Share

6. Anggi Positif Hamil

Wisnu menceritakan tentang foto yang dilihatnya. Dan Aslan mengakuinya, membuat urusan segera selesai tanpa melibatkan Bagus yang sedang menyimpan foto pernikahan mereka. 

"Apa yang terjadi Aslan? Bagaimana kamu harus menikahi gadis udik itu? Kamu pasti sedang dijebak, iya kan?" tuduh papanya Aslan dengan geram.

"Tidak Papa, aku melakukannya saat gadis itu sedang pingsan. Aku bersalah, makanya aku bertanggungjawab dengan suka rela, Pa, Ma," jawab Aslan dengan pelan penuh penyelasan.

"Tidak Pak Guru, ini pasti ada kesalahpahaman," sahut mamanya Aslan sambil mencubit pantatnya Aslan seolah memberi kode agar dia tidak berterus terang.

"Jangan bunuh diri bodoh, jangan mengakuinya!" bisik papanya lirih di telinga Aslan.

Mungkin rasa bersalahnya yang membuat dia tidak bisa mengelak semua kejahatan yang dilakukannya. Dengan jujur dia menceritakannya bahkan siap dengan resiko apapun.

"Ini kriminal, Aslan," kata Junaedi.

"Tapi sekarang kita sudah suami istri, Pak, tidak mungkin kan istriku melaporkan saya," ujar Aslan dengan percaya diri.

"Aslan, ini kriminal dan kalian sudah berkeluarga, apa mungkin sekolah kita bisa menerimanya? Saya harus membahas ini dengan Kepsek. Selanjutnya nanti kita akan menyampaikannya kepada kamu, Aslan!" ujar Junaedi.

Akhirnya Guru BK mempersilakan Aslan dan Wisnu kembali ke kelas. Kedua orang tua mereka pun juga kembali pulang. Kedua orang tua Aslan sangat terkejut dengan apa yang sudah dilakukan anak semata wayangnya.

***

Anggi sudah mulai mendatangi Universitas ternama yang kebetulan jaraknya dekat dari rumah. Seorang sopir dengan mobil mewahnya mengantar dan menunggu karena Anggi sekedar mencari informasi jurusan yang akan ditempuh. Sekalipun dia sudah membacanya lewat media sosial tapi baginya perlu juga survei langsung.

Akhirnya dia menentukan juga pilihannya, Fakultas Hukum. Dengan kobaran dendam yang membara Anggi ingin menjadi ahli hukum yang kelak bisa menjerat para manusia laknat yang membantai bundanya.

"Mari Pak Yusuf, kita pulang," ajak Anggi.

"Langsung pulang,Nona?" tanya Yusuf sopir pribadi Anggi.

"Iya Pak, pulang saja," jawab Anggi tegas.

"Baik, Non!" jawab tegas Yusuf.

Anggi mengambil tempat di bangku belakang. Baru beberapa meter melaju mobil pun berhenti karena lampu merah di perempatan jalan. Datang sebuah mobil mewah sedan merah berhenti sejajar dengan mobilnya.

Tanpa sengaja mata Anggi menatap lelaki yang juga duduk di bangku belakang dengan papa dan mamanya. Seperti mimpi di siang bolong, Anggi terperanjat.

"Bagaimana lelaki itu ada di sini? Apakah artinya dia juga tinggal di kota ini? Dia memakai seragam SMA, jadi saat itu aku diperkosa oleh anak ingusan yang masih ABG. Aku hampir bunuh diri gara-gara kamu? Kamu menghancurkan hidupku!" batinnya meronta.

Perlahan mobil pun melaju karena lampu rambu-rambu telah hijau. Tatapan mata Anggi benar-benar tidak bisa lepas barang sekejap pun. Ada rasa sakit yang kembali terkuak, demikian juga dengan rasa dendam. Sayang sekali Aslan tidak melihatnya, kalau saja dia bertemu saat itu pasti ada kesempatan bagi Aslan untuk meminta maaf kepadanya. Selama ini dia dihantui rasa bersalah yang menyiksa. 

Ternyata Aslan mendapat sanksi, dia dikeluarkan dari sekolahnya karena pengakuannya itu.

"Aku tidak habis pikir kenapa kamu berterus terang sih, andai saja kamu diam semua masalah tak akan timbul. Terus sekarang kamu mau sekolah kemana, Aslan?" tanya papanya kesal. 

"Biar ikut adikku Diana ke London, Pa! Biar dia sekolah di sana," usul mamanya.

"Masak SMA harus sekolah ke luar negeri sih?" sahut papanya membantah.

"Pa, kita harus membawa dia ke luar negeri secepatnya, takutnya ini akan menjadi masalah kriminal dan polisi akan mengejar-ngejar Aslan," ujar mamanya sedih.

"Aslan bisa bilang mereka melakukannya atas dasar suka sama suka dan beres, toh sudah terjadi beberapa minggu yang lalu tidak ada visum," sahut papanya licik.

"Anak kamu tidak ingin berbohong, dia selalu dihantui rasa bersalahnya, Pa," sahut mamanya.

"Dasar anak bego!" sahut papanya berseru.

"Kenapa aku harus berpisah dengan teman-temanku, Ma? Lagian mama bisa aku pergi ke luar rumah dalam jangka waktu yang lama?" tanya anak manja itu.

"Terpaksa Aslan, daripada kamu masuk penjara," sahut mamanya.

***

Anggi menghampiri sarapannya di meja makan. Oma Gina sudah menunggunya sambil memainkan ponselnya, bak anak muda yang lancar tehnologi. 

"Pagi Oma," sapa Anggi.

"Pagi, duduklah!" jawab Oma Gina.

Anggi mengambil tempat duduk di depan Oma Gina. Melihat Anggi sudah duduk dengan manis, Oma Gina segera menaruh ponselnya di meja.

"Apa rencana kamu hari ini? Apa kamu akan ke kampus lagi?" tanya Oma Gina asal.

"Tidak Oma saya hanya butuh membeli beberapa barang untuk Ospek hari Senin," jawab Anggi pelan.

"Kenapa kamu pucat, kamu sakit?" tanya Oma Gina.

Belum sampai Anggi menjawab pertanyaan Oma Gina, tiba-tiba dia berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah.

Oma Gina terperanjat melihat cucu kesayangannya muntah-muntah. Dia bergegas menyusul Anggi ke kamar mandi dan mengelus-elus punggung Anggi.

"Ougk ... Ougk ... Ougk!" Anggi masih terus muntah-muntah.

"Ada apa dengan dia, apakah dia sakit atau hamil?" batin Oma Gina penasaran.

"Musri ... Musri ...!" teriak Oma Gina.

"Saya Oma," jawab Musri yang datang tergopoh-gopoh.

"Panggilkan dokter!" perintah Oma Gina.

"Baik, Oma!" jawabnya kemudian bergegas pergi.

Oma menuntun Anggi yang sedang berkeringat dingin untuk rebahan di atas tempat tidur.

"Apakah aku hamil? Kalau benar aku hamil maka aku akan mencari kamu sampai ketemu. Aku ingat kamu memberikan alamatmu padaku di dompet itu," batin Anggi. "Kamu harus tanggungjawab!" lanjutnya meruntuk.

"Ada apa dengan kamu, Anggi? Apa kamu masuk angin?" tanya Oma Gina seolah menjawab rasa penasarannya sendiri.

Perasaan Anggi semakin berkecambuk, hancurlah masa depannya kalau ternyata benar dia hamil. Seorang dokter keluarga yang kebetulan tempat prakteknya tidak jauh dari rumah sudah datang. Musri mengantarnya ke kamar Anggi.

"Pagi dokter," sapa Oma Gina.

"Pagi Oma," jawab Dokter Alex. "Siapa yang sakit, Oma?" lanjutnya bertanya.

"Cucu saya, Dokter," jawab Oma.

"Oh cantik sekali cucunya, Oma," kata dokter menyanjung.

"Siapa namamu, nona cantik?" tanya dokter menggoda.

"Anggi, Dokter," jawab Anggi malu.

"Nama yang manis."

Dokter Alex mulai memeriksa Anggi dengan intensive. Oma Gina tampak gusar, dia takut mendapat kenyataan yang menyakitkan.

"Kapan kamu terakhit mentruasi, Nona?" tanya dokter.

Serasa sebongkah batu menghantam dada Anggi maupun Oma Gina. Mendengar dokter menanyakan itu baik Anggi maupun Oma Gina sudah bisa menebak arah pertanyaannya.

"Tanggal 2, dokter," jawabnya ragu.

"Selamat, usia kandungan kamu sudah tujuh Minggu. Atau kalau mau lebih detailnya lagi bisa langsung ke dokter kandungan, Anggi!" usul Dokter Alex.

"Dokter yakin?" tanya Oma Gina gemetar menahan rasa antara percaya dan tidak.

Apakah yang akan Anggi lakukan dengan kehamilannya?

Bersambung ...

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status