Share

Bab 2 - Ambil Nyawaku

Mengapa dia menyebut nama Felix dan Yosef? Sepupuku sudah meninggal dunia dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Dia tidak tahan dengan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan dan hinaan dari para penggemar Jason selama proses pengadilan berlangsung. Siapa yang bilang bahwa kata-kata tidak bisa membunuh? Dia ditemukan meninggal dengan gantung diri di selnya.

Tetapi mengapa kakak kandung Yosef marah kepadaku? Mengapa Felix mengirim orang untuk membunuhku? Aku tidak melakukan kesalahan apa pun kepada keluarga mereka. Anggota keluarga merekalah yang telah berbuat jahat kepada kami. Adiknya telah membunuh Jason, kakakku, penerus utama ayahku, anak kesayangan ibuku. Kematian Yosef bukanlah kesalahan kami.

Felix berengsek. Jadi, dia jugakah yang sudah mengirim orang untuk menembaki mobilku? Siapa sebenarnya dia? Bagaimana bisa sepupuku itu mengenal orang yang tidak segan-segan mengambil nyawa orang lain seperti ini?

Berikutnya adalah giliran istri dan anakmu.

Tidak. Tidak ada yang boleh menyentuh istri dan anakku. Aku harus menolong mereka. Aku harus segera bangun dari lantai ini. Mereka tidak bersalah. Kami tidak bersalah. Raven! Theo! Siapa saja. Tolonglah istriku. Tolong selamatkan anakku!

Oh, Tuhan. Ambillah nyawaku. Tetapi jangan nyawa mereka. Aku adalah orang jahat. Kematianku tidak akan membuat siapa pun merasa kehilangan. Jangan ambil nyawa istri dan anak kami yang baru lahir. Mereka berdua bukan orang jahat.

“Sayang, bangun.” Aku merasakan ada yang mengguncang-guncang tubuhku. “Ayo, bangun.” Aku memaksa membuka mata. Celeste sedang duduk di atas tempat tidur di sisiku.

“Hai, cantik.” Aku mengulurkan tangan untuk menariknya mendekat, tetapi dia menghindariku.

“Duduk. Ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu,” katanya dengan nada tidak sabar. Aku melihat dia meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya. Aku tersenyum.

“Jangan bilang ….” Aku mendorong tubuhku untuk duduk dan menatapnya penuh harap. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Taraaaa …!” Dia menunjukkan tiga alat tes yang menunjukkan hasil yang sama. Dua garis merah. “Aku hamil!” Aku segera memeluknya dan menciumnya.

Aku ingat kejadian itu. Saat Celeste pertama kali mendapati dirinya hamil. Kami menemui dokter pagi itu juga untuk mendapatkan kepastian dan bayi kecil kami berusia delapan minggu. Dia janin yang sehat dengan detak jantung yang kuat.

“Sayaaannggg …!” Wajah Celeste tiba-tiba muncul tepat di depanku. Dia memeluk leherku lalu mencium bibirku. “Coba tebak hari ini hari apa?” Aku merasakan darah berhenti mengalir ke kepalaku. Itu adalah pertanyaan yang paling aku takutkan. Karena kalau aku sampai salah menjawab, dia akan merajuk sepanjang hari.

“Ng, dua puluh empat Desember.” Aku melirik angka pada arlojiku. “Malam Natal?” Wajahnya seketika berubah cemberut. Aduh. Aku salah menjawab. Dia melepaskan pelukannya dan menjauh dariku, kemudian kedua tangannya disilangkan di depan dadanya.

“Kamu benar-benar tidak tahu hari ini hari apa?” Sejak kami mengetahui bahwa dia hamil, emosinya sering berubah-ubah semaunya saja. Aku tidak pernah melalui satu hari pun tanpa drama.

“Hari Kamis?” tebakku lagi sekenanya. Dia menatapku dengan tajam. “Aku menyerah.”

“Kamu lupa dengan hari ulang tahun pernikahan orang tuamu sendiri? Serius, Jonah?” Ugh. Dia tidak memanggilku dengan kata sayang lagi, tetapi dengan namaku. Ini pertanda bahaya.

“Aku akan meminta Pak Raihan untuk menyiapkan acara kejutan pada malam ini, termasuk kue juga. Papa, Nevan, dan Naura akan diundang. Mereka akan menginap pada malam ini, lalu kita membuka kado Natal bersama besok pagi. Bagaimana?” kataku memberi usul. Wajahnya kembali ceria.

Pada hari itu kami semua sangat bahagia. Ayah dan Bunda sangat senang karena kami merayakan ulang tahun pernikahan mereka bersama secara sederhana. Begitu pagi datang, kebahagiaan kami semakin lengkap karena semua puas dengan isi dalam kotak kadonya masing-masing.

“Kamu sudah tidak mencintaiku lagi.” Celeste duduk di tepi tempat tidur. Kami baru saja sampai di rumah setelah bekerja seharian. Dia malah mengucapkan kalimat itu begitu kami berdua saja di dalam kamar. Aku mengingat hari itu dengan baik.

“Aku telah melakukan kesalahan, aku minta maaf.” Aku hanya berdiri di tempat, tidak berani mendekatinya.

“Maaf? Apa kamu pikir maaf saja sudah cukup?” Dia pun mulai menangis. Oh, Tuhan. Kuatkan aku.

“Sayang, tolong katakan. Apa yang harus aku lakukan agar mendapatkan maaf darimu?” Aku memberanikan diri untuk mendekatinya, lalu berlutut di hadapannya.

“Kamu pikirkan saja sendiri.” Dia menghempaskan wajahnya ke bantalku dan menangis tersedu-sedu. Otakku segera berputar dengan cepat. Aku duduk di sisinya dan mulai membuka mesin pencari yang ada di internet, sahabat terbaikku dalam menghadapi istriku yang sedang tantrum.

Empat belas Februari, Hari Valentine. Yang benar saja. Dia marah hanya karena bunga dan cokelat? Aku menarik napas panjang lalu mengusap wajahku. Mengapa dia tidak katakan saja daripada tiba-tiba marah dan menangis begini? Apakah cintaku kepadanya hanya dinilai dengan kedua benda itu?

Pintu kamar kami diketuk, aku mempersilakan masuk. “Maaf, Nyonya. Ada paket untuk Anda,” ucap Pak Raihan. Dia menatapku dengan wajah takut. Bahkan kepala pelayan kami pun tidak berani menghadapinya di saat sedang emosional.

“Buang saja!” pekik istriku kesal. Aku memberi sinyal agar pria itu meneruskan usahanya.

“Paketnya harus diterima langsung oleh Anda baru bisa saya buang, Nyonya,” katanya lagi.

Celeste menggeram kesal. Dia kembali ke posisi duduk, mengambil beberapa tisu yang ada di atas nakas, menyeka air mata di wajahnya, lalu berdiri dan berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya. Aku memberi tepukan di bahu Pak Raihan saat kami berdiri berdekatan.

Di depan rumah telah berbaris dua mobil pengantar paket. Satu mobil berisi penuh dengan bunga mawar berbagai warna, yang satu lagi penuh dengan berbagai jenis cokelat. Istriku memekik bahagia. Dia menandatangani surat tanda terima dan semua barang itu dibawa masuk ke rumah. Ayah dan Bunda hanya bisa mengangakan mulut mereka melihat semua benda itu memenuhi ruang depan.

“Terima kasih, sayang!” Dia mendekatiku, lalu memelukku dengan erat dan menciumku. “Aku sangat mencintaimu. Selamat Hari Valentine!”

“Aku juga mencintaimu, sayang. Selamat Hari Valentine.”

Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala seorang istri tetapi aku baru tahu bahwa sebagai seorang suami, aku harus bisa mengingat semua tanggal penting dalam satu tahun. Aku sampai meminta Fabian untuk membuat catatan khusus mengenai semua tanggal tersebut. Agar pada tahun berikutnya, aku tidak melupakannya lagi.

“Kamu sudah membuatku kecewa dengan melupakan hari penting ini.” Kalimat menakutkan itu lagi. Entah ada berapa hari dalam satu tahun yang harus aku ingat.

“Sayang, aku tidak sengaja melupakannya.” Aku memeluk tubuhnya. Kami akan bersiap tidur, jadi aku tidak ingin beristirahat dengan perasaan kacau. “Tolong, bantu aku untuk mengingatnya.”

“Tepat satu tahun yang lalu, kita bertunangan, Jonah. Apakah karena hari itu aku seharusnya bertunangan dengan Jason, lalu kamu melupakannya begitu saja?” ucapnya dengan kesal. Aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Aku hanya tidak mengingat tanggalnya.

“Kamu tahu apa lagi yang terjadi pada hari itu?” Aku mencium pelipisnya. Dia mengangkat wajahnya dan menatapku penuh tanya. “Jangan bilang, kamu melupakannya.”

“Pertunangan Jason dan Vita?” tanyanya bingung. Aku tersenyum. Hal sepenting itu dia lupakan?

“Ciuman pertama kita.”

Orang-orang pernah berkata bahwa menjelang kematian, kita akan mengingat berbagai peristiwa dalam kehidupan kita seolah-olah semuanya baru saja terjadi. Meskipun kita tidak berencana untuk mengingatnya, kejadian demi kejadian bermain di kepala kita tanpa adanya komando. Apakah ini artinya ajalku sudah dekat?

Aku berusaha menggerakkan tangan, kaki, jemariku, tetapi semuanya mati rasa. Tempat itu sepi dan tidak juga ada orang yang lewat. Cairan berwarna merah di sekitarku semakin banyak dan aku mulai kehilangan kesadaran. Aku tidak lagi bisa menarik napas, tidak bisa membuka mata, sampai akhirnya kegelapan mengelilingiku.

Jadi, hidupku hanya sampai di sini? Sama seperti Jason, kami berdua harus meninggal pada usia yang masih sangat muda? Ada banyak hal yang ingin kami raih dan lakukan dalam hidup kami, tetapi sepertinya Tuhan punya rencana lain.

Kasihan Ayah dan Bunda. Mereka baru saja kehilangan putra pertama mereka. Kini mereka harus kehilangan putra kedua mereka juga. Dan kami berdua meninggal pada tanggal yang sama. Tragis. Lalu istriku, apakah dia akan pernah bangun dari koma atau akan menyusulku juga?

Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Apa yang sedang aku lakukan? Jika bukan aku yang menjaga keluargaku, siapa lagi yang akan melakukannya? Bangun, Jonah. Kamu harus bangun! Jangan berteriak mengharapkan pertolongan dari orang lain. Selamatkan anak dan istrimu! Nyawa mereka ada dalam bahaya. Mereka adalah sasaran berikutnya! Cepat bangun!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
mengancam nyawa orang lain juga sikaf pengecut tak meerasa dirinya bahama keluarganya
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
bunuh diri adalah sifat pengecut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status