Share

Memulai Kisah Baru
Memulai Kisah Baru
Penulis: Meina H.

Bab 1 - Selamatkan Mereka

Author's Note~

Buku ini adalah lanjutan dari buku Mengukir Impian Baru, tetapi bisa dibaca tanpa membaca buku pertamanya. Meskipun cerita ini kembali ke masa lalu, tidak akan ada pengulangan bab, adegan, atau percakapan yang berlebihan yang diambil dari buku pertama.

Buku ini adalah fiksi belaka dan hasil imajinasi penulis. Apa yang tertuang dalam buku ini sama sekali bukan hal yang diyakini, dipercaya, atau disaksikan penulis dalam kehidupan nyata. Apabila terdapat kesamaan nama, karakter, tempat, dan peristiwa, itu murni sebuah kebetulan.

Sebagai peringatan, hanya beberapa bab awal saja yang bisa dibaca secara gratis. Penulis tidak menentukan mulai dari bab berapa dan jumlah koin yang dibutuhkan untuk membuka setiap bab yang terkunci. Bila ini memberatkan, semoga kita bisa bertemu pada karyaku yang lain. Jika teman-teman tetap lanjut membaca, terima kasih banyak atas dukungannya~

Selamat membaca dan terima kasih sudah memilih buku ini. ^^

___

~Jonah~

Aku tidak berdaya melihat istriku dalam keadaan tidak sadar. Aku memanggil namanya berulang kali, dia tidak memberikan respons. Bagian tubuhnya yang berani aku sentuh hanya tangannya. Aku panik melihat darah yang mengalir di antara kedua kakinya. Bayi kami. Ya, Tuhan. Apakah bayi kami ada dalam bahaya?

“Jonah, apakah kamu tidak apa-apa?” Aku tidak pernah merasa selega ini bisa mendengar suara kakak iparku. Nevan berlutut di depan tubuh adiknya yang berbaring di antara kami. Dia bergegas mengeluarkan stetoskop dari tas yang dibawanya, lalu mulai memeriksa keadaannya.

“Katakan bahwa dia baik-baik saja. Tolong, katakan bahwa istri dan anakku baik-baik saja,” kataku penuh harap. Ekspresi wajahnya tidak membuatku tenang. Dia kelihatan khawatir.

“Apakah kalian sudah menghubungi ambulans?” tanya Nevan kepadaku.

“Sudah, Pak. Mereka ….” Raven, pengawal pribadi istriku, yang menjawab. Kalimatnya terpotong begitu terdengar bunyi sirene semakin mendekat kepada kami.

“Jonah! Celeste! Oh, Tuhan. Celeste!” Terdengar pekikan Bunda saat melihat keadaanku dan istriku. Dia datang bersama Ayah dan Papa. Aku tidak kuat untuk berdiri dan menenangkannya. Jadi, aku membiarkan ayah dan ayah mertuaku untuk melakukan hal itu.

Keadaan sangat kacau saat ambulans datang dan para tenaga medis membantu Nevan untuk memindahkan tubuh adiknya. Orang-orang yang berkerumun membuat mereka kesulitan membawa tandunya ke ambulans. Aku dan Nevan ikut masuk ke mobil tersebut, sedangkan orang tua kami mengikuti di belakang dengan kendaraan mereka masing-masing.

Aku tidak mau melepaskan tangan istriku saat mereka memeriksa tubuhnya dan berusaha untuk memberikan pertolongan pertama. Dugaan pertama Nevan adalah kepala Celeste membentur kaca dengan keras sehingga dia kehilangan kesadaran. Tetapi jantungnya berdetak terlalu lemah dan darah itu membuatnya mengkhawatirkan keadaan si kecil. Jantungnya masih berdetak tetapi sama lemahnya dengan jantung ibunya. “Tolong, selamatkan mereka.”

Sampai di rumah sakit, dokter langsung mengambil alih dan Nevan ikut untuk mendengarkan apa yang terjadi kepada adiknya. Dokter lain memintaku untuk berbaring di dipan agar mereka bisa memeriksa keadaanku juga.

Apa yang terjadi? Siapa yang sudah mengirim orang untuk menembaki kaca jendela mobil kami? Untung saja kaca jendela itu anti peluru. Aku seharusnya mengerem saja tanpa membanting setir. Tetapi aku sangat panik tadi melihat tembakan pertama diarahkan langsung ke istriku.

Oh, Tuhan. Seharusnya hari ini kami hanya ziarah untuk memperingati satu tahun kepergian kakakku. Lalu kami pulang ke rumah dan bersantai. Hari ini aku sudah sengaja cuti dari tempat kerjaku. Tetapi dalam perjalanan menuju pemakaman, kami malah mengalami malapetaka.

Setelah dokter selesai memeriksa keadaanku yang hanya punya beberapa luka memar dan ringan, aku mencari keluargaku. Seorang suster mengantarkan aku kepada mereka. Sepertinya Nevan yang memintanya untuk melakukan hal itu. Kakiku lemas melihat tulisan yang ada di atas pintu. Ruang operasi. Papa dan Nevan segera datang mendekatiku lalu menolongku untuk duduk.

“Kamu tidak apa-apa, Nak? Apa kamu tidak sebaiknya beristirahat? Kamu pasti sangat terkejut dengan kejadian tadi,” kata Ayah khawatir. Bunda duduk di sisinya dan sedang menangis.

“Aku tidak apa-apa, Ayah. Keadaan istriku yang lebih mengkhawatirkan,” jawabku pelan.

“Mereka akan membayar mahal jika sesuatu terjadi kepada putri dan cucuku. Siapa pun pelakunya,” kata Ayah geram. “Bagaimana bisa ada orang yang tidak punya perasaan begitu? Apa kesalahan anak-anakku kepada mereka?”

Aku melihat Raven berdiri di sudut dekat pintu ruang operasi. Dia mengingatkan aku kepada Theo. Aku memanggilnya dan memintanya untuk menghubungi suaminya itu. Aku butuh informasi siapa pun pelakunya dan aku ingin nama mereka sekarang juga. Mengejutkan, pengawal pribadi istriku itu sudah melakukannya sebelum aku memintanya.

Berjam-jam menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi. Kami segera mendekatinya. Dia memberi sebuah kabar bahagia. Putra kami telah lahir dengan selamat dan keadaannya sehat. Dia sedang dibaringkan di dada ibunya untuk belajar minum. Aku sangat lega mendengarnya.

“Kabar buruknya, istri Anda dalam keadaan koma. Dia mengalami pendarahan hebat pada otaknya. Meskipun keadaannya sudah stabil, kami tidak bisa memastikan kapan dia akan bangun,” ucap dokter itu meruntuhkan duniaku.

“Oh, Tuhan,” Bunda kembali terisak.

“Tetapi tadi Dokter bilang, bayi kami sedang belajar minum,” ucapku tidak mengerti.

“Meskipun istri Anda dalam keadaan koma, bukan berarti produksi ASI-nya terhenti. Sudah banyak kasus serupa. Ibu yang ada dalam keadaan koma tetap bisa menyusui bayinya,” katanya menjelaskan.

“Lakukan sesuatu, Dokter.” Aku memegang kedua lengan pria itu. “Tolonglah istriku. Aku tidak bisa kehilangan dia. Tolong, lakukan sesuatu.”

“Kami sudah melakukan yang harus kami lakukan, Pak. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu sampai istri Anda bangun.” Aku menggeleng-geleng keras mendengarnya. Itu tidak cukup. Dia harus melakukan sesuatu.

“Jonah, mereka sudah melakukan apa yang bisa mereka lakukan.” Nevan menyentuh kedua tanganku agar melepaskan genggamanku dari dokter tersebut. Aku benci mengatakan ini, tetapi dia benar. Mereka sudah berjam-jam berjuang di dalam untuk menolongnya. Bahkan bayi kami lahir dengan selamat. “Kapan kami bisa melihat si kecil dan ibunya?”

“Setelah bayinya selesai menyusui, kami akan meletakkannya di kamar bayi. Suster akan menunjukkan dia kepada kalian semua melalui jendela.”

“Tidak. Aku tidak mau bayiku ada di kamar lain. Aku mau dia bersama ibunya.” Aku menegakkan tubuhku. Aku harus kuat. Demi Celeste dan putra kami, aku harus menguatkan diriku. “Seseorang mencoba membunuh kami dengan menembaki mobil. Siapa pun mereka, dia bisa menyuruh orang untuk datang membunuh istri dan putraku. Tolong, tempatkan mereka di kamar yang sama.”

“Jonah benar. Tolong tempatkan mereka di ruangan yang sama, Dok,” pinta Nevan.

“Baik, Dok. Mereka berdua akan kami tempatkan di ICU,” kata dokter itu menurut.

“Dan aku mau hanya dua suster yang bergantian memeriksa keadaannya. Aku tidak mau tiba-tiba ada suster tidak dikenal yang memasuki ruangan mereka. Raven dan rekannya juga akan bergantian menjaga istri dan putraku. Jadi, sediakan kursi yang nyaman untuk mereka berjaga di luar ruangan,” kataku lagi menambahkan. Raven segera maju dan berdiri di hadapan dokter tersebut.

“Aku akan meminta rekanku untuk memasang CCTV agar mereka berdua tetap terpantau penuh selama dua puluh empat jam. Jika ada dokter yang memeriksa keadaannya, dia harus mendapatkan izin Nevan. Sekali lagi, aku tidak mau ada dokter tidak dikenal yang masuk ke ruangan tersebut. Dan setiap tindakan medis atau pemberian obat, cairan, dan sebagainya harus atas izin Nevan.”

“Aku akan memastikan hal itu, Jonah. Jangan khawatir. Aku akan menjaga adikku sebaik mungkin.” Nevan menepuk bahuku.

“Kuatkan dirimu, Nak. Kamu tidak sendiri. Kami bersama kalian.” Papa, begitu panggilanku untuk ayah mertuaku, ikut menepuk bahuku. Aku mengangguk pelan.

Raven dan Nevan mengikuti dokter tersebut menuju kamar di mana istri dan putraku akan mereka tempatkan. Kami belum bisa menjenguk mereka. Orang tua kami menunggu sampai Nevan datang menjemput mereka nanti, sedangkan aku berniat membeli minuman. Pada saat yang bersamaan, ponselku bergetar. Aku mengeluarkannya dari saku celanaku dan melihat nama Theo.

“Ya?” jawabku sambil berjalan menuju kantin.

“Aku tidak bisa membiarkan istriku mengawal istrimu seorang diri, Jonah. Aku akan datang bersama pengawal yang lain. Lalu dua pengawal lagi untuk ganti sif juga akan aku perkenalkan kepadamu,” kata Theo dengan cepat. “Apakah Raven baik-baik saja? Dia tidak akan mengeluh mengenai apa pun, jadi aku perlu bertanya kepada orang yang melihat kondisinya.”

“Dia baik-baik saja.”

“Lima menit lagi, aku sampai.” Setelah mengucapkan salam, kami mengakhiri hubungan telepon.

Aku berbelok di ujung koridor, lalu tiba-tiba sebuah lengan yang kuat membekap mulutku dan menyeretku ke bagian koridor yang sepi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tetapi dia lebih kuat dariku. Apakah ini tindakan lanjutan mereka karena aku tidak mati dalam penembakan itu? Sial. Aku tidak berhati-hati.

“Sampaikan salam Felix kepada Yosef. Itu pun kalau kamu masuk surga,” kata pria tersebut. Sesuatu ditempelkan ke sisi kepalaku, lalu terdengar bunyi benda yang sangat kecil dan aku mendadak tidak bisa merasakan apa pun. “Berikutnya adalah giliran istri dan anakmu.”

Dia melepaskan tubuhku dan aku terjatuh bebas ke lantai sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Aku kehilangan daya atas badanku sendiri. Saat melihat kubangan darah di sekitar kepalaku, barulah aku mengerti. Dia menembakku tepat di kepalaku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
Cerita fiktif yang menyenangkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status