Thok ... Thok ... Thok! Suara pintu kamar Anggi di ketuk. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Dengan bergegas Anggi menghampiri pintu dan membukanya.
"Iya ada apa, Mbak?" tanyanya kemudian setelah melihat seorang wanita muda mengenakan seragam putih hijau berclemek.
"Nyonya Besar memanggil Nona Anggi, beliau menunggu di meja makan," jawab asisten rumah tangga..
"Iya sebentar lagi aku keluar, Mbak," jawab Anggi pelan.
Semalam Anggi masih belum bisa tidur dengan nyenyak. Trauma pembantaian dengan sadis terus datang menghantuinya. Sontak sesak di dadanya dan ketakutan yang hebat datang menghampiri. Wajah Rahma yang menangis histeris dengan tangan menggapai-nggapai mengharap pertolongan terus lekat di pelupuk mata Anggi.
Setelah berdandan sekedarnya dia berjalan keluar kamar menemui Oma Gina. Seorang wanita lansia yang masih tampak kuat dan energik serta tampak dari kalangan darah biru. Rumahnya mewah dan penuh dengan bodyguard maupun pembantu rumah tangga.
"Selamat pagi, Nyonya Besar!" sapa Anggi kepada neneknya, dengan kaku dan salah tingkah.
"Duduklah!" perintah Oma Gina lembut tapi dingin. "Kita sarapan dulu, ada yang ingin Oma bicarakan," lanjutnya.
Dia memanggil dirinya sendiri dengan menyebut Oma seolah mengajarkan kepada Anggi agar ikut memanggil Oma.Tanpa sepatah kata pun Anggi mengambil tempat duduk pas di depan Oma Gina. Sesekali mereka saling berpandangan dengan kikuk dan kaku.
"Bagaimana tidurmu semalam, kenapa matamu bengkak?" tanya Oma Gina kepo.
"Saya masih harus menyesuaikan diri, Oma," jawab Anggi pelan.
"Ayo ambil makanan yang kamu suka! Kamu satu-satunya orang yang Oma punya saat ini. Suka tidak suka kamu harus menemani Oma yang sebatang kara ini, Anggi!" ujar Oma Gina pelan.
"Baik, Oma!" jawab Anggi ragu, semua yang dihadapi seolah mimpi yang belum bisa dia terima. "Aku trauma bila harus kembali ke rumah itu lagi, Oma," gumamnya lirih.
Akhirnya mereka pun makan pagi bersama. Oma Gina perhatian sekali kepada Anggi, semua yang ada di meja makan ditawarkannya dengan lembut.
"Ayo kamu coba ini, cah sapi kailan dengan saose tiram kesukaan bundamu. Ada juga sambel goreng hati sapi kesukaan dia juga ...!" ujarnya sambil menyodorkan kepada Anggi dengan mata berkaca-kaca.
Semua seolah terbayang kembali masa kecil dan remaja Rahma. Seorang wanita manja yang sangat dekat dengan dirinya.
"Oma sayang sama bunda?" tanya Anggi pelan.
"Ya iyalah, dia anakku satu-satunya, dia manis dan sangat manja. Rahma tidak pernah bisa jauh dari mamanya," kenangnya dengan air bening yang mulai bergulir di pipinya. "Lelaki brengsek itu menghancurkan segalanya!" katanya menaha geram.
"Apakah papaku masih hidup, Oma? Bunda selalu bilang kalau papa sudah meninggal saat aku masih di kandungan," tanya Anggi pelan.
"Mungkin juga, aku sudah tidak tahu lagi kabarnya, mungkin pelakor itu sudah memperdayanya!" jawab Oma Gina sedih.
"Bahkan fotonya juga bunda tidak punya, Oma. Aku ingin melihat wajah papaku meskipun hanya sekali, bahkan hanya lewat fotonya saja, Oma!" kata Anggi memohon.
"Iya kapan-kapan Oma akan carikan fotonya, itupun kalau masih ada!" janji Oma Gina kepada Anggi.
"Terima kasih, Oma," ucapnya penuh pengharapan.
"Iya. Oh iya kalau kamu sudah siap, tentukan dimana kamu mau melanjutkan kuliah, Anggi!" pinta Oma Gina mengalihkan topik pembicaraannya.
"Aku mau kuliah yang paling dekat dengan rumah saja, Oma, sekalian aku bisa menemani Oma. Bila aku melihat Oma rasanya seperti melihat bunda. Wajah kalian berdua bagai pinang dibelah dua," kata Anggi dengan tersenyum polos.
"Iya, aku siap menuruti semua keinginanmu. Aku tidak mau kehilangan orang yang kusayangi untuk kedua kalinya," kata Oma Gina pelan menahan rasa penyesalannya.
Kemudian Anggi beranjak dari duduk dan menghampiri Oma Gina dan memeluknya dengan erat. Anggi menangis, entah apa yang membuatnya menangis. Disatu sisi dia berduka kehilangan bundanya, di sisi yang lain dia bahagia ternyata dia bukanlah sebatang kara di dunia ini, dia masih punya seorang nenek yang wajahnya mirip bundanya. Bahkan dengan kehidupan yang mewah, kehidupan konglomerat.
Kini Oma Gina tidak kesepian lagi, ada seorang cucu kesayangannya yang lama sekali diimpikan.
***
Aslan kembali masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas.
"Helo pengantin baru, selamat ya!" ujar beberapa teman sekelasnya.
Aslan terperanjat kaget, dia tidak percaya ternyata ada yang tahu selain keenam teman kampingnya.
"Siapa yang cerita kepada kalian, itu hoax, tau?" bentak Aslan berlalu pergi.
"Sialan! Siapa yang berani menyebarkan berita pernikahan itu. Kurang ajar!" geram Aslan. "Apa mereka juga tahu, aku sudah menodai seorang gadis?" lanjutnya bertanya dalam hati.
"Wah pasti sudah tahu rasanya babat lempit ha ... ha ... ha ...!" sahut salah satu temannya.
"Dasar mulut ember!" teriak Aslan kemudian mengejar temannya yang bernama Wisnu.
Wisnu berlarian di kelas mengintari bangku sambil tertawa-tawa dikejar Aslan.
Dengan emosi Aslan menghadiahkan beberapa bogem kepada temannya. Dan Wisnu pun tak mau kalah, dia pun membalas bogem Aslan. Akhirnya mereka berdua berduel hebat. Beberapa teman lelaki melerainya. Dua lelaki mendekap tubuh Aslan dan dua lainnya mendekap tubuh Wisnu.
"Berani bicara lagi, kusumpal mulutmu!" teriak Aslan sambil menunjuk ke wajah Wisnu.
Tiba-tiba guru BP datang dengan marah-marah.
"Mentang-mentang kalian jago berduel ya? Mau aku adu di lapangan biar disaksikan teman-temanmu di sekolah?" kata guru BP berteiak emosi.
"Dia yang memulai mengejek, Pak!" teriak Aslan membela diri.
"Saya bicara apa adanya, Pak, bukannya mengejek!" jawab Wisnu lagi.
"Sudah-sudah kalian temui aku di kantor!" pesan guru BP sambil berlalu pergi.
Sepuluh menit kemudian Wisnu dan Aslan sudah duduk di ruangan guru BP, menunggu Pak Junaedi datang.
"Kalian sudah di sini?" tanya Pak Junaedi, guru BP.
"Sudah sejak tadi, Pak," jawab Aslan berbohong.
"Sejak tadi, gundulmu tuh! Mau bohongi gurumu, ya?" sahut Pak Junaedi berkelakar. "Sudah kalian tunggu orangtuamu datang baru kita bicara!" lanjutnya sambil mengambil tas dan ke luar ruangan.
"Pak, kenapa orangtua dibawa-bawa sih?" sahut Aslan.
"Iya Pak kenapa? Sekarang Bapak mau kemana?" sahut Wisnu menimpali.
"Mau ngajar dong, nanti orang tua kalian datang tolong telepon Bapak!" jawab Pak Junaedi.
"Nggak bisa begitu dong Pak, Bapak selesaikan masalah kami dulu baru pergi!" teriak Wisnu yang kesal Pak Junaedi tetap melenggang pergi.
"Kamu sih main pukul aja, kita kan cuma bercanda. Lagian kamu menikah juga bukan urusanku," hardik Wisnu.
"Kamu sendiri balas memukul aku," jawab Aslan ketus.
Ya iyalah sakit, ndak dibalas enak di kamu dong!" balasnya.
"Wisnu, kalau boleh aku tanya dari mana kamu dapat berita hoax itu?" tanya Aslan mulai merendah.
"Dari ponsel Bagus, saya menemukan video ijab qobul kamu dengan seorang gadis mengenakaan seragam SMA," jawab Wisnu.
Aslan terperenjat, tidak mengira kalau Bagus mengabadikan moment itu. Dia penasaran bagaimana foto itu diambil. Tak sabar rasanya ingin terbang menghampiri Bagus secepatnya.
Thok ... Thok ... Thok! Pintu ruang BP diketuk. Tampak orang tua Wisnu bersama orang tua Aslan.
"Ada apalagi nih, Aslan?" tanya mamanya.
"Kamu berulah apa Wisnu, bikin malu orangtua aja!" hardik papanya Wisnu.
"Kalian berantem ya? Muka pada bonyok begitu?" sahut papanya Aslan.
"Selamat datang, Bapak dan Ibu?" sapa Pak Junaedi guru BP yang tiba-tiba muncul.
"Pak Guru?" sapa mereka hampir bersamaan.
"Silakan duduk, Bapak-Ibu!" kata Pak Junaedi mempersilakan.
Mereka mengambil tempat duduk bersebelahan dengan anak mereka masing-masing.
"Bapak dan ibu, sebelumnya saya minta maaf telah mengganggu waktu kalian semua. Saya belum menanyakan secara detail permasalah mereka yang membuat mereka baku hantam. Tapi kekerasan di sekolah memang tidak dibenarkan apapun alasannya," Pak Junaedi menjelaskan.
"Iya Pak, kita juga terkejut dan penasaran, anak kita berantem karena masalah apa?" sahut papanya Wisnu.
"Masalah cewek? Rebutan cewek begitu?" papanya Aslan menimpalinya.
"Bagaimana kalau Wisnu membuka permasalahan yang sebenarnya, bisa fatal akibatnya. Hancur semuanya ...," batin Aslan.
Apa yang terjadi bila sekolah tahu bahwa ternyata Aslan menodai seorang gadis dan akhirnya harus menikahinya?
Bersambung ...
Wisnu menceritakan tentang foto yang dilihatnya. Dan Aslan mengakuinya, membuat urusan segera selesai tanpa melibatkan Bagus yang sedang menyimpan foto pernikahan mereka. "Apa yang terjadi Aslan? Bagaimana kamu harus menikahi gadis udik itu? Kamu pasti sedang dijebak, iya kan?" tuduh papanya Aslan dengan geram. "Tidak Papa, aku melakukannya saat gadis itu sedang pingsan. Aku bersalah, makanya aku bertanggungjawab dengan suka rela, Pa, Ma," jawab Aslan dengan pelan penuh penyelasan. "Tidak Pak Guru, ini pasti ada kesalahpahaman," sahut mamanya Aslan sambil mencubit pantatnya Aslan seolah memberi kode agar dia tidak berterus terang. "Jangan bunuh diri bodoh, jangan mengakuinya!" bisik papanya lirih di telinga Aslan. Mungkin rasa bersalahnya yang membuat dia tidak bisa mengelak semua kejahatan yang dilakukannya. Dengan jujur dia menceritakannya bahkan siap dengan resiko apapun. "Ini kriminal, Aslan," kata Junaedi. "Tapi seka
Oma Gina mengantarkan Dokter Alex ke luar kamar. Meskipun hatinya hancur Oma Gina bisa menyembunyikannya dari orang-orang. "Musri, antarkan Dokter Alex ke depan!" perintah Oma Gina kepada Musri. "Baik Oma," jawab Musri. Oma Gina kembali menghampiri Anggi yang terpuruk. Dia menangis dan menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa ini harus aku alami? Apa salah ku, kenapa penderitaanku semakin lengkap, kenapa?" runtuk Anggi menangis. "Katakan apa yang terjadi?" pinta Oma Gina pura-pura tenang. "Oma, kalau saja pada saat itu aku tidak ditolong seseorang, mungkin aku bernasib sama seperti bunda. Tadinya kukira dia adalah malaikat penolong bagiku ternyata aku salah. Dalam keadaan tak berdaya justru dia menodaiku, Oma. Hiks ... Hiks ... Hiks!" ungkap Anggi diiringi tangisnya yang terisak-isak. Oma Gina sontak ikut menangis dan tangannya meremas penuh dendam. Hatinya sama hancurnya dengan Anggi, hanya saja nenek tangguh itu bisa menelan saki
Ternyata pertemuan tak terduga itu membuat Anggi sangat terluka. Dia berharap Aslan mengejarnya dan menanyakan keadaannya, ternyata tidak. Wajah tampannya yang bringasan dan tampak badung terus lekat di ingatannya. "Aku harus menemukan dia, aku harus bicara, aku ingin menampar wajah brengseknya ... hanya untuk menamparnya saja," lamunannya. "Pak Yusuf, pulanglah, aku pulang kuliah naik taksi saja," perintah Anggi kepada Yusuf sopir pribadi Anggi. "Tapi Non, nanti saya dimarahi Oma," jawab Yusuf khawatir. "Ya udah Pak Yusuf pulang dulu, nanti kalau aku waktunya pulang tak telepon," ujar Anggi. "Baik saya pulang, saya menunggu telepon dari Non Anggi, hati-hati, Non," jawab Yusuf berpesan. "Jangan khawatir Pak Yusuf," jawab Anggi. Yusuf pun pergi masuk mobil dan melajukan mobilnya keluar kampus. Anggi memanggil taksi on-line lewat aplikasi, sebentar kemudian taksi pun datang. "Jalan Diponegoro no 56," ujar Anggi kepa
Usia kandungan Anggi sudah menginjak 34 minggu, mulai minggu depan dia sudah mulai cuti melahirkan. Selalu menjadi pusat perhatian mahasiswa lain karena selalu dikawal bodyguard dengan mobil mewahnya. Anggi turun dari mobilnya, seorang mahasiswa dengan motor balapnya berwarna merah melaju di depannya. Karena menghindari Anggi, tak sengaja motor itu masuk dalam lubang yang berisi genangan air hujan. Sontak air itu muncrat dengan hebatnya kearah Anggi maupun mobilnya. "Auh!" jerit Anggi spontan. Motor itupun berhenti, dua bodyguard menghampiri Angga dan menarik krah bajunya bahkan hendak mengganjar dengan bogemnya. Anggi berteriak menghentikannya. "Berhenti! Jangan Pak Karta, ini lingkungan kampus!" pinta Anggi. Angga melepas helmnya, mereka saling berpandangan. Pertemuan yang tak terduga kembali terjadi. Angga terkejut melihat Anggi yang sudah hamil besar. Perlahan dia berjalan mendekati Anggi dengan penuh pertanyaan. Apa yang terjadi saa
Setelah sholat subuh Anggi mulai gelisah, perut sejak semalam terasa kaku dan kencang. Padahal dokter merencanakan masih minggu depan untuk caesar. Karena Anggi hamil anak kembar maka dia harus caesar. Melahirkan normal terlalu banyak resiko, apalagi tensi darah Anggi tidak setabil. "Anggi, ada apa sayang? Kamu gelisah?" tanya Oma Gina. "Oma, sejak semalam aku tidak bisa tidur, perutku terasa kencang dan sakit," keluh Anggi manja. "Kita ke rumah sakit sekarang!" ujarnya panik. "Musri ...!" panggil Oma Gina. "Iya Oma?" Musri datang tergopoh-gopoh. "Bantu menyiapkan keperluan kita, kita mau ke rumah sakit. Siapkan sopir juga ya, Musri!" perintah Oma Gina kepada kepala pelayan. "Baik Oma," jawab Musri berlari mencari sopir. Anggi meraih mantel di lemari dan bergegas ke luar dituntun Oma Gina. Mobil sudah parkir di depan pintu rumah. Anggi dan Oma Gina segera masuk di bangku belakang, dan mobil pun segera me
Oma Gina semakin sayang kepada Anggi apalagi setelah dia melahirkan dua Arjuna tampan. Dia tidak perduli dengan status Anggi yang hanya istri siri seorang pria belia yang masih ingusan. Setelah bodyguard nya bisa menemukan identitas Aslan dan mengetahui siapa keluarganya, Oma Gina semakin yakin bahwa mereka tidak boleh bersatu. Tidak sulit bagi Oma Gina untuk mengorek siapakah Aslan sebenarnya. Tapi Oma Gina tidak berani menyampaikan berita ini kepada Anggi takut apa yang menimpa Rahma akan menimpa juga kepada Anggi. "Untung saja dia berada di luar negeri, kalau tidak pasti mereka akan sering bertemu dan makin sulit dipisahkan," batin Oma Gina yang sedang melamun di ruang tengah. Tok ... Tok ... Tok ...! Suara pintu diketuk. Sebenarnya di samping pintu ada bel, tapi sengaja Angga tidak menekannya. Takut kalau bayi-bayi Anggi akan terkejut dan terbangun. Seorang pembantu datang membuka pintu. "Selamat siang, Mbak?" sapa Angga kepada pembantu.
Tok ... Tok ... Tok ...! Pintu diketuk, seorang pembantu sambil mengomel keluar dari ruang tengah. "Sudah dipasang bel pintu juga tidak mau memencet sih. Untung saya dengar kalau tidak denga terus gimana?" gerutunya. Hah! Musri terperanjat kaget, berdiri seorang lelaki dewasa berbadan tegap denga parasnya yang ganteng. "Mau ketemu siapa, Tuan?" tanya Musri. "Mama Gina ada?" tanyanya. "Ada, Tuan siapa ya?" tanya Musri. "Mama? Kok panggil mama, apa itu artinya Tuan ini anaknya Oma Gina?" tanya Musri ragu. "Iya aku anak menantu, Bik, namaku Herlambang," ujar Herlambang. "O jadi Tuan ini ayahnya Nona Anggi?" tanya Musri lagi. "Anggi? Apakah dia yang ketemu di rumah sakit saat itu?" tanya Herlambang penasram. "Mungkin iya Tuan, karena Nona Anggi saat itu sedang caesar melahirkan dua bayi kembarnya. "Jadi?" pekik 55 bertanya seolah tak percaya. "Silakan Tuan duduk dulu, biar saya pa
Oma Gina tampak bersikap lunak kepada Herlambang, tapi berbeda dengan Anggi. Sedari kecil hidupnya menderita karena ayahnya bukanlah lelaki kuat yang bisa dibanggakan. "Anggi, bawa Mika dan Miko ke sini!" teriak Oma Gina. Seorang suster keluar mendorong kereta bayi untuk bayi kembarnya. Bayi mungil itu tidur berdampingan dengan lucu dan menggemaskan. Suster membawa dan mendekatkannya ke tempat Herlambang duduk. "Mana Nona Anggi?" tanya Oma Gina. "Nona Anggi sedang ada di kamar, Oma," jawab suster. Herlambang sadar bahwa Anggi masih belum bisa menerimanya. Herlambang cukup tahu diri, sehingga dia bisa menerima sikap Anggi. "Mereka cucumu, Herlambang!" ujar Oma Gina. "Si kembar yang tampan!" ujar Herlambang dengan kagum. "Cucu ku yang tampan, siapa nama kalian?" tanya Herlambang. "Dia Mika dan yang ini Miko, Tuan," jawab suster. "Halo Mika...halo juga Miko!" sapa Herlambang. "Boleh aku gendong, Ma! S