Mengapa dia menyebut nama Felix dan Yosef? Sepupuku sudah meninggal dunia dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tidak tahan dengan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan dan hinaan dari para penggemar Jason selama proses pengadilan berlangsung. Siapa yang bilang bahwa kata-kata tidak bisa membunuh? Dia ditemukan meninggal dengan gantung diri di selnya.
Tetapi mengapa kakak kandung Yosef marah kepadaku? Mengapa Felix mengirim orang untuk membunuhku? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun kepada keluarga mereka. Anggota keluarga merekalah yang telah berbuat jahat kepada kami. Adiknya telah membunuh Jason, kakakku, penerus utama ayahku, anak kesayangan ibuku. Kematian Yosef bukanlah kesalahan kami.
Felix berengsek. Jadi, dia jugakah yang sudah mengirim orang untuk menembaki mobilku? Siapa sebenarnya dia? Bagaimana bisa sepupuku itu mengenal orang yang tidak segan-segan mengambil nyawa orang lain seperti ini?
Berikutnya adalah giliran istri dan anakmu.
Tidak. Tidak ada yang boleh menyentuh istri dan anakku. Aku harus menolong mereka. Aku harus segera bangun dari lantai ini. Mereka tidak bersalah. Kami tidak bersalah. Raven! Theo! Siapa saja. Tolonglah istriku. Tolong selamatkan anakku!
Oh, Tuhan. Ambillah nyawaku. Tetapi jangan nyawa mereka. Aku adalah orang jahat. Kematianku tidak akan membuat siapa pun merasa kehilangan. Jangan ambil nyawa istri dan anak kami yang baru lahir. Mereka berdua bukan orang jahat.
“Sayang, bangun.” Aku merasakan ada yang mengguncang-guncang tubuhku. “Ayo, bangun.” Aku memaksa membuka mata. Celeste sedang duduk di atas tempat tidur di sisiku.
“Hai, cantik.” Aku mengulurkan tangan untuk menariknya mendekat, tetapi dia menghindariku.
“Duduk. Ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu,” katanya dengan nada tidak sabar. Aku melihat dia meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya. Aku tersenyum.
“Jangan bilang ….” Aku mendorong tubuhku untuk duduk dan menatapnya penuh harap. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Taraaaa …!” Dia menunjukkan tiga alat tes yang menunjukkan hasil yang sama. Dua garis merah. “Aku hamil!” Aku segera memeluknya dan menciumnya.
Aku ingat kejadian itu. Saat Celeste pertama kali mendapati dirinya hamil. Kami menemui dokter pagi itu juga untuk mendapatkan kepastian dan bayi kecil kami berusia delapan minggu. Dia janin yang sehat dengan detak jantung yang kuat.
“Sayaaannggg …!” Wajah Celeste tiba-tiba muncul tepat di depanku. Dia memeluk leherku lalu mencium bibirku. “Coba tebak hari ini hari apa?” Aku merasakan darah berhenti mengalir ke kepalaku. Itu adalah pertanyaan yang paling aku takutkan. Karena kalau aku sampai salah menjawab, dia akan merajuk sepanjang hari.
“Ng, dua puluh empat Desember.” Aku melirik angka pada arlojiku. “Malam Natal?” Wajahnya seketika berubah cemberut. Aduh. Aku salah menjawab. Dia melepaskan pelukannya dan menjauh dariku, kemudian kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.
“Kamu benar-benar tidak tahu hari ini hari apa?” Sejak kami mengetahui bahwa dia hamil, emosinya sering berubah-ubah semaunya saja. Aku tidak pernah melalui satu hari pun tanpa drama.
“Hari Kamis?” tebakku lagi sekenanya. Dia menatapku dengan tajam. “Aku menyerah.”
“Kamu lupa dengan hari ulang tahun pernikahan orang tuamu sendiri? Serius, Jonah?” Ugh. Dia tidak memanggilku dengan kata sayang lagi, tetapi dengan namaku. Ini pertanda bahaya.
“Aku akan meminta Pak Raihan untuk menyiapkan acara kejutan pada malam ini, termasuk kue juga. Papa, Nevan, dan Naura akan diundang. Mereka akan menginap pada malam ini, lalu kita membuka kado Natal bersama besok pagi. Bagaimana?” kataku memberi usul. Wajahnya kembali ceria.
Pada hari itu kami semua sangat bahagia. Ayah dan Bunda sangat senang karena kami merayakan ulang tahun pernikahan mereka bersama secara sederhana. Begitu pagi datang, kebahagiaan kami semakin lengkap karena semua puas dengan isi dalam kotak kadonya masing-masing.
“Kamu sudah tidak mencintaiku lagi.” Celeste duduk di tepi tempat tidur. Kami baru saja sampai di rumah setelah bekerja seharian. Dia malah mengucapkan kalimat itu begitu kami berdua saja di dalam kamar. Aku mengingat hari itu dengan baik.
“Aku telah melakukan kesalahan, aku minta maaf.” Aku hanya berdiri di tempat, tidak berani mendekatinya.
“Maaf? Apa kamu pikir maaf saja sudah cukup?” Dia pun mulai menangis. Oh, Tuhan. Kuatkan aku.
“Sayang, tolong katakan. Apa yang harus aku lakukan agar mendapatkan maaf darimu?” Aku memberanikan diri untuk mendekatinya, lalu berlutut di hadapannya.
“Kamu pikirkan saja sendiri.” Dia menghempaskan wajahnya ke bantalku dan menangis tersedu-sedu. Otakku segera berputar dengan cepat. Aku duduk di sisinya dan mulai membuka mesin pencari yang ada di internet, sahabat terbaikku dalam menghadapi istriku yang sedang tantrum.
Empat belas Februari, Hari Valentine. Yang benar saja. Dia marah hanya karena bunga dan cokelat? Aku menarik napas panjang lalu mengusap wajahku. Mengapa dia tidak katakan saja daripada tiba-tiba marah dan menangis begini? Apakah cintaku kepadanya hanya dinilai dengan kedua benda itu?
Pintu kamar kami diketuk, aku mempersilakan masuk. “Maaf, Nyonya. Ada paket untuk Anda,” ucap Pak Raihan. Dia menatapku dengan wajah takut. Bahkan kepala pelayan kami pun tidak berani menghadapinya di saat sedang emosional.
“Buang saja!” pekik istriku kesal. Aku memberi sinyal agar pria itu meneruskan usahanya.
“Paketnya harus diterima langsung oleh Anda baru bisa saya buang, Nyonya,” katanya lagi.
Celeste menggeram kesal. Dia kembali ke posisi duduk, mengambil beberapa tisu yang ada di atas nakas, menyeka air mata di wajahnya, lalu berdiri dan berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya. Aku memberi tepukan di bahu Pak Raihan saat kami berdiri berdekatan.
Di depan rumah telah berbaris dua mobil pengantar paket. Satu mobil berisi penuh dengan bunga mawar berbagai warna, yang satu lagi penuh dengan berbagai jenis cokelat. Istriku memekik bahagia. Dia menandatangani surat tanda terima dan semua barang itu dibawa masuk ke rumah. Ayah dan Bunda hanya bisa mengangakan mulut mereka melihat semua benda itu memenuhi ruang depan.
“Terima kasih, sayang!” Dia mendekatiku, lalu memelukku dengan erat dan menciumku. “Aku sangat mencintaimu. Selamat Hari Valentine!”
“Aku juga mencintaimu, sayang. Selamat Hari Valentine.”
Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala seorang istri tetapi aku baru tahu bahwa sebagai seorang suami, aku harus bisa mengingat semua tanggal penting dalam satu tahun. Aku sampai meminta Fabian untuk membuat catatan khusus mengenai semua tanggal tersebut. Agar pada tahun berikutnya, aku tidak melupakannya lagi.
“Kamu sudah membuatku kecewa dengan melupakan hari penting ini.” Kalimat menakutkan itu lagi. Entah ada berapa hari dalam satu tahun yang harus aku ingat.
“Sayang, aku tidak sengaja melupakannya.” Aku memeluk tubuhnya. Kami akan bersiap tidur, jadi aku tidak ingin beristirahat dengan perasaan kacau. “Tolong, bantu aku untuk mengingatnya.”
“Tepat satu tahun yang lalu, kita bertunangan, Jonah. Apakah karena hari itu aku seharusnya bertunangan dengan Jason, lalu kamu melupakannya begitu saja?” ucapnya dengan kesal. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Aku hanya tidak mengingat tanggalnya.
“Kamu tahu apa lagi yang terjadi pada hari itu?” Aku mencium pelipisnya. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku penuh tanya. “Jangan bilang, kamu melupakannya.”
“Pertunangan Jason dan Vita?” tanyanya bingung. Aku tersenyum. Hal sepenting itu dia lupakan?
“Ciuman pertama kita.”
Orang-orang pernah berkata bahwa menjelang kematian, kita akan mengingat berbagai peristiwa dalam kehidupan kita seolah-olah semuanya baru saja terjadi. Meskipun kita tidak berencana untuk mengingatnya, kejadian demi kejadian bermain di kepala kita tanpa adanya komando. Apakah ini artinya ajalku sudah dekat?
Aku berusaha menggerakkan tangan, kaki, jemariku, tetapi semuanya mati rasa. Tempat itu sepi dan tidak juga ada orang yang lewat. Cairan berwarna merah di sekitarku semakin banyak dan aku mulai kehilangan kesadaran. Aku tidak lagi bisa menarik napas, tidak bisa membuka mata, sampai akhirnya kegelapan mengelilingiku.
Jadi, hidupku hanya sampai di sini? Sama seperti Jason, kami berdua harus meninggal pada usia yang masih sangat muda? Ada banyak hal yang ingin kami raih dan lakukan dalam hidup kami, tetapi sepertinya Tuhan punya rencana lain.
Kasihan Ayah dan Bunda. Mereka baru saja kehilangan putra pertama mereka. Kini mereka harus kehilangan putra kedua mereka juga. Dan kami berdua meninggal pada tanggal yang sama. Tragis. Lalu istriku, apakah dia akan pernah bangun dari koma atau akan menyusulku juga?
Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Apa yang sedang aku lakukan? Jika bukan aku yang menjaga keluargaku, siapa lagi yang akan melakukannya? Bangun, Jonah. Kamu harus bangun! Jangan berteriak mengharapkan pertolongan dari orang lain. Selamatkan anak dan istrimu! Nyawa mereka ada dalam bahaya. Mereka adalah sasaran berikutnya! Cepat bangun!
“Jangan sentuh istri dan anakku!!” seruku sekuat tenaga. Setelah dari tadi telingaku tidak berfungsi, akhirnya aku bisa mendengarkan suaraku sendiri lagi. Tenggorokanku juga terasa sakit karena aku berteriak terlalu keras. Dan aku bisa berada pada posisi duduk setelah dari tadi hanya berbaring tidak berdaya. Namun mengapa aku merasakan aku sedang duduk di permukaan yang empuk? Aneh. Bukankah tadi aku sedang berbaring di lantai yang keras dan dingin? Aku menyentuh permukaan yang sangat halus. Aku membuka mata lebar-lebar dan melihat ke sekelilingku. Perabotan, dinding, pintu, jendela, ini kamarku. Bagaimana aku bisa berada di sini? Bukankah aku sedang berada di rumah sakit? Oh, Tuhan. Celeste! Bayi kami! Aku harus segera melihat keadaan mereka di rumah sakit. Setelah bergelut dengan diri sendiri, aku memutuskan untuk mandi. Dia pasti ditempatkan di ruang ICU dan itu ruangan steril. Aku tidak boleh kotor. Aku memakai kaus dan celana panjang, lalu mencar
“Kamu mau ke mana, Jonah?” tanya Bunda saat aku berjalan mendekati pintu depan. Aku menoleh dan melihatnya sedang memegang ponselnya di dekat telinganya. “Aku pergi sebentar, Bunda,” jawabku singkat. “Segera kembali. Kamu harus hadir dalam acara pertunangan Jason,” kata Bunda dengan tegas. Dia kembali mendekatkan ponselnya ke wajahnya. “Apa kalian sudah bersama Celeste?” Itu pasti penata rias dan rambut yang diminta Bunda untuk datang ke rumah gadis itu. Ini keputusan yang berat, tetapi aku harus melakukannya. Jovita akan datang bersama orang tuanya untuk membatalkan acara pertunangan ini. Aku tidak punya pilihan lain selain menghalangi mereka untuk datang. Dan hanya ada satu orang yang bisa mencegah hal itu terjadi. Rumah keluarga Om Mahavir selalu berhasil menunjukkan betapa sukses dan besarnya perusahaan milik mereka. Bangunan bertingkat tiga itu memiliki dua puluh kamar. Ada lagi bangunan bertingkat tiga terpisah di halaman belakang khusus untuk p
Aku mengalihkan pandanganku agar tidak melihatnya. Seluruh keluarga kami sedang mengarahkan pandangan kepada mereka, jadi tidak ada yang melihat ekspresiku. Aku selamat untuk kali ini. Tetapi jika aku tidak bisa juga mengendalikan diriku sendiri, mereka semua bisa curiga melihat sikapku. Aku dan Celeste bukanlah siapa-siapa dalam fase kehidupan sekarang. Iya, dia adalah tunanganku, kekasihku, istriku, ibu dari anakku pada kehidupanku sebelum aku mati. Dia yang sekarang hanyalah orang yang aku kenal selama beberapa hari sejak dia datang ke kantor Ayah dan menandatangani surat perjanjian yang berujung pada pertunangannya dan Jason. Jovita dan orang tuanya tidak datang, maka aku sudah berhasil mengubah segalanya. Kakakku yang akan menjadi suaminya. Meskipun aku akan sangat menderita karena perubahan keadaan ini, tetapi hidupku dan Jason akan lebih panjang. Itu pertukaran yang adil. Dan aku salah duga. Ternyata Jason hanya membisikkan sesuatu kepada Celeste, buka
“Sore ini kalian akan mengepas pakaian, jadi kamu jangan datang terlambat. Lokasi butiknya dekat dengan kantor. Aku akan menjemput Celeste agar kita langsung bertemu di sana saja,” ucap Bunda. “Baik, Bunda,” jawab Jason menurut. Suasana sarapan pada pagi ini sangat berbeda dengan suasana sebelumnya. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah keputusanku untuk menyelamatkan Jason adalah keputusan yang tepat? Yang membuatku curiga adalah sikap diam Jovita. Dia bukan wanita yang mudah menyerah. Aku tidak akan tenang sebelum pernikahannya dengan Yosef dilangsungkan. Tetapi wanita itu tidak pernah memiliki perasaan apa pun kepada sepupuku, apa mungkin dalam kehidupan kali ini dia akan berubah sikap kepadanya? Sial. Ciuman yang tidak sengaja terjadi semalam membuatku bimbang dengan keputusanku sendiri. Aku tidak boleh begini. Meskipun apa yang akan terjadi ke depan masih tanda tanya, aku tidak boleh meragukan pilihan yang aku buat sendiri. “Jonah, apa ka
Seharusnya aku tahu bahwa Jovita dan keluarganya tidak akan menyerah begitu saja. Lagi pula Yosef juga tidak bisa membuktikan bahwa anak dalam kandungan Jovita benar adalah anaknya. Maka satu-satunya jalan adalah menunggu sampai anak itu lahir. Terlalu lama untuk menunggu sampai dia lahir, tetapi aku tidak bisa menyarankan dilakukan tes DNA sekarang. Yang aku dengar, tes itu bisa membahayakan janin. Aku tidak peduli jika hal yang buruk terjadi kepada wanita ini. Dia terlalu jahat untuk mendapatkan simpati. Namun bayi itu tidak ada hubungannya dengan sikap ibunya, aku tidak bisa membahayakan nyawanya. “Aku tahu mengapa kalian menolak untuk menikahkan aku dengan Jason. Dia sudah bertunangan dengan Celeste, anak seorang pemilik restoran kecil. Bagaimana bisa keluarga Jarvis Putra yang terhormat memilih seorang pelayan untuk menjadi seorang menantu? Bukankah akan lebih baik bila kalian memilih aku? “Tetapi tidak apa-apa. Pada akhirnya nanti, akulah yang akan menj
“Karena itulah aku tidak akan pernah selingkuh,” kataku lagi. “Dia ada benarnya, Cel. Dia belum pernah berpacaran. Berbeda dengan Jason yang sudah beberapa kali terlihat dekat dengan perempuan.” Nola meletakkan kedua tangannya di atas meja, lalu memajukan tubuhnya. “Dilihat dari dekat begini, kamu ganteng juga. Tetapi mengapa kamu tidak disukai banyak orang?” “Apa kamu tidak lihat tatapan dingin dan ekspresi sombongnya itu? Wajar saja tidak ada yang suka dengannya,” ucap Celeste berbisik tetapi cukup keras untuk aku dengar. “Wow, Cel. Apakah kamu ada masalah dengan Jonah? Kita baru duduk, berapa, lima menit, dan kamu sudah mengejeknya dua kali?” tanya Nola tidak percaya. “Kalian punya hubungan apa?” Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan kami, menyelamatkan Celeste dari menjawab pertanyaan sahabatnya. Minuman, sup, sayuran segar, dan daging mentah diletakkan di atas meja. Wanita itu membantu meletakkan beberapa potong daging sehingga memenuhi ala
Celeste segera merapikan gaun yang dikenakannya dan menegakkan tubuhnya, aku menjauhkan diri darinya begitu melihat dia tidak lagi membutuhkan bantuanku. Aku melihat ke arah Bunda dan mendesah lega dia yang datang, bukan yang lain. “Ma-maafkan aku, Tante. Aku tadi memanggil-manggil orang untuk meminta tolong, tetapi tidak ada yang menyahut. Jadi, Jonah yang mendengar seruanku datang. Aku yang mengizinkannya masuk ke sini untuk membantuku melepas ritsleting gaun yang macet.” Celeste segera menjelaskan apa yang terjadi kepada Bunda. Dia tidak perlu melakukannya. Bunda bukan tipe orang yang mudah curiga. “Untung saja aku yang datang. Kalau sampai Jason melihat ini, aku tidak mau membayangkan berapa lama kalian akan meributkan hal ini.” Bunda mendekati Celeste. “Pergilah. Mereka mencarimu untuk mengukur tubuhmu.” Aku menurut. Setelah urusan di butik selesai, kami makan malam bersama. Aku merasa seperti orang yang tidak seharusnya berada di tempat ini. Ayah memili
~Celeste~ Aku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya dan kesulitan tidur pada malam hari sejak ciuman pertama kami. Itu bukanlah ciuman penuh perasaan seperti yang aku saksikan pada film-film. Hanya sebuah kecelakaan. Tetapi kepalaku tidak berhenti mengulang adegan itu sampai aku mulai mempertanyakan apakah aku jatuh cinta kepada Jonah? Tidak mungkin. Aku tidak pernah punya perasaan apa pun kepada laki-laki mana pun. Aku terpaksa menikah demi menyelamatkan restoran Papa dan semua pegawai yang bekerja di sini. Aku tidak boleh jatuh cinta kepada laki-laki lain. Seharusnya aku belajar untuk mencintai Jason, tunanganku. Aaarrghh …! Aku membenci laki-laki itu. Ini tidak mungkin cinta. Aku, Celeste Renjana, tidak akan jatuh cinta semudah itu kepada laki-laki mana pun. Tetapi jika ini bukan cinta, apa yang membuat bayangan wajahnya saat menciumku tidak bisa keluar dari kepalaku? Dan setelah berhari-hari tidak