanya menjadi seperti ini. Otaknya harus tetap mendingin untuk mencari solusi.

Tetiba otaknya memutar video sebelum kejadian pernikahan yang tak disengaja itu.

"Ca, lo di mana?" tanya sahabatnya di ujung telepon. Sahabat-sahabatnya biasa memanggilnya dengan sebutan 'Caca'

Natasha pun langsung menjawab dengan memutar bola matanya di ujung telepon. "Iya, gue udah mau nyampe ini. Ruang akadnya masih sama kan?" Natasha bertanya balik.

"Iya masih sama. Cepetan lo ke sana ganti baju dan cobain gaun gue. Ntar lo bilang muat enggak tuh gaun," ucapnya tanpa berhenti di ujung telepon. Natasha menjadi jengah. Sahabatnya itu jika mempunyai keinginan memang tidak bisa untuk dicegah.

"Iya, bawel lo." Klik Natasha langsung memutus sambungan telepon begitu selesai berbicara.

Terlalu lama berbicara dengan sahabatnya di ujung telepon bisa membuatnya darah tinggi.

Ponsel lalu di masukkan ke dalam tasnya. Dia bersiap untuk menjalankan perintah dari sahabatnya itu.

Beberapa langkah Natasha berjalan tiba-tiba ada yang mencengkeram lengannya. Tidak terlalu kuat, tapi membuatnya sedikit kaget.

"Mbak, ruangannya di sebelah sana ya," ajak seorang pegawai yang menurut Caca adalah pegawai WO.

Sekejap Natasha hanya terpaku. Apakah sahabatnya menggunakan WO lain? Sebab penampilannya berbeda dari sebelum mereka ke kantor WO.

Dan ruangannya juga berbeda. Bukan di ujung yang tadi akan Natasha lewati. Tapi Natasha tak sedikitpun berpikir aneh ataupun negatif.

Dia hanya menuruti apa yang dikatakan pegawai WO tadi. Sahabatnya akan segera sampai lokasi. Dirinya harus bersiap.

Jika tidak seisi dunia pasti akan dihancurkan sahabatnya.

Jika sudah marah, pemilik bintang Leo itu akan ngamuk laiknya singa. Dan Caca tak mau dibuat repot. Makanya ia hanya menurut saja sejak tadi.

"Namanya siapa, Mbak?" Pegawai itu berkata sopan.

"Anastasya Karina Putri."

Oleng. Natasha hampir terjatuh. Ingatan memori itu membuatnya sedikit pusing. Pegawai WO itu langsung menangkapnya. "Mbak, gapapa?" tanyanya khawatir. Natasha hanya mengangguk pasrah.

***

Natasha tak dapat berbuat banyak. Aji hanya diam setelah acara akad selesai. Dalam perjalanan pun, tak ada pembicaraan di antara keduanya.

Aji mematung di dalam mobil. Matanya sudah membengkak. Penampilannya sudah kacau balau.

Meskipun begitu, Natasha masih dapat melihat aura karismatik yang terpancar dalam dirinya.

"Tahan... Tahan... Jangan diterkam di sini. Masih banyak orang," ucap Natasha di dalam hati. Ia sibuk memandangi wajah sendu dari suami dadakannya itu. Membuatnya semakin bergairah.

Sopir pun mengarahkan mobil memasuki sebuah gerbang yang sekiranya memiliki tinggi hampir dua meter. Natasha masih memandangi halaman rumah yang tidak terlalu lebar itu. Namun, taman itu tertata dengan rapi seolah tiap hari ada yang merawatnya.

"Jangan sentuh taman itu. Kamu boleh memakai atau merawat apa yang ada di rumah ini, karena sekarang kamu sudah menjadi istriku. Tapi jangan pernah sentuh benda kesayangan Ariani." Aji berkata dengan tegas.

Natasha lalu menoleh ke arah suaminya. Ada raut wajah yang tak dapat diungkapkan dengan kata. Dia hanya diam. Pertanda setuju dengan apa yang dikatakan suaminya.

Aji kemudian turun dari mobil. Dia tak menunggu ataupun menanti istrinya.

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status